FUNGSI DAN PERANAN IMAM DALAM PERJANJIAN
LAMA
(Pdt.
Darman H. Samosir, STh)
I.
Pemahaman
tentang Imam
Kata
Ibrani yang dipakai untuk imam adalah כהן (kohen). Kata imam
secara tersendiri atau dihubungkan kepada kata “kepala” atau “besar” terdapat
lebih dari 700 kali dalam PL dan 80 kali dalam Perjanjian Baru. Kata Ibrani kohen juga ditemukan dalam arti yang
sama dalam tulisan-tulisan Funisia. Muncul dalam bentuk Aram (kahen) 8 kali dalam kitab Ezra. Penggunaan kohen tidak terbatas hanya kepada imam Yahweh. Kata itu digunakan
juga untuk imam-imam Mesir (Kej. 41:45, 50; 46:20; 47:26), untuk imam-imam
Filistin (1 Sam 6:12), imam-imam Dagon (1 Sam 5:5), imam-imam Baal (2 Rj
10:19), imam-imam Kamos (Yer 48:7), dan imam-imam Baal dan Asyer (2 Taw 34:5) Dalam
bahasa Arab, kata yang mempunyai kaitan dengan kohen adalah kahin artinya
pelihat atau peramal, dan dianggap sebagai pengertian yang semula dari istilah
Ibrani. Ada
bukti bahwa kohen adalah satu istilah
Kanaan yang khusus dan kahin sebuah
kata pinjaman yang telah mendapat pengertian yang berbeda. Kata benda kohen berasal dari kata kerja kahan, yang muncul dalam arti yang sama
dengan כון
(kun), “berdiri”. Oleh karena itu, imam adalah seorang yang berdiri di hadapan
Allah sebagai pelayan-Nya[1].
Penggunaan
pertama dari kata imam di dalam PL adalah kepada Melkisedek raja Salem , imam Allah yang
Maha Tinggi (Kej 14:18). Kemudian kepada Yitro, mertua Musa, imam Midian[2]
(Kel 3:1), dan kepada Harun (Kel 28:1)[3].
Sebelumnya tindakan keimamam yang dihubungkan kepada Allah dalam hal korban dan
doa telah diperkenalkan dalam PL melalui Habel (Kej 4:4) dan selanjutnya oleh
orang-orang Lewi (Kel 32:28-29; Bil 1: 47-53)[4].
Menurut
Th. C. Vriezen, seorang imam adalah pejabat yang melakukan upacara suci di
tempat yang suci, dengan menggunakan benda-benda suci, yaitu efod, roti sajian, dan sebagainya[5]. Para imam tidak mendapat panggilan seperti para nabi, tetapi
jabatan imam diwariskan turun-temurun dan kekuasaannya/pelayanannya hanya
meliputi satu tempat suci tertentu saja[6]. Dari hal ini sementara dapat dikatakan bahwa
jabatan imam berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kultus di dalam
pemeliharaan kesucian hubungan umat dengan Yahweh.
II.
Kedudukan
dan Perkembangan Jabatan Imam
Pada
mulanya dalam sejarah Israel
tugas imamat adalah tanggungjawab orang-orang Lewi, yaitu suku atau keluarga
Lewi. (Ul 33:8-10)[7]. Menurut von Rad, jabatan imam adalah hak dari
orang Lewi. Ini adalah berdasarkan sebuah cerita kuno dalam Hak 17:1 dyb
menunjukkan bahwa pada periode mula-mula hanya seorang Lewi yang berhak atas
jabatan itu[8]. Namun
dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak imam yang tidak mempunyai
hubungan dengan suku Lewi. Samuel bukanlah keturunan dari keluarga imam
manapun, ayahnya adalah seorang Efraim. Tetapi dia diserahkan ke tempat kudus
yang artinya bahwa dia sepenuhnya menjadi bagian dari keimaman dan melayani
Yahweh (1 Sam 2: 18; 3:1). Dia memakai pakaian imam, kain efod (1 Sam 2: 8) dan
bahkan pada malam hari dia tidur di tempat kudus di mana Tabut Perjanjian
ditempatkan (1 Sam 3:3)[9].
Laporan
yang lain adalah bahwa Daud mengangkat anak-anaknya menjadi imam (2 Sam 8:18). Menurut H.H. Rowley agaknya ayat ini berarti bahwa
anak-anak Daud menetap sebagai imam, maka dari situ ditarik kesimpulan bahwa
imamat pada zaman Daud belum dianggap sebagai jabatan yang dapat diwarisi, atau
sesuatu yang terbatas hanya kepada suku Lewi[10]. Demikian
juga dengan Zadok baru kemudian hari digolongkan dan dihormati sebagai
orang-orang Lewi[11].
Meskipun demikian, ada dugaan bahwa “Kaum Lewi” masih terus bertahan dan
memberlakukan tradisi yang diwarisi dari Musa dan berhak atas jabatan imam
walaupun yang terjadi tidak selalu demikian karena para raja juga bertindak
sebagai imam.
Dalam
perkembangan sejarah bangsa Israel ,
salah satu jabatan yang menjadi bagian dari kekuasaan raja adalah sebagai imam karena
penguasa terhormat Yerusalem sekaligus menjadi imam besar Yerusalem. Jabatan
rangkap ini dimulai oleh Daud (menurut Mzm 110, ia menggantikan Melkisedek) di
dalam dirinya[12]:
a.
Ia membangun altar untuk Allah dan mempersembahkan
korban (2 Sam 24:25)
b.
Ia ingin membangun Bait Allah (2 Sam 7:2 dan 1 Taw 22)
c.
Ia membawa Tabut Perjanjian ke Yerusalem, dengan
berpakaian imam (2 Sam 6)
Menurutnya
S.M. Siahaan, ini didukung bahwa Salomo juga menjadi imam tertinggi dari bangsa
Israel .
Ia membangun Bait Allah dan setelah Bait Allah selesai dibangun ia juga yang menahbiskan
Bait Allah tersebut. Pada waktu penahbisan Bait Allah itu, Salomo mengumpulkan
para imam dan penatua-penatua masyarakat Israel untuk membawa benda-benda
suci dan Tabut Perjanjian ke dalam Bait Allah. Kemudian Ia
sendiri mempersembahkan korban di depan Tabut Perjanjian. Ia berpidato (berkhotbah)
dan memberkati seluruh bangsa Israel
(1 Rj 8)[13].
Selanjutnya
S.M. Siahaan mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut sebetulnya adalah
tugas para imam terutama imam besar. Tetapi raja adalah imam tertinggi dan
bahkan mengurapi imam (2 Sam 8:17; 20:15; 1 Rj 2:26). Daud, selain raja Yehuda
dan Israel , adalah juga raja
kota suci. Ia
boleh menamai Yerusalem “Kota Daud”. Khususnya di Yerusalem Daud dan
keturunannya mempunyai kekuasaan sebagai raja dan sekaligus imam[14].
Hal yang senada dituliskan oleh Wismoady Wahono yang mengatakan, raja-raja
keturunan Daud memegang kuasa yang besar dalam urusan Bait Allah. Mereka bukan
hanya menguasai soal-soal material, tetapi juga soal kepemimpinan dalam
ibadah-ibadah nasional. Tetapi setelah masa pemerintahan raja-raja itu berakhir, maka imam yang tertua
(senior), yaitu imam agung memperoleh kekuasaaan yang semula dipegang oleh para
raja itu[15].
Namun
menurut H.H. Rowley, walaupun Daud sendiri mempersembahkan korban, pada waktu
tabut diantar ke Yerusalem (2 Sam 6;13), tetapi fakta itu tidak berarti bahwa
dia menjabat sebagai imam dalam upacara-upacara ibadat sehari-hari, karena
sekiranya demikian, pastilah dia diberi gelar raja-imam[16].
Ini juga menjadi persoalan pada zaman raja Uzia. Tindakan raja Uzia yang
menjabat sebagai imam ditolak oleh pengarang kitab Tawarikh (2 Taw 26:16 dyb),
dan dikatakan bahwa penyakit kusta yang diderita Uzia disebabkan oleh
tindakannya itu. Jelaslah bahwa pada zaman pengarang Tawarikh, dianggap kurang
tepat kalau raja mencampuri urusan imam. Selanjutnya ia mengatakan bahwa walaupun
pada periode pertama dalam sejarah kerajaan seorang raja adalah dianggap patut
mempersembahkan korban, tetapi hal itu tidak berarti bahwa dia sudah menjadi
imam[17].
Pada
perkembangan selanjutnya tugas keimaman menjadi tanggung jawab kelompok imam
yang sudah ada. Ketika Bait Allah telah dibangun di Yerusalem, keturunan Zadok
ditunjuk sebagai kelompok Imam untuk bertugas di tempat itu. Pada mulanya
melayani bersama-sama dengan kelompok Imam keturunan Abyatar (2 Sam 8:17). Akan
tetapi pada pemerintahan Salomo, Imam Abyatar dipecat dari jabatannya selaku
Imam Besar, dan digantikan oleh Zadok (1 Rj 1:5-8; 2:35). Ada
ahli yang berpendapat bahwa sebelum Daud merebut Yerusalem, Zadok telah
melayani sebagai imam di sana , dan setelah Daud
merebut Yerusalem ia tetap diperbolehkan menjadi imam di sana . Jika pendapat ini benar imam-imam dari
keluarga Abyatar adalah orang-oang Lewi asli, sedangkan imam-imam dari keluarga
Zadok baru kemudian hari digolongkan dan dihormati sebagai orang-orang Lewi
juga[18].
Dengan
pendirian Bait Allah maka posisi imam Yerusalem menjadi sangat kuat. Posisi dan
eksistensi para imam di luar Yerusalem menjadi semakin sulit[19].
Walaupun demikian imam-imam melanjutkan pekerjaan mereka seperti biasa di
tempat-tempat ibadah di luar Yerusalem. Karena sekalipun Bait Allah dibangun,
banyak orang Israel masih
tetap beribadah di tempat-tempat suci yang tersebar di seluruh Israel .
Setelah kerajaan Israel Raya terpecah menjadi dua kerajaan kecil, beberapa dari
tempat suci itu, seperti Dan dan Betel, menjadi tempat peribadahan resmi,
khususnya bagi orang-orang Israel di Kerajaan Utara[20].
Hal ini menunjukkan bahwa imam sangat dibutuhkan di dalam kehidupan bangsa Israel .
III.
Beberapa hal
yang berhubungan dengan pekerjaan seorang
imam
1.
Efod
Efod
dibuat dari kain ungu tua dan kain ungu muda, kain kirmizi dan lenan halus yang
dipintal benangnya, dan yang berpakan dengan benang emas. Efod adalah suatu
pakaian yang dipakai oleh imam besar di bawah lengan menutupi dada dan
punggung. Pakaian itu diikatkan erat pada tubuh[21].
Untuk menanyakan orakulum, imam memakai efod (1 Sam 14:3; 23;6 dyb; 30:7).
Bentuk dan fungsi Efod tidak dapat dipastikan, tetapi agaknya merupakan suatu
pakaian suci, bahkan mungkin pakaian ilahi, yang digunakan menurut cara
tertentu (mungkin melalui batu Urim dan Tumim), untuk menyampaikan
perintah-perintah Allah[22].
Efod merupakan benda sakral kedua sesudah tabut dalam urutan pentingnya karena
merupakan sarana untuk menghubungkan si penyembah (si pembawa korban) dengan Yahweh.
Efod, sama seperti tabut, menjadi simbol kehadiran Tuhan[23].
2.
Urim dan Tumim
Urim
dan Tumim adalah sejenis alat untuk mengundi dalam rangka menjawab
pertanyaan-pertanyaan atau memutuskan perkara-perkara yang ditemui dalam
melaksanakan tugas peribadahannya (Bil. 27:21; 1 Sam 14:41)[24].
Urim dan Tumim diletakkan pada tutup dada di atas efod yang dipakai oleh imam[25].
3.
Tempat-tempat Suci[26]
Tempat-tempat
suci adalah tempat para imam bertugas. Beberapa tempat suci tempat para imam
bertugas:
a.
Silo
Tempat bertugasnya Eli dan keturunannya dan sejumlah muridnya seperti
Samuel di masa mudanya.
b.
Nob
Tempat pelayanan imam Abimelekh. Tempat ini adalah tempat suci ke mana
Daud pernah melarikan diri.
c.
Gilgal
Adalah tempat para imam yang menjaga Tabut Perjanjian yang asal usul
mereka tidak dikenal. Gilgal dikenal karena pendirian dua belas batu oleh
suku-suku Israel dan
penyataan Allah di sana
(Yos 4:8-20; 5:13-15). Pada zaman Saul, Gilgal menjadi tempat suci utama Israel
dan tetap dihormati pada zaman Daud.
d.
Dan
Didirikan oleh Efraim (Hak 17-18). Kota
suci ini mempunyai peran penting setelah Raja Yerobeam I menetapkannya menjadi
tempat suci kerajaan Israel Utara.
e.
Bukit Zaitun
Dilihat dari 2 Samuel 15:32 ada tempat ibadat di atas Bukit Zaitun. Tidak
dapat dipastikan apakah tempat suci itu berasal dari zaman pra-Israel atau
zaman Israel .
Tidak mezbah atau kuil di Bukit Zaitun karma fungsinya memang sebagai tempat
doa.
f.
Hebron
g.
Yerusalem
Oleh Daud Yerusalem dijadikan tempat suci yang terpenting. Abyatar dan
Zadok menjadi imam agung di tempat ini pada zaman Daud menjadi raja. Ini adalah
tempat suci di mana Tabut Perjanjian disimpan.
IV.
Fungsi dan
Peranan Imam
Dalam
pandangan von Rad tidak ada jabatan sakral di Israel yang mempunyai sejarah yang
begitu panjang seperti jabatan imam. Tidak diragukan bahwa hal itu berawal dari
permulaan keyahudian yang paling awal dan berakhir ketika Kuil Herodes hancur
menjadi abu oleh pasukan Titus. Tentu saja selama periode itu banyak perubahan
yang terjadi tentang jabatan imam. Di samping itu di Israel , imam tidak pernah terbentuk
menjadi satu hirarki yang penuh kuasa seperti yang terjadi pada tempat-tempat
suci lainnya di Timur kuno[27].
Namun ketika jabatan raja hilang dengan tiba-tiba sejalan dengan runtuhnya
kerajaan, dan kenabian surut sejalan dengan waktu, imam bertahan dan memperoleh
kuasa dan pengaruh yang terus menerus meningkat. Imam menjadi jabatan yang
paling lama dibutuhkan fungsinya[28]. Hal
ini terlihat dari kebutuhan umat akan peranan imam dalam hubungan umat dengan
Allah. Segala urusan umat dengan Allah dibebankan kepada imam: imam adalah
pribadi yang sangat unggul dan berkompeten untuk mengantarai keputusan ilahi[29].
Peran
imam yang membedakannya dari yang lain adalah bahwa imam adalah pelayan pada
tempat suci walaupun aktivitas-aktivitasnya tidak jauh berbeda dari para nabi.
Adalah tugas imam untuk memelihara kekudusan tempat itu dan itu merupakan misi
dari imam-imam terdahulu. Barangkali dalam hal ini ditemukan pertalian antara
imam dan nabi karena nabi juga telah mengambil bagian di tempat-tempat suci.
Tetapi tempat-tempat suci selalu identik dengan para imam[30]. Sebagai
pelayan di tempat-tempat suci, para imam memimpin umat Israel untuk beribadah kepada
Allah, dan berusaha agar peribadahan umat itu berlangsung secara teratur dan
benar menurut tata kebiasaan agamawi yang berlaku[31].
Fungsi
imam sebagai pelayan di tempat suci menghubungkannya dengan
persembahan-persembahan yang diberikan oleh para umat[32].
Ini tidak lain karena salah satu hal yang penting dalam ibadah Israel
adalah korban persembahan. Namun imam bukan satu-satunya orang yang berhak
untuk mempersembahkan korban itu (Hak 6:22-24; 13:19, dll)[33].
Kepala keluarga dan orang-orang terkemuka dapat mempersembahkan korban, seperti
yang dilakukan oleh Elkana di Silo (1 Sam 1:4 dyb).
Penyerahan
korban persembahan menjadi tugas imam karena pemahaman bahwa hanya melalui
kata-kata ilahi yang diucapkan oleh para imam maka korban persembahan itu sah
dan berlaku. Meskipun adalah Allah satu-satunya yang dapat menentukan apakah
persembahan itu diterima atau tidak, tetapi adalah kewajiban bagi imam untuk
menyatakan penerimaan atau penolakan Allah[34]. Di
sini imam menjadi mulut Yahweh untuk mengucapkan respon terhadap korban yang
diserahkan. Hanya melalui penambahan perkataan ilahi membuat ibadat yang
penting itu mempunyai arti sebagai peristiwa penyelamatan antara Yahweh dan
umat-Nya. Hanya berdasarkan perkataan yang diumumkan oleh imam peristiwa sakral
itu menjadi tindakan kemurahan hati Allah[35].
Perananan
kaum imam dalam sistim korban adalah juga untuk mengawasi penggunaan darah,
karena darah dianggap keramat dan harus dituangkan di depan mezbah (Im 4:34; 8:15; 9:9 dsb)[36]. Di
samping itu imam mempelajari dan menafsirkan maksud dari peraturan-peraturan
dan hukum-hukum tentang korban persembahan tersebut, serta memberikan
nasihat-nasihat mengenai cara pelaksanaan yang baik[37].
Imam
adalah orang yang ahli dalam soal-soal ibadah. Untuk itu diperlukan pengetahuan
khusus. Ia memberikan bimbingan dan putusan-putusan mengenai soal-soal upacara
keagamaan dan hukum. Apalagi kalau ada kasus hukum yang berat. Ia adalah
pelaksana dan penganjur pelaksanaan hukum Allah. Ucapan-ucapannya bersumber
pada dua wibawa ilahi, yaitu tradisi imamat dan penggunaan batu undi kudus
(Urim dan Tumim). Ucapan-ucapannya akan memberikan jawaban ilahi terhadap
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ia adalah bapa dan penasehat
umat Allah. Ialah yang bertanggungjawab atas segala acara dan upacara
persembahan di Bait Allah atau tempat suci[38].
Menurut
von Rad berdasarkan orakel tentang orang Lewi dalam Berkat Musa, pemberian Torah
adalah fungsi utama dari imam[39].
Imam mengajarkan Israel
peraturan-peraturan Yahweh dan Taurat-Nya (Ul 33:10). Imam harus menyampaikan
keputusan tentang pertanyaan yang menyangkut hukum sakral. Untuk itu tentu
saja, para imam harus betul-betul menguasai tradisi tentang hukum ilahi[40].
Dalam Hosea 4:6, Yeremia 2:8. Yehezkiel 7: 26, para imam dikecam dengan keras
karena agaknya tidak mengetahui “Hukum Taurat” secara benar[41].
Fungsi
imam sebagai pengajar adalah penting sekali karena imamlah yang merupakan wadah
penyimpan tradisi-tradisi, sehingga dia sanggup memberi nasehat kepada Israel
dalam setiap perkara berkenaan dengan ritus dan kultus. Menurut Hukum Imamat,
imam bertanggungjawab atas membedakan (membuat perbedaan) antara suci dan yang
sekuler. Para imam juga ditugaskan untuk
mengambil keputusan apakah orang tertentu kena penyakit kusta atau tidak (Im
14:57; Ul 24:8). Para imam juga harus
memutuskan apakah orang yang tadinya kena kusta itu sudah sembuh. Dalam hal ini
imam tidak berfungsi sebagai tabib, melainkan sebagai penjaga kesucian ritual
umat Israel ,
karena kesucian ritual atau kenajisan ritual dipandang penting sekali[42].
Imam
sebagai penanya (peminta) orakulum. Menurut Ringgren, pada periode mula-mula,
pemberian orakel adalah jelas satu dari fungsi imam yang paling penting. Dalam
Berkat Musa (Ul 33) hal pertama yang dikatakan tentang keimamam suku Lewi
adalah menanyakan orakel, barulah kemudian disebutkan tentang memerintahkan
hukum dan memberikan korban persembahan. Keluaran 33:7-11 memberikan satu
tradisi kuno: orang-orang Israel
mendatangi kemah suci yang juga disebut kemah pertemuan, untuk “mencari” Yahweh
agar memperoleh orakel. Dalam meminta orakel, imam harus menggunakan
bantuan-bantuan mekanis, yang terutama disebutkan dalam Perjanjian Lama adalah
efod dan Urim dan Tumim[43].
Tugas
imam dalam meminta orakel diperlihatkan ketika imam-imam Ahia, Ahimelek, dan
Abyatar diserahi tugas menanyakan (meminta) orakulum Allah atas nama raja atau
menteri-menterinya, bilamana ada keperluan, entah pertempuran (1 Sam
22:10,13,15; 2 Sam 5:19,22 dyb; 1 Sam 14:18 dyb; 36) atau suatu ekspedisi (1
Sam 23:9 dyb; 30:7; 2 Sam 2:1 dyb). Proses bertanya itu dilangsungkan dengan
jalan mengajukan kasus khusus yang dapat dijawab langsung dengan “ya” atau
“tidak”[44].
Sebagai
seorang yang diberkahi dengan kuasa ilahi, imam juga tampil untuk memberkati
umat. Pada waktu-waktu tertentu, imam mempunyai rumusan berkat untuk diucapkan,
dengan demikian mengukuhkan berkat atas komunitas ibadah. Beberapa rumusan berkat
itu terdapat pada kitab Mazmur: “Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN”
(Mzm 118:26), “TUHAN memberkati engkau dari Sion” (Mzm 128:5). Rumusan yang
lebih panjang terdapat dalam Bil 6: 24 dyb: “TUHAN memberkati engkau dan
melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau
kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai
sejahtera”.[45]
Imam
juga berperan dalam perang. Kesucian yang dimiliki oleh imam di dalam dirinya
memberinya kuasa dan kemungkinan untuk memberikan benteng dan memimpin umat
seperti yang dilakukan para raja dan nabi. Imam menyertai umat dalam perang.
Dalam perang Mikhmas Saul ditemani oleh Ahia (1 Sam 14:18, 41 dyb). Abyatar
menyertai Daud dalam pengembaraan yang selalu besedia menanyakan ramalan (1 Sam
23:6) yang membimbingnya dalam situasi-situasi sulit (1 Sm 23:9 dyb; 30:7 dyb)[46].
Mereka
menjadi pemelihara dan pembawa agama Yahweh. Tetapi mereka tidak pernah
mengklaim sebagai dikuasai Roh Allah. Jabatan mereka sebagai Mulut Yahweh
membuat mereka harus dipatuhi bangsa Israel . Para Imam Yerusalem di
samping bernubuat juga dengan sendirinya bertugas mengajarkan hukum Allah atau
Tora kepada seluruh bangsa Israel [47].
Ini
menggambarkan bahwa imam mempunyai posisi yang penting dan strategis. Imam
sebagai jabatan yang berperan untuk memelihara hidup kesucian umat dan
kepercayaan kepada Yahweh sebagai dasar berkenannya Yahweh agar kelangsungan
hidup umat dapat dipertahankan.
V.
Kesimpulan
1.
Di dalam Perjanjian Lama, jabatan imam banyak dikenal
melalui kehidupan bangsa Israel sebagai umat pilihan Tuhan walaupun pada zaman
nenek moyang Israel telah ada kegiatan-kegiatan keimaman melalui pemberian
korban persembahan dan pemujaan kepada Allah dan juga melalui keimaman dari
orang-orang di luar Israel.
2.
Dalam perjalanan sejarah Israel, imam merupakan posisi
yang penting dan strategis di tengah-tengah kehidupan bangsa Israel. Bagaimana
menjaga hubungan yang benar dan kudus antara umat dan Yahweh demikian juga
mengenai kelangsungan hidup bangsa Israel di bawah pemerintahan raja-raja tidak
terlepas dari fungsi dan peranan imam.
Daftar Pustaka
1. A. van Deursen, Purbakala
Alkitab, Jakarta ,
BPK Gunung Mulia, 1982.
2. David F. Hinson, Sejarah
Israel Pada Zaman Alkitab,
Jakarta , BPK
Gunung Mulia, 1994.
3. G.A. Buutrick (ed), The Interpreter’s Dictionary of the Bible, Nashville ,
Abingdon Press, 1981.
4. Gerhard von Rad, Old
Testament Theology I, New York and Evanston , Harper & Row
Publishers, 1962.
5. Helmer Ringgren, Israelite
Religion, London ,
SPCK, 1966.
6. H.H. Rowley, Ibadat
Israel Kuna, Jakarta , BPK Gunung
Mulia, 1981.
7. Johs Pedersen , Israel :
Its Life and Culture, Copenhagen ,
Branner Og Korch, 1963.
8. S.M. Siahaan, Pengharapan
Mesias dalam Perjanjian Lama, Jakarta ,
BPK Gunung Mulia, 2001.
9. S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, Jakarta , BPK Gunung
Mulia, 2004.
10. Th. C. Vriezen, Agama Israel
Kuno, Jakarta ,
BPK Gunung Mulia, 2003.
11. Walter A. Elwell (ed), Baker Theologically Dictionary of the Bible, Michigan , Baker Book, 1996.
[1]. R. Abba, Priest
and Levities, dalam G.A. Buutrick (ed), The Interpreter’s Dictionary of the Bible, Nashville, Abingdon Pressm 1981, hlm.
876-877. Istilah Lewi adalah kurang sering, terdapat sekitar 80 kali dalam PL
dan hanya tiga kali dalam PB.
[2].
Pada kemudian hari Yitro juga dikenal sebagai imam Allah dari orang yang bukan Israel (Kel
18:9-12).
[3]. Richard E. Averbeck, Priest, Priesthood, dalam Walter A. Elwell (ed), Baker Theologically Dictionary of the Bible,
Baker Book, 1996, hlm. 633.
[4]. Melvin H. Shoemaker, Priest, Christ as, dalam
Walter A. Elwell (ed), Baker
Theologically Dictionary of the Bible, Baker Book, 1996, hlm. 631.
[6]. S.M.
Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian
Lama, Jakarta ,
BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 10.
[7]. David
F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman
Alkitab, Jakarta ,
BPK Gunung Mulia, 1994, hlm. 131.
[8]. Gerhard von Rad, Old Testament Theology I, New York
and Evanston ,
Harper & Row Publishers, 1962. hlm. 244.
[9]. Johs Pedersen , Israel : Its Life and Culture, Copenhagen , Branner Og
Korch, 1963, hlm. 150. Walaupun
selanjutnya tentang keimaman Samuel ini tidak kita ketahui
[10]. H.H.
Rowley, Ibadat Israel Kuna, Jakarta , BPK Gunung
Mulia, 1981, hlm. 73
[11]. David
F. Hinson, op. cit., hlm. 131.
[12].S.M.
Siahaan, op. cit., Jakarta , BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 9.
[13].Ibid., hlm. 9.
[14].Ibid., hlm.,10.
[15].S.
Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan:
Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, Jakarta , BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 192.
[16].H.H.
Rowley, op. cit., hlm. 73.
[17]. Ibid., hlm. 73.
[18]. David
F. Hinson, op. cit. hlm. 131.
[19].
S.M. Siahaan, op. cit., hlm. 10,11.
[20]. David
F. Hinson, op. cit. hlm. 131.
[21]. A. van
Deursen, Purbakala Alkitab, Jakarta , BPK Gunung
Mulia, 1982, hlm. 110.
[22].Th. C.
Vriezen, op. cit., hlm., 83-84.
[23].Ibid., hlm., 85.
[24]. David
F. Hinson, op. cit., hlm. 131.
[25]. A. van
Deursen, op. cit., hlm. 110.
[26]. S.M.
Siahaan, op. cit., hlm. 10-11. Lihat
juga Th. C. Vrizen, op. cit., hlm.
77-78.
[27].Gerhard
von Rad, op. cit., hlm. 244.
[28].Johs
Pedersen, op. cit., hlm. 150.
[29].Gerhard
von Rad, op. cit., hlm. 244
[30]. Johs
Pedersen, op. cit., hlm. 157.
[31]. David
F. Hinson, op. cit., hlm. 130.
[32]. Johs
Pedersen, op. cit., hlm.
[33]. David
F. Hinson, op. cit., hlm. 130.
[34]. Helmer
Ringgren, Israelite Religion, London , SPCK, 1966, hlm.
208.
[35].Gerhard
von Rad,op. cit., hlm. 262.
[36].
H.H. Rowley, op. cit., hlm. 77.
[37].David
F. Hinson, op. cit., hlm. 130.
[38].S.
Wismoady Wahono, op. cit., hlm. 193.
[39].Namun
von Rad mempertanyakan, jika pemberian Torah adalah fungsi yang terpenting dari
imam dalam periode sebelum pembuangan, mengapa hal itu hampir tidak pernah
disebutkan kecuali dalam materi materi yang disusun oleh P.
[40].Gerhard
von Rad, op. cit., hlm. 243.
[41].David
F. Hinson, op. it., hlm. 131.
[42].H.H.
Rowley, op. cit., hlm. 78,79.
[43]. Helmer
Ringgren, op. cit., hlm. 205.
[44].
Th. C. Vriezen, op. cit., hlm.
83,84.
[45]. Helmer
Ringgren, op. cit., hlm. 208,209.
[46].
Johs Pedersen, op. cit. hlm.
157,159.
[47]. S.M.
Siahaan, op. cit., hlm. 12.