Selasa, 15 Maret 2016

Keadilan dan Kebenaran


KEADILAN DAN KEBENARAN
DALAM PEMBERITAAN NABI AMOS
(Studi Teologis Amos 5: 7, 24)

I.                   Pendahuluan
Pokok keadilan dan kebenaran adalah hal yang mendasar dalam hidup. Baik dalam kehidupan gereja maupun sosial, keadilan dan kebenaran tidak boleh diabaikan. Namun, sering yang terjadi adalah sebaliknya. Keadilan dan kebenaran itu belum dapat dinikmati oleh semua pihak. Walau demikian, keadilan dan kebenaran adalah keharusan. Itu yang dikehendaki Tuhan agar terwujud dalam kehidupan ini.
Perhatian ini dengan jelas ditunjukkan dalam pemberitaan para nabi. Masalah sosial menjadi salah satu persoalan yang penting dan diperhatikan dengan serius dalam pemberitaan para nabi Israel. Hampir semua kitab para nabi dalam PL menyampaikan firman TUHAN yang berkaitan dengan berbagai permasalahan di bidang ini. Salah satu di antaranya adalah Amos[1].
Nabi Amos yang bernubuat pada abad ke-8 sM menyoroti buruknya keadilan sosial di masa pemerintahan Raja Yerobeam bin Yosia (Yerobeam II) di Israel Utara. Masa pemerintahan raja ini sebenarnya dikenal sebagai “zaman keemasan” Kerajaan Israel Utara. Akan tetapi, dalam zaman keemasan itu terjadi degradasi moral dan etik dalam kehidupan sosial Israel. Hasil-hasil pembangunan bangsa hanya dinikmati oleh lapisan atas masyarakat. Rakyat jelata sama sekali tidak menikmati hasil pembangunan itu. Sebaliknya mereka mengalami penindasan dan perlakuan tak adil dalam kehidupan sehari-hari. Upacara dan perayaan agama berjalan dengan semarak. Tetapi orang miskin dan yang lemah diabaikan, ditindas dan ditekan[2]. Dalam kondisi yang demikian Tuhan mengutus Nabi Amos untuk mengecam perilaku golongan masyarakat Israel yang telah “menginjak-injak keadilan dan kebenaran”, dan menyerukan agar keadilan dan kebenaran “bergulung-gulung seperti air”.
Apakah makna keadilan dan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Amos tersebut? Apa yang dapat direfleksikan dari seruan Amos ini dalam kehidupan sekarang? Itulah yang akan digali dalam tulisan ini.

II.                Pemahaman tentang Keadilan dan Kebenaran
2.1.      Dalam Perjanjian Lama
Di dalam Perjanjian Lama kata yang dipakai untuk mengartikan “keadilan” dan “kebenaran” adalah misypat dan tsedaqa.
a.      Misypat
Misypat jpvm, terdapat 422 kali dalam Perjanjian Lama, tersebar di sebagian besar buku-buku Perjanjian Lama kecuali Ruth, Ester, Kidung Agung, Yoel, Obaja, Yunus, dan Nahum[3]. Arti dasar kata ini ialah, bahwa ada cara yang benar bagi seseorang untuk membawakan diri, dan cara yang benar untuk memperlakukan orang lain. Perangai atau tingkah laku ini dapat dipaksakan secara hukum. Dalam penggunaannya, myspat dapat memberi arti hak (Kel 23:6; Ul 10:18; Yes 49:4); keadilan (Kej 18:19; Ul 16:19; 2 Sam 8:15; Ayb 8:3; Yes 1:17); penghukuman (Mzm 105:5; Yer 51:9; Hos 5:1); peraturan (Kel 21:1; Ul 4:1; Yeh 5:6); hukum (Mzm 19:11; 103:6; 119:7). Misypat berarti juga keputusan yang tepat yang diberikan mengenai masalah-masalah yang sukar, khususnya oleh Urim dan Tumim (Kel 28:15; Bil 27:21; Ul 17:8-9; 1 Raj 3:28)[4].

b.      Tsedaqa
Kata dasar tsdq hqdc, digunakan 523 kali di dalam Perjanjian Lama. Sebagian besar terdapat dalam kitab nabi-nabi, Mazmur dan buku-buku hikmat, sementara dalam buku-buku sejarah lebih sedikit[5]. Kata ini mempunyai aneka pengertian. Pertama-tama kata ini mempunyai arti secara harafiah tetapi sesudah zaman para bapak leluhur tsedaqa mempunyai arti rohani, yaitu sesuai dengan suatu ukuran yang diterima. Misalnya, hidup Yakub yang memenuhi syarat-syarat perjanjiannya untuk menggembalakan domba Laban disebut tsedaqa (Kej 30:33, kejujuranku). Musa yang membicarakan batu-batu timbangan yang betul (Im 19:36) atau utuh dan tepat (Ul 25:15); tuntutan supaya para hakim Israel menghakimi dengan pengadilan yang adil (Ul 16:18,20) diterjemahkan dengan tsedeq[6].
Sesudah zaman Musa tsedaqa berarti kehendak Allah dan tindakan-tindakan yang diakibatkannya (Ul 32:4; Zef 3:5; Mzm 89:14); menggambarkan pemeliharaan Allah akan hidup manusia dan binatang (Mzm 36:7); menunjukkan perkataan Allah yang selalu benar dan memberitakan apa yang lurus (Ye 45:19). Tsedaqa kemudian menjabarkan ukuran susila yang dipakai Allah untuk mengukur tindak-tanduk manusia, secara khusus dibebankan kepada raja-raja (2 Sam 8:15; Yer 22:15b), tapi setiap orang benar juga diharapkan untuk melakukan tsedaqa (Mzm 119:121; Ams 1:3). Berhubungan dengan pemerintahan ilahi, keadilan dan kebenaran menunjuk khususnya pada hukuman (bnd. Kel 9:27; Hab 1:13; Ul 32:22)[7].
Sejak zaman para hakim, tsedaqa dipakai untuk menunjukkan tindakan-tindakan Allah bagi orang-orang yang dianggap layak menerimanya (Hak 5:1); dihubungkan dengan penebusan (bnd Mzm 31:1; 103:17; 143:1; Yes 45:21); sebagai pemberian Allah kepada mereka yang percaya (Hab 2:4; Yes 45:24,25; 54:17; Yer 31:23); mempunyai arti ‘kebaikan’ terutama berkaitan dengan sikap umat yang telah menerima kasih karunia (Yes 1:17; Yer 22:16). Kemudian sesudah zaman pembuangan, tsedaqa menjadi suatu istilah yang berarti sedekah, memberi uang kepada orang miskin (Dan 4:27; Mzm 112:9)[8].
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan tsedaqa, yaitu aman, khesed, syalom yang menandakan kondisi dari sesuatu hal yang umum, persekutuan atau hubungan komunal yang positip. Jika dihubungkan dengan emet/emuna menunjuk kepada hubungan yang teratur dengan alam (Mzm 85:12), dalam hubungan Allah dan manusia (Neh 9:33; Mzm 40:11; 96:13; 143:1; Hos 2:21,22); antara raja dan rakyat (Yes 11:5), dan di antara orang-orang secara umum (1 Sam 26:23; Ams 12:17; Yes 1:26). Kata aman dan tsedaqa menunjuk pada tindakan-tindakan yang sepadan dengan pengharapan yang positif dari seseorang atas keadaan sekitar. Dihubungkan dengan khesed maka khesed dan tsedaqa Allah artinya kemurahan hati. Keadilan Allah maupun raja dihubungkan dengan khesed (Mzm 85:11; 89:15). Sementara tsedeq dan syalom sama-sama mengambarkan keberuntungan, keadaan yang teratur (Mzm 35:27). Syalom juga menjadi hasil dari tsedaqa (Yes 32:17). Kemudian kata sejajar yang penting adalah yasa, kemurahan hatinya, campur tangan yang menyelamatkan sebagai suatu ekspresi dari kebenarannya (Yes 45:8; 51:5ff; 61:10 bnd Mzm 65:6; 71:2). Tetapi yang paling sejajar adalah dengan misypat. Kedua istilah itu selalu digunakan bersamaan dan sepertinya mempunyai arti yang sinonim[9]. Sementara dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaannya, pengertian keadilan dan kebenaran sangat dekat. Sehingga adakalanya penggunaan satu kata, terutama tsedaqa, dapat memberi makna tentang “keadilan dan kebenaran” itu sekaligus.

2.2.      Dalam Perjanjian Baru
Pada bagian ini penulis ini tidak akan menjelaskan secara lebih dalam tentang keadilan dan kebenaran di dalam Perjanjian Baru tetapi untuk menunjukkan istilah-istilah yang mempunyai arti keadilan dan kebenaran yang digunakan di dalam Perjanjian Baru.
Di dalam Perjanjian Baru, kata yang sepadan dengan tsedaqa adalah dikaiosune. Terdapat 94 kali. Biasanya kata ini diterjemahkan dengan ‘kebenaran’. Tetapi dalam beberapa bagian diterjemahkan sebagai ‘keadilan’ (2 Kor 6:7; 1 Tim 6:11; 2 Tim 2:22; Ibr 1:9; 2 Ptr 1:1); ‘kehendak Allah’ (Mat 3:5); ‘hidup keagamaan’ (Mat 5:20); ‘pembenaran’ (2 Kor 3:9); ‘perbuatan yang baik’ (Tit 3:5). Dikaiosune dapat berarti kebenaran karena menaati hukum Taurat dan kebenaran yang merupakan pemberian dari Tuhan. Paulus sangat membedakan keduanya. Kebenaran sebagai pemberian Tuhan diterima sebagai anugerah berdasarkan karya Kristus (Rm 5:17). Pemberian ini diberikan kepada setiap orang percaya (Rm 3:22) yang tidak bergantung pada tingkat menaati hukum Allah (Rm 3:21)[10]. Bagi Paulus, dikaiosune berada pada hubungan yang dekat kepada inti peristiwa keselamatan. Dalam persesuaian kepada tradisi Yahudi dan PL, Paulus melihat di dalam kebenaran itu bukan hanya suatu sifat etis Allah atau manusia, malah, dengan menyingung kepada manusia, kata itu berarti suatu karakteristik yang asasi yang mengijinkan seseorang berada pada hubungan dengan Allah dan manusia[11].
Kata selanjutnya di dalam Perjanjian Baru yang berkaitan dengan keadilan dan kebenaran adalah aletheia, yang menunjuk kepada kebenaran secara budi. Dalam Perjanjian Baru, kata ini banyak dipengaruhi oleh kata Ibarani emet[12]. Kata ini diartikan sebagai truth. Terdapat 109 kali di dalam Perjanjian Baru. Nuansa pengertian aletheia dengan bentuknya yang lain adalah benar dalam pengertian dapat dipercayai, tetap, nyata, asli dan setia, mengatakan yang benar (Gal 4:16); sungguh-sungguh, tulus dalam hal kasih (Ep 4:15)[13].

III.             Sejarah Penelitian Teologi: Keadilan dan Kebenaran menurut para ahli
3.1.      G. von Rad
Menurut von Rad sama sekali tidak ada konsep dalam PL dengan pengertian yang demikian sentral mengenai seluruh hubungan hidup manusia seperti pada kata tsedaqa. Kata itu adalah standar bukan hanya tentang hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan sesamanya, bahkan menjangkau hal-hal yang paling kecil, kata itu bahkan juga menjadi standar mengenai hubungan manusia dengan binatang-binatang dan lingkungan alamiahnya. Oleh karena itu von Rad mengatakan, “Tsedaqa dapat digambarkan sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan, sehingga atasnya seluruh kehidupan berjalan ketika kebenaran itu dilaksanakan selayaknya[14]. Dari sini dapat dilihat bahwa pemahaman von Rad tentang kebenaran didasarkan pada konsep “hubungan”.
Menurut von Rad pemahaman tentang tsedaqa tidak sepenuhnya tercakup dalam terjemahan Vulgata (iustitia), dan oleh bahasa Jerman Gerechtigkeit, sebagaimana yang berkembang di Barat, yang berarti tingkah laku manusia yang pantas terhadap suatu norma etik yang mutlak, suatu legalitas yang memperoleh norma-normanya dari ide keadilan yang mutlak. Dari norma yang mutlak ini, diperkirakan, lahir permintaan-permintaan yang mutlak dan tuntutan-tuntutan yang mutlak. Menyangkut kehidupan sosial, keadilan itu dipahami berkaitan dengan tuntutan-tuntutan ini dengan benar-benar tidak memihak dan menjaga agar setiap orang mendapat miliknya (iustitia distributive). Tetapi menurut von Rad, tidak ada jawaban yang memuaskan kepada pertanyaan mengenai norma mutlak yang dapat ditemukan dalam Perjanjian Lama. Von Rad setuju dengan H. Cremer yang mengakui ketidakmungkinan untuk menerapkan jalan pikiran ini kepada pemikiran Alkitabiah. Di mana pada faktanya Israel kuno tidak mengukur suatu garis tingkah laku atau tindakan melalui suatu norma ideal, tetapi dengan hubungan khusus di mana pasangan harus membuktikan dirinya benar pada saat itu[15].
Selanjutnya menurut von Rad, dalam kaitannya dengan Israel ada hubungan yang telah diberikan Yahweh kepada Israel, dan yang terutama dipelihara di dalam kultus. Ketika Israel memuji keadilan Yahweh, mereka bersyukur bahwa Yahweh berada di pihak mereka dan di dalam tindakan-Nya menyatakan diri-Nya kepada Israel. Nyanyian Debora berbicara tentang “perbuatan Yahweh yang adil”, tsedaqa yhwh dan dengan istilah ini dimaksudkan perbuatan-Nya yang menyelamatkan di dalam sejarah. Mencapai klimaksnya pada Deutro Yesaya di mana nabi menunjukkan tsedaqa itu menjadi suatu sinonim kepada keselamatan (yasa) yang dijelaskan oleh bahasa nyanyian (himne) (Yes 45:8; 46:13; 51:6,8). Penggunaan ini, menunjukkan istilah tsedaqa sudah menjadi suatu pengertian yang ditransfer, yaitu, dengan menunjuk kepada pengaruh dari kesetiaan Yahweh kepada hubungan itu. Atas hal ini Von Rad mengatakan, “Tetapi meskipun seluruh variabilitas yang membicarakan tentang kebenaran Yahweh, ekspresi yang diberikan adalah satu ide yang konstitutif kepada Israel – Kebenaran Yahweh bukan suatu norma, tetapi tindakan, dan tindakan inilah yang menganugerahkan keselamatan[16].
Berdasarkan apa yang disampaikan dalam kitab mazmur von Rad melihat bahwa suatu tempat khusus yang tepat untuk berbicara tentang keadilan dan kebenaran Yahweh adalah dalam gambaran teofani, dan ini juga adalah hal yang  cukup nyata untuk dilakukan, karena, di mana Yahweh menyatakan diriNya, kebenaranNya, bahwa kesetiaanNya atas perjanjian juga dinyatakan. “Tangan kananMu penuh dengan keadilan: Bukit Sion bersukacita” (Mzm 48:11). Individu juga dapat mengalami kebenaran dan keadilan Yahweh pada waktu dibutuhkan, dan menyaksikannya dalam nyanyian ucapan syukur (Mzm 40:11); dan dalam suatu nyanyian ratapan terdapat doa (Mzm 143:1; 71:2). Kebenaran Yahweh sebagai pengalaman individu juga adalah satu pokok pujian dan pernyataan dalam kultus (Mzm 22:31; 71:22)[17].
Menurut von Rad bukti kebenaran Yahweh diungkapkan dalam hukum atau perintah-Nya. Yahweh mengambil bagian dalam umat-Nya dan memberi bukti-bukti yang tegas tentang kebenaran-Nya; tetapi Ia juga mengeluarkan aturan-aturan hidup di mana hanya itu yang membuat manusia itu dapat hidup bersama-sama. Perintah-perintahnya bukan beberapa hukum yang sungguh-sungguh mutlak, tetapi hadiah yang murah hati yang menolong hidup secara tertib. Yahweh berada di tengah-tengah mereka sebagai tsedaqa. (bnd. Zef 3:5). Tsedaqa Yahweh adalah juga suatu peristiwa yang berkelanjutan yang diarahkan kepada Israel dan oleh karena itu adalah satu pokok pernyataan. Telah menjadi pendirian Israel bahwa seluruh kehidupan komunitasnya ditopang oleh suatu tsedaqa yang akan datang secara konstan yang mengalir menuju mereka (Mzm 50:6). Di sini keadilan Yahweh dipahami sebagai perintah-perintah-Nya, penyataan yang sungguh-sungguh secara teratur pada Bait di Yerusalem. Umat dengan senang hati mencintai perintah Allah yang sungguh-sungguh sebagai tsedaqim[18]. Untuk semuanya itu, perintah-perintah dan aturan-aturan hidup persekutuan adalah hanya satu bagian dari tsadiq yang agung yang terus menerus Yahweh wariskan kepada Israel. Tindakan-tindakan besar dalam sejarah dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan yang menunjukkan keadilan Yahweh. Tetapi tsadiq Yahweh adalah sesuatu yang aktif tidak hanya dalam ruang lingkup sejarah, tetapi juga bekerja di tempat-tempat yang dapat kita sebut “the realm of nature” (seluruh alam kehidupan; bnd. Joel 2:23f)[19].
Selanjutnya dalam pandangan von Rad, raja dan kerajaan menjadi titik fokus mengenai kebenaran di dalam Perjanjian Lama. Menurut von Rad ini tidak mengejutkan, karena sebagai pemimpin bangsa, raja dianggap sebagai penjamin dan pelindung dari segala sesuatu di negeri yang menciptakan kesetiaan di dalam hubungan persekutuan. Tetapi pada jabatan ini meskipun raja hanya sebagai mediator dan wali, raja bergantung pada fakta bahwa keadilan dan kebenaran diberikan kepadanya oleh Allah (Mzm 72:1). Pandangan iini direfleksikan lebih jelas pada nubuatan messianis dalam Yesaya 9:1ff - kharismata yang ajaib yang memampukan seorang yang diurapi menjadikan kehendak ilahi bagi keadilan berlaku dalam kerajaannya[20].
Dalam kaitan dengan individu, tsedaqa terkait dengan bagaimana individu-individu memahami keberadaan mereka sendiri mereka di hadapan Yahweh. Dalam Kejadian 15:6, ada penekanan bahwa iman dinilai sebagai kebenaran. Pada literatur berikutnya, tsedaqa individual dengan sepenuhnya sungguh berada dalam hubungan kepada Yahweh dan penyataanNya (Mzm 1; 73; 119). Dan ensesinya adalah bahwa seorang yang benar memelihara perintah-perintah-Nya. Tsedaqa menjadi suatu perasaan yang kuat dari individu dalam penyataan kehendak Yahweh, dan kontinuitas hubungan yang sejati dengan penyataan kehendak Yahweh[21].

3.2.      David H. Hinson
Menurut Hinson kebenaran Allah menjadi bagian yang mempengaruhi sejarah karena atas dasar kebenaran, TUHAN akan menghentikan kejahatan, dan akan mendirikan kebenaran pada hari-Nya. Pada waktu itu akan ada kedamaian dan keadilan di bumi (Yes 65:21; Mi 4:4). Mereka yang menolak jalan TUHAN tidak akan pernah dapat mengganggu kehidupan masyarakat, dan membawa penderitaan dan ketidakadilan. Mereka akan menghadap pengadilan (Zef 1:15), ketika orang benar akan menerima perintah baru di bawah pemerintahan Allah (Yoel 2:32). Seluruh tindakan Allah di tengah-tengah manusia pada akhirnya membawa pada satu waktu di mana semua orang akan melayani TUHAN (Yes 65:17)[22].
David F. Hinson kemudian menghubungkan ‘keadilan dan kebenaran’ dengan kesetiaan. Dalam Perjanjian Lama, kesetiaan Allah selalu dihubungkan dengan kebenaran-Nya (Mzm 85:11; Za 8:8). Oleh karena itu kebenaran berarti ‘yang sesuai kepada kehendak Allah’. Jadi, kebenaran Allah ditunjukkan oleh fakta bahwa Allah bertindak menurut maksud-Nya. Fakta bahwa Allah melakukan demikian adalah satu ukuran dari kesetiaan-Nya[23]. Atas dasar ini Hinson menegaskan bahwa kebenaran adalah apa yang sesuai dengan kehendak dan tujuan Allah. Hukum yang diberikan, khotbah dan pengajaran yang terdapat dalam Perjanjian Lama dimaksudkan untuk membantu manusia memahami apa yang Allah inginkan dari mereka, dan bagaimana mereka melayani-Nya dengan sangat baik[24].
Kemudian menurut Hinson kesetiaan Allah itu dinyatakan oleh fakta bahwa Ia selalu bertindak sesuai dengan maskud-Nya. Allah sungguh-sungguh dapat dipercaya dalam maksud kasih setia-Nya. Oleh karena itu siapa yang beriman kepada TUHAN akan menjadi sama-sama dapat dipercaya dalam hubungannya dengan orang lain. Mereka akan selalu memperhatikan kebaikan dari para sesamanya, sebab mereka sepakat untuk mengikuti pimpinan yang diberikan oleh Allah dalam hubungan-Nya dengan seluruh manusia. Dalam hal ini kesetiaan manusia ditunjukkan dalam perhatian tentang keadilan dan kebenaran[25]. Selanjutnya menurut Hinson, untuk membedakan ‘keadilan dan kebenaran’, kita dapat mengatakan bahwa keadilan adalah kualitas dari tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia yang baik dalam hubungannya dengan orang lain, sementara kebenaran adalah kualitas dari hati yang membuat tindakan-tindakan yang demikian mungkin terjadi[26].

3.3.      C. Barth
C. Barth menghubungkan keadilan dan kebenaran dengan makna pemilihan Allah terhadap Yerusalem. Salah satu makna pemilihan Yerusalem adalah sebagai Kota Daud, yakni sebagai kota kerajaan. Yerusalem terpanggil untuk berkembang sebagai suatu masyarakat yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Menurut Barth, Yerusalem telah menerima “modal” kebenaran dan keadilan dari atas, untuk diperkembangkan, bahkan dilipatgandakan dengan semangat dan usahanya sendiri. Barth mengatakan, “Sion/Yerusalem terpanggil untuk menjadi suatu “masyarakat yang penuh keadilan”, bukan hanya di bawah pemerintahan raja-raja, melainkan juga untuk seterusnya. Panggilannya di bidang keadilan sosial sudah menjadi sifatnya yang tetap sepanjang masa”[27]. Oleh karena itu Yerusalem menjadi benteng kebenaran dan keadilan. Tanggungjawab itu dipikul oleh para pemimpin dan raja yang memerintah di Yerusalem.
Selanjutnya Barth menguraikan bahwa pada masa Yesaya, Yerusalem melupakan panggilannya: “Bagaimana ini, kota yang dahulu setia sekarang sudah menjadi sundal! Tadinya penuh keadilan dan di situ selalu diam kebenaran, tetapi sekarang penuh pembunuh” (Yes 1:21). Oleh karena itu Yesaya menubuatkan berita pemusnahan yang akan menimpa kota itu karena para pemimpin dan raja tidak melaksanakan tanggungjawabnya (bnd. Yes 5:7)[28].
Hal yang sama juga terjadi pada masa Yeremia yang mengecam ketidaksetiaan bangsanya di bidang kebaktian (Yer 1–6) dan pemerintahan raja-raja yang curang serta perilaku masyarakat ibukota (Yer 21:1-23:8). Ia memperingatkan tuntutan Allah atas raja dan rakyat agar melakukan keadilan dan kebenaran (bnd Yer 22:2-3) dan hukuman karena raja dan rakyat tidak menghiraukan tuntutan itu (Yer 21:6; 25:29). Namun kemudian Yeremia menubuatkan tentang pemulihan kota itu untuk menjalani permulaan yang baru sebagai tempat kediaman kebenaran (Yer 31:23)[29].
Barth juga melihat bahwa kitab Mazmur sangat mengutamakan tema keadilan, walaupun menurut Barth keadilan itu tidak serta merta berhubungan dengan Yerusalem sebagai masyarakat kota yang bertanggungjawab di bidang keadilan sosial. Di mana menurut Barth tema keadilan dalam kitab Mazmur ada yang hanya menyangkut keadilan Allah selaku Raja dan Hakim atas umatNya dan atas dunia. Ada yang sematamata mengenai keadilan seorang manusia di depan Allahnya. Tetapi ada juga yang menyangkut di bidang persekutuan umat dan masyarakat, khususnya masyarakat Yerusalem. Di dalam kitab Mazmur terdapat protes atas keadaan masyarakat yang bertentangan dengan panggilan Yerusalem sebagai “benteng kebenaran dan keadilan”. Ditunjukkan dengan banyaknya jeritan dan keluh kesah orang-orang “kecil” dan “miskin”, “lemah”, “tertindas” dan “sengsara”  yang menyuarakan suara-suara protes dan amarah terhadap fitnah, kelaliman dan penindasan. Menurut Barth, kesaksian kitab Mazmur ini menunjukkan adanya suatu umat yang masih sadar akan panggilan Yerusalem, yang tetap berani membuka mulutnya demi keadilan, baik bagi dirinya maupun bagi sesamanya[30].

IV.             Keadilan dan Kebenaran dalam Pemberitaan Nabi Amos
4.1.      Pemanggilan dan Pengutusan Amos
Amos adalah seorang peternak domba dari Tekoa (Am 1:1), suatu desa di pinggiran gurun Yehuda, kira-kira 15 km di sebelah selatan Betlehem. Selain menggembalakan domba, ia memugut buah ara hutan, sejenis buah yang harus ditusuk atau dipotong segera sebelum menjadi masak supaya dapat dimakan. Menurut LaSor, karena pohon ara tidak terdapat di Tekoa, maka Amos menambah pendapatannya dengan pekerjaan musiman di sebelah barat Yehuda, tempat pohon buah ara hutan itu tumbuh (lih. 1 Raj 10:27)[31]. Oleh karena itu Amos juga dipandang sebagai seorang petani. Barangkali ia memiliki atau mengurus sebuah kebun ara hutan, yang banyak terdapat di daratan rendah ke jurusan Tasik Masin dan Laut Tengah[32].
Ada penafsir yang menganggap bahwa Amos bukanlah seorang petani biasa, tetapi seorang yang mengawasi peternakan domba yang diperlukan untuk Bait Suci di Yerusalem. Sebab itu, mungkin ia banyak bergaul dengan kalangan sekitar Bait Suci. Berdasarkan isi kitabnya, Boland menilai bahwa Amos mempunyai pengetahuan yang agak luas dan dalam, baik mengenai lapangan keagamaan maupun mengenai lapangan politik. Menurutnya semua pengetahuan itu tentulah tidak “diwahyukan” begitu saja kepadanya[33].
Informasi tentang pemanggilan dan pengutusan Amos sebagai nabi dapat dilihat dari Amos 7:15, “Tetapi TUHAN mengambil aku dari pekerjaan menggiring kambing domba dan TUHAN berfirman kepadaku: “Pergilah, bernubuatlah terhadap umat-Ku Israel”. Nats ini adalah jawaban Amos terhadap kecaman Amazia. Namun ada perdebatan di antara para ahli tentang keabsahan Amos sebagai nabi berdasarkan ayat sebelumnya “Aku ini bukan nabi dan aku ini tidak termasuk golongan nabi, melainkan aku ini seorang peternak dan pemungut buah ara hutan” (Am 7:14). Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan perkataan itu Amos menyangkal hubungannya dengan jabatan nabi. Tetapi yang lain menilai hal itu bertentangan dengan ayat 15. Oleh karena itu menurut mereka ayat 14 sebaiknya disertai keterangan waktu lampau menjadi, “Dulu aku ini bukan nabi”[34].
Bagi Boland ayat ini tidak untuk menyangkal kenabian Amos tetapi menunjukkan bahwa Amos bukan seorang nabi yang mencari nafkahnya dengan melakukan pekerjaan keagamaan. Amos adalah termasuk “kaum awam” dan hidup dari pencahariannya sehari-hari sebagai seorang “peternak” atau “petani”[35]. Ia tidak ada hubungannya dan tidak sama dengan nabi-nabi yang ada pada waktu itu. Ia bukan menjadi nabi supaya ia dapat hidup dari “bernubuat”. Ia mempunyai cukup penghasilan dari pekerjaannya sehari-hari. Oleh karena itu Amos tidak mau dianggap sebagai “nabi” tetapi sebagai seorang “petani”. Ia menjadi nabi bukan karena ia sendiri menyukainya, tetapi karena Tuhan yang memanggil dan mengutusnya[36].
Menurut Andrew E. Hill dkk, pernyataan ini menekankan pemisahan diri Amos dari lembaga-lembaga formal seperti lingkungan istana bait suci[37]. Hal yang sama disampaikan oleh Barnabas Ludji. Menurut Ludji pernyataan itu menunjukkan bahwa Amos tidak termasuk golongan nabi kerajaan atau nabi kultus yang ada pada waktu itu. Walaupun demikian Amos adalah seorang nabi, karena ia menjalankan fungsi kenabian Tuhan yang sesungguhnya. Isi nubuat atau pemberitaannya Amos telah mengukuhkan dirinya sebagai nabi Tuhan yang sesungguhnya, walaupun ia tidak memiliki pengakuan resmi dari kerajaan[38].
Dalam pandangan von Rad pemanggilan Yahweh terhadap Amos, seorang yang mencukupkan dirinya dari bertani menjadi bagian dari nabi-nabi, menunjukkan sisi panggilan yang pelik/luar biasa dari Yahweh. Tindakan Yahweh ini juga menunjukkan suatu kondisi darurat oleh karena itu, Yahweh mendobrak dengan memakai seorang petani. Kata-kata yang dimuculkan yang menimbulkan perdebatan dan memberi kesan bahwa dia bukan seorang nabi dan bukan bagian dari serikat nabi manapun, tidak bermaksud sebagai celaan tentang nebiim sebagai satu kelas, tetapi hanya untuk menjelaskan fakta yang aneh/asing bahwa dia tiba-tiba mulai berbicara oleh wahyu (Am 7:15) di dalam keberadaan Amos sebagai seorang petani yang tidak berhak melakukan demikian[39].
Pendapat lainnya adalah seperti yang di sampaikan oleh LaSor, dkk. Menurut mereka perkataan itu mengisyaratkan bahwa Amos adalah seorang nabi profesional dalam menanggapi penghinaan Amazia, imam Betel, yang berkata kepada Amos, “Pelihat, pergilah, enyahlah ke tanah Yehuda! Carilah makanmu di sana dan bernubuatlah di sana! Tetapi jangan bernubuat lagi di Betel, sebab inilah tempat kudus raja, inilah bait suci kerajaan” (Am 7:12,13)[40]. Dengan demikian Amos 7:15 menyatakan Amos sebagai nabi yang tidak bergantung pada nama atau jabatan nabi (bnd. ay. 14) tetapi pada apa yang harus dikerjakan atas dasar perintah Tuhan. Pernyataan itu menegaskan bahwa Amos tidak mau dan tidak akan pernah menjadi bagian dari kelompok nabi yang memakai kenabiannya untuk mencari keuntungan pribadi.
Atas dasar panggilan itu Amos melaksanakan tugasnya untuk bernubuat. Ia bernubuat di Israel Utara pada masa pemerintahan Raja Yerobeam II (793-753 sM atau 787-736 sM). Ketidakpastian masa pemerintahan Yerobeam II juga membuat masa atau lamanya Amos bernubuat tidak diketahui dengan pasti. Ada yang berpendapat beberapa tahun bahkan beberapa bulan. Ada berpendapat antara 750-748 sM, yaitu beberapa saat menjelang kematian Yerobeam. Ada yang memperhitungkan antara tahun 760 dan 750 sM[41]. Berdasarkan Amos 1:1 disebutkan pada zaman Uzia, raja Yehuda, dan dalam zaman Yerobeam, anak Yoas, raja Israel, dua tahun sebelum gempa bumi.

4.2.      Kitab Amos
Kitab Amos adalah kitab pertama yang menyimpan nubuat nabi di dalam sebuah kitab sesuai dengan nama nabi yang bernubuat. Namun, kitab Amos tentu tidak begitu saja ditulis oleh Amos dan segera dibukukan sesudah Amos mengucapkan nubuatnya. Ada jarak waktu antara nubuat Amos dan terjadinya kitab Amos. Menurut Boland, sedikitnya ada tiga sumber penulisan kitab Amos: ada bagian-bagian yang berdasarkan catatan sendiri atau didiktekan kepada seorang jurutulis; boleh jadi ada sejumlah orang yang masing-masing telah menghafalkan atau mencatat perkataan-perkataan atau pokok tertentu dari nubuat Amos; dan mungkin ada seorang teman yang telah mencatatkan dengan teliti peristiwa yang terjadi di Betel[42]. Dalam hal ini penulisan kitab Amos tidak terlepas dari pekerjaan redaktur-redaktur hingga mencapai bentuknya seperti yang ada sekarang.
Tentang isi kitab Amos, para ahli membagi kitab Amos ke dalam tiga bagian. Pertama (pasal 1-2) yaitu nubuat-nubuat terhadap bangsa-bangsa lain, terhadap Yehuda dan Israel. Kedua (pasal 3-6) yaitu berita mengenai tampilnya Amos sebagai nabi, perintah Allah kepada Amos untuk bernubuat terhadap Israel. Ketiga (pasal 7-9) yaitu lima penglihatan yang mengandung hukuman[43].
Mengenai Amos 5, pasal ini terletak pada bagian Amos 3 – 6. Menurut Barth bagian ini seluruhnya terdiri atas perkataan-perkataan Amos, di mana sebagian mungkin telah diucapkan di ibukota, di Samaria, sebagian lagi di Betel, tempat bait kerajaan itu (3:9-4:3; 6:1-14). Pada bagian ini terdapat firman-firman ancaman berisi berita penghukuman, silih berganti dengan kata-kata kecaman yang mengalaskan penghukuman itu; dan pada bagian lain muncul unsur peringatan. Selain itu terdapat beberapa potongan naskah yang bercorak puji-pujian yang mungkin masuk di kemudian hari (4:13; 5:8-9)[44].
Secara khusus mengenai ayat 7 dan 24 ada beberapa pandangan yang diberikan para ahli tentang judul perikop di mana ayat itu berada. Menurut Barth Amos 5:7 merupakan bagian dari kecaman yang menempelak sistem masyarakat waktu itu; dan Amos 5:24 adalah peringatan terhadap ibadah orang Israel[45]. Hans Walter Wolff menempatkan ayat 7 pada perikop mengenai “Ratapan kematian atas Israel” (5:1-17) dan secara khusus menghubungkan ayat 7 tersebut dengan ayat 10 yang menunjukkan suatu “orakel celaka”. Sementara ayat 24 berada pada perikop “Penolakan Ibadah” (5:21-27) dan secara khusus dihubungkan dengan ayat 23[46]. Sementara J.A. Motyer menempatkan ayat 7 pada bagian dengan judul “Allah membuat suatu perbedaan” (5:6-13); dan ayat 24 pada bagian yang membahas mengenai “Agama di dalam kotak”(5:21-27)[47]. Bernard Thorogood menempatkan ayat 7 pada perikop yang menekankan “Pilihan yang diperhadapkan kepada Israel” (5:1-17), dan ayat 24 pada bagian mengenai “Hukum yang akan datang” (5:18-27)[48]. Dari sini penulis menyimpulkan sementara bahwa banyak hal yang terkait dengan pokok “keadilan dan kebenaran” yang disuarakan oleh Amos yang intinya menekankan betapa pentingnya “keadilan dan kebenaran” itu diwujudkan.

4.3.      Situasi kondisi bangsa Israel pada zaman Amos
Kerajaan Israel Utara pada masa pemerintahan Yerobeam II menikmati “zaman keemasan” di bidang politik, militer, ekonomi dan pertanian. Seakan-akan timbul suatu zaman baik, zaman penuh kemakmuran. Perdagangan luar negeri hidup kembali. Di ibu kota Samaria penduduk merasa aman dan senang dihinggapi perasaan kebanggaan nasional. Di pusat-pusat keagamaan dilaksanakan perjamuan dan pesta-pesta dengan kurban-kurban dan nyanyian. Keadaan Israel pada masa itu (antara 760 dan 750 sM) sangat memuaskan. Namun, kondisi itu tidak tidak didukung oleh hidup keagamaan yang benar dan keadaan sosial di tengah-tengah bangsa itu karena yang menikmati kemakmuran itu hanyalah golongan atas dan para penguasa sementara orang lemah dan miskin tertindas. Kondisi itu dapat kita lihat dari apa yang dijabarkan oleh Mawene dan Ludji[49].

a.      Bidang politik dan militer
Kemajuan di bidang politik dan militer dimungkinkan karena pada masa itu bangsa-bangsa di sekitarnya mengalami kesulitan-kesulitan politik dalam negerinya masing-masing. Kerajaan Mesir mengalami masa-masa kemunduran karena lemahnya kepemimpinan para firaunnya. Kerajaan Asyur, mengalami kesulitan politik dalam negeri dan terlibat konflik dengan kerajaan-kerajaan tetangganya (Babilonia, Media, dan Uratu). Keadaan ini menghasilkan kondisi yang relatif aman selama setengah abad lamanya (800-745 sM) di kawasan yang dalam peta Asia Barat Daya kuno dikenal sebagai Tanah Bulan Sabit yang subur (the fertile crescent).
Kesempatan ini digunakan dengan baik oleh ayah Yerobeam II (Raja Yoas bin Yoahas) dengan merebut kembali daerah-daerah Israel yang terletak di utara dari tangan Siria. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Yerobeam II dengan merebut daerah-daerah di sebelah timur yang sebelumnya dikuasai Siria. Dengan demikian, ia berhasil menguasai suatu wilayah yang luas yang terbentang dari Hamat di Siria Tengah sampai ke Laut Araba, yakni Laut Mati (2 Raj 14:25; bnd. Am 6:14). Israel Utara kemudian tampil sebagai sebagai suatu negara yang kuat secara militer dan politik, dan disegani oleh negara-negara tetangganya. Kemenangan-kemenangan militer ini telah menumbuhkan rasa percaya diri dan kebanggaan nasional yang besar pada masyarakat Israel Utara (bnd. Am 6:13).

b.      Ekonomi
Kestabilan di bidang politik telah memungkinkan kerajaan Israel Utara mengembangkan ekonominya ke arah yang lebih maju. Kemajuan di bidang ekonomi ditandai dengan kemajuan di bidang agraris dan perdagangan. Sebagai negara agraris, kehidupan dan pembangunan sektor pertanian di Israel Utara berjalan dengan sangat baik. Kebun-kebun anggur pun banyak diusahakan, bahkan terkesan mewah (bnd Am 5:11). Hasil perkebunan ara dan zaitun tidak terhitung banyaknya (bnd. Am 4:9). Sektor peternakan yang dikembangkan di Lembah Basan, maju dengan pesat. Pertumbuhan ekonomi dan perdagangan maju dengan pesat (bnd Am 8:5a). Ditandai dengan gaya hidup bermewah-mewah yang melanda golongan atas dan menengah dalam masyarakat Israel Utara. Terjadi perubahan taraf hidup terutama di kalangan masyarakat atas Israel Utara yang terdiri dari raja, para bangsawan, dan para pedagang (Am 3:15; 5:11).

c.       Kehidupan sosial
Kemajauan di bidang politik dan ekonomi ternyata tidak diimbangi dengan politik pembangunan yang tepat di bidang pemerataan hasil-hasil pembangunan bangsa. Segala hasil pembangunan hanya dinikmati oleh kelompok atas (elite). Sebagian besar masyarakat yaitu rakyat kecil tidak menikmati kemajuan tersebut. Tidak ada keadilan dan kesadaran berbuat adil dari para elite masyarakat Israel Utara. Para penguasa dan kroni-kroninya menyalahgunakan kekuasaan mereka. Timbul sikap hidup bermewah-mewah di kalangan kelompok elite masyarakat Israel (Am 6:4-6) di tengah-tengah kemelaratan rakyat jelata. Praktik-praktik ketidakadilan, baik di bidang sosial maupun di bidang hukum berlangsung secara meluas. Terjadi pelanggaran-pelanggaran hukum berupa perampasan tanah hak milik orang-orang kecil dan penindasan kepada kelompok kecil dan lemah (Am 2:6; 5:11; 8:4-6). Pelanggaran-pelangaran terhadap Hukum Taurat (Torah) sebagai sistem hukum mayarakat sering terjadi (Am 2:4; 4:1; 5:11a; 5:12). Kaum pedagang hanya menaruh perhatian pada kemajuan usaha dan upaya memperoleh untung yang sebesar-besarnya (Am 8:5a), menjual barang dagangan kadaluarsa (Am 8:6c), memalsukan timbangan (Am 8:5b), mengandalkan uang untuk menguasai orang lain (Am 8:6a-b). Terjadi praktik perbudakan (Am 2:6b; 8:6) akibat kesulitan hidup atau akibat ketidakmampuan membayar kembali utang. Pelacuran berkembang (Am 2:7b) karena tekanan ekonomi dan berkembangnya agama-agama kesuburan tradisional Kanaan. Timbul sikap antipati terhadap kebenaran dan siapa saja yang menyuarakannya. Para nazir dilarang bernubuat degan cara menyogok atau memaksa mereka minum anggur sampai mabuk (Am 2:12), atau dengan mengancam mereka (bnd. Am 7:10-12).

d.      Bidang keagamaan
Keadaan politik yang baik dan kondisi ekonomi yang stabil yang menciptakan kemakmuran hidup berhasil menyemarakkan kehidupan ritual keagamaan bangsa Israel. Bangsa Israel sangat bersemangat dan bergairah melakukan ritual dan perayaan keagamaan dengan kurban-kurban yang banyak dan nyanyian yang semarak (Am 4:4-5; 5:21-26). Tempat-tempat ibadah ramai dikunjungi dan kegiatan-kegiatan pemujaan di pusta peribadahan (Dan, Betel dan Gilgal) berjalan dengan lancer. Akan tetapi pada saat itu juga berkembang sinkritisme sejalan dengan berkembangnya teknologi pertanian yang bersumber dari agama-agama kesuburan Kanaan. Penyembahan Dewa Baal dan Dewi Asima menjadi marak, bahkan cenderung menjadi agama resmi di Israel Utara di samping agama Israel yang Yahwistis. Ibadah kepada Yahweh menjadi ibadah yang sangat formalistis dan sinkritistis. Bangsa Israel beranggapan bahwa dengan ibadah dan kurban, mereka sudah memenuhi tuntutan Tuhan dan dapat menyenangkan hati Tuhan. Akan tetapi, hal itu tidak sejalan dengan tingkah laku hidup sehari-hari bangsa itu yang penuh dengan ketidakadilan dan penindasan.

4.4.      Makna Keadilan dan Kebenaran dalam Pemberitaan Nabi Amos
4.4.1.      Amos 5: 7
Pada ayat ini terkandung salah satu pokok pikiran utama dari pemberitaan Amos, yaitu perlawanan keagamaan (bukan perlawanan atas dasar suatu program politik) terhadap kenyataan bahwa negara hukum di Israel diperkosa, yaitu bahwa peradilan adalah korup (bobrok). Peradilan disebut korup karena hakim-hakim bersekongkol dengan orang-orang kaya dan orang-orang terkemuka, sehingga untuk orang kecil, yang miskin dan lemah, tidak ada keadilan dan tidak terdapat perlindungan[50].
Sama seperti pada 5:18 dan 6:1, pada ayat ini Amos menyampaikan tuntutan kepada mereka yang harus mengadili (hakim-hakim, para tua-tua, dll). Tuntutan yang harus dipenuhi adalah seperti yang terdapat dalam Ulangan 16:18-20, yakni: peradilan yang adil, dengan tidak membelokkan hukum (tidak mengadili suatu perkara dengan curang), dengan tidak pandang bulu, dengan tidak menerima pemberian atau uang suap. Hal ini sudah disinggung oleh Amos dalam 2:6-7 di mana pada ayat ini dibicarakan lebih dalam lagi[51].
Perkataan “mengubah keadilan menjadi ipuh” menggambarkan tindakan hakim-hakim yang memperkosa hukum sedemikian, hingga keadilan yang seharusnya ditumbuhkan sebagai tetumbuhan yang bertunaskan keselamatan (bnd. Yes 45:8) menjadi berganti dengan tumbuhan yang berupas (bnd. 6:12). Menurut Boland, tindakan itu juga mengartikan bahwa hakim mencampakkan kebenaran (dalam arti “keadilan”) ke tanah lau menginjak-injaknya sebagai sesuatu yang tidak berharga. Ini yang dimaksudkan dalam kalimat “menghempaskan kebenaran ke tanah”. Hal ini terjadi sebab hakim-hakim tidak menghiraukan kebenaran dan keadilan, tetapi hanya uang suap (ay. 12)[52]. Dalam hal ini Boland memandang bahwa perkataan “mengubah keadilan menjadi ipuh” dan “menghempaskan kebenaran ke tanah” sama-sama menggambarkan bagaimana hakim-hakim pada masa Amos lebih mementingkan uang suap untuk keuntungan diri sendiri dan pihak tertentu daripada keadilan dan kebenaran yang dituntut oleh Tuhan dan dibutuhkan oleh semua pihak.
Menurut J.A. Motyer, ayat ini menunjuk pada orang-orang yang menolak perubahan. Hal itu sudah diperlihatkan walaupun ayat ini tidak ditempatkan sebelum ayat 10. Di sini Amos menyingkapkan sebuah agama yang membiarkan kehidupan tidak disentuh. Bangsa Israel sebatas pergi ke tempat ibadah, dan bernyanyi, tetapi sungguh tidak ada perubahan dalam kehidupan. Keadilan masih tetap berubah asam (7a, 12c) dan kebenaran masih dilemparkan (76, 12b) ke tanah. Oleh karena itu, kegagalan terletak bukan pada janji-janji Betel maupun Allah di Betel, tetapi pada kesengajaan yang tidak ingin berubah dari pelanggaran hukum dan kejahatan[53].
Sementara Bernard Thorogood menilai ayat 7 sepertinya tidak sempurna dalam bahasa Ibrani, dan menurutnya beberapa sarjana berpikir bahwa ayat itu seharusnya dihubungkan dengan ayat 10. Thorogood memandang ayat ini termasuk kepada nubuatan woe-cry, ‘tangisan celaka’ di mana Amos barangkali secara langsung menuduh pendengarnya mengenai “mengubah keadilan menjadi ipuh” dan mungkin dia mengatakan “woe” kepada mereka yang melakukan demikian[54].
Pandangan yang sama disampaikan oleh Hans Walter Wolff. Menurutnya, sama seperti Amos 5:2-3 dan 4-5 berkisar seputar tujuan Israel yang fatal, demikian juga unsur pengantar dari 5:7 barangkali mengulangi kata kunci untuk ratapan kematian, bahwa “woe[55]” pada dasarnya membuka nubuatan ini[56]. Fungsi dari perkataan ini adalah untuk mengatakan peringatan terhadap cara yang membawa kepada kematian, fungsi ini menjelaskan mengapa 5:7+10 menggambarkan satu kesatuan nubuatan yang dekat. Dengan demikian menurut Wolff, mereka yang melanggar keadilan, myspat dan kebenaran tsedaqa telah membawa Israel ke jalan kematian[57].
Selanjutnya menurut Wolff, pasangan kata myspat dan tsedaqa adalah inti yang penting dalam Amos. Kata itu berulang-ulang muncul dalam pernyataan yang paralel dalam Amos 5:24 dan 6:12, dan keadilan muncul sendiri pada terjemahan berikutnya dalam 5:15. Mungkin mengejutkan bahwa pasangan kata ini benar-benar tidak dikenal dalam undang-undang Israel kuno dalam Pentateukh. Akan tetapi, pernyataan paralel dengan cara yang sama, dijumpai dalam bahan hikmat tua (Amsal 16: 8; 21:3). Hikmat bahkan berkata-kata tentang dirinya di dalam kebenaran dan keadilan (Amsal 8:20). Oleh karena itu tidak mengejutkan bahwa kemudian seluruh hikmat dapat diringkas dengan pasangan kata ini (Amsal 1:3; 2:9 bnd. Kej 18:19). Wolff menilai bahwa alasan yang mendorong di belakang hikmat amsal Israel adalah bahwa umat seharusnya tidak meniadakan keadilan dan kebenaran. Setelah Amos kejadian berikut yang terdata dari pasangan kata ini adalah dalam Jesaya, yang menuduh Israel telah menyianyiakan dan merusak pemberian ini (Yes 1:21; 5:7; 28:17). Kemudian pada zaman Yosia, keadilan dan kebenaran dilaksanakan dengan tegas untuk kebaikan orang miskin dan tertindas (Yer 22:16-17). Hal yang sama diberikan dalam mazmur Raja Mazmur 72 (ay 1-4, 12-14). Atas dasar itu, Wolff menilai bahwa rangkaian tradisi yang disketsakan disini seharusnya cukup untuk menjadikan jelas bahwa Amos berdiri dengan dekat pada sumber sejarah mengenai pasangan kata itu di Israel[58].
Keadilan yang dimaksudkan oleh Amos adalah yang diputuskan terjadi di pintu gerbang (5:10 bnd 5:15). Amos tidak berbicara seperti Hosea zaman sesudah dia, tentang fungsi istana kerajaan dan imam-imam untuk bekerja dalam pelaksanaan hukum. Dengan keadilan itu Amos bermaksud bahwa aturan yang menegakkan dan memelihara kedamaian di bawah hukum; direalisasikan  dalam praktek melalui keputusan-keputusan tegas yang dibuat di pintu gerbang. Penegasan Amos akan hal ini karena masalah-masalah hukum lokal diatur di pintu gerbang. Sementara kebenaran yang dimaksudkan oleh Amos adalah menunjuk pada tingkah laku sehubungan dengan aturan ini, yaitu kesediaan seseorang di mana dirinya sendiri menurut hukum adalah berhak (tsadiq) untuk membela orang benar yang dituduh dengan tidak adil (bnd 2:6; 5:12)[59].
Namun apa yang terjadi adalah sebaliknya. Amos meratapi mereka yang mengubah aturan hukum menjadi sebaliknya, maka keadilan menjadi ipuh (ungkapan kata kerja yang sama dijumpai dalam Amos 5:8; 6:12; 8:10 dan di tempat lain dalam PL). Ipuh adalah semacam semak-semak kecil yang tingginya dapat mencapai 1,2 m dan daun-daun bertangkai yang sempurna, tumbuh subur di daerah sepanjang Spanyol melewati utara Afrika dan sejauh Iran. Pada awal musim dingin mekar dan berbuah. Di Palestina tumbuh terutama di Negeb, di hutan belantara Yehuda, dan wilayah Tarnsjordan. Dikenal karena daging buahnya yang sangat pahit (bnd. Amsal 5:4) tetapi tidak beracun. Tetapi karena dihubungkan dengan rasa yang menjijikkan, tumbuhan itu selalu muncul disejajarkan dengan racun (6:12; Ul 29:17 (18); Yer 23:15; Rat 3:19). Kata itu menggambarkan kondisi tak bertuhan (Ul 29:17/18), tentang seorang yang dibawa ke pembuangan (Yer 9:14-15) dan tentang seseorang dalam sengsara kematian (Rat 3:19). Itu terjadi karena ‘kebenaran dihempaskan ke tanah0. Perkataan ‘kebenaran dihempaskan ke tanah’ memakai suatu metafora yang baru. Jika dibandingkan dengan Yesaya 28:2, ungkapan yang sama digunakan untuk akibat yang bersifat merusak seperti dari banjir. Gambaran ini menunjukkan bahwa apa yang terjadi kepada orang yang tidak bersalah benar-benar nyata di tengah kehidupan bangsa itu. Karena bagaimanapun juga, sepanjang umat menyebut yang baik itu jahat dan yang jahat itu baik, mereka mengubah yang manis menjadi pahit[60]. Artinya perkataan Amos menunjukkan suatu fakta yang benar-benar terjadi di tengah-tengah bangsa itu. Dengan demikian menurut Wolff, keputusan dan aturan yang sesuai dengan hukum adalah sebagai ramuan obat yang telah Yahweh wariskan sebagi tujuan dari pemulihan mereka yang diperlakukan secara tidak adil dan pembebasan bagi mereka yang ditindas; karena keadilan dan kebenaran itu berasal dari Yahweh.
4.4.2.      Amos 5: 24
Boland menilai bahwa ayat ini memakai perumpamaan atau kiasan yang agak aneh, karena dikatakan keadilan dan kebenaran bergulung-gulung seperti air dalam sungai yang selalu mengalir. Dalam hal inilah menurut Boland para penafsir dengan mengingat Yesaya 28:17[61], menganggap ayat ini sebagai pemberitahuan hukuman. Di mana kata-kata “Tetapi biarlah” pada permulaan kalimat dapat dicoret atau diganti dengan kata “akan”. Sehingga tafsirannya menjadi: keadilan akan menggulung seperti air bah, yang akan menggulung segala ketidakadilan di atas bumi[62].
Namun bagi Boland, ada cukup alasan untuk menterjemahkan dan menjelaskan nas secara lain, yaitu sesuai dengan inti pokok pemberitaan Amos. Amos menentang “kesalehan” orang-orang yang dengan rajin turut serta dalam upacara ibadat (lebih-lebih orang kaya), tetapi dalam praktek hidup sehari-hari tidak menghiraukan Allah dan hukum-Nya. Menurut Boland di sini Amos mengulangi: Allah menghendaki bahwa di bumi, lebih-lebih di antara umat-Nya, ditegakkan kebenaran dan keadilan. Keadilan itu haruslah dijalankan terus menerus, tak henti-hentinya. Oleh karena itu ayat ini dapat ditafsirkan dengan mengingat Amos 5:14-15; Yesaya 1:10-17; 1 Samuel 15:22-23; Hosea 6:6; Matius 9:13[63].
Berbeda dengan Boland, T.C. Witney dan B.F. Price tetap melihat ayat itu sebagai hukuman di mana keadilan yang bergulung-gulung adalah tindakan Allah terhadap orang-orang yang melakukan kejahatan dan penindasan. Witney dan Price menuliskan “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air…. Dan biarlah air keadilan dan kebenaran itu membersihkan seluruh penindas orang miskin, pembohong, yang melakukan ketidakdilan, penyembahan berhala, dan yang memberi dan menerima suap, yang dibenci oleh Yahweh. Tidak lebih dan tidak kurang inilah yang diminta oleh Allah yang kudus". Menurut mereka hal yang sama juga dikatakan oleh nabi-nabi lainnya (khususnya Mika 6:6-13; Yes 1:10-20; 58:1-7)[64]. Hal yang sama juga disampaikan oleh Wolff bahwa jika ayat 24 mengawali ancaman hukuman, maka “keadilan dan kebenaran” harus diterjemahkan menunjuk pada tindakan Yahweh, di mana makna yang demikian dari kata itu tidak ditemukan pada bagian lain dari Amos (bnd. 5:7; 6:12) [65].
Sementara menurut Motyer ungkapan-ungkapan yang Amos gunakan pada ayat 24 berbicara tentang keadaaan berlimpah (bergulung-gulung seperti air) dan keabadian (sungai yang selalu mengalir). Namun Motyer mengakui bahwa kadang-kadang gambaran air yang dicurahkan digunakan di dalam Alkitab adalah tentang penyucian hidup kepada Allah (bnd 1 Sam 7:6; 2 Sam 23:16). Bahwa seolah-olah hal air yang dicurahkan melambangkan arah kemana selanjutnya seluruh energi kehidupan disalurkan. Jadi boleh ditambahkan ide penafsiran atas Amos, bahwa kemudian Allah mencari kehidupan yang energinya berkelimpahan dan terus menerus, mengalir di dalam kebenaran dan keadilan: berkembang dan memegang prinsip-prinsip moral hidup yang logis, dan mempraktekkan prinsip-prinsip ini dalam perilaku pribadi dan sosial. Oleh karena itu agama menjadi tanpa makna kecuali alirannya adalah keadilan dan kebenaran[66].
Jika dilihat dari hubungan dengan ayat sebelumnya, menurut Thorogood ayat 24 bersama-sama dengan ayat-ayat sebelumnya (ay 21-24) memuat kata-kata yang sangat keras mengenai cara bagaimana bangsa Israel biasanya beribadah. Amos menyatakan bahwa Allah menolak pesta, perayaan, kurban, dan musik yang berhubungan dengan ibadah pada tempat kudus. Apa yang sungguh-sungguh Ia inginkan adalah bahwa Israel menyatakan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan pribadi dan nasional. Kurban yang disebutkan oleh Amos bukanlah kebiasaan yang baru diperkenalkan oleh bangsa Israel pada masanya. Itu adalah bagian dari tradisi tua yang mana laporannya dapat kita temukan dalam Pentateukh.  Waktu-waktu khusus untuk membuat kurban bakaran terdapat pada Keluaran 29:38-42; aturan untuk membuat kurban hasil tanaman ditetapkan dalam Imamat 2; dan aturan tentang korban pendamaian terdapat pada Imamat 3. Oleh karena itu, adalah  mungkin, bahwa praktek-praktek itu telah dimulai sebagai satu cara di mana orang-orang dapat menunjukkan ungkapan syukur dan ketaatan kepada Allah, dan ketergantungan mereka kepada Allah. Tetapi pada masa Amos, sistim kurban menjadi tidak berharga, dan tidak lagi yang menolong umat untuk melakukan kehendak Allah. Menurut Thorogood kesalahan yang terjadi adalah:
a.             Umat telah mulai beribadah kepada dewa-dewa, “patung-patungmu” (5:26), pada tempat kudus, sebagai ganti pemujaan kepada Allah .
b.            Pada tempat kudus umat bertindak dengan cara-cara yang menunjukkan bahwa mereka berpikir kesenangan mereka lebih penting dari menyenangkan Allah (2:8)
c.             Umat menjadikan kurban semata-mata sebagai satu pertunjukan, dan tidak berasal dari kasih kepada Allah (4:5)
d.            Kurban yang diberikan pada tempat kudus tidak menggambarkan persembahan hidup mereka. Tidak sejalan dengan cara hidup bagaimana seharusnya (23,24)
Masalah ini ternyata bukan hanya menjadi perhatian Amos sendiri setelah Amos muncul nabi-nabi lain berbicara tentang bahaya dari agama palsu ini: Yesaya 1: 11, Mika 6:8; bahkan Yesus juga mengecam hal yang sama (Mat 23:23)[67].
Ini mendukung apa yang disampaikan oleh Motyer yang melihat bahwa masalah dengan Gilgal adalah bahwa umat memelihara agama mereka di dalam sebuah kotak, suatu ruangan yang dimeterai tanpa komunikasi keluar. Tidak menciptakan perubahan pada hidup sebelum dan sesudahnya, oleh karena itu tidak ada artinya di hadapan Allah. Tetapi kondisi ini tidak pernah menjadi maksud Allah atas umat-Nya. Oleh karena itu menurut Motyer, jika umat memperbaiki hal-hal yang dilupakan dan mengarahkan agamanya kepada hal-hal yang seharusnya dan kepada maksud Allah, Ia kemudian akan menarik kembali kekecewaan-Nya dan membuat ketaatan agama mereka menjadi berarti oleh penerimaanNya dan menggembirakan hati mereka. Kalau saja mereka menyadari diri mereka sebagai orang berdosa sungguh pasti ada perwujudan yang jelas bahwa agama mengikat mereka pada suatu perubahan cara hidup. Kalau saja mereka menyadari Allah yang kudus, sudah pasti mereka akan menemukan suatu tekanan untuk menjalankan kehidupan mereka menurut karakter dan kehendak yang Dia nyatakan[68].
Sikap yang demikian tentu akan sejalan dengan kurban yang Israel persembahkan pada tempat-tempat kudus. Dengan demikian bangsa Israel perlu menghidupi pemahaman yang jelas tentang pengertian dari kurban yang sesungguhnya. Pengertian yang mendasar dari kurban bakaran adalah penyucian total kepada Allah (bnd Kej 22:12). Pengertian mendasar dari korban pendamaian adalah persekutuan, kepada Allah dan terhadap orang lain (bnd. Ul 16:10-12), secara khusus kepada mereka yang tidak berdaya, yang tidak dipedulikan. Apakah kegunaan dari kurban-kurban penyucian yang tidak berhubungan dengan penyucian hidup kepada kebenaran, atau tentang persekutuan kurban-kurban yang tidak berkaitan dengan persekutuan keadilan? Itu semua sia-sia karena berhenti pada gerbang tempat kudus; tidak kembali ke rumah; tidak memasuki tempat perdagangan[69].
Jelaslah bahwa keadilan dan kebenaran yang dipraktekkan dalam kehidupan adalah lebih baik dan lebih penting daripada kesemarakan pujian dalam ibadah. Karena mempersembahkan kepada Allah ibadah yang mengutamakan aspek luar tetapi menjauhkan diri dari tingkah laku yang adil adalah menghina Allah. Yang terutama adalah bagaimana ibadah kepada Allah berjalan dengan benar dan tulus disertai dengan sikap dan perbuatan yang sungguh-sungguh mewujudkan keadilan dan kebenaran dalam setiap aspek kehidupan oleh semua pihak. Dengan demikian keadilan akan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir yang membawa bangsa itu kepada hidup yang sejahtera.

V.                Refleksi
5.1.   Hubungan Keadilan dan Kebenaran dengan kehidupan beragama
Dari situasi dan kondisi umat pada masa Amos dapat kita lihat bahwa umat Israel sangat memperhatikan dan antusias melakukan upacara keagamaan dan perayaan agama yang tanpa cela. Ibadah mereka begitu semarak dan bersemangat. Mereka membawa hewan-hewan kurban yang tambun yang melimpah ruah. Nyanyian-nyanyiannya diiringi musik yang dapat mengeksploitasi perasaan. Namun semuanya itu hanya sebatas rutinitas, dan seremonial belaka. Hal ini terjadi karena bangsa Israel pada zaman Amos mempunyai anggapan bahwa ibadah yang bersifat ritual merupakan cara satu-satunya untuk menyembah Tuhan. Mereka menyangka bahwa dengan cara itu mereka sudah berhasil menyenangkan hati Tuhan. Bangsa Israel beranggapan bahwa Tuhan dapat disuap dengan persembahan yang melimpah. Tuhan akan melupakan kejahatan mereka jika mereka bisa memberi suap (korban) kepada Allah. Inilah yang dikecam oleh Amos. Amos mempunyai pandangan bahwa pemahaman keagamaan yang seperti itu adalah kesalahan besar. Sebab ibadah dalam pengertian sebenarnya ialah menyatunya ibadah yang bersifat ritual dengan tingkah laku umat setiap hari. Barnabas Ludji mengatakan, “Ibadah ritual dan ibadah dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku sosial terhadap sesama dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan[70]. Dari apa yang disampaikan oleh Ludji ini dapat diartikan bahwa ibadah tanpa kebenaran dan keadilan adalah ibadah yang tanpa makna dan formalitas semata. Ibadah tidak hanya sebatas ritual keagamaan dengan upacara dan perayaan; kurban dan nyanyian. Akan tetapi harus ditindaklanjuti perwujudan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan.
Keadilan dan kebenaran penting diwujudkan karena perwujudan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan adalah implementasi dari Taurat TUHAN. Buruknya implementasi Taurat TUHAN dalam kehidupan sosial umat Israel terutama diakibatkan oleh peyimpangan-penyimpangan dalam praktik peribadahan umat Allah. Sistem peribadahan Israel yang seharusnya berfungsi baik sebagai lembaga yang memelihara Hukum TUHAN, maupun sebagai lembaga yang mengingatkan umat Israel untuk selalu menaati hukum-hukum TUHAN dalam kehidupan sehari-hari, ternyata tidak melaksanakan fungsinya dengan semestinya. Untuk itu perlu perbaikan dan pembaharuan kehidupan peribadahan umat Allah, sehingga mampu menopang penegakan sosial dalam masyarakat[71]. Ini menegaskan bahwa hidup peribadahan yang tidak benar akan menimbulkan sikap hidup yang bertentangan dengan makna ibadah yang sesungguhnya. Bahkan berakibat pada hidup yang tidak dapat mengimplementasikan makna ibadah yang sesungguhnya dalam kehidupan.
Pada saat sekarang orang Kristen dapat menghadapi masalah yang sama ketika memberi perhatian yang lebih kepada praktek-praktek dan seremoni agama yang menekankan bagian luarnya dibandingkan doa dalam batin dan hidup yang taat kepada kehendak Allah. Dengan demikian, bagaimanapun bentuk bangunan di mana kita beribadah di dalamnya, atau apapun jenis pelayanan gereja yang kita berikan tidak akan berarti tanpa keadilan-dan kebenaran yang dinyatakan dalam kehidupan. Tentu orang-orang Kristen dari sebagian besar gereja akan setuju tentang cara-cara terbaik untuk menghindari bahaya ini:
a.       Amos mengingatkan kita pentingnya kerendahan hati di dalam ibadah. Orang-orang Kristen datang berama-sama ke Gereja untuk memuji Dia “yang membentuk gunung-gunung dan menciptakan angin, dan menyatakan kepada manusia apa yang Dia pikirkan” (Amos 4:13). Jika kita memikirkan Allah dengan cara demikian, kita akan menemukan tidak lebih mudah memikirkan diri kita atau, doa-doa kita atau persembahan-persembahan kita. Sebagai gantinya, kita sebaiknya sangat memikirkan apa yang Allah berikan kepada kita di dalam ibadah dan dalam seluruh hidup kita. Firman Tuhan yang mau kita dengar, baca, atau ucapkan adalah lebih besar dibandingkan pembacanya atau pengkhotbahnya.
b.      Semakin dekat kita hubungkan ibadah kita dengan seluruh hidup kita, akan lebih membantu untuk menjadikannya demikian. Jika kita berpikir tentang ibadah kita sebagai sesuatu yang kita lakukan hanya pada hari-hari kudus dan pada tempat-tempat suci, itu tidak akan berpengaruh dalam kehidupan rumah tangga, bisnis atau pendidikan atau politik. Ibadah keluarga di rumah dan doa pribadi kita adalah sama pentingnya dengan ibadah bersama di tempat kudus, yaitu gereja.
c.       Kita dapat menghindarkan bahaya jika kita berpikir bahwa seluruh hidup kita sebagai ibadah. Cara di mana kita hidup akan menunjukkan apa bentuk dari sikap kita kepada Allah dan bagaimana respon kita kepada pemeliharaan dan kasihNya kepada kita.
d.      Seluruh orang Kristen beribadah kepada Allah “di dalam nama Yesus Kristus”. Dalam tindakan ibadah kita, sebagaimana dalam seluruh hidup kita, Yesus adalah jalan di mana kita berusaha untuk mengikutinya. Adalah melalui Dia kita dapat mendekati Bapa, sama seperti seorang pemohon pada pengadilan dapat mendekati hakim melalui pengacara atau advokat. Artinya bahwa kita berdosa kepada Allah, dan menyembah Allah, di dalam Roh Yesus Kristus, dan menurut pengajaran yang telah dia ajarkan kepada kita, ibadah kita lebih dekat kepada apa yang Allah inginkan[72].
Dapat dikatakan bahwa apa yang harus dilakukan oleh gereja sebenarnya sudah terkandung di dalam trilogi tugas panggilan gereja. Darwin Lumbantobing mengatakan bahwa di dalam tirologi tugas panggilan gereja koinonia, diakonia, dan marturia sudah tertuang bagaimana gereja memahami hakekat dan keberadaannya. Trilogi tugas panggilan gereja ini merupakan realisasi hubungan gereja secara vertikal kepada Kristus, sekaligus hubungan horizontal dengan manusia dan dunia ini. Bersekutu dengan Tuhan yang direpresentasikan di dalam setiap ibadah, baik secara kolektif maupun individual harus menjadi penampakan hidup berdampingan dengan semesta alam dan sesama manusia. Melayani Tuhan melalui semua talenta dan pemberian Tuhan akan semakin konkret apabila diwujudnyatakan dengan tindakan konkret pula. Kesaksian iman bukan hanya sekedar verbalitas, tetapi juga dengan tindakan dan perbuatan yang tepat guna di dalam kehidupan (bnd. Yak 1:22). Melalui trilogi tugas panggilan, gereja dipahami sebagai pewaris misi mesianis Kristus. Artinya, tugas jabatan Kristus yang rajani, nabi dan imani terletak di dalam tritugas panggilan gereja. Dengan pemahaman ini, hakekat dan kehadiran gereja tidak boleh dipahami hanya dalam urusan ritual peribadatan saja. Gereja sebagai pengemban tugas panggilan yang rajani, nabi dan imami harus turut serta menangani masalah-masalah kehidupan yang konkret, yang merupakan pergumulan nyata manusia itu sendiri (bnd. Luk 4:18-19; Mat 25:35-37)[73].
Dengan dasar ini gereja harus menyadari bahwa waktu dan energinya tidaklah hanya memikirkan seremoni-seremoni atau masalah internal gereja tetapi juga memikirkan dunia di mana gereja berada dan apa yang harus gereja lakukan atas persoalan yang ada di sekitarnya. Ini sejalan dengan kenyataan bahwa pelayanan tidak bisa lepas dari hidup gereja. Gereja yang adalah lembaga, persekutuan umat Allah di dunia ini ada untuk melayani: melayani Allah dan melayani manusia. Artinya pelayanan gereja adalah pelayanan kembar: pelayanan kepada Allah dan pelayanan kepada manusia. Kedua pelayanan ini berhubungan erat. Melayani Allah berarti melakukan kehendak Allah dan melakukan kehendak Allah berarti berada di dunia untuk manusia. Melayani manusia berarti melakukan apa yang ia butuhkan berarti melakukan apa yang Allah kehendaki. Melakukan apa yang dibutuhkan manusia berarti melakukan segala sesuatu yang mendatangkan keselamatan kepada manusia. Yaitu memperjuangkan supaya manusia bebas dari penindasan dan ketidakadilan[74]. Itulah ibadah yang sejati.

5.2.      Implementasi Keadilan dan Kebenaran dalam Kehidupan Sosial, Berbangsa dan Bernegara
Ketegasan Amos menyuarakan keadilan dan kebenaran dalam pemberitaannya jelas dilatarbelakangi oleh sikap hidup yang korup di Israel. Ditandai terjadinya kepincangan sosial. Yang kaya dan berkuasa semakin kaya dan berkuasa; yang miskin dan lemah semakin miskin dan lemah. Di dunia peradilan terjadi suap menyuap, yang salah dibenarkan karena uang. Dengan demikian keadilan dan kebenaran itu perlu terus menerus disuarakan untuk diwujudkan oleh semua pihak karena menyangkut seluruh aspek kehidupan.
Menurut Walter Zimmerli, keadilan di dalam Perjanjian Lama tidak pernah sebagai Justitia yang buta. Keadilan selalu dipahami sebagai satu aspek dari perasaan dengan mata terbuka. Ini diperlihatkan oleh perintah yang paling konkrit di dalam Perjanjian Yahweh dengan bangsa-Nya: “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya. Jika engkau sampai mengambil jubah temanmu sebagai gadai, maka haruslah engkau mengembalikannya kepadanya sebelum matahari terbenam, sebab hanya itu saja penutup tubuhnya, itulah pemalut kulitnya -- pakai apakah ia pergi tidur? Maka apabila ia berseru-seru kepada-Ku, Aku akan mendengarkannya, sebab Aku ini pengasih." (Kel 22:25-27). Yahweh memperlihatkan pribadinya sebagai: ‘Aku ini penuh kemurahan hati’. Zimmerli menyimpulkan, “Oleh karena Israel mencintai Dia yang murah hati ini, yang juga bermurah hati kepada mereka, jadi Israel harus bermurah hati kepada sesamanya[75].
Oleh karena “kebenaran” di dalam Perjanjian Lama adalah gambaran bagaimana Allah bertindak, maka kebenaran yang dituntut dari umat memiliki ciri tersendiri. Kebenaran itu tidak dapat dilukiskan secara lengkap dengan memakai konsep keadilan yang bersifat sama rata. Kebenaran ini dialiri oleh belas kasihan dan mengandung keprihatinan dan cenderung untuk memihak pada yang tidak berdaya. Di dalam zaman perubahan sosial yang berjalan cepat, di mana banyak petani miskin yang terlibat hutang, di mana banyak hakim mengharapkan suap, di mana golongan pedagang yang baru muncul lebih menghargai uang daripada persaudaraan manusia, nabi Amos menuntut: biarlah keadilan bergulunggulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir. Artinya mengikis dari kehidupan bermasyarakat kondisi-kondisi di mana orang menjual orang benar (yakni yang tidak bersalah) karena utang dan orang miskin karena sepasang kasut; menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang sengsara (Am 2:6-7; bnd. 5:12)[76].
Perlawanan kenabian terhadap pelanggaran kerajaan atas hak dan kepentingan umat sudah tercermin dalam hukum reformasi Deutronomis. Hukum Deutronomis mengundang Israel untuk menyamai kepedulian Yahweh kepada kaum miskin, kaum tertindas, janda-janda, yatim-piatu, dan korban-korban lain dalam masyarakat. Bahkan orang asing harus diperlakukan sewajarnya. Administrasi hukum (misypat), harus dijalankan untuk mengupayakan kebaikan Allah (tsedaqah), karena tsedakah, kebaikan atau keadilan sosial adalah “barometer kesehatan masyarakat”. Ini berarti bahwa kesalahan dan ketidakadilan sosial ditebus sebagai kewajiban. Kekuasaan dari mereka yang mendapat hak istimewa harus berada di bawah pengawasan. Hukum dan penerapan hukum tunduk kepada hukum kebaikan sosial. Ini dapat mewujudkan visi kenabian tentang hidup manusia di dalam damai dengan sesama dan dalam harmoni dengan seluruh ciptaan, dan kemuliaan Tuhan dinyatakan[77].
Amos melihat Israel dalam suatu situasi khusus di mana umat harus hidup, dan dia tidak ragu untuk menunjukkan ketidakadilan yang dia lihat di sana. Dia benar-benar memperhatikan hal itu. Dia merasa bahwa firman Allah yang dia katakana bukan hanya tentang ibadah palsu, tetapi juga mengenai tidak adanya keadilan di Israel. Berbicara seperti ini Amos tidak melakukan sesutau yang sama sekali baru. Di dalam Pentateukh kita menemukan berulang kali bahwa hukum Allah berhubungan dengan keadilan di antara manusia (Ul 15: 7-11; 15: 12-18; 24:14,15). Hukum yang Allah berikan kepada bangsaNya di dalam PL menunjukkan bagaimana Ia mengharapkan bahwa manusia saling menyenangkan satu sama lain. Itu menunjukkan bahwa Allah mengharapkan ada keadilan di masyarakat.
Menurut Thorogood, kita dapat melacak asal usul dari “perhatian sosial” ini seperti yang kita sebut sekarang di dalam PL, dengan kembali kepada cerita-cerita tentang penciptaan dalam konsep Allah menciptakan manusia “di dalam gambar dan rupa-Nya”. Jika “manusia” artinya” manusia secara umum”, itu juga berarti setiap manusia manusia adalah anak Allah. Dengan demikian menurut Thorogood, umat Israel harus belajar bahwa setiap individu adalah sama-sama penting, dan atas dasar itu tidak ada siapapun yang dapat diremehkan dan ditindas oleh sesamanya. Perhatian Allah kepada orang miskin dan lapar, terhadap janda dan yatim, adalah teladan atau contoh yang diharapkan oleh Allah diikuti oleh bangsa Israel. Thorogood melihat bahwa perhatian kepada orang miskin dan lapar, janda dan yatim juga menjadi perhatian di dalam PB bahkan lebih kelihatan. Ia mengatakan, “Ketika kita membaca PB, kita menemukan bahwa perhatian yang sama tentang keadilan di antara manusia dibuat lebih kelihatan oleh Yesus dalam pelayanan-Nya. Dan pada gereja mula-mula, Roh Kudus memimpin para rasul untuk mengekspresikan perhatian yang sama ini dalam tindakan” (lih Kisah 4:32-37)[78].
Dalam kaitannya dengan gereja, menurut Thorogood, sudah jelas bahwa pengajaran Amos, dengan perhatian kepada yang kaya dan miskin, adalah sesuatu yang penting bagi kita sekarang ini. Amos mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk menciptakan masyarakat yang adil adalah suatu persoalan religius. Tentu saja, kita harus mengakui bahwa banyak orang yang bekerja untuk keadilan sosial bukan orang Kristen. Di beberapa negara di dunia orang-orang dari agama lain, dalam kehidupan peribadi mereka, atau melalui badan-badan perwakilian, bekerja untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk sesama bangsa mereka. Oleh karena itu gereja tidak boleh tinggal diam. Gereja harus bekerja dan bahkan dapat bekerjasama dengan yang lain. Thorogood melihat ada alasan-alasan khusus mengapa orang Kristen harus aktif dalam pekerjaan itu dan kebenaran-kebenaran khusus yang perlu diingat dalam pelaksanaannya:
1.      Orang Kristen ambil bagian dalam tindakan sosial karena mengasihi dan menghormati Allah. Orang Kristen ingin melihat kehendak-Nya dilaksanakan di bumi seperti di sorga. Dan percaya bahwa adalah kehendak-Nya setiap manusia memiliki hak yang sama untuk menikmati dan menggunakan talenta yang telah Ia berikan. Jadi kita harus hati-hati untuk tidak mendasarkan tindakan kita pada kecemburuan atas orang-orang yang lebih kaya dari kita, atau kebanggaan pada ras kita, atau kebencian pada orang asing atau para pendatang. Dengan kata lain, perhatian kita pada tindakan sosial bertumbuh dari iman dalam Allah sebagai Bapa dan Tuhan. Yesus menunjukkan begitu dekatnya kedua aspek dari iman ini diikat bersama-sama (Mat 25:45).
2.      Hati nurani setiap pribadi orang Kristen, dan kata hati seluruh gereja, diterangi oleh Roh Kudus (Yoh 14:6). Jadi kita mengharapkan Gereja menjadi pihak yang pertama dari bangsa yang melihat ketidakadilan, membongkarnya, dan berusaha untuk menyembuhkannya. Tetapi sayangnya kita harus mengakui bahwa sering kasusnya tidak seperti ini. Sangat sering orang Kristen menutup telinga kepada hati nurani, dan gereja seringkali menutup matanya terhadap persoalan sosial.
3.      Yesus mengajarkan bahwa masyarakat harus menghormati hukum di negaranya  (Mrk 12:17), demikian juga dikatakan oleh rasul-rasul (Roma 1:1-3; 1 Pet 2:13-14). Maka ketika orang Kristen berpikir bahwa suatu hukum adalah jahat, itu artinya orang Kristen harus menentang hukum itu jika tidak ada kesempatan untuk mengubahnya sama sekali. Menentang suatu hukum adalah satu metode yang ekstrim dalam mengambil tindakan sosial, dan orang Kristn harus bersedia menerima hukuman karena melakukan yang demikian. Orang Kristen di Roma menentang hukum mengenai peyembahan Kaisar – karena mereka tidak dapat merubah peraturan itu – meskipun hukuman karena ketidaktaatan adalah kematian. Orang-orang Kristen di beberapa negara komunis dan totaliarianisme sekarang ini mungkin diperhadapkan pada sejenis ujian yang sama.
4.      Perkataan dan pekerjaan Yesus menunjukkan kepada kita bahwa Allah mencintai dan menilai setiap pribadi manusia. Jadi orang Kristen dipanggil untuk melayani orang-orang bukan hanya yang dikenal, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
5.      Orang Kristen juga perlu mengingat bahwa bentuk yang lebih baik dari masyarakat sosial yang ingin dibangun tidak sama seperti Kerajaan Allah. Artinya bahwa orang Kristen menerima tugas yang harus dengan segera dilakukan di dunia sekitarnya sebagai satu bagian dari keseluruhan tujuan Allah terhadap masyarakat sosial, tetapi harus hati-hati untuk tidak menilanya sebagai satu-satunya cara untuk mengemban kehendak Allah di dunia ini[79].
Dalam hal ini gereja benar-benar harus menyadari tentang tugas dan tanggungjawabnya di dunia. Gereja yang difahami sebagai gerakan kenabian kritis harus bertindak sebagai peringatan sehingga dunia modern peduli dengan kaum tertindas, karena dunia ini sudah penuh dengan orang-orang susah. Eleazar S. Fernandez memandang bahwa gereja sebagai suatu gerkan kenabian kritis adalah untuk mengingatkan gereja pada akar pengalamannya sehingga gereja menemukan peran dan tujuannya yang khas. Hal itu untuk menguatkan gereja dalam gerakan kritik sosial sebagaimana mestinya. Identitas gereja yang benar adalah sebagai gerakan sosial kenabian dan jika menyimpang dari identitas ini akan membuat gereja kehilangan tujuan. Sebagai gerakan sosial kenabian, gereja berdiri dalam solidaritas bersama dengan orang-orang yang telah memberikan hidupnya dalam bentuk kesaksian kenabian pada masa kini. Gereja menjadi satu dengan orang-orang yang menderita, dan gereja menderita dalam perlawanan terhadap penderitaan[80]. Partisipasi gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat dirasakan kelompok-kelompok marjinal. Suara kenabian gereja harus mengarah kepada terwujudnya nasionalisme, yang menyatakan keadilan, dan menghilangkan sifat primordialisme dan kritis terhadap tindakan yang mengeksploitasi rakyat kecil, miskin dan lemah[81]. Gereja di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah berjuang menegakkan keadilan, perdamaian dan kemanusiaan. Hal ini hanya dapat ditunjukkan jika gereja melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan bagian dari orang-orang yang menderita[82].
Dengan demikian gereja harus menggumuli masalah-masalah ketidakadilan serta memperjuangkan supaya manusia diperlakukan sesuai dengan martabatnya. M.M. Thomas sebagaimana dikatakan Becker, melihat bahwa selain berupa pernyataan kasih yang kekal dari Allah, salib juga mencelikkan indera kita agar peka terhadap kejahatan yang hidup di dalam institusi-institusi keagamaan, masyarakat dan negara. Oleh karena itu bagi Thomas di mana gereja berpartisipasi untuk menyatakan keadilan, maka itu harus terjadi dengan selalu bertitik tolak dari keadilan kerajaan Allah yang datang kepada manusia melalui penghakiman Allah dan pengampunan dosa[83].
Dengan memperhatikan seluruh kecaman keras Amos terhadap segala ketimpangan dan keburukan dalam bidang sosial, dapat dipertimbangkan apa yang disampaikan oleh Mawene tentang apa yang perlu untuk dilakukan[84]:
-          Mengusahakan terciptanya kondisi sosial yang adil dalam mayarakat.
-          Mengusahakan perbaikan relasi sosial antar individu dalam masyarakat dan setiap orang di dalam masyarakat dihargai sebagai sesama manusia.
-          Mengusahakan diakhirinya pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, sehingga tercapai suatu kehidupan yang adil dan bertanggungjawab.
-          Mengusahakan berlangsungnya perdagangan yang adil dan jujur, di mana para pedagang berdagang dan memperoleh keuntungan secara halal dan bukan dengan cara-cara manipulasi dan rekayasa.
-          Mengusahakan agar pemimpin bangsa (termasuk seluruh elit politik, tokoh masyarakat, dan tokoh agama) hidup dengan benar dan jujur, serta melakukan kewajiban-kewajibannya dengan benar sesuai dengan kehendak TUHAN, sehingga tercipta kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.

VI.       Kesimpulan
1.      Keadilan dan kebenaran adalah nilai kehidupan umat dengan Tuhan dan dengan sesamanya ditandai dengan kehidupan yang berjalan sesuai dengan kehendak Allah di mana semua pihak menerima apa yang menjadi haknya dan dapat menjalani kehidupan sebagaimana yang sepatutnya. Keadilan dan kebenaran menggambarkan bagaimana hubungan umat dengan Tuhan serta dengan sesama terjalin dengan baik dan benar yang diperlihatkan oleh sikap hidup yang sesuai kebenaran Tuhan dan memberi kebaikan bagi sesama.
2.      Berdasarkan pemberitaan nabi Amos, jelaslah bahwa persoalan keadilan dan kebenaran menjadi pokok yang tidak bisa diabaikan dalam kehidupan tetapi harus terus menerus bergema dan menjadi bagian yang penting dan utama dalam kehidupan umat beragama karena sudah sejak lama sikap-sikap dan indakan-tindakan yang tidak menghiraukan keadilan dan kebenaran terjadi di tengah-tengah kehidupan beragama yang semarak dan bersifat seremoni semata.
3.      Seruan nabi Amos memperlihatkan bahwa keadilan dan kebenaran menjadi ukuran bagaimana Allah menilai keberadaan manusia itu di hadapan-Nya. Penekanan nabi terhadap perwujudan keadilan dan kebenaran di dalam kehidupan tidak dimaksudkan untuk mengabaikan pentingnya kehidupan beragama (ibadah) yang hikmat dengan segala ritus dan seremoninya. Tetapi itu adalah untuk menyadarkan umat bahwa menjadikan ibadah sebagai tameng atas ketidakadilan dan penindasan adalah kejahatan dan hal yang sangat dibenci Tuhan. Itu bertentangan dengan makna ibadah yang sesungguhnya bahkan sebagai ‘penghinaan’ terhadap Allah. Ibadah yang sesungguhnya adalah perpaduan antara penyembahan yang tulus kepada Tuhan dan perwujudan keadilan dan kebenaran terhadap sesama.
4.      Keadilan dan kebenaran menjadi tanggungjawab setiap manusia dan orang Kristen harus menjadi pelopor yang melaksanakan dan mewujudkan keadilan dan kebenaran itu di dalam kehidupan. Dasarnya adalah karena orang Kristen telah menerima keadilan dan kebenaran dari Tuhan yang dipercayainya.
5.      Gereja tidak boleh larut dengan hal-hal yang berkaitan dengan seremoni dan masalah-masalah internal semata tetapi gereja harus membuka mata terhadap sekitarnya untuk melihat persoalan-persoalan ketidakadilan dan penindasan yang terjadi sehingga gereja dapat bersikap dan melakukan aksi untuk menentang ketidakadilan dan penindasan yang terjadi terhadap orang-orang miskin dan lemah. Gereja tidak boleh tinggal diam tetapi harus berbuat sebagaimana yang terkandung di dalam trilogi tugas panggilannya.
6.      Melalui pemberitaannya Amos mau menyampaikan kondisi keadilan dan kebenaran yang dipandang tidak perlu dan bernilai oleh para pengambil keputusan (tua-tua dan hakim-hakim) sehingga tidak dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat (Amos 5:7) oleh karena itu Amos menyerukan bahwa keadilan dan kebenaran adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehingga harus dilaksankan sepanjang kehidupan seperti air yang mengalir terus menerus (Amos 5:24); dan apabila itu tidak diwujudkan maka Allah akan menyatakan keadilan dan kebenaran-Nya yang menjadi hukuman bagi mereka yang menentang kehendak-Nya tetapi berkat bagi orang miskin, lemah dan tertindas.


VII.    Kepustakaan
1.            Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Gandum Mas, Malang, 1998.
2.            Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, Bina Media Informasi, Bandung, 2009.
3.            Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, SPCK, London, 1971.
4.            B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997.
5.            C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 3, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
6.            ------------, Theologia Perjanjian Lama 4, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
7.            Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar, 2007.
8.            David F. Hinson, Old Testament Introduction 3: Theology of the Old Testament, SPCK, London, 1982.
9.            D.C. Mulder, Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
10.        Dieter Becker, Pedoman Dokmatika; Suatu Konpendium Singkat, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009.
11.        Eleazer S. Fernandez, Toward A Theology of Struggle, New York, Orbis Book, 1994.
12.        G. Johannes Botterweck, dkk (ed), Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. IX, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/Cambridge, UK, 1998.
13.        ----------------------------------, Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. XII, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/Cambridge, UK, 2003.
14.        G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, Harper & Row Publishers, New York and Evanston, 1962.
15.        ----------------, Old Testament Tehology, Vol. II, Oliver and Boyd, Edinburgh, 1970.
16.        Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of the Prophets Joel and Amos, Fortress Press, Philadelphia, 1977.
17.        Horst Balz and Gerhard Schneider (ed), Exegetical Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1990.
18.        J.A. Motyer, The Message of Amos, Inter-Varsity Press, Leicester, England, 1974.
19.        J. Blommendaal, Pengantar Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
20.        J.D. Douglas (peny.), Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, A – L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1994.
21.        J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008.
22.        John W. de Gruchy, Agama Kristen dan Demokrasi; Suatu Teologi bagi Tata Dunia yang Adil; BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003.
23.        Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther Dan Relevansinya di Indonesia, Kolportase Pusat GKPI, 2008.
24.        Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008.
25.        Robert Davidson, Alkitab Berbicara, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001.
26.        T.C. Witney & B.F. Price, Amos; The Christian Student’ Library, The Christian Literature Society, Park Town, Madras, 1956.
27.        Walter Zimmerli, The Old Testament and The World, John Knox Press, Atlanta, 1976.
28.        W.S. LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2; Sastra dan Nubuat, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996.


[1] Selain Amos adalah Yesaya, Mikha, Yeremia, dan Habakuk.
[2] Lih. Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008: hlm.100-101.
[3] B. Johnson, “jpvm misypat …”, dalam G. Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. IX, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/Cambridge, UK, 1998: hlm. 87.
[4] J.B. Payne, dkk., “Adil, Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, A – L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1994: hlm. 11. Bnd. B. Johnson, jpvm misypat …, dalam G. Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. IX., hlm. 88-95.
[5] B. Johnson, “… hqdc, tsedaqa…”, dalam G. Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. XII, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/Cambridge, UK, 2003: hlm. 243.
[6] J.B. Payne, dkk, “Adil, Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, (peny), Ensiklopedi Alkitab op. cit., hlm. 11.
[7] J.B. Payne, dkk, “Adil, Keadilan dan Kebenaran”.. loc. cit., hlm. 11.
[8] Ibid., hlm. 11,12.
[9] B. Johnson, “… hqdc, sedaqa…”, dalam G. Johannes Botterweck, dkk, Theological Dictionary … op. cit., hlm. 246-247.
[10] J.B. Payne, dkk., “Adil, Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab … op. cit., hlm. 12.
[11] K. Kertelge, “dikaiosunh”, dalam Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1990: hlm. 326.
[12] J.B. Payne, dkk., “Adil, Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab … op. cit., hlm. 12.
[13] H. Hubner, “alhqeia”, dalam dalam Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1990: hlm. 58.
[14] Lih. G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, Harper & Row Publishers, New York and Evanston, 1962: hlm. 370.
[15] G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, hlm. 371.
[16] Ibid, hlm. 372-373.
[17] Ibid., hlm. 373.
[18] G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, hlm. 374-375.
[19] Ibid., hlm. 375.
[20] Ibid., hlm. 375.
[21] G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, hlm. 378-382.
[22] David F. Hinson, Old Testament Introduction 3: Theology of the Old Testament, SPCK, London, 1982: hlm. 31.
[23] Ibid., hlm. 106.
[24] Ibid., hlm. 112.
[25] Kedua kata ini selalu digunakan untuk menterjemahkan satu kata tunggal dalam kalimat bahasa Ibrani yang mencakup kedua pengertian itu
[26] David F. Hinson, Old Testament Introduction 3…, hlm. 116-117.
[27] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 3, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009: hlm. 32.
[28] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 3., hlm. 34.
[29] Ibid., hlm. 35.
[30] Ibid., hlm. 36-38.
[31] W.S. LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2; Sastra dan Nubuat, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996: hlm. 195-196.
[32] B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997: hlm. 3.
[33] Ibid., hlm. 3.
[34] Lih. W.S. LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2 …, hlm. 196.
[35] B.J. Boland, op. cit., hlm. 3.
[36] Lih. B.J. Boland, hlm. 91-92. Pada zaman itu kata “nabi” menyatakan pada umumnya semacam jabatan atau pekerjaan sehari-hari: pembuat-pembuat keajaiban, penenung-penenung, peramal-peramal, penasihat-penasihat dan sebagainya seperti terdapat dalam berbagai agama-agama (bnd. Ul 13:1; 1 Raj 22:5 dyb). Biasanya mereka hidup bersama-sama dalam golongan atau persekutuan, misalnya di Betel (2 Raj 2:3 dyb), di Gilgal (2 Raj 4:38), di pegunungan Efraim (2 Raj 5:22). Agaknya mereka kadang-kadang mendapat pendidikan dalam semacam pesantren atau “sekolah nabi” (misalnya seperti di Rama; 1 Sam 19:18 dyb). Ada juga “tukang-tukang nubuat” yang melatih diri dalam keadaan “kerasukan roh” dan menggiatkan keadaan itu dengan perantaraan musik yang merangsang (1 Sam 10:5). Mereka hidup dari pemberian dan sedekah atau mendapat bayaran untuk keterangan dan keajaiban-keajaiban yang mereka berikan (1 Sam 9:6; 2 Raj 5:20-23) atau dibayar dari kas negara seperti nabi-nabi Baal dan Asyera pada zaman Aha dan Izebel (1 Raj 18:19).
[37] Andrew E. Hill & John H. Walton, Survei Perjanjian Lama, Gandum Mas, Malang, 1998: hlm. 609.
[38] Lih. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, Bina Media Informasi, Bandung, 2009: hlm. 51.
[39] G. von Rad, Old Testament Tehology, Vol. II, Oliver and Boyd, Edinburgh, 1970: hlm. 131.
[40] Lih. W.S. LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, hlm. 195.
[41] Lihat. B.J. Boland, hlm. 4; W.S. LaSor, dkk, hlm. 197; Barnabas Ludji, hlm. 50.
[42] Lih. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, hlm. 4.
[43] Lih. J. Blommendaal, Pengantar Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993: hlm. 130-131. Bnd. D.C. Mulder, Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta, hlm. 166-167; LaSor, hlm. 199. Bnd.
[44] Lih. C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 4, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993: hlm. 45
[45] Ibid., hlm. 46.
[46] Lih. Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of the Prophets Joel and Amos, Fortress Press, Philadelphia, 1977: hlm. 233, 261.
[47] Lih. J.A. Motyer, The Message of Amos, Inter-Varsity Press, Leicester, England, 1974: hlm. 111,129.
[48] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, SPCK, London, 1971: hlm. 55,62.
[49] Lih. Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, hlm. 198-206. Bnd. Lih. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar … , hlm. 51-54.
[50] Lih. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, hlm. 56.
[51] Ibid., hlm. 57.
[52] Ibid., hlm. 57.
[53] J.A. Motyer, The Message of Amos, hlm. 112.
[54] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm. 58.
[55] Tentang woe-cry dalam Amos, ada tiga jawaban yang dipertentangkan terhadap pertanyaan asal mulanya. (a)Tangisan celakah yang bersifat nubuatan adalah transformasi kutukan-kutukan kultus yang yang sejenis dijumpai di dalam kutukan dodekalog Ul 27: 15-26. Tesis ini didukung oleh Mowinckel dan dikerjakan oleh Westermann (b) Bentuk dasar dari woe-cry secara bebas dibentuk oleh nabi-nabi, yang diambil dari ratapan kematian. (c) Bentuk dasar dari woe-cry, dengan partisip jamak atau deskriptif substantive dari sikap tingkah laku tercela, harus dicari dalam kelompok hikmat pedagogis.
[56] Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of the Prophets Joel and Amos, hlm. 241-242.
[57] Ibid., hlm. 245.
[58] Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of …, hlm. 245.
[59] Ibid., hlm. 245.
[60] Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of …, hlm. 246.
[61] “Dan Aku akan membuat keadilan menjadi tali pengukur, dan kebenaran menjadi tali sipat; hujan batu akan menyapu bersih perlindungan bohong, dan air lebat akan menghanyutkan persembunyian".
[62] Lih. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, hlm. 68.
[63] Ibid., hlm. 68.
[64] T.C. Witney & B.F. Price, Amos; The Christian Student’ Library, The Christian Literature Society, Park Town, Madras, 1956: hlm. 58.
[65] Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of …, hlm. 264.
[66] J.A. Motyer, The Message of Amos, hlm. 133.
[67] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm. 65.
[68] J.A. Motyer, The Message of Amos, hlm., 133.
[69] Ibid., hlm., 134.
[70] Lih. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar …., hlm. 56-57.
[71] Lih. Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, hlm. 101-102.
[72] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm. 66-67.
[73] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar, 2007, hlm. 265-266.
[74] J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008: hlm. 197.
[75] Walter Zimmerli, The Old Testament and The World, John Knox Press, Atlanta, 1976: hlm. 96-97.
[76] Robert Davidson, Alkitab Berbicara, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001: hlm. 83-84.
[77] John W. de Gruchy, Agama Kristen dan Demokrasi; Suatu Teologi bagi Tata Dunia yang Adil; BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003: hlm. 47,48.
[78] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm. 47-48.
[79] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm. 50-53.
[80] Lih. Eleazer S. Fernandez, Toward A Theology of Struggle, New York, Orbis Book, 1994, hlm. 143-157.
[81] Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther Dan Relevansinya di Indonesia, Kolportase Pusat GKPI, 2008, hlm. 428.
[82]Ibid., hlm. 428,429.
[83] Dieter Becker, Dieter Becker, Pedoman Dokmatika; Suatu Konpendium Singkat, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009: hlm. 182.
[84] Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual, hlm. 219.



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar