KEADILAN DAN KEBENARAN
DALAM PEMBERITAAN NABI AMOS
(Studi Teologis Amos 5: 7, 24)
I.
Pendahuluan
Pokok
keadilan dan kebenaran adalah hal yang mendasar dalam hidup. Baik dalam
kehidupan gereja maupun sosial, keadilan dan kebenaran tidak boleh diabaikan.
Namun, sering yang terjadi adalah sebaliknya. Keadilan dan kebenaran itu belum
dapat dinikmati oleh semua pihak. Walau demikian, keadilan dan kebenaran adalah
keharusan. Itu yang dikehendaki Tuhan agar terwujud dalam kehidupan ini.
Perhatian
ini dengan jelas ditunjukkan dalam pemberitaan para nabi. Masalah sosial menjadi
salah satu persoalan yang penting dan diperhatikan dengan serius dalam
pemberitaan para nabi Israel. Hampir semua kitab para nabi dalam PL
menyampaikan firman TUHAN yang berkaitan dengan berbagai permasalahan di bidang
ini. Salah satu di antaranya adalah Amos[1].
Nabi
Amos yang bernubuat pada abad ke-8 sM menyoroti buruknya keadilan sosial di
masa pemerintahan Raja Yerobeam bin Yosia (Yerobeam II) di Israel Utara. Masa
pemerintahan raja ini sebenarnya dikenal sebagai “zaman keemasan” Kerajaan
Israel Utara. Akan tetapi, dalam zaman keemasan itu terjadi degradasi moral dan
etik dalam kehidupan sosial Israel. Hasil-hasil pembangunan bangsa hanya
dinikmati oleh lapisan atas masyarakat. Rakyat jelata sama sekali tidak
menikmati hasil pembangunan itu. Sebaliknya mereka mengalami penindasan dan
perlakuan tak adil dalam kehidupan sehari-hari. Upacara dan perayaan agama
berjalan dengan semarak. Tetapi orang miskin dan yang lemah diabaikan, ditindas
dan ditekan[2].
Dalam kondisi yang demikian Tuhan mengutus Nabi Amos untuk mengecam perilaku golongan
masyarakat Israel yang telah “menginjak-injak keadilan dan kebenaran”, dan menyerukan
agar keadilan dan kebenaran “bergulung-gulung seperti air”.
Apakah
makna keadilan dan kebenaran yang disampaikan oleh Nabi Amos tersebut? Apa yang
dapat direfleksikan dari seruan Amos ini dalam kehidupan sekarang? Itulah yang
akan digali dalam tulisan ini.
II.
Pemahaman
tentang Keadilan dan Kebenaran
2.1.
Dalam
Perjanjian Lama
Di
dalam Perjanjian Lama kata yang dipakai untuk mengartikan “keadilan” dan “kebenaran”
adalah misypat dan tsedaqa.
a.
Misypat
Misypat
jpvm,
terdapat 422 kali dalam Perjanjian Lama, tersebar di sebagian besar buku-buku
Perjanjian Lama kecuali Ruth, Ester, Kidung Agung, Yoel, Obaja, Yunus, dan
Nahum[3].
Arti dasar kata ini ialah, bahwa ada cara yang benar bagi seseorang untuk
membawakan diri, dan cara yang benar untuk memperlakukan orang lain. Perangai
atau tingkah laku ini dapat dipaksakan secara hukum. Dalam penggunaannya, myspat dapat memberi arti hak (Kel 23:6;
Ul 10:18; Yes 49:4); keadilan (Kej 18:19; Ul 16:19; 2 Sam 8:15; Ayb 8:3; Yes
1:17); penghukuman (Mzm 105:5; Yer 51:9; Hos 5:1); peraturan (Kel 21:1; Ul 4:1;
Yeh 5:6); hukum (Mzm 19:11; 103:6; 119:7). Misypat
berarti juga keputusan yang tepat yang diberikan mengenai masalah-masalah yang
sukar, khususnya oleh Urim dan Tumim (Kel 28:15; Bil 27:21; Ul 17:8-9; 1 Raj
3:28)[4].
b.
Tsedaqa
Kata dasar tsdq hqdc, digunakan 523
kali di dalam Perjanjian Lama. Sebagian besar terdapat dalam kitab nabi-nabi,
Mazmur dan buku-buku hikmat, sementara dalam buku-buku sejarah lebih sedikit[5].
Kata ini mempunyai aneka pengertian. Pertama-tama kata ini mempunyai arti
secara harafiah tetapi sesudah zaman para bapak leluhur tsedaqa mempunyai arti rohani, yaitu sesuai dengan suatu ukuran
yang diterima. Misalnya, hidup Yakub yang memenuhi syarat-syarat perjanjiannya
untuk menggembalakan domba Laban disebut tsedaqa
(Kej 30:33, kejujuranku). Musa yang membicarakan batu-batu timbangan yang betul
(Im 19:36) atau utuh dan tepat (Ul 25:15); tuntutan supaya para hakim Israel
menghakimi dengan pengadilan yang adil (Ul 16:18,20) diterjemahkan dengan tsedeq[6].
Sesudah zaman Musa tsedaqa berarti kehendak Allah dan
tindakan-tindakan yang diakibatkannya (Ul 32:4; Zef 3:5; Mzm 89:14);
menggambarkan pemeliharaan Allah akan hidup manusia dan binatang (Mzm 36:7);
menunjukkan perkataan Allah yang selalu benar dan memberitakan apa yang lurus
(Ye 45:19). Tsedaqa kemudian
menjabarkan ukuran susila yang dipakai Allah untuk mengukur tindak-tanduk
manusia, secara khusus dibebankan kepada raja-raja (2 Sam 8:15; Yer 22:15b),
tapi setiap orang benar juga diharapkan untuk melakukan tsedaqa (Mzm 119:121; Ams 1:3). Berhubungan dengan pemerintahan
ilahi, keadilan dan kebenaran menunjuk khususnya pada hukuman (bnd. Kel 9:27;
Hab 1:13; Ul 32:22)[7].
Sejak zaman para hakim,
tsedaqa dipakai untuk menunjukkan
tindakan-tindakan Allah bagi orang-orang yang dianggap layak menerimanya (Hak
5:1); dihubungkan dengan penebusan (bnd Mzm 31:1; 103:17; 143:1; Yes 45:21);
sebagai pemberian Allah kepada mereka yang percaya (Hab 2:4; Yes 45:24,25;
54:17; Yer 31:23); mempunyai arti ‘kebaikan’ terutama berkaitan dengan sikap
umat yang telah menerima kasih karunia (Yes 1:17; Yer 22:16). Kemudian sesudah
zaman pembuangan, tsedaqa menjadi
suatu istilah yang berarti sedekah, memberi uang kepada orang miskin (Dan 4:27;
Mzm 112:9)[8].
Ada beberapa istilah
yang berkaitan dengan tsedaqa, yaitu aman, khesed, syalom yang menandakan
kondisi dari sesuatu hal yang umum,
persekutuan atau hubungan komunal yang positip. Jika dihubungkan dengan emet/emuna menunjuk kepada hubungan
yang teratur dengan alam (Mzm 85:12), dalam hubungan Allah dan manusia (Neh
9:33; Mzm 40:11; 96:13; 143:1; Hos 2:21,22); antara raja dan rakyat (Yes 11:5),
dan di antara orang-orang secara umum (1 Sam 26:23; Ams 12:17; Yes 1:26). Kata aman dan tsedaqa menunjuk pada tindakan-tindakan yang sepadan dengan
pengharapan yang positif dari seseorang atas keadaan sekitar. Dihubungkan
dengan khesed maka khesed dan tsedaqa Allah artinya kemurahan hati. Keadilan Allah maupun raja
dihubungkan dengan khesed (Mzm 85:11;
89:15). Sementara tsedeq dan syalom sama-sama mengambarkan
keberuntungan, keadaan yang teratur (Mzm 35:27). Syalom juga menjadi hasil dari tsedaqa
(Yes 32:17). Kemudian kata sejajar yang penting adalah yasa, kemurahan hatinya, campur tangan yang menyelamatkan sebagai
suatu ekspresi dari kebenarannya (Yes 45:8; 51:5ff; 61:10 bnd Mzm 65:6; 71:2).
Tetapi yang paling sejajar adalah dengan misypat.
Kedua istilah itu selalu digunakan bersamaan dan sepertinya mempunyai arti yang
sinonim[9].
Sementara dapat disimpulkan bahwa dalam penggunaannya, pengertian keadilan dan
kebenaran sangat dekat. Sehingga adakalanya penggunaan satu kata, terutama tsedaqa, dapat memberi makna tentang
“keadilan dan kebenaran” itu sekaligus.
2.2.
Dalam
Perjanjian Baru
Pada
bagian ini penulis ini tidak akan menjelaskan secara lebih dalam tentang keadilan
dan kebenaran di dalam Perjanjian Baru tetapi untuk menunjukkan istilah-istilah
yang mempunyai arti keadilan dan kebenaran yang digunakan di dalam Perjanjian
Baru.
Di
dalam Perjanjian Baru, kata yang sepadan dengan tsedaqa adalah dikaiosune.
Terdapat 94 kali. Biasanya kata ini diterjemahkan dengan ‘kebenaran’. Tetapi
dalam beberapa bagian diterjemahkan sebagai ‘keadilan’ (2 Kor 6:7; 1 Tim 6:11;
2 Tim 2:22; Ibr 1:9; 2 Ptr 1:1); ‘kehendak Allah’ (Mat 3:5); ‘hidup keagamaan’
(Mat 5:20); ‘pembenaran’ (2 Kor 3:9); ‘perbuatan yang baik’ (Tit 3:5). Dikaiosune dapat berarti kebenaran
karena menaati hukum Taurat dan kebenaran yang merupakan pemberian dari Tuhan.
Paulus sangat membedakan keduanya. Kebenaran sebagai pemberian Tuhan diterima
sebagai anugerah berdasarkan karya Kristus (Rm 5:17). Pemberian ini diberikan
kepada setiap orang percaya (Rm 3:22) yang tidak bergantung pada tingkat
menaati hukum Allah (Rm 3:21)[10].
Bagi Paulus, dikaiosune berada pada
hubungan yang dekat kepada inti peristiwa keselamatan. Dalam persesuaian kepada
tradisi Yahudi dan PL, Paulus melihat di dalam kebenaran itu bukan hanya suatu
sifat etis Allah atau manusia, malah, dengan menyingung kepada manusia, kata
itu berarti suatu karakteristik yang asasi yang mengijinkan seseorang berada
pada hubungan dengan Allah dan manusia[11].
Kata
selanjutnya di dalam Perjanjian Baru yang berkaitan dengan keadilan dan
kebenaran adalah aletheia, yang
menunjuk kepada kebenaran secara budi. Dalam Perjanjian Baru, kata ini banyak
dipengaruhi oleh kata Ibarani emet[12].
Kata ini diartikan sebagai truth. Terdapat 109 kali di dalam
Perjanjian Baru. Nuansa pengertian aletheia
dengan bentuknya yang lain adalah benar
dalam pengertian dapat dipercayai, tetap,
nyata, asli dan setia, mengatakan
yang benar (Gal 4:16); sungguh-sungguh,
tulus dalam hal kasih (Ep 4:15)[13].
III.
Sejarah
Penelitian Teologi: Keadilan dan Kebenaran menurut para ahli
3.1.
G.
von Rad
Menurut
von Rad sama sekali tidak ada konsep dalam PL dengan pengertian yang demikian
sentral mengenai seluruh hubungan hidup manusia seperti pada kata tsedaqa. Kata itu adalah standar bukan
hanya tentang hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga tentang hubungan
manusia dengan sesamanya, bahkan menjangkau hal-hal yang paling kecil, kata itu
bahkan juga menjadi standar mengenai hubungan manusia dengan binatang-binatang
dan lingkungan alamiahnya. Oleh karena itu von Rad mengatakan, “Tsedaqa dapat digambarkan sebagai nilai
tertinggi dalam kehidupan, sehingga atasnya seluruh kehidupan berjalan ketika kebenaran
itu dilaksanakan selayaknya”[14].
Dari sini dapat dilihat bahwa pemahaman von Rad tentang kebenaran didasarkan
pada konsep “hubungan”.
Menurut
von Rad pemahaman tentang tsedaqa
tidak sepenuhnya tercakup dalam terjemahan Vulgata (iustitia), dan oleh bahasa Jerman Gerechtigkeit, sebagaimana yang berkembang di Barat, yang berarti tingkah
laku manusia yang pantas terhadap suatu norma etik yang mutlak, suatu legalitas
yang memperoleh norma-normanya dari ide keadilan yang mutlak. Dari norma yang
mutlak ini, diperkirakan, lahir permintaan-permintaan yang mutlak dan
tuntutan-tuntutan yang mutlak. Menyangkut kehidupan sosial, keadilan itu
dipahami berkaitan dengan tuntutan-tuntutan ini dengan benar-benar tidak
memihak dan menjaga agar setiap orang mendapat miliknya (iustitia distributive). Tetapi menurut von Rad, tidak ada jawaban
yang memuaskan kepada pertanyaan mengenai norma mutlak yang dapat ditemukan
dalam Perjanjian Lama. Von Rad setuju dengan H. Cremer yang mengakui ketidakmungkinan
untuk menerapkan jalan pikiran ini kepada pemikiran Alkitabiah. Di mana pada
faktanya Israel kuno tidak mengukur suatu garis tingkah laku atau tindakan
melalui suatu norma ideal, tetapi dengan hubungan khusus di mana pasangan harus
membuktikan dirinya benar pada saat itu[15].
Selanjutnya
menurut von Rad, dalam kaitannya dengan Israel ada hubungan yang telah
diberikan Yahweh kepada Israel, dan yang terutama dipelihara di dalam kultus. Ketika
Israel memuji keadilan Yahweh, mereka bersyukur bahwa Yahweh berada di pihak
mereka dan di dalam tindakan-Nya menyatakan diri-Nya kepada Israel. Nyanyian
Debora berbicara tentang “perbuatan Yahweh yang adil”, tsedaqa yhwh dan dengan
istilah ini dimaksudkan perbuatan-Nya yang menyelamatkan di dalam sejarah. Mencapai
klimaksnya pada Deutro Yesaya di mana nabi menunjukkan tsedaqa itu menjadi suatu sinonim kepada keselamatan (yasa) yang dijelaskan oleh bahasa
nyanyian (himne) (Yes 45:8; 46:13;
51:6,8). Penggunaan ini, menunjukkan istilah tsedaqa sudah menjadi suatu pengertian yang ditransfer, yaitu,
dengan menunjuk kepada pengaruh dari kesetiaan Yahweh kepada hubungan itu. Atas
hal ini Von Rad mengatakan, “Tetapi
meskipun seluruh variabilitas yang membicarakan tentang kebenaran Yahweh,
ekspresi yang diberikan adalah satu ide yang konstitutif kepada Israel –
Kebenaran Yahweh bukan suatu norma, tetapi tindakan, dan tindakan inilah yang
menganugerahkan keselamatan”[16].
Berdasarkan
apa yang disampaikan dalam kitab mazmur von Rad melihat bahwa suatu tempat
khusus yang tepat untuk berbicara tentang keadilan dan kebenaran Yahweh adalah
dalam gambaran teofani, dan ini juga adalah hal yang cukup nyata untuk dilakukan, karena, di mana
Yahweh menyatakan diriNya, kebenaranNya, bahwa kesetiaanNya atas perjanjian
juga dinyatakan. “Tangan kananMu penuh dengan keadilan: Bukit Sion bersukacita”
(Mzm 48:11). Individu juga dapat mengalami kebenaran dan keadilan Yahweh pada
waktu dibutuhkan, dan menyaksikannya dalam nyanyian ucapan syukur (Mzm 40:11);
dan dalam suatu nyanyian ratapan terdapat doa (Mzm 143:1; 71:2). Kebenaran
Yahweh sebagai pengalaman individu juga adalah satu pokok pujian dan pernyataan
dalam kultus (Mzm 22:31; 71:22)[17].
Menurut
von Rad bukti kebenaran Yahweh diungkapkan dalam hukum atau perintah-Nya. Yahweh
mengambil bagian dalam umat-Nya dan memberi bukti-bukti yang tegas tentang
kebenaran-Nya; tetapi Ia juga mengeluarkan aturan-aturan hidup di mana hanya
itu yang membuat manusia itu dapat hidup bersama-sama. Perintah-perintahnya
bukan beberapa hukum yang sungguh-sungguh mutlak, tetapi hadiah yang murah hati
yang menolong hidup secara tertib. Yahweh berada di tengah-tengah mereka sebagai
tsedaqa. (bnd. Zef 3:5). Tsedaqa Yahweh adalah juga suatu
peristiwa yang berkelanjutan yang diarahkan kepada Israel dan oleh karena itu
adalah satu pokok pernyataan. Telah menjadi pendirian Israel bahwa seluruh
kehidupan komunitasnya ditopang oleh suatu tsedaqa
yang akan datang secara konstan yang mengalir menuju mereka (Mzm 50:6). Di sini
keadilan Yahweh dipahami sebagai perintah-perintah-Nya, penyataan yang
sungguh-sungguh secara teratur pada Bait di Yerusalem. Umat dengan senang hati mencintai
perintah Allah yang sungguh-sungguh sebagai tsedaqim[18].
Untuk semuanya itu, perintah-perintah dan aturan-aturan hidup persekutuan
adalah hanya satu bagian dari tsadiq
yang agung yang terus menerus Yahweh wariskan kepada Israel. Tindakan-tindakan
besar dalam sejarah dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan yang menunjukkan
keadilan Yahweh. Tetapi tsadiq Yahweh
adalah sesuatu yang aktif tidak hanya dalam ruang lingkup sejarah, tetapi juga
bekerja di tempat-tempat yang dapat kita sebut “the realm of nature” (seluruh
alam kehidupan; bnd. Joel 2:23f)[19].
Selanjutnya
dalam pandangan von Rad, raja dan kerajaan menjadi titik fokus mengenai
kebenaran di dalam Perjanjian Lama. Menurut von Rad ini tidak mengejutkan,
karena sebagai pemimpin bangsa, raja dianggap sebagai penjamin dan pelindung
dari segala sesuatu di negeri yang menciptakan kesetiaan di dalam hubungan
persekutuan. Tetapi pada jabatan ini meskipun raja hanya sebagai mediator dan wali,
raja bergantung pada fakta bahwa keadilan dan kebenaran diberikan kepadanya
oleh Allah (Mzm 72:1). Pandangan iini direfleksikan lebih jelas pada nubuatan
messianis dalam Yesaya 9:1ff - kharismata yang ajaib yang memampukan seorang yang
diurapi menjadikan kehendak ilahi bagi keadilan berlaku dalam kerajaannya[20].
Dalam
kaitan dengan individu, tsedaqa terkait
dengan bagaimana individu-individu memahami keberadaan mereka sendiri mereka di hadapan Yahweh. Dalam Kejadian
15:6, ada penekanan bahwa iman dinilai sebagai kebenaran. Pada literatur
berikutnya, tsedaqa individual dengan
sepenuhnya sungguh berada dalam hubungan kepada Yahweh dan penyataanNya (Mzm 1;
73; 119). Dan ensesinya adalah bahwa seorang yang benar memelihara
perintah-perintah-Nya. Tsedaqa menjadi suatu perasaan yang kuat
dari individu dalam penyataan kehendak Yahweh, dan kontinuitas hubungan yang
sejati dengan penyataan kehendak Yahweh[21].
3.2.
David
H. Hinson
Menurut
Hinson kebenaran Allah menjadi bagian yang mempengaruhi sejarah karena atas
dasar kebenaran, TUHAN akan menghentikan kejahatan, dan akan mendirikan
kebenaran pada hari-Nya. Pada waktu itu akan ada kedamaian dan keadilan di bumi
(Yes 65:21; Mi 4:4). Mereka yang menolak jalan TUHAN tidak akan pernah dapat
mengganggu kehidupan masyarakat, dan membawa penderitaan dan ketidakadilan.
Mereka akan menghadap pengadilan (Zef 1:15), ketika orang benar akan menerima
perintah baru di bawah pemerintahan Allah (Yoel 2:32). Seluruh tindakan Allah
di tengah-tengah manusia pada akhirnya membawa pada satu waktu di mana semua
orang akan melayani TUHAN (Yes 65:17)[22].
David
F. Hinson kemudian menghubungkan ‘keadilan dan kebenaran’ dengan kesetiaan. Dalam Perjanjian Lama,
kesetiaan Allah selalu dihubungkan dengan kebenaran-Nya (Mzm 85:11; Za 8:8).
Oleh karena itu kebenaran berarti ‘yang sesuai kepada kehendak Allah’. Jadi,
kebenaran Allah ditunjukkan oleh fakta bahwa Allah bertindak menurut
maksud-Nya. Fakta bahwa Allah melakukan demikian adalah satu ukuran dari
kesetiaan-Nya[23].
Atas dasar ini Hinson menegaskan bahwa kebenaran adalah apa yang sesuai dengan
kehendak dan tujuan Allah. Hukum yang diberikan, khotbah dan pengajaran yang
terdapat dalam Perjanjian Lama dimaksudkan untuk membantu manusia memahami apa
yang Allah inginkan dari mereka, dan bagaimana mereka melayani-Nya dengan
sangat baik[24].
Kemudian
menurut Hinson kesetiaan Allah itu dinyatakan
oleh fakta bahwa Ia selalu bertindak sesuai dengan maskud-Nya. Allah sungguh-sungguh
dapat dipercaya dalam maksud kasih setia-Nya. Oleh karena itu siapa yang
beriman kepada TUHAN akan menjadi sama-sama dapat dipercaya dalam hubungannya
dengan orang lain. Mereka akan selalu memperhatikan kebaikan dari para sesamanya,
sebab mereka sepakat untuk mengikuti pimpinan yang diberikan oleh Allah dalam
hubungan-Nya dengan seluruh manusia. Dalam hal ini kesetiaan manusia
ditunjukkan dalam perhatian tentang keadilan
dan kebenaran[25].
Selanjutnya menurut Hinson, untuk membedakan ‘keadilan dan kebenaran’, kita
dapat mengatakan bahwa keadilan
adalah kualitas dari tindakan yang dilakukan oleh seorang manusia yang baik
dalam hubungannya dengan orang lain, sementara kebenaran adalah kualitas dari hati yang membuat tindakan-tindakan
yang demikian mungkin terjadi[26].
3.3.
C.
Barth
C.
Barth menghubungkan keadilan dan kebenaran dengan makna pemilihan Allah
terhadap Yerusalem. Salah satu makna pemilihan Yerusalem adalah sebagai Kota Daud, yakni sebagai kota kerajaan. Yerusalem terpanggil untuk
berkembang sebagai suatu masyarakat yang menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilan. Menurut Barth, Yerusalem telah menerima “modal” kebenaran dan
keadilan dari atas, untuk diperkembangkan, bahkan dilipatgandakan dengan
semangat dan usahanya sendiri. Barth mengatakan, “Sion/Yerusalem terpanggil
untuk menjadi suatu “masyarakat yang penuh keadilan”, bukan hanya di bawah
pemerintahan raja-raja, melainkan juga untuk seterusnya. Panggilannya di bidang
keadilan sosial sudah menjadi sifatnya yang tetap sepanjang masa”[27].
Oleh karena itu Yerusalem menjadi benteng kebenaran dan keadilan. Tanggungjawab
itu dipikul oleh para pemimpin dan raja yang memerintah di Yerusalem.
Selanjutnya Barth menguraikan bahwa pada
masa Yesaya, Yerusalem melupakan panggilannya: “Bagaimana ini, kota yang dahulu
setia sekarang sudah menjadi sundal! Tadinya penuh keadilan dan di situ selalu
diam kebenaran, tetapi sekarang penuh pembunuh” (Yes 1:21). Oleh karena itu
Yesaya menubuatkan berita pemusnahan yang akan menimpa kota itu karena para
pemimpin dan raja tidak melaksanakan tanggungjawabnya (bnd. Yes 5:7)[28].
Hal yang sama juga terjadi pada masa
Yeremia yang mengecam ketidaksetiaan bangsanya di bidang kebaktian (Yer 1–6)
dan pemerintahan raja-raja yang curang serta perilaku masyarakat ibukota (Yer
21:1-23:8). Ia memperingatkan tuntutan Allah atas raja dan rakyat agar
melakukan keadilan dan kebenaran (bnd Yer 22:2-3) dan hukuman karena raja dan
rakyat tidak menghiraukan tuntutan itu (Yer 21:6; 25:29). Namun kemudian Yeremia
menubuatkan tentang pemulihan kota itu untuk menjalani permulaan yang baru
sebagai tempat kediaman kebenaran (Yer
31:23)[29].
Barth juga melihat bahwa kitab Mazmur sangat
mengutamakan tema keadilan, walaupun menurut Barth keadilan itu tidak serta
merta berhubungan dengan Yerusalem sebagai masyarakat kota yang bertanggungjawab
di bidang keadilan sosial. Di mana menurut Barth tema keadilan dalam kitab
Mazmur ada yang hanya menyangkut keadilan Allah selaku Raja dan Hakim atas
umatNya dan atas dunia. Ada yang sematamata mengenai keadilan seorang manusia
di depan Allahnya. Tetapi ada juga yang menyangkut di bidang persekutuan umat
dan masyarakat, khususnya masyarakat Yerusalem. Di dalam kitab Mazmur terdapat
protes atas keadaan masyarakat yang bertentangan dengan panggilan Yerusalem
sebagai “benteng kebenaran dan keadilan”. Ditunjukkan dengan banyaknya jeritan
dan keluh kesah orang-orang “kecil” dan “miskin”, “lemah”, “tertindas” dan
“sengsara” yang menyuarakan suara-suara
protes dan amarah terhadap fitnah, kelaliman dan penindasan. Menurut Barth,
kesaksian kitab Mazmur ini menunjukkan adanya suatu umat yang masih sadar akan
panggilan Yerusalem, yang tetap berani membuka mulutnya demi keadilan, baik
bagi dirinya maupun bagi sesamanya[30].
IV.
Keadilan
dan Kebenaran dalam Pemberitaan Nabi Amos
4.1.
Pemanggilan
dan Pengutusan Amos
Amos adalah seorang
peternak domba dari Tekoa (Am 1:1), suatu desa di pinggiran gurun Yehuda,
kira-kira 15 km di sebelah selatan Betlehem. Selain menggembalakan domba, ia
memugut buah ara hutan, sejenis buah yang harus ditusuk atau dipotong segera
sebelum menjadi masak supaya dapat dimakan. Menurut LaSor, karena pohon ara
tidak terdapat di Tekoa, maka Amos menambah pendapatannya dengan pekerjaan
musiman di sebelah barat Yehuda, tempat pohon buah ara hutan itu tumbuh (lih. 1
Raj 10:27)[31]. Oleh
karena itu Amos juga dipandang sebagai seorang petani. Barangkali ia memiliki
atau mengurus sebuah kebun ara hutan, yang banyak terdapat di daratan rendah ke
jurusan Tasik Masin dan Laut Tengah[32].
Ada penafsir yang
menganggap bahwa Amos bukanlah seorang petani biasa, tetapi seorang yang
mengawasi peternakan domba yang diperlukan untuk Bait Suci di Yerusalem. Sebab
itu, mungkin ia banyak bergaul dengan kalangan sekitar Bait Suci. Berdasarkan
isi kitabnya, Boland menilai bahwa Amos mempunyai pengetahuan yang agak luas
dan dalam, baik mengenai lapangan keagamaan maupun mengenai lapangan politik. Menurutnya
semua pengetahuan itu tentulah tidak “diwahyukan” begitu saja kepadanya[33].
Informasi tentang
pemanggilan dan pengutusan Amos sebagai nabi dapat dilihat dari Amos 7:15, “Tetapi TUHAN mengambil aku dari pekerjaan
menggiring kambing domba dan TUHAN berfirman kepadaku: “Pergilah, bernubuatlah
terhadap umat-Ku Israel”. Nats ini adalah jawaban Amos terhadap kecaman Amazia.
Namun ada perdebatan di antara para ahli tentang keabsahan Amos sebagai nabi
berdasarkan ayat sebelumnya “Aku ini
bukan nabi dan aku ini tidak termasuk golongan nabi, melainkan aku ini seorang
peternak dan pemungut buah ara hutan” (Am 7:14). Beberapa ahli berpendapat
bahwa dengan perkataan itu Amos menyangkal hubungannya dengan jabatan nabi.
Tetapi yang lain menilai hal itu bertentangan dengan ayat 15. Oleh karena itu menurut
mereka ayat 14 sebaiknya disertai keterangan waktu lampau menjadi, “Dulu aku
ini bukan nabi”[34].
Bagi Boland ayat ini tidak
untuk menyangkal kenabian Amos tetapi menunjukkan bahwa Amos bukan seorang nabi
yang mencari nafkahnya dengan melakukan pekerjaan keagamaan. Amos adalah
termasuk “kaum awam” dan hidup dari pencahariannya sehari-hari sebagai seorang
“peternak” atau “petani”[35].
Ia tidak ada hubungannya dan tidak sama dengan nabi-nabi yang ada pada waktu
itu. Ia bukan menjadi nabi supaya ia dapat hidup dari “bernubuat”. Ia mempunyai
cukup penghasilan dari pekerjaannya sehari-hari. Oleh karena itu Amos tidak mau
dianggap sebagai “nabi” tetapi sebagai seorang “petani”. Ia menjadi nabi bukan
karena ia sendiri menyukainya, tetapi karena Tuhan yang memanggil dan
mengutusnya[36].
Menurut Andrew E. Hill
dkk, pernyataan ini menekankan pemisahan diri Amos dari lembaga-lembaga formal
seperti lingkungan istana bait suci[37].
Hal yang sama disampaikan oleh Barnabas Ludji. Menurut Ludji pernyataan itu menunjukkan
bahwa Amos tidak termasuk golongan nabi kerajaan atau nabi kultus yang ada pada
waktu itu. Walaupun demikian Amos adalah seorang nabi, karena ia menjalankan
fungsi kenabian Tuhan yang sesungguhnya. Isi nubuat atau pemberitaannya Amos
telah mengukuhkan dirinya sebagai nabi Tuhan yang sesungguhnya, walaupun ia tidak
memiliki pengakuan resmi dari kerajaan[38].
Dalam pandangan von Rad
pemanggilan Yahweh terhadap Amos, seorang yang mencukupkan dirinya dari bertani
menjadi bagian dari nabi-nabi, menunjukkan sisi panggilan yang pelik/luar biasa
dari Yahweh. Tindakan Yahweh ini juga menunjukkan suatu kondisi darurat oleh
karena itu, Yahweh mendobrak dengan memakai seorang petani. Kata-kata yang
dimuculkan yang menimbulkan perdebatan dan memberi kesan bahwa dia bukan
seorang nabi dan bukan bagian dari serikat nabi manapun, tidak bermaksud
sebagai celaan tentang nebiim sebagai
satu kelas, tetapi hanya untuk menjelaskan fakta yang aneh/asing bahwa dia
tiba-tiba mulai berbicara oleh wahyu (Am 7:15) di dalam keberadaan Amos sebagai
seorang petani yang tidak berhak melakukan demikian[39].
Pendapat lainnya adalah
seperti yang di sampaikan oleh LaSor, dkk. Menurut mereka perkataan itu
mengisyaratkan bahwa Amos adalah seorang nabi profesional dalam menanggapi
penghinaan Amazia, imam Betel, yang berkata kepada Amos, “Pelihat, pergilah, enyahlah ke tanah Yehuda! Carilah makanmu di sana
dan bernubuatlah di sana! Tetapi jangan bernubuat lagi di Betel, sebab inilah
tempat kudus raja, inilah bait suci kerajaan” (Am 7:12,13)[40].
Dengan demikian Amos 7:15 menyatakan Amos sebagai nabi yang tidak bergantung
pada nama atau jabatan nabi (bnd. ay. 14) tetapi pada apa yang harus dikerjakan
atas dasar perintah Tuhan. Pernyataan itu menegaskan bahwa Amos tidak mau dan
tidak akan pernah menjadi bagian dari kelompok nabi yang memakai kenabiannya
untuk mencari keuntungan pribadi.
Atas dasar panggilan
itu Amos melaksanakan tugasnya untuk bernubuat. Ia bernubuat di Israel Utara
pada masa pemerintahan Raja Yerobeam II (793-753 sM atau 787-736 sM). Ketidakpastian
masa pemerintahan Yerobeam II juga membuat masa atau lamanya Amos bernubuat
tidak diketahui dengan pasti. Ada yang berpendapat beberapa tahun bahkan
beberapa bulan. Ada berpendapat antara 750-748 sM, yaitu beberapa saat
menjelang kematian Yerobeam. Ada yang memperhitungkan antara tahun 760 dan 750
sM[41].
Berdasarkan Amos 1:1 disebutkan pada zaman Uzia, raja Yehuda, dan dalam zaman
Yerobeam, anak Yoas, raja Israel, dua tahun sebelum gempa bumi.
4.2.
Kitab
Amos
Kitab
Amos adalah kitab pertama yang menyimpan nubuat nabi di dalam sebuah kitab
sesuai dengan nama nabi yang bernubuat. Namun, kitab Amos tentu tidak begitu
saja ditulis oleh Amos dan segera dibukukan sesudah Amos mengucapkan nubuatnya.
Ada jarak waktu antara nubuat Amos dan terjadinya kitab Amos. Menurut Boland,
sedikitnya ada tiga sumber penulisan kitab Amos: ada bagian-bagian yang
berdasarkan catatan sendiri atau didiktekan kepada seorang jurutulis; boleh
jadi ada sejumlah orang yang masing-masing telah menghafalkan atau mencatat perkataan-perkataan
atau pokok tertentu dari nubuat Amos; dan mungkin ada seorang teman yang telah
mencatatkan dengan teliti peristiwa yang terjadi di Betel[42].
Dalam hal ini penulisan kitab Amos tidak terlepas dari pekerjaan
redaktur-redaktur hingga mencapai bentuknya seperti yang ada sekarang.
Tentang
isi kitab Amos, para ahli membagi kitab Amos ke dalam tiga bagian. Pertama
(pasal 1-2) yaitu nubuat-nubuat terhadap bangsa-bangsa lain, terhadap Yehuda
dan Israel. Kedua (pasal 3-6) yaitu berita mengenai tampilnya Amos sebagai
nabi, perintah Allah kepada Amos untuk bernubuat terhadap Israel. Ketiga (pasal
7-9) yaitu lima penglihatan yang mengandung hukuman[43].
Mengenai
Amos 5, pasal ini terletak pada bagian Amos 3 – 6. Menurut Barth bagian ini seluruhnya
terdiri atas perkataan-perkataan Amos, di mana sebagian mungkin telah diucapkan
di ibukota, di Samaria, sebagian lagi di Betel, tempat bait kerajaan itu
(3:9-4:3; 6:1-14). Pada bagian ini terdapat firman-firman ancaman berisi berita
penghukuman, silih berganti dengan kata-kata kecaman yang mengalaskan
penghukuman itu; dan pada bagian lain muncul unsur peringatan. Selain itu terdapat
beberapa potongan naskah yang bercorak puji-pujian yang mungkin masuk di
kemudian hari (4:13; 5:8-9)[44].
Secara
khusus mengenai ayat 7 dan 24 ada beberapa pandangan yang diberikan para ahli
tentang judul perikop di mana ayat itu berada. Menurut Barth Amos 5:7 merupakan
bagian dari kecaman yang menempelak
sistem masyarakat waktu itu; dan Amos 5:24 adalah peringatan terhadap ibadah orang Israel[45].
Hans Walter Wolff menempatkan ayat 7 pada perikop mengenai “Ratapan kematian
atas Israel” (5:1-17) dan secara khusus menghubungkan ayat 7 tersebut dengan
ayat 10 yang menunjukkan suatu “orakel celaka”. Sementara ayat 24 berada pada
perikop “Penolakan Ibadah” (5:21-27) dan secara khusus dihubungkan dengan ayat
23[46].
Sementara J.A. Motyer menempatkan ayat 7 pada bagian dengan judul “Allah
membuat suatu perbedaan” (5:6-13); dan ayat 24 pada bagian yang membahas
mengenai “Agama di dalam kotak”(5:21-27)[47].
Bernard Thorogood menempatkan ayat 7 pada perikop yang menekankan “Pilihan yang
diperhadapkan kepada Israel” (5:1-17), dan ayat 24 pada bagian mengenai “Hukum
yang akan datang” (5:18-27)[48].
Dari sini penulis menyimpulkan sementara bahwa banyak hal yang terkait dengan
pokok “keadilan dan kebenaran” yang disuarakan oleh Amos yang intinya
menekankan betapa pentingnya “keadilan dan kebenaran” itu diwujudkan.
4.3.
Situasi
kondisi bangsa Israel pada zaman Amos
Kerajaan
Israel Utara pada masa pemerintahan Yerobeam II menikmati “zaman keemasan” di
bidang politik, militer, ekonomi dan pertanian. Seakan-akan timbul suatu zaman
baik, zaman penuh kemakmuran. Perdagangan luar negeri hidup kembali. Di ibu
kota Samaria penduduk merasa aman dan senang dihinggapi perasaan kebanggaan
nasional. Di pusat-pusat keagamaan dilaksanakan perjamuan dan pesta-pesta
dengan kurban-kurban dan nyanyian. Keadaan Israel pada masa itu (antara 760 dan
750 sM) sangat memuaskan. Namun, kondisi itu tidak tidak didukung oleh hidup
keagamaan yang benar dan keadaan sosial di tengah-tengah bangsa itu karena yang
menikmati kemakmuran itu hanyalah golongan atas dan para penguasa sementara
orang lemah dan miskin tertindas. Kondisi itu dapat kita lihat dari apa yang
dijabarkan oleh Mawene dan Ludji[49].
a.
Bidang
politik dan militer
Kemajuan di bidang
politik dan militer dimungkinkan karena pada masa itu bangsa-bangsa di
sekitarnya mengalami kesulitan-kesulitan politik dalam negerinya masing-masing.
Kerajaan Mesir mengalami masa-masa kemunduran karena lemahnya kepemimpinan para
firaunnya. Kerajaan Asyur, mengalami kesulitan politik dalam negeri dan
terlibat konflik dengan kerajaan-kerajaan tetangganya (Babilonia, Media, dan
Uratu). Keadaan ini menghasilkan kondisi yang relatif aman selama setengah abad
lamanya (800-745 sM) di kawasan yang dalam peta Asia Barat Daya kuno dikenal
sebagai Tanah Bulan Sabit yang subur (the
fertile crescent).
Kesempatan
ini digunakan dengan baik oleh ayah Yerobeam II (Raja Yoas bin Yoahas) dengan
merebut kembali daerah-daerah Israel yang terletak di utara dari tangan Siria.
Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Yerobeam II dengan merebut daerah-daerah di
sebelah timur yang sebelumnya dikuasai Siria. Dengan demikian, ia berhasil
menguasai suatu wilayah yang luas yang terbentang dari Hamat di Siria Tengah
sampai ke Laut Araba, yakni Laut Mati (2 Raj 14:25; bnd. Am 6:14). Israel Utara
kemudian tampil sebagai sebagai suatu negara yang kuat secara militer dan
politik, dan disegani oleh negara-negara tetangganya. Kemenangan-kemenangan
militer ini telah menumbuhkan rasa percaya diri dan kebanggaan nasional yang
besar pada masyarakat Israel Utara (bnd. Am 6:13).
b.
Ekonomi
Kestabilan
di bidang politik telah memungkinkan kerajaan Israel Utara mengembangkan
ekonominya ke arah yang lebih maju. Kemajuan di bidang ekonomi ditandai dengan
kemajuan di bidang agraris dan perdagangan. Sebagai negara agraris, kehidupan
dan pembangunan sektor pertanian di Israel Utara berjalan dengan sangat baik.
Kebun-kebun anggur pun banyak diusahakan, bahkan terkesan mewah (bnd Am 5:11).
Hasil perkebunan ara dan zaitun tidak terhitung banyaknya (bnd. Am 4:9). Sektor
peternakan yang dikembangkan di Lembah Basan, maju dengan pesat. Pertumbuhan
ekonomi dan perdagangan maju dengan pesat (bnd Am 8:5a). Ditandai dengan gaya
hidup bermewah-mewah yang melanda golongan atas dan menengah dalam masyarakat
Israel Utara. Terjadi perubahan taraf hidup terutama di kalangan masyarakat
atas Israel Utara yang terdiri dari raja, para bangsawan, dan para pedagang (Am
3:15; 5:11).
c.
Kehidupan
sosial
Kemajauan
di bidang politik dan ekonomi ternyata tidak diimbangi dengan politik
pembangunan yang tepat di bidang pemerataan hasil-hasil pembangunan bangsa.
Segala hasil pembangunan hanya dinikmati oleh kelompok atas (elite). Sebagian
besar masyarakat yaitu rakyat kecil tidak menikmati kemajuan tersebut. Tidak
ada keadilan dan kesadaran berbuat adil dari para elite masyarakat Israel Utara.
Para penguasa dan kroni-kroninya menyalahgunakan kekuasaan mereka. Timbul sikap
hidup bermewah-mewah di kalangan kelompok elite masyarakat Israel (Am 6:4-6) di
tengah-tengah kemelaratan rakyat jelata. Praktik-praktik ketidakadilan, baik di
bidang sosial maupun di bidang hukum berlangsung secara meluas. Terjadi
pelanggaran-pelanggaran hukum berupa perampasan tanah hak milik orang-orang
kecil dan penindasan kepada kelompok kecil dan lemah (Am 2:6; 5:11; 8:4-6). Pelanggaran-pelangaran
terhadap Hukum Taurat (Torah) sebagai sistem hukum mayarakat sering terjadi (Am
2:4; 4:1; 5:11a; 5:12). Kaum pedagang hanya menaruh perhatian pada kemajuan
usaha dan upaya memperoleh untung yang sebesar-besarnya (Am 8:5a), menjual
barang dagangan kadaluarsa (Am 8:6c), memalsukan timbangan (Am 8:5b),
mengandalkan uang untuk menguasai orang lain (Am 8:6a-b). Terjadi praktik
perbudakan (Am 2:6b; 8:6) akibat kesulitan hidup atau akibat ketidakmampuan
membayar kembali utang. Pelacuran berkembang (Am 2:7b) karena tekanan ekonomi
dan berkembangnya agama-agama kesuburan tradisional Kanaan. Timbul sikap
antipati terhadap kebenaran dan siapa saja yang menyuarakannya. Para nazir
dilarang bernubuat degan cara menyogok atau memaksa mereka minum anggur sampai
mabuk (Am 2:12), atau dengan mengancam mereka (bnd. Am 7:10-12).
d.
Bidang
keagamaan
Keadaan
politik yang baik dan kondisi ekonomi yang stabil yang menciptakan kemakmuran
hidup berhasil menyemarakkan kehidupan ritual keagamaan bangsa Israel. Bangsa
Israel sangat bersemangat dan bergairah melakukan ritual dan perayaan keagamaan
dengan kurban-kurban yang banyak dan nyanyian yang semarak (Am 4:4-5; 5:21-26).
Tempat-tempat ibadah ramai dikunjungi dan kegiatan-kegiatan pemujaan di pusta
peribadahan (Dan, Betel dan Gilgal) berjalan dengan lancer. Akan tetapi pada
saat itu juga berkembang sinkritisme sejalan dengan berkembangnya teknologi
pertanian yang bersumber dari agama-agama kesuburan Kanaan. Penyembahan Dewa
Baal dan Dewi Asima menjadi marak, bahkan cenderung menjadi agama resmi di
Israel Utara di samping agama Israel yang Yahwistis. Ibadah kepada Yahweh
menjadi ibadah yang sangat formalistis dan sinkritistis. Bangsa Israel beranggapan
bahwa dengan ibadah dan kurban, mereka sudah memenuhi tuntutan Tuhan dan dapat
menyenangkan hati Tuhan. Akan tetapi, hal itu tidak sejalan dengan tingkah laku
hidup sehari-hari bangsa itu yang penuh dengan ketidakadilan dan penindasan.
4.4.
Makna
Keadilan dan Kebenaran dalam Pemberitaan Nabi Amos
4.4.1.
Amos
5: 7
Pada ayat ini
terkandung salah satu pokok pikiran utama dari pemberitaan Amos, yaitu
perlawanan keagamaan (bukan perlawanan atas dasar suatu program politik) terhadap
kenyataan bahwa negara hukum di Israel diperkosa, yaitu bahwa peradilan adalah
korup (bobrok). Peradilan disebut korup karena hakim-hakim bersekongkol dengan
orang-orang kaya dan orang-orang terkemuka, sehingga untuk orang kecil, yang
miskin dan lemah, tidak ada keadilan dan tidak terdapat perlindungan[50].
Sama seperti pada 5:18
dan 6:1, pada ayat ini Amos menyampaikan tuntutan kepada mereka yang harus
mengadili (hakim-hakim, para tua-tua, dll). Tuntutan yang harus dipenuhi adalah
seperti yang terdapat dalam Ulangan 16:18-20, yakni: peradilan yang adil,
dengan tidak membelokkan hukum (tidak mengadili suatu perkara dengan curang),
dengan tidak pandang bulu, dengan tidak menerima pemberian atau uang suap. Hal
ini sudah disinggung oleh Amos dalam 2:6-7 di mana pada ayat ini dibicarakan
lebih dalam lagi[51].
Perkataan “mengubah keadilan menjadi ipuh”
menggambarkan tindakan hakim-hakim yang memperkosa hukum sedemikian, hingga
keadilan yang seharusnya ditumbuhkan sebagai tetumbuhan yang bertunaskan
keselamatan (bnd. Yes 45:8) menjadi berganti dengan tumbuhan yang berupas (bnd.
6:12). Menurut Boland, tindakan itu juga mengartikan bahwa hakim mencampakkan
kebenaran (dalam arti “keadilan”) ke tanah lau menginjak-injaknya sebagai
sesuatu yang tidak berharga. Ini yang dimaksudkan dalam kalimat “menghempaskan kebenaran ke tanah”. Hal
ini terjadi sebab hakim-hakim tidak menghiraukan kebenaran dan keadilan, tetapi
hanya uang suap (ay. 12)[52].
Dalam hal ini Boland memandang bahwa perkataan “mengubah keadilan menjadi ipuh” dan “menghempaskan kebenaran ke tanah” sama-sama menggambarkan bagaimana
hakim-hakim pada masa Amos lebih mementingkan uang suap untuk keuntungan diri
sendiri dan pihak tertentu daripada keadilan dan kebenaran yang dituntut oleh
Tuhan dan dibutuhkan oleh semua pihak.
Menurut J.A. Motyer, ayat
ini menunjuk pada orang-orang yang menolak perubahan. Hal itu sudah
diperlihatkan walaupun ayat ini tidak ditempatkan sebelum ayat 10. Di sini Amos
menyingkapkan sebuah agama yang membiarkan kehidupan tidak disentuh. Bangsa
Israel sebatas pergi ke tempat ibadah, dan bernyanyi, tetapi sungguh tidak ada perubahan
dalam kehidupan. Keadilan masih tetap berubah asam (7a, 12c) dan kebenaran
masih dilemparkan (76, 12b) ke tanah. Oleh karena itu, kegagalan terletak bukan
pada janji-janji Betel maupun Allah di Betel, tetapi pada kesengajaan yang
tidak ingin berubah dari pelanggaran hukum dan kejahatan[53].
Sementara Bernard Thorogood
menilai ayat 7 sepertinya tidak sempurna dalam bahasa Ibrani, dan menurutnya beberapa
sarjana berpikir bahwa ayat itu seharusnya dihubungkan dengan ayat 10. Thorogood
memandang ayat ini termasuk kepada nubuatan woe-cry,
‘tangisan celaka’ di mana Amos barangkali secara langsung menuduh pendengarnya
mengenai “mengubah keadilan menjadi ipuh” dan mungkin dia mengatakan “woe”
kepada mereka yang melakukan demikian[54].
Pandangan yang sama
disampaikan oleh Hans
Walter Wolff. Menurutnya, sama seperti Amos 5:2-3 dan 4-5 berkisar
seputar tujuan Israel yang fatal, demikian juga unsur pengantar dari 5:7
barangkali mengulangi kata kunci untuk ratapan kematian, bahwa “woe[55]”
pada dasarnya membuka nubuatan ini[56].
Fungsi dari perkataan ini adalah untuk mengatakan peringatan terhadap cara yang
membawa kepada kematian, fungsi ini menjelaskan mengapa 5:7+10 menggambarkan
satu kesatuan nubuatan yang dekat. Dengan demikian menurut Wolff, mereka yang
melanggar keadilan, myspat dan
kebenaran tsedaqa telah membawa
Israel ke jalan kematian[57].
Selanjutnya menurut
Wolff, pasangan kata myspat dan tsedaqa adalah inti yang penting dalam
Amos. Kata itu berulang-ulang muncul dalam pernyataan yang paralel dalam Amos 5:24
dan 6:12, dan keadilan muncul sendiri pada terjemahan berikutnya dalam 5:15. Mungkin
mengejutkan bahwa pasangan kata ini benar-benar tidak dikenal dalam
undang-undang Israel kuno dalam Pentateukh. Akan tetapi, pernyataan paralel
dengan cara yang sama, dijumpai dalam bahan hikmat tua (Amsal 16: 8; 21:3). Hikmat
bahkan berkata-kata tentang dirinya di dalam kebenaran dan keadilan (Amsal 8:20).
Oleh karena itu tidak mengejutkan bahwa kemudian seluruh hikmat dapat diringkas
dengan pasangan kata ini (Amsal 1:3; 2:9 bnd. Kej 18:19). Wolff menilai bahwa alasan
yang mendorong di belakang hikmat amsal Israel adalah bahwa umat seharusnya
tidak meniadakan keadilan dan kebenaran. Setelah Amos kejadian berikut yang
terdata dari pasangan kata ini adalah dalam Jesaya, yang menuduh Israel telah
menyianyiakan dan merusak pemberian ini (Yes 1:21; 5:7; 28:17). Kemudian pada
zaman Yosia, keadilan dan kebenaran dilaksanakan dengan tegas untuk kebaikan
orang miskin dan tertindas (Yer 22:16-17). Hal yang sama diberikan dalam mazmur
Raja Mazmur 72 (ay 1-4, 12-14). Atas dasar itu, Wolff menilai bahwa rangkaian
tradisi yang disketsakan disini seharusnya cukup untuk menjadikan jelas bahwa
Amos berdiri dengan dekat pada sumber sejarah mengenai pasangan kata itu di
Israel[58].
Keadilan yang
dimaksudkan oleh Amos adalah yang diputuskan terjadi di pintu gerbang (5:10 bnd
5:15). Amos tidak berbicara seperti Hosea zaman sesudah dia, tentang fungsi
istana kerajaan dan imam-imam untuk bekerja dalam pelaksanaan hukum. Dengan
keadilan itu Amos bermaksud bahwa aturan yang menegakkan dan memelihara
kedamaian di bawah hukum; direalisasikan
dalam praktek melalui keputusan-keputusan tegas yang dibuat di pintu
gerbang. Penegasan Amos akan hal ini karena masalah-masalah hukum lokal diatur di
pintu gerbang. Sementara kebenaran yang dimaksudkan oleh Amos adalah menunjuk
pada tingkah laku sehubungan dengan aturan ini, yaitu kesediaan seseorang di
mana dirinya sendiri menurut hukum adalah berhak (tsadiq) untuk membela orang
benar yang dituduh dengan tidak adil (bnd 2:6; 5:12)[59].
Namun
apa yang terjadi adalah sebaliknya. Amos meratapi mereka yang mengubah aturan
hukum menjadi sebaliknya, maka keadilan menjadi ipuh (ungkapan kata kerja yang
sama dijumpai dalam Amos 5:8; 6:12; 8:10 dan di tempat lain dalam PL). Ipuh
adalah semacam semak-semak kecil yang tingginya dapat mencapai 1,2 m dan
daun-daun bertangkai yang sempurna, tumbuh subur di daerah sepanjang Spanyol
melewati utara Afrika dan sejauh Iran. Pada awal musim dingin mekar dan
berbuah. Di Palestina tumbuh terutama di Negeb, di hutan belantara Yehuda, dan
wilayah Tarnsjordan. Dikenal karena daging buahnya yang sangat pahit (bnd.
Amsal 5:4) tetapi tidak beracun. Tetapi karena dihubungkan dengan rasa yang
menjijikkan, tumbuhan itu selalu muncul disejajarkan dengan racun (6:12; Ul
29:17 (18); Yer 23:15; Rat 3:19). Kata itu menggambarkan kondisi tak bertuhan
(Ul 29:17/18), tentang seorang yang dibawa ke pembuangan (Yer 9:14-15) dan
tentang seseorang dalam sengsara kematian (Rat 3:19). Itu terjadi karena ‘kebenaran dihempaskan
ke tanah0. Perkataan ‘kebenaran dihempaskan ke tanah’ memakai suatu metafora
yang baru. Jika dibandingkan dengan Yesaya 28:2, ungkapan yang sama digunakan
untuk akibat yang bersifat merusak seperti dari banjir. Gambaran ini
menunjukkan bahwa apa yang terjadi kepada orang yang tidak bersalah benar-benar
nyata di tengah kehidupan bangsa itu. Karena bagaimanapun juga, sepanjang umat
menyebut yang baik itu jahat dan yang jahat itu baik, mereka mengubah yang
manis menjadi pahit[60].
Artinya perkataan Amos menunjukkan suatu fakta yang benar-benar terjadi di
tengah-tengah bangsa itu. Dengan demikian menurut Wolff, keputusan dan aturan
yang sesuai dengan hukum adalah sebagai ramuan obat yang telah Yahweh wariskan
sebagi tujuan dari pemulihan mereka yang diperlakukan secara tidak adil dan pembebasan
bagi mereka yang ditindas; karena keadilan dan kebenaran itu berasal dari
Yahweh.
4.4.2.
Amos
5: 24
Boland menilai bahwa ayat
ini memakai perumpamaan atau kiasan yang agak aneh, karena dikatakan keadilan dan kebenaran bergulung-gulung
seperti air dalam sungai yang selalu
mengalir. Dalam hal inilah menurut Boland para penafsir dengan mengingat
Yesaya 28:17[61],
menganggap ayat ini sebagai pemberitahuan hukuman.
Di mana kata-kata “Tetapi biarlah” pada permulaan kalimat dapat dicoret atau
diganti dengan kata “akan”. Sehingga tafsirannya menjadi: keadilan akan menggulung seperti air bah, yang akan menggulung
segala ketidakadilan di atas bumi[62].
Namun bagi Boland, ada
cukup alasan untuk menterjemahkan dan menjelaskan nas secara lain, yaitu sesuai
dengan inti pokok pemberitaan Amos. Amos menentang “kesalehan” orang-orang yang
dengan rajin turut serta dalam upacara ibadat (lebih-lebih orang kaya), tetapi
dalam praktek hidup sehari-hari tidak menghiraukan Allah dan hukum-Nya. Menurut
Boland di sini Amos mengulangi: Allah menghendaki bahwa di bumi, lebih-lebih di
antara umat-Nya, ditegakkan kebenaran dan keadilan. Keadilan itu haruslah
dijalankan terus menerus, tak henti-hentinya. Oleh karena itu ayat ini dapat
ditafsirkan dengan mengingat Amos 5:14-15; Yesaya 1:10-17; 1 Samuel 15:22-23;
Hosea 6:6; Matius 9:13[63].
Berbeda dengan Boland, T.C.
Witney dan B.F. Price tetap melihat ayat itu sebagai hukuman di mana keadilan
yang bergulung-gulung adalah tindakan Allah terhadap orang-orang yang melakukan
kejahatan dan penindasan. Witney dan Price menuliskan “Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air…. Dan biarlah air
keadilan dan kebenaran itu membersihkan seluruh penindas orang miskin, pembohong,
yang melakukan ketidakdilan, penyembahan berhala, dan yang memberi dan menerima
suap, yang dibenci oleh Yahweh. Tidak lebih dan tidak kurang inilah yang
diminta oleh Allah yang kudus". Menurut mereka hal yang sama juga dikatakan
oleh nabi-nabi lainnya (khususnya Mika 6:6-13; Yes 1:10-20; 58:1-7)[64].
Hal yang sama juga disampaikan oleh Wolff bahwa jika ayat 24 mengawali ancaman
hukuman, maka “keadilan dan kebenaran” harus diterjemahkan menunjuk pada
tindakan Yahweh, di mana makna yang demikian dari kata itu tidak ditemukan pada
bagian lain dari Amos (bnd. 5:7; 6:12) [65].
Sementara menurut
Motyer ungkapan-ungkapan yang Amos gunakan pada ayat 24 berbicara tentang
keadaaan berlimpah (bergulung-gulung seperti air) dan keabadian (sungai yang
selalu mengalir). Namun Motyer mengakui bahwa kadang-kadang gambaran air yang
dicurahkan digunakan di dalam Alkitab adalah tentang penyucian hidup kepada
Allah (bnd 1 Sam 7:6; 2 Sam 23:16). Bahwa seolah-olah hal air yang dicurahkan
melambangkan arah kemana selanjutnya seluruh energi kehidupan disalurkan. Jadi
boleh ditambahkan ide penafsiran atas Amos, bahwa kemudian Allah mencari
kehidupan yang energinya berkelimpahan dan terus menerus, mengalir di dalam
kebenaran dan keadilan: berkembang dan memegang prinsip-prinsip moral hidup
yang logis, dan mempraktekkan prinsip-prinsip ini dalam perilaku pribadi dan sosial.
Oleh karena itu agama menjadi tanpa makna kecuali alirannya adalah keadilan dan
kebenaran[66].
Jika dilihat dari
hubungan dengan ayat sebelumnya, menurut Thorogood ayat 24 bersama-sama dengan
ayat-ayat sebelumnya (ay 21-24) memuat kata-kata yang sangat keras mengenai
cara bagaimana bangsa Israel biasanya beribadah. Amos menyatakan bahwa Allah
menolak pesta, perayaan, kurban, dan musik yang berhubungan dengan ibadah pada
tempat kudus. Apa yang sungguh-sungguh Ia inginkan adalah bahwa Israel
menyatakan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan pribadi dan nasional. Kurban
yang disebutkan oleh Amos bukanlah kebiasaan yang baru diperkenalkan oleh
bangsa Israel pada masanya. Itu adalah bagian dari tradisi tua yang mana
laporannya dapat kita temukan dalam Pentateukh.
Waktu-waktu khusus untuk membuat kurban bakaran terdapat pada Keluaran
29:38-42; aturan untuk membuat kurban hasil tanaman ditetapkan dalam Imamat 2;
dan aturan tentang korban pendamaian terdapat pada Imamat 3. Oleh karena itu,
adalah mungkin, bahwa praktek-praktek itu
telah dimulai sebagai satu cara di mana orang-orang dapat menunjukkan ungkapan
syukur dan ketaatan kepada Allah, dan ketergantungan mereka kepada Allah. Tetapi
pada masa Amos, sistim kurban menjadi tidak berharga, dan tidak lagi yang
menolong umat untuk melakukan kehendak Allah. Menurut Thorogood kesalahan yang
terjadi adalah:
a.
Umat telah mulai beribadah kepada
dewa-dewa, “patung-patungmu” (5:26), pada tempat kudus, sebagai ganti pemujaan
kepada Allah .
b.
Pada tempat kudus umat bertindak dengan
cara-cara yang menunjukkan bahwa mereka berpikir kesenangan mereka lebih
penting dari menyenangkan Allah (2:8)
c.
Umat menjadikan kurban semata-mata
sebagai satu pertunjukan, dan tidak berasal dari kasih kepada Allah (4:5)
d.
Kurban yang diberikan pada tempat kudus
tidak menggambarkan persembahan hidup mereka. Tidak sejalan dengan cara hidup
bagaimana seharusnya (23,24)
Masalah ini ternyata
bukan hanya menjadi perhatian Amos sendiri setelah Amos muncul nabi-nabi lain
berbicara tentang bahaya dari agama palsu ini: Yesaya 1: 11, Mika 6:8; bahkan Yesus
juga mengecam hal yang sama (Mat 23:23)[67].
Ini mendukung apa yang disampaikan
oleh Motyer yang melihat bahwa masalah dengan Gilgal adalah bahwa umat memelihara
agama mereka di dalam sebuah kotak, suatu ruangan yang dimeterai tanpa
komunikasi keluar. Tidak menciptakan perubahan pada hidup sebelum dan
sesudahnya, oleh karena itu tidak ada artinya di hadapan Allah. Tetapi kondisi ini
tidak pernah menjadi maksud Allah atas umat-Nya. Oleh karena itu menurut
Motyer, jika umat memperbaiki hal-hal yang dilupakan dan mengarahkan agamanya
kepada hal-hal yang seharusnya dan kepada maksud Allah, Ia kemudian akan
menarik kembali kekecewaan-Nya dan membuat ketaatan agama mereka menjadi berarti
oleh penerimaanNya dan menggembirakan hati mereka. Kalau saja mereka menyadari
diri mereka sebagai orang berdosa sungguh pasti ada perwujudan yang jelas bahwa
agama mengikat mereka pada suatu perubahan cara hidup. Kalau saja mereka
menyadari Allah yang kudus, sudah pasti mereka akan menemukan suatu tekanan
untuk menjalankan kehidupan mereka menurut karakter dan kehendak yang Dia
nyatakan[68].
Sikap yang demikian
tentu akan sejalan dengan kurban yang Israel persembahkan pada tempat-tempat
kudus. Dengan demikian bangsa Israel perlu menghidupi pemahaman yang jelas
tentang pengertian dari kurban yang sesungguhnya. Pengertian yang mendasar dari
kurban bakaran adalah penyucian total kepada Allah (bnd Kej 22:12). Pengertian
mendasar dari korban pendamaian adalah persekutuan, kepada Allah dan terhadap
orang lain (bnd. Ul 16:10-12), secara khusus kepada mereka yang tidak berdaya,
yang tidak dipedulikan. Apakah kegunaan dari kurban-kurban penyucian yang tidak
berhubungan dengan penyucian hidup kepada kebenaran, atau tentang persekutuan
kurban-kurban yang tidak berkaitan dengan persekutuan keadilan? Itu semua
sia-sia karena berhenti pada gerbang tempat kudus; tidak kembali ke rumah; tidak
memasuki tempat perdagangan[69].
Jelaslah bahwa keadilan
dan kebenaran yang dipraktekkan dalam kehidupan adalah lebih baik dan lebih
penting daripada kesemarakan pujian dalam ibadah. Karena mempersembahkan kepada
Allah ibadah yang mengutamakan aspek luar tetapi menjauhkan diri dari tingkah
laku yang adil adalah menghina Allah. Yang terutama adalah bagaimana ibadah
kepada Allah berjalan dengan benar dan tulus disertai dengan sikap dan
perbuatan yang sungguh-sungguh mewujudkan keadilan dan kebenaran dalam setiap
aspek kehidupan oleh semua pihak. Dengan demikian keadilan akan
bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir yang
membawa bangsa itu kepada hidup yang sejahtera.
V.
Refleksi
5.1.
Hubungan
Keadilan dan Kebenaran dengan kehidupan beragama
Dari situasi dan
kondisi umat pada masa Amos dapat kita lihat bahwa umat Israel sangat
memperhatikan dan antusias melakukan upacara keagamaan dan perayaan agama yang
tanpa cela. Ibadah mereka begitu semarak dan bersemangat. Mereka membawa
hewan-hewan kurban yang tambun yang melimpah ruah. Nyanyian-nyanyiannya
diiringi musik yang dapat mengeksploitasi perasaan. Namun semuanya itu hanya
sebatas rutinitas, dan seremonial belaka. Hal ini terjadi karena bangsa Israel
pada zaman Amos mempunyai anggapan bahwa ibadah yang bersifat ritual merupakan
cara satu-satunya untuk menyembah Tuhan. Mereka menyangka bahwa dengan cara itu
mereka sudah berhasil menyenangkan hati Tuhan. Bangsa Israel beranggapan bahwa
Tuhan dapat disuap dengan persembahan yang melimpah. Tuhan akan melupakan
kejahatan mereka jika mereka bisa memberi suap (korban) kepada Allah. Inilah
yang dikecam oleh Amos. Amos mempunyai pandangan bahwa pemahaman keagamaan yang
seperti itu adalah kesalahan besar. Sebab ibadah dalam pengertian sebenarnya
ialah menyatunya ibadah yang bersifat ritual dengan tingkah laku umat setiap
hari. Barnabas Ludji mengatakan, “Ibadah
ritual dan ibadah dalam bentuk perbuatan dan tingkah laku sosial terhadap
sesama dan lingkungan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan”[70].
Dari apa yang disampaikan oleh Ludji ini dapat diartikan bahwa ibadah tanpa
kebenaran dan keadilan adalah ibadah yang tanpa makna dan formalitas semata.
Ibadah tidak hanya sebatas ritual keagamaan dengan upacara dan perayaan; kurban
dan nyanyian. Akan tetapi harus ditindaklanjuti perwujudan keadilan dan
kebenaran dalam kehidupan.
Keadilan dan kebenaran
penting diwujudkan karena perwujudan keadilan dan kebenaran dalam kehidupan adalah
implementasi dari Taurat TUHAN. Buruknya implementasi Taurat TUHAN dalam
kehidupan sosial umat Israel terutama diakibatkan oleh peyimpangan-penyimpangan dalam praktik peribadahan umat Allah. Sistem peribadahan Israel yang seharusnya
berfungsi baik sebagai lembaga yang memelihara Hukum TUHAN, maupun sebagai lembaga
yang mengingatkan umat Israel untuk selalu menaati hukum-hukum TUHAN dalam
kehidupan sehari-hari, ternyata tidak melaksanakan fungsinya dengan semestinya.
Untuk itu perlu perbaikan dan pembaharuan kehidupan peribadahan umat Allah,
sehingga mampu menopang penegakan sosial dalam masyarakat[71].
Ini menegaskan bahwa hidup peribadahan yang tidak benar akan menimbulkan sikap
hidup yang bertentangan dengan makna ibadah yang sesungguhnya. Bahkan berakibat
pada hidup yang tidak dapat mengimplementasikan makna ibadah yang sesungguhnya
dalam kehidupan.
Pada saat sekarang orang
Kristen dapat menghadapi masalah yang sama ketika memberi perhatian yang lebih
kepada praktek-praktek dan seremoni agama yang menekankan bagian luarnya
dibandingkan doa dalam batin dan hidup yang taat kepada kehendak Allah. Dengan
demikian, bagaimanapun bentuk bangunan di mana kita beribadah di dalamnya, atau
apapun jenis pelayanan gereja yang kita berikan tidak akan berarti tanpa
keadilan-dan kebenaran yang dinyatakan dalam kehidupan. Tentu orang-orang
Kristen dari sebagian besar gereja akan setuju tentang cara-cara terbaik untuk
menghindari bahaya ini:
a.
Amos mengingatkan kita pentingnya
kerendahan hati di dalam ibadah. Orang-orang Kristen datang berama-sama ke
Gereja untuk memuji Dia “yang membentuk gunung-gunung dan menciptakan angin,
dan menyatakan kepada manusia apa yang Dia pikirkan” (Amos 4:13). Jika kita memikirkan
Allah dengan cara demikian, kita akan menemukan tidak lebih mudah memikirkan
diri kita atau, doa-doa kita atau persembahan-persembahan kita. Sebagai
gantinya, kita sebaiknya sangat memikirkan apa yang Allah berikan kepada kita
di dalam ibadah dan dalam seluruh hidup kita. Firman Tuhan yang mau kita
dengar, baca, atau ucapkan adalah lebih besar dibandingkan pembacanya atau
pengkhotbahnya.
b.
Semakin dekat kita hubungkan ibadah kita
dengan seluruh hidup kita, akan lebih membantu untuk menjadikannya demikian.
Jika kita berpikir tentang ibadah kita sebagai sesuatu yang kita lakukan hanya
pada hari-hari kudus dan pada tempat-tempat suci, itu tidak akan berpengaruh
dalam kehidupan rumah tangga, bisnis atau pendidikan atau politik. Ibadah
keluarga di rumah dan doa pribadi kita adalah sama pentingnya dengan ibadah
bersama di tempat kudus, yaitu gereja.
c.
Kita dapat menghindarkan bahaya jika
kita berpikir bahwa seluruh hidup kita sebagai ibadah. Cara di mana kita hidup
akan menunjukkan apa bentuk dari sikap kita kepada Allah dan bagaimana respon
kita kepada pemeliharaan dan kasihNya kepada kita.
d. Seluruh
orang Kristen beribadah kepada Allah “di dalam nama Yesus Kristus”. Dalam
tindakan ibadah kita, sebagaimana dalam seluruh hidup kita, Yesus adalah jalan
di mana kita berusaha untuk mengikutinya. Adalah melalui Dia kita dapat
mendekati Bapa, sama seperti seorang pemohon pada pengadilan dapat mendekati
hakim melalui pengacara atau advokat. Artinya bahwa kita berdosa kepada Allah,
dan menyembah Allah, di dalam Roh Yesus Kristus, dan menurut pengajaran yang
telah dia ajarkan kepada kita, ibadah kita lebih dekat kepada apa yang Allah
inginkan[72].
Dapat
dikatakan bahwa apa yang harus dilakukan oleh gereja sebenarnya sudah
terkandung di dalam trilogi tugas panggilan gereja. Darwin Lumbantobing mengatakan
bahwa di dalam tirologi tugas panggilan gereja koinonia, diakonia, dan marturia
sudah tertuang bagaimana gereja memahami hakekat dan keberadaannya. Trilogi
tugas panggilan gereja ini merupakan realisasi hubungan gereja secara vertikal
kepada Kristus, sekaligus hubungan horizontal dengan manusia dan dunia ini.
Bersekutu dengan Tuhan yang direpresentasikan di dalam setiap ibadah, baik
secara kolektif maupun individual harus menjadi penampakan hidup berdampingan
dengan semesta alam dan sesama manusia. Melayani Tuhan melalui semua talenta
dan pemberian Tuhan akan semakin konkret apabila diwujudnyatakan dengan
tindakan konkret pula. Kesaksian iman bukan hanya sekedar verbalitas, tetapi
juga dengan tindakan dan perbuatan yang tepat guna di dalam kehidupan (bnd. Yak
1:22). Melalui trilogi tugas panggilan, gereja dipahami sebagai pewaris misi
mesianis Kristus. Artinya, tugas jabatan Kristus yang rajani, nabi dan imani
terletak di dalam tritugas panggilan gereja. Dengan pemahaman ini, hakekat dan
kehadiran gereja tidak boleh dipahami hanya dalam urusan ritual peribadatan
saja. Gereja sebagai pengemban tugas panggilan yang rajani, nabi dan imami
harus turut serta menangani masalah-masalah kehidupan yang konkret, yang
merupakan pergumulan nyata manusia itu sendiri (bnd. Luk 4:18-19; Mat 25:35-37)[73].
Dengan
dasar ini gereja harus menyadari bahwa waktu dan energinya tidaklah hanya
memikirkan seremoni-seremoni atau masalah internal gereja tetapi juga
memikirkan dunia di mana gereja berada dan apa yang harus gereja lakukan atas
persoalan yang ada di sekitarnya. Ini sejalan dengan kenyataan bahwa pelayanan tidak bisa lepas dari hidup
gereja. Gereja yang adalah lembaga, persekutuan umat Allah di dunia ini ada untuk
melayani: melayani Allah dan melayani manusia. Artinya pelayanan gereja adalah
pelayanan kembar: pelayanan kepada Allah dan pelayanan kepada manusia. Kedua
pelayanan ini berhubungan erat. Melayani Allah berarti melakukan kehendak Allah
dan melakukan kehendak Allah berarti berada di dunia untuk manusia. Melayani
manusia berarti melakukan apa yang ia butuhkan berarti melakukan apa yang Allah
kehendaki. Melakukan apa yang dibutuhkan manusia berarti melakukan segala
sesuatu yang mendatangkan keselamatan kepada manusia. Yaitu memperjuangkan
supaya manusia bebas dari penindasan dan ketidakadilan[74].
Itulah ibadah yang sejati.
5.2.
Implementasi
Keadilan dan Kebenaran dalam Kehidupan Sosial, Berbangsa dan Bernegara
Ketegasan
Amos menyuarakan keadilan dan kebenaran dalam pemberitaannya jelas dilatarbelakangi
oleh sikap hidup yang korup di Israel. Ditandai terjadinya kepincangan sosial.
Yang kaya dan berkuasa semakin kaya dan berkuasa; yang miskin dan lemah semakin
miskin dan lemah. Di dunia peradilan terjadi suap menyuap, yang salah
dibenarkan karena uang. Dengan demikian keadilan dan kebenaran itu perlu terus
menerus disuarakan untuk diwujudkan oleh semua pihak karena menyangkut seluruh
aspek kehidupan.
Menurut Walter Zimmerli, keadilan di
dalam Perjanjian Lama tidak pernah sebagai Justitia yang buta. Keadilan selalu
dipahami sebagai satu aspek dari perasaan dengan mata terbuka. Ini diperlihatkan
oleh perintah yang paling konkrit di dalam Perjanjian Yahweh dengan bangsa-Nya:
“Jika engkau meminjamkan uang kepada
salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah
engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu
bebankan bunga uang kepadanya. Jika engkau sampai mengambil jubah temanmu
sebagai gadai, maka haruslah engkau mengembalikannya kepadanya sebelum matahari
terbenam, sebab hanya itu saja penutup tubuhnya, itulah pemalut kulitnya -- pakai
apakah ia pergi tidur? Maka apabila ia berseru-seru kepada-Ku, Aku akan
mendengarkannya, sebab Aku ini pengasih." (Kel 22:25-27). Yahweh
memperlihatkan pribadinya sebagai: ‘Aku ini penuh kemurahan hati’. Zimmerli
menyimpulkan, “Oleh karena Israel mencintai
Dia yang murah hati ini, yang juga bermurah hati kepada mereka, jadi Israel harus
bermurah hati kepada sesamanya”[75].
Oleh
karena “kebenaran” di dalam Perjanjian Lama adalah gambaran bagaimana Allah
bertindak, maka kebenaran yang dituntut dari umat memiliki ciri tersendiri.
Kebenaran itu tidak dapat dilukiskan secara lengkap dengan memakai konsep
keadilan yang bersifat sama rata. Kebenaran ini dialiri oleh belas kasihan dan
mengandung keprihatinan dan cenderung untuk memihak pada yang tidak berdaya. Di
dalam zaman perubahan sosial yang berjalan cepat, di mana banyak petani miskin
yang terlibat hutang, di mana banyak hakim mengharapkan suap, di mana golongan
pedagang yang baru muncul lebih menghargai uang daripada persaudaraan manusia,
nabi Amos menuntut: biarlah keadilan bergulunggulung seperti air dan kebenaran
seperti sungai yang selalu mengalir. Artinya mengikis dari kehidupan
bermasyarakat kondisi-kondisi di mana orang menjual orang benar (yakni yang
tidak bersalah) karena utang dan orang miskin karena sepasang kasut;
menginjak-injak kepala orang lemah ke dalam debu dan membelokkan jalan orang
sengsara (Am 2:6-7; bnd. 5:12)[76].
Perlawanan
kenabian terhadap pelanggaran kerajaan atas hak dan kepentingan umat sudah tercermin
dalam hukum reformasi Deutronomis. Hukum Deutronomis mengundang Israel untuk
menyamai kepedulian Yahweh kepada kaum miskin, kaum tertindas, janda-janda,
yatim-piatu, dan korban-korban lain dalam masyarakat. Bahkan orang asing harus
diperlakukan sewajarnya. Administrasi hukum (misypat), harus dijalankan untuk mengupayakan kebaikan Allah (tsedaqah), karena tsedakah, kebaikan atau keadilan sosial adalah “barometer kesehatan
masyarakat”. Ini berarti bahwa kesalahan dan ketidakadilan sosial ditebus
sebagai kewajiban. Kekuasaan dari mereka yang mendapat hak istimewa harus
berada di bawah pengawasan. Hukum dan penerapan hukum tunduk kepada hukum
kebaikan sosial. Ini dapat mewujudkan visi kenabian tentang hidup manusia di
dalam damai dengan sesama dan dalam harmoni dengan seluruh ciptaan, dan
kemuliaan Tuhan dinyatakan[77].
Amos melihat Israel
dalam suatu situasi khusus di mana umat harus hidup, dan dia tidak ragu untuk
menunjukkan ketidakadilan yang dia lihat di sana. Dia benar-benar memperhatikan
hal itu. Dia merasa bahwa firman Allah yang dia katakana bukan hanya tentang
ibadah palsu, tetapi juga mengenai tidak adanya keadilan di Israel. Berbicara
seperti ini Amos tidak melakukan sesutau yang sama sekali baru. Di dalam Pentateukh
kita menemukan berulang kali bahwa hukum Allah berhubungan dengan keadilan di
antara manusia (Ul 15: 7-11; 15: 12-18; 24:14,15). Hukum yang Allah berikan
kepada bangsaNya di dalam PL menunjukkan bagaimana Ia mengharapkan bahwa
manusia saling menyenangkan satu sama lain. Itu menunjukkan bahwa Allah mengharapkan
ada keadilan di masyarakat.
Menurut Thorogood, kita
dapat melacak asal usul dari “perhatian sosial” ini seperti yang kita sebut
sekarang di dalam PL, dengan kembali kepada cerita-cerita tentang penciptaan
dalam konsep Allah menciptakan manusia “di dalam gambar dan rupa-Nya”. Jika
“manusia” artinya” manusia secara umum”, itu juga berarti setiap manusia manusia
adalah anak Allah. Dengan demikian menurut Thorogood, umat Israel harus belajar
bahwa setiap individu adalah sama-sama penting, dan atas dasar itu tidak ada
siapapun yang dapat diremehkan dan ditindas oleh sesamanya. Perhatian Allah
kepada orang miskin dan lapar, terhadap janda dan yatim, adalah teladan atau contoh
yang diharapkan oleh Allah diikuti oleh bangsa Israel. Thorogood melihat bahwa
perhatian kepada orang miskin dan lapar, janda dan yatim juga menjadi perhatian
di dalam PB bahkan lebih kelihatan. Ia mengatakan, “Ketika kita membaca PB, kita menemukan bahwa perhatian yang sama
tentang keadilan di antara manusia dibuat lebih kelihatan oleh Yesus dalam
pelayanan-Nya. Dan pada gereja mula-mula, Roh Kudus memimpin para rasul untuk
mengekspresikan perhatian yang sama ini dalam tindakan” (lih Kisah 4:32-37)[78].
Dalam
kaitannya dengan gereja, menurut Thorogood, sudah jelas bahwa pengajaran Amos,
dengan perhatian kepada yang kaya dan miskin, adalah sesuatu yang penting bagi
kita sekarang ini. Amos mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk menciptakan
masyarakat yang adil adalah suatu persoalan religius. Tentu saja, kita harus
mengakui bahwa banyak orang yang bekerja untuk keadilan sosial bukan orang
Kristen. Di beberapa negara di dunia orang-orang dari agama lain, dalam
kehidupan peribadi mereka, atau melalui badan-badan perwakilian, bekerja untuk
menciptakan kehidupan yang lebih baik untuk sesama bangsa mereka. Oleh karena
itu gereja tidak boleh tinggal diam. Gereja harus bekerja dan bahkan dapat
bekerjasama dengan yang lain. Thorogood melihat ada alasan-alasan khusus
mengapa orang Kristen harus aktif dalam pekerjaan itu dan kebenaran-kebenaran
khusus yang perlu diingat dalam pelaksanaannya:
1.
Orang Kristen ambil bagian dalam
tindakan sosial karena mengasihi dan menghormati Allah. Orang Kristen ingin
melihat kehendak-Nya dilaksanakan di bumi seperti di sorga. Dan percaya bahwa
adalah kehendak-Nya setiap manusia memiliki hak yang sama untuk menikmati dan
menggunakan talenta yang telah Ia berikan. Jadi kita harus hati-hati untuk
tidak mendasarkan tindakan kita pada kecemburuan atas orang-orang yang lebih
kaya dari kita, atau kebanggaan pada ras kita, atau kebencian pada orang asing atau
para pendatang. Dengan kata lain, perhatian kita pada tindakan sosial bertumbuh
dari iman dalam Allah sebagai Bapa dan Tuhan. Yesus menunjukkan begitu dekatnya
kedua aspek dari iman ini diikat bersama-sama (Mat 25:45).
2.
Hati nurani setiap pribadi orang
Kristen, dan kata hati seluruh gereja, diterangi oleh Roh Kudus (Yoh 14:6).
Jadi kita mengharapkan Gereja menjadi pihak yang pertama dari bangsa yang
melihat ketidakadilan, membongkarnya, dan berusaha untuk menyembuhkannya.
Tetapi sayangnya kita harus mengakui bahwa sering kasusnya tidak seperti ini.
Sangat sering orang Kristen menutup telinga kepada hati nurani, dan gereja
seringkali menutup matanya terhadap persoalan sosial.
3.
Yesus mengajarkan bahwa masyarakat harus
menghormati hukum di negaranya (Mrk 12:17),
demikian juga dikatakan oleh rasul-rasul (Roma 1:1-3; 1 Pet 2:13-14). Maka
ketika orang Kristen berpikir bahwa suatu hukum adalah jahat, itu artinya orang
Kristen harus menentang hukum itu jika tidak ada kesempatan untuk mengubahnya
sama sekali. Menentang suatu hukum adalah satu metode yang ekstrim dalam
mengambil tindakan sosial, dan orang Kristn harus bersedia menerima hukuman
karena melakukan yang demikian. Orang Kristen di Roma menentang hukum mengenai
peyembahan Kaisar – karena mereka tidak dapat merubah peraturan itu – meskipun
hukuman karena ketidaktaatan adalah kematian. Orang-orang Kristen di beberapa negara
komunis dan totaliarianisme sekarang ini mungkin diperhadapkan pada sejenis
ujian yang sama.
4.
Perkataan dan pekerjaan Yesus
menunjukkan kepada kita bahwa Allah mencintai dan menilai setiap pribadi
manusia. Jadi orang Kristen dipanggil untuk melayani orang-orang bukan hanya
yang dikenal, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan.
5. Orang
Kristen juga perlu mengingat bahwa bentuk yang lebih baik dari masyarakat
sosial yang ingin dibangun tidak sama seperti Kerajaan Allah. Artinya bahwa
orang Kristen menerima tugas yang harus dengan segera dilakukan di dunia
sekitarnya sebagai satu bagian dari keseluruhan tujuan Allah terhadap
masyarakat sosial, tetapi harus hati-hati untuk tidak menilanya sebagai satu-satunya
cara untuk mengemban kehendak Allah di dunia ini[79].
Dalam hal ini gereja
benar-benar harus menyadari tentang tugas dan tanggungjawabnya di dunia. Gereja
yang difahami sebagai gerakan kenabian kritis harus bertindak sebagai
peringatan sehingga dunia modern peduli dengan kaum tertindas, karena dunia ini
sudah penuh dengan orang-orang susah. Eleazar S. Fernandez memandang bahwa gereja
sebagai suatu gerkan kenabian kritis adalah untuk mengingatkan gereja pada akar
pengalamannya sehingga gereja menemukan peran dan tujuannya yang khas. Hal itu
untuk menguatkan gereja dalam gerakan kritik sosial sebagaimana mestinya.
Identitas gereja yang benar adalah sebagai gerakan sosial kenabian dan jika
menyimpang dari identitas ini akan membuat gereja kehilangan tujuan. Sebagai
gerakan sosial kenabian, gereja berdiri dalam solidaritas bersama dengan
orang-orang yang telah memberikan hidupnya dalam bentuk kesaksian kenabian pada
masa kini. Gereja menjadi satu dengan orang-orang yang menderita, dan gereja
menderita dalam perlawanan terhadap penderitaan[80].
Partisipasi gereja dalam kehidupan berbangsa dan bernegara harus dapat
dirasakan kelompok-kelompok marjinal. Suara kenabian gereja harus mengarah
kepada terwujudnya nasionalisme, yang menyatakan keadilan, dan menghilangkan
sifat primordialisme dan kritis terhadap tindakan yang mengeksploitasi rakyat
kecil, miskin dan lemah[81].
Gereja di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah berjuang
menegakkan keadilan, perdamaian dan kemanusiaan. Hal ini hanya dapat
ditunjukkan jika gereja melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat dan
bagian dari orang-orang yang menderita[82].
Dengan demikian gereja
harus menggumuli masalah-masalah ketidakadilan serta memperjuangkan supaya
manusia diperlakukan sesuai dengan martabatnya. M.M. Thomas sebagaimana dikatakan
Becker, melihat bahwa selain berupa pernyataan kasih yang kekal dari Allah,
salib juga mencelikkan indera kita agar peka terhadap kejahatan yang hidup di
dalam institusi-institusi keagamaan, masyarakat dan negara. Oleh karena itu
bagi Thomas di mana gereja berpartisipasi untuk menyatakan keadilan, maka itu
harus terjadi dengan selalu bertitik tolak dari keadilan kerajaan Allah yang
datang kepada manusia melalui penghakiman Allah dan pengampunan dosa[83].
Dengan
memperhatikan seluruh kecaman keras Amos terhadap segala ketimpangan dan
keburukan dalam bidang sosial, dapat dipertimbangkan apa yang disampaikan oleh Mawene
tentang apa yang perlu untuk dilakukan[84]:
-
Mengusahakan terciptanya kondisi sosial
yang adil dalam mayarakat.
-
Mengusahakan perbaikan relasi sosial
antar individu dalam masyarakat dan setiap orang di dalam masyarakat dihargai
sebagai sesama manusia.
-
Mengusahakan diakhirinya
pelanggaran-pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat, sehingga tercapai
suatu kehidupan yang adil dan bertanggungjawab.
-
Mengusahakan berlangsungnya perdagangan
yang adil dan jujur, di mana para pedagang berdagang dan memperoleh keuntungan
secara halal dan bukan dengan cara-cara manipulasi dan rekayasa.
-
Mengusahakan agar pemimpin bangsa
(termasuk seluruh elit politik, tokoh masyarakat, dan tokoh agama) hidup dengan
benar dan jujur, serta melakukan kewajiban-kewajibannya dengan benar sesuai
dengan kehendak TUHAN, sehingga tercipta kemakmuran, keadilan, dan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
VI.
Kesimpulan
1.
Keadilan dan kebenaran adalah nilai kehidupan
umat dengan Tuhan dan dengan sesamanya ditandai dengan kehidupan yang berjalan
sesuai dengan kehendak Allah di mana semua pihak menerima apa yang menjadi
haknya dan dapat menjalani kehidupan sebagaimana yang sepatutnya. Keadilan dan
kebenaran menggambarkan bagaimana hubungan umat dengan Tuhan serta dengan
sesama terjalin dengan baik dan benar yang diperlihatkan oleh sikap hidup yang sesuai
kebenaran Tuhan dan memberi kebaikan bagi sesama.
2.
Berdasarkan pemberitaan nabi Amos, jelaslah
bahwa persoalan keadilan dan kebenaran menjadi pokok yang tidak bisa diabaikan
dalam kehidupan tetapi harus terus menerus bergema dan menjadi bagian yang
penting dan utama dalam kehidupan umat beragama karena sudah sejak lama
sikap-sikap dan indakan-tindakan yang tidak menghiraukan keadilan dan kebenaran
terjadi di tengah-tengah kehidupan beragama yang semarak dan bersifat seremoni
semata.
3.
Seruan nabi Amos memperlihatkan bahwa
keadilan dan kebenaran menjadi ukuran bagaimana Allah menilai keberadaan
manusia itu di hadapan-Nya. Penekanan nabi terhadap perwujudan keadilan dan
kebenaran di dalam kehidupan tidak dimaksudkan untuk mengabaikan pentingnya kehidupan
beragama (ibadah) yang hikmat dengan segala ritus dan seremoninya. Tetapi itu
adalah untuk menyadarkan umat bahwa menjadikan ibadah sebagai tameng atas ketidakadilan
dan penindasan adalah kejahatan dan hal yang sangat dibenci Tuhan. Itu
bertentangan dengan makna ibadah yang sesungguhnya bahkan sebagai ‘penghinaan’
terhadap Allah. Ibadah yang sesungguhnya adalah perpaduan antara penyembahan
yang tulus kepada Tuhan dan perwujudan keadilan dan kebenaran terhadap sesama.
4.
Keadilan dan kebenaran menjadi
tanggungjawab setiap manusia dan orang Kristen harus menjadi pelopor yang
melaksanakan dan mewujudkan keadilan dan kebenaran itu di dalam kehidupan.
Dasarnya adalah karena orang Kristen telah menerima keadilan dan kebenaran dari
Tuhan yang dipercayainya.
5.
Gereja tidak boleh larut dengan hal-hal
yang berkaitan dengan seremoni dan masalah-masalah internal semata tetapi
gereja harus membuka mata terhadap sekitarnya untuk melihat persoalan-persoalan
ketidakadilan dan penindasan yang terjadi sehingga gereja dapat bersikap dan
melakukan aksi untuk menentang ketidakadilan dan penindasan yang terjadi terhadap
orang-orang miskin dan lemah. Gereja tidak boleh tinggal diam tetapi harus
berbuat sebagaimana yang terkandung di dalam trilogi tugas panggilannya.
6. Melalui
pemberitaannya Amos mau menyampaikan kondisi keadilan dan kebenaran yang
dipandang tidak perlu dan bernilai oleh para pengambil keputusan (tua-tua dan
hakim-hakim) sehingga tidak dilaksanakan dalam kehidupan masyarakat (Amos 5:7)
oleh karena itu Amos menyerukan bahwa keadilan dan kebenaran adalah bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehingga harus dilaksankan sepanjang
kehidupan seperti air yang mengalir terus menerus (Amos 5:24); dan apabila itu
tidak diwujudkan maka Allah akan menyatakan keadilan dan kebenaran-Nya yang
menjadi hukuman bagi mereka yang menentang kehendak-Nya tetapi berkat bagi
orang miskin, lemah dan tertindas.
VII.
Kepustakaan
1.
Andrew
E. Hill & John H. Walton, Survei
Perjanjian Lama, Gandum Mas, Malang, 1998.
2.
Barnabas
Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2,
Bina Media Informasi, Bandung, 2009.
3.
Bernard
Thorogood, A Guide to The book of Amos,
SPCK, London, 1971.
4.
B.J.
Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1997.
5.
C.
Barth, Theologia Perjanjian Lama 3,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
6.
------------,
Theologia Perjanjian Lama 4, BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
7.
Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar, 2007.
8.
David
F. Hinson, Old Testament Introduction 3:
Theology of the Old Testament, SPCK, London, 1982.
9.
D.C. Mulder, Pembimbing
ke dalam Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
10.
Dieter
Becker, Pedoman Dokmatika; Suatu
Konpendium Singkat, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009.
11.
Eleazer
S. Fernandez, Toward A Theology of
Struggle, New York, Orbis Book, 1994.
12.
G.
Johannes Botterweck, dkk (ed), Theological
Dictionary of the Old Testament, Vol.
IX, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids,
Michigan/Cambridge, UK, 1998.
13.
----------------------------------,
Theological Dictionary of the Old
Testament, Vol. XII, William B.
Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/Cambridge, UK, 2003.
14.
G.
von Rad, Old Testament Theology, Vol. I,
Harper & Row Publishers, New York and Evanston, 1962.
15.
----------------,
Old Testament Tehology, Vol. II,
Oliver and Boyd, Edinburgh, 1970.
16.
Hans
Walter Wolff, A Commentary on the Books
of the Prophets Joel and Amos, Fortress Press, Philadelphia, 1977.
17.
Horst
Balz and Gerhard Schneider (ed), Exegetical
Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing
Company, Grand Rapids, Michigan, 1990.
18.
J.A.
Motyer, The Message of Amos,
Inter-Varsity Press, Leicester, England, 1974.
19.
J.
Blommendaal, Pengantar Perjanjian Lama,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1993.
20.
J.D.
Douglas (peny.), Ensiklopedi Alkitab
Masa Kini, Jilid 1, A – L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1994.
21.
J.L.Ch.
Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman
Kristen, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008.
22.
John
W. de Gruchy, Agama Kristen dan
Demokrasi; Suatu Teologi bagi Tata Dunia yang Adil; BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 2003.
23.
Mangisi
S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan
Luther Dan Relevansinya di Indonesia, Kolportase Pusat GKPI, 2008.
24.
Marthinus
Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan
Teologi Kontekstual, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008.
25.
Robert
Davidson, Alkitab Berbicara, BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 2001.
26.
T.C.
Witney & B.F. Price, Amos; The
Christian Student’ Library, The Christian Literature Society, Park Town,
Madras, 1956.
27.
Walter
Zimmerli, The Old Testament and The
World, John Knox Press, Atlanta, 1976.
28.
W.S.
LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama
2; Sastra dan Nubuat, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996.
[1] Selain Amos adalah Yesaya, Mikha,
Yeremia, dan Habakuk.
[2] Lih. Marthinus Theodorus Mawene,
Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008: hlm.100-101.
[3] B. Johnson, “jpvm misypat
…”, dalam G.
Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological
Dictionary of the Old Testament, Vol.
IX, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids,
Michigan/Cambridge, UK, 1998: hlm. 87.
[4] J.B. Payne, dkk., “Adil,
Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, A – L, Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1994: hlm. 11. Bnd. B. Johnson, jpvm misypat …, dalam G. Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological Dictionary of the Old Testament,
Vol. IX., hlm. 88-95.
[5] B. Johnson, “… hqdc, tsedaqa…”, dalam G.
Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological
Dictionary of the Old Testament, Vol.
XII, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids,
Michigan/Cambridge, UK, 2003: hlm. 243.
[6] J.B. Payne, dkk, “Adil,
Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, (peny), Ensiklopedi Alkitab … op. cit., hlm. 11.
[7] J.B. Payne, dkk, “Adil,
Keadilan dan Kebenaran”.. loc.
cit., hlm. 11.
[8] Ibid., hlm. 11,12.
[9] B. Johnson, “… hqdc, sedaqa…”, dalam G.
Johannes Botterweck, dkk, Theological
Dictionary … op. cit., hlm. 246-247.
[10] J.B. Payne, dkk., “Adil,
Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab … op. cit., hlm. 12.
[11] K. Kertelge, “dikaiosunh”,
dalam Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical
Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing
Company, Grand Rapids, Michigan, 1990: hlm. 326.
[12] J.B. Payne, dkk., “Adil, Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D.
Douglas, Ensiklopedi Alkitab … op.
cit., hlm. 12.
[13] H. Hubner, “alhqeia”,
dalam dalam Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B.
Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1990: hlm. 58.
[14] Lih. G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, Harper
& Row Publishers, New York and Evanston, 1962: hlm. 370.
[15] G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, hlm. 371.
[16] Ibid, hlm. 372-373.
[17] Ibid., hlm. 373.
[18] G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, hlm. 374-375.
[19] Ibid., hlm. 375.
[20] Ibid., hlm. 375.
[21] G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, hlm. 378-382.
[22] David F. Hinson, Old Testament Introduction 3: Theology of
the Old Testament, SPCK, London, 1982: hlm. 31.
[23] Ibid., hlm. 106.
[24] Ibid., hlm. 112.
[25] Kedua kata ini selalu digunakan
untuk menterjemahkan satu kata tunggal dalam kalimat bahasa Ibrani yang
mencakup kedua pengertian itu
[26] David F. Hinson, Old Testament Introduction 3…, hlm.
116-117.
[27] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 3, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009: hlm.
32.
[28] C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 3., hlm. 34.
[30] Ibid., hlm. 36-38.
[31] W.S. LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2; Sastra dan
Nubuat, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996: hlm. 195-196.
[32] B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 1997: hlm. 3.
[33] Ibid., hlm. 3.
[34] Lih. W.S. LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2 …, hlm.
196.
[35] B.J. Boland, op. cit., hlm. 3.
[36] Lih. B.J. Boland, hlm. 91-92.
Pada zaman itu kata “nabi” menyatakan pada umumnya semacam jabatan atau
pekerjaan sehari-hari: pembuat-pembuat keajaiban, penenung-penenung,
peramal-peramal, penasihat-penasihat dan sebagainya seperti terdapat dalam
berbagai agama-agama (bnd. Ul 13:1; 1 Raj 22:5 dyb). Biasanya mereka hidup
bersama-sama dalam golongan atau persekutuan, misalnya di Betel (2 Raj 2:3
dyb), di Gilgal (2 Raj 4:38), di pegunungan Efraim (2 Raj 5:22). Agaknya mereka
kadang-kadang mendapat pendidikan dalam semacam pesantren atau “sekolah nabi”
(misalnya seperti di Rama; 1 Sam 19:18 dyb). Ada juga “tukang-tukang nubuat”
yang melatih diri dalam keadaan “kerasukan roh” dan menggiatkan keadaan itu
dengan perantaraan musik yang merangsang (1 Sam 10:5). Mereka hidup dari
pemberian dan sedekah atau mendapat bayaran untuk keterangan dan
keajaiban-keajaiban yang mereka berikan (1 Sam 9:6; 2 Raj 5:20-23) atau dibayar
dari kas negara seperti nabi-nabi Baal dan Asyera pada zaman Aha dan Izebel (1
Raj 18:19).
[37] Andrew E. Hill & John H.
Walton, Survei Perjanjian Lama,
Gandum Mas, Malang, 1998: hlm. 609.
[38] Lih. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 2, Bina
Media Informasi, Bandung, 2009: hlm. 51.
[39] G. von Rad, Old Testament Tehology, Vol. II, Oliver and Boyd, Edinburgh, 1970:
hlm. 131.
[40] Lih. W.S. LaSor, dkk., Pengantar Perjanjian Lama 2, hlm. 195.
[41] Lihat. B.J. Boland, hlm. 4; W.S.
LaSor, dkk, hlm. 197; Barnabas Ludji, hlm. 50.
[42] Lih. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, hlm. 4.
[43] Lih. J. Blommendaal, Pengantar Perjanjian Lama, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 1993: hlm. 130-131. Bnd. D.C. Mulder, Pembimbing ke dalam Perjanjian Lama, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
hlm. 166-167; LaSor, hlm. 199. Bnd.
[44] Lih. C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 4, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 1993: hlm. 45
[45] Ibid., hlm. 46.
[46] Lih. Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of the Prophets
Joel and Amos, Fortress Press, Philadelphia, 1977: hlm. 233, 261.
[47] Lih. J.A. Motyer, The Message of Amos, Inter-Varsity
Press, Leicester, England, 1974: hlm. 111,129.
[48] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, SPCK,
London, 1971: hlm. 55,62.
[49] Lih. Marthinus Theodorus Mawene,
Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual,
hlm. 198-206. Bnd. Lih. Barnabas Ludji, Pemahaman
Dasar … , hlm. 51-54.
[50] Lih. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, hlm. 56.
[51] Ibid., hlm. 57.
[52] Ibid., hlm. 57.
[53] J.A. Motyer, The Message of Amos, hlm. 112.
[54] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm. 58.
[55] Tentang woe-cry
dalam Amos, ada tiga jawaban yang dipertentangkan terhadap pertanyaan asal
mulanya. (a)Tangisan celakah yang bersifat nubuatan adalah transformasi
kutukan-kutukan kultus yang yang sejenis dijumpai di dalam kutukan dodekalog Ul
27: 15-26. Tesis ini didukung oleh Mowinckel dan dikerjakan oleh Westermann (b)
Bentuk dasar dari woe-cry secara bebas dibentuk oleh nabi-nabi, yang diambil
dari ratapan kematian. (c) Bentuk dasar dari woe-cry, dengan partisip jamak
atau deskriptif substantive dari sikap tingkah laku tercela, harus dicari dalam
kelompok hikmat pedagogis.
[56] Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of the Prophets
Joel and Amos, hlm. 241-242.
[57] Ibid., hlm. 245.
[58] Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of …, hlm.
245.
[59] Ibid., hlm. 245.
[60] Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of …, hlm.
246.
[61] “Dan Aku akan
membuat keadilan menjadi tali pengukur, dan kebenaran menjadi tali sipat; hujan
batu akan menyapu bersih perlindungan bohong, dan air lebat akan menghanyutkan
persembunyian".
[62] Lih. B.J. Boland, Tafsiran Alkitab Kitab Amos, hlm. 68.
[63] Ibid., hlm. 68.
[64] T.C. Witney & B.F. Price, Amos; The Christian Student’ Library,
The Christian Literature Society, Park Town, Madras, 1956: hlm. 58.
[65] Hans Walter Wolff, A Commentary on the Books of …, hlm. 264.
[66] J.A. Motyer, The Message of Amos, hlm. 133.
[67] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm. 65.
[68] J.A. Motyer, The Message of Amos, hlm., 133.
[69] Ibid., hlm., 134.
[70] Lih. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar …., hlm. 56-57.
[71] Lih. Marthinus Theodorus Mawene,
Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual,
hlm. 101-102.
[72] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm.
66-67.
[73] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA,
Pematangsiantar, 2007, hlm. 265-266.
[74] J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2008: hlm. 197.
[75] Walter Zimmerli, The Old Testament and The World, John
Knox Press, Atlanta, 1976: hlm. 96-97.
[76] Robert Davidson, Alkitab Berbicara, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 2001: hlm. 83-84.
[77] John W. de Gruchy, Agama Kristen dan Demokrasi; Suatu Teologi
bagi Tata Dunia yang Adil; BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2003: hlm. 47,48.
[78] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm.
47-48.
[79] Bernard Thorogood, A Guide to The book of Amos, hlm.
50-53.
[80] Lih. Eleazer S. Fernandez, Toward A Theology of Struggle, New
York, Orbis Book, 1994, hlm. 143-157.
[81] Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther Dan Relevansinya
di Indonesia, Kolportase Pusat GKPI, 2008, hlm. 428.
[83] Dieter Becker, Dieter Becker, Pedoman Dokmatika; Suatu Konpendium Singkat,
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2009: hlm. 182.
[84] Marthinus Theodorus Mawene, Perjanjian Lama dan Teologi Kontekstual,
hlm. 219.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar