HUBUNGAN GEREJA DAN PEMERINTAH
Studi Eksegese Roma 13:1-7
(Pdt. Darman H. Samosir, STh)
I.
Pendahuluan
Sebagai
warga negara, kehidupan orang Kristen tidak terlepas dari kehidupan berbangsa
dan bernegara. Ketika orang Kristen memiliki hak dan tanggungjawab di dalam
bergereja, orang Kristen pasti memiliki hak dan tanggungjawab sebagai warga negara.
Yang menjadi persoalan adalah bagaimana orang Kristen menempatkan
posisinya di dalam situasi yang demikian. Di mana hubungan gereja dan negara tidak
terlepas dari masalah bahkan sudah ada sejak lama. Hubungan itu sesuatu yang
dinamik dari waktu ke waktu. Dalam hal inilah bagi orang Kristen perlu
pemahaman yang alkitabiah tentang hubungan Gereja (orang Kristen) dengan negara
(pemerintah).
Pada
dasarnya Gereja memahami bahwa kehadirannya adalah sebagai terang dan garam di
tengah-tengah dunia. Inilah yang mewarnai semua missi, sikap, aktivitas dan
pelayannnya, di berbagai lapangan kehidupan. Dalam konteks pemahaman itu, dapat
dilihat sikap Yesus Kristus dan para rasul terhadap pemerintah pada masanya
masing-masing. Dalam kehidupan gereja, sikap itu ada kalanya berubah dan
berbeda sesuai dengan keadaan dan konteksnya. Namun menjadi garam dan terang
tetap menjadi dasar teologis untuk memahami hubungan Gereja (orang Kristen) dan
negara atau pemerintah pada masa kini.
Di
sini penulis secara khusus ingin menyoroti persoalan itu berdasarkan pemikiran
Paulus yang dituangkan dalam Roma 13:1-7. Bagaimanakah Paulus memandang posisi Gereja
di dalam suatu pemerintahan yang berdaulat di dalam terang tugas panggilannya
sebagai garam dan terang serta kasih sebagai dasar dan ciri kehidupan orang
Kristen. Dan dalam pembahasan ini pemahaman penulis tentang Gereja adalah
tertuju kepada orangnya dan Gereja sebagai lembaga.
II.
Study
tentang Surat Roma
2.1.
Berdirinya
Jemaat di Roma
Kota Roma di zaman
Perjanjian Baru sudah lama menjadi pusat politis dan administratif Negara
raksasa Roma. Kota Roma menjadi perlintasan dari segala macam orang, segala
sesuatu, demikian juga bentara-bentara kekaisaran Roma. Atas hal ini Groennen
menyebut Roma sebuah Metropol: ibukota segala yang baik dan buruk dalam
masyarakat Yunani-Romawi[1].
Bagaimana atau oleh
siapa jemaat di Roma didirikan, kurang diketahui. Namun menurut Groennen
walaupun pengetahuan tentang jemaat Roma pada masa itu serba tidak lengkap,
dengan latarbelakang kota Roma yang lama menjadi pusat politis dan
administrative, perlintasan dari segala macam orang, segala sesuatu, demikian
juga bentara-bentara kekaisaran, tidak mengherankan apabila kepercayaan Kristen
agak pagi sudah sampai di Roma, jauh sebelum Paulus tiba di situ[2].
Jemaat Roma tidak
didirikan oleh Paulus. Beberapa laporan dari Kisah Para Rasul membantu untuk
memahami tentang seluk beluk jemaat Roma. Kisah 18:2 mengatakan bahwa Akwila “baru
datang dari Italia dengan Priskila, isterinya, karena Kaisar Klaudius telah
memerintahkan, semua orang Yahudi meninggalkan Roma”. Kisah 21:27-36 kemudian
memperlihatkan bahwa orang Kristen dan orang Yahudi mulai bertengkar (bnd Kis
19:23-40). Kemungkinan besar bahwa kekacauan di Roma disebabkan oleh
pertengkaran antara orang Kristen dan orang Yahudi[3].
Artinya, ketika Akwila dan Priskila diusir dari Roma – kira-kira tahun 49 –
sudah ada jemaat kristiani di sana. Dan kemungkinan besar jemaat kristiani ini
berasal dari orang Kristen bukan Yahudi. Dari Rom 16:3, tampak bahwa Priskila
dan Akwila kembali ke Roma sesudah penganiayaan Klaudius, ketika Nero menjadi
kaisar (thn 54). Ketika mereka kembali, dan orang Kristen Yahudi lainnya,
mereka menemukan gereja bukan-yahudi di sana[4].
Pada saat Paulus
menulis suratnya, kaum Yahudi agaknya sudah diperbolehkan kembali ke ibukota
(16:3). Menurut van den End, “Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum
tahun 49 sudah ada orang Kristen di Roma dan bahwa orang Kristen itu termasuk
suku Yahudi”. Dari beberapa kata dalam Surat Roma menunjukkan bahwa jemaat Roma
pada waktu itu terdiri dari orang Yahudi (4:1; 7:4-6, mungkin juga ‘orang
lemah’ dalam 14-15) dan juga orang bukan Yahudi (1:5 dan 13; 11:13). Orang
Kristen bukan Yahudi merupakan mayoritas dalam jemaat. Data dalam pasal 16
memberi kesan, orang-orang Kristen itu berkumpul dalam sejumlah jemaat rumah
tangga[5].
2.2.
Kedudukan
orang Kristen di kekaisaran Romawi
Ketika komposisi gereja
sebagian besar adalah orang Yahudi, masalah-masalah dalam hubungan dengan
pemerintah tidaklah kurang, tetapi keadaannya tidak begitu sulit sebagaimana
kemudian. Posisi orang Yahudi dalam kekaisaran Roma diatur sesuai dengan
pergantian dekrit kekaisaran. Sebagai warganegara dalam kekaisaran, mereka
betul-betul menikmati hak-hak istimewa yang luar biasa. Komunitas Yahudi
menerima status collegia licita
(perkumpulan yang diijinkan). Praktek-praktek beragama yang menandakan Yahudi
dari orang-orang kafir dilekatkan kepada mereka. Praktek-praktek itu mungkin
nampaknya tidak masuk akal dan bersifat takhyul dalam pandangan orang Romawi,
tetapi mereka dilindungi oleh hukum negara. Mereka memasukkan hukum sabbat dan
hukum makanan dan larangan tentang patung ukiran. Politik kekaisaran melarang
gubernur-gubernur Judea membawa standar militer, ketika berhubungan dengan
mereka, di lingkungan tembok-tembok kota suci Yerusalem. Jika hukum Yahudi
menyalahkan orang kafir dalam pengadilan pusat di kuil Yerusalem sebagai
penghujatan yang patut menerima hukuman mati, Roma menegaskan menghargai hukum
Yahudi pun tentang hal mengijinkan pelaksanaan hukuman mati untuk kesalahan
seperti itu ketika yang melanggar adalah warganegara Roma[6].
Pada generasi
pertama setelah kematian Kristus, hukum Romawi cenderung memandang dan
menghargai orang Kristen sebagai variasi dari Yahudi. Hal ini terlihat dari
sikap Galio ketika orang Yahudi di Korintus pada tahun 51 atau 52 M mendakwa
Paulus mengenai propaganda suatu agama yang tidak sah. Galio memberi sedikit
perhatian atas masalah itu (Kisah 18:12-17). Baginya, Paulus adalah jelas orang
Yahudi sama seperti pendakwanya, dan perdebatan antara Paulus dan mereka dalam
pandangan Galio adalah perbedaan penafsiran tentang pokok hukum Yahudi, dan dia
tidak perlu datang ke Akhaya untuk memutuskan masalah-masalah itu. Menurut
Bruce, “Keputusan Galio ini membuat
contoh yang penting; karena 10 tahun kemudian hal itu membantu melindungi
Paulus dalam pelayanan apostoliknya, di mana Paulus selanjutnya menyebarkan
iman Kristen tidak hanya di propinsi kekaisaran Romawi tetapi di Roma itu
sendiri (Kisah 28:30-31)”[7].
2.3.
Paulus
dan Jemaat di Roma
2.3.1. Latarbelakang kehidupan Paulus
Paulus berasal
dari Tarsus (kini Turki Selatan, di sebelah baratdaya kota Adana)[9].
Ayahnya seorang Yahudi, dari suku Benyamin. Menerima pendidikan Yunani namun
setia kepada agama Yahudi. Ia adalah murid Gamaliel. Kesetiaanya kepada agama
Yahudi ditunjukkan dengan menjadi pemimpin aksi penangkapan orang-orang Kristen
di Yerusalem dan di luarnya setelah ia menghadiri pembunuhan Stefanus. Tetapi
ketika dalam perjalanan ke Damsyik untuk melakukan aksinya, Yesus menjadikannya
sebagai ‘alat pilihan’ untuk membawa nama Yesus kepada bangsa-bangsa bukan
Yahudi. Mengenai jalan hidup Paulus selanjutnya ada sejumlah data dalam kitab
Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus sendiri. Menurut Th. van den End,
satu-satunya peristiwa yang sungguh-sungguh dapat dijadikan sebagai pegangan
dalam menentukan penjadwalan kegiatan Paulus ialah munculnya Galio sebagai
walinegeri di Korintus, yang menurut salah satu prasasti agaknya berlangsung
dari Mei 51 sampai Mei 52 M (atau selama beberapa waktu antara pertengahan th
50 dan pertengahan th 54)[10].
Paulus
adalah penulis yang paling berpengaruh dalam Perjanjian Baru. Banyaknya isi
suratnya hanya dapat ditandingi dengan Injil Lukas–Kisah Para Rasul. Kalau
kitab-kitab Injil (dan Kisah Para Rasul) menyajikan evolusi bertahap
tradisi-tradisi, maka surat-surat Paulus yang autentik itu tampil dengan
semangat bergelora dari seorang yang beriman. Surat-suratnya ketus, umumnya
jelas, dan seringkali orisinil dalam gagasan-gagasannya. Paulus bukan teolog
“menara gading”. Ia mengembangkan panggilannya untuk membawa firman ke
sekeliling Lautan Tengah dengan berkali-kali mengadakan perjalanan, menanggung
sengsara, penganiayaan dari musuhnya dan perbantahan dengan pengkhotbah lain.
Seperti halnya Yesus, Paulus sebagai figur keagamaan yang penting menyebabkan munculnya
cerita-cerita cukup banyak mengenai dirinya, dan laporan-laporan tentang
pengajarannya[11].
2.3.2. Hubungan Paulus dengan Jemaat
Menurut Hunter, bagi
Paulus, gereja (ekklesia) adalah
lingkungan, tempat hidup baru dihayati. Bersama-sama dengan semua orang Kristen
mula-mula, Paulus menggangap bahwa Gereja Kristus adalah satu dengan umat Allah
kuno, Israel. Hanya, gereja merupakan ekklesia
yang baru dan tulen, yang didirikan kembali oleh kematian dan kebangkitan
Kristus, diberi kuasa oleh Roh, dan dipanggil pada suatu misi universal. Pada
dasarnya, gereja merupakan persekutuan murni orang-orang yang terikat kepada
Kristus, Kepala mereka, dan yang terikat satu sama lain di dalam Roh Kudus,
sehingga itu menjadi “Persekutuan Roh”. Persekutuan ini dilukiskan Paulus
dengan berbagai cara: Orang-orang kudus, Bait Allah, Pengantin Perempuan
Kristus, Keluarga Allah, dan lain-lain. Tetapi nama yang paling disukai Paulus
ialah Tubuh Kristus (Rm 12:4-5; 1 Kor 12:12 dst; Kol 1:18,24 2:19 dan Surat
Efesus). Ide Ibrani tentang ‘kepribadian bersama’ membantu Paulus untuk
berpikir dengan cara ini[12].
Dalam hal ini Paulus
memandang jemaat menurut dua cara utama. Pertama, jemaat ialah perhimpunan
orang-orang percaya dalam suatu daerah tertentu. Bentuk ini terlihat dalam
kebanyakan surat-suratnya (1Kor 1:2; 2 Kor 1:1; 1 Tess 1:1; 2 Tes 1:1; Gal
1:2). Pengertian yang kedua ialah jemaat yang bersifat universal. Pengertian
ini dinyatakan secara tidak langsung dalam beberapa kiasan yang dipakainya
(satu tubuh, pengantin perempuan, bangunan, umat Allah yang sejati) yang
menguraikan kedudukan Kristus sebagai Kepala Jemaat (Ef 1:22; Kol 1:18).
Pemakaian kiasan ini oleh Paulus juga menunjukkan bahwa ketika Paulus memandang
jemaat sebagai kelompok orang percaya yang berdiri sendiri sebagai satu Jemaat
Allah, tetapi tidak memisahkan yang satu dari yang lainnya[13].
Dilihat dari
banyaknya Surat Paulus dalam seluruh Perjanjian Baru dapat disimpulkan bahwa
dalam Gereja Purba, atau di antara para pemimpin Gereja Purba, Pauluslah yang
utama. Namun dibandingkan dengan isi suratnya, Paulus mengalami peralawanan
yang cukup hebat sebagaimana tampak dari semua surat yang besar (Galatia, Roma;
1-2 Korintus) juga dari Filipi dan Kolose. Sebagian besar surat itu adalah
pembelaan terhadap serangan para lawan atau setidak-tidaknya penjelasan
pandangan Paulus yang rupa-rupanya dipermasalahkan di kalangan Gereja Purba.
Memang di lain pihak Paulus mendapat dukungan yang jelas seperti yang tampak
dari Kisah Para Rasul dan surat-surat pastoral. Malahan dalam karangan yang
ditulis sesudah wafatnya, Paulus tampil sebagai pemimpin Gereja yang telah
diterima oleh pemimpin yang lain dan disambut hangat dalam semua jemaat di
seluruh Gereja[14].
Khusus mengenai
Roma, Paulus mengenal banyak orang yang ada di Roma, walapun dia sendiri tidak
pernah ke sana sebelumnya (lih Rm 1:8-15; 15:22-33). Juga Roma 14:1-15:13
memperlihatkan bahwa Paulus cukup tahu mengenai situasi di Roma. Maka boleh
disimpulkan bahwa ada kontak cukup intensif antara Gereja di Yunani (Timur) dan
di Roma (Barat)[15].
2.3.3.
Hubungan
dengan wakil pemerintah
Pemahaman Paulus
tentang pemeritahan banyak dipengaruhi oleh kehidupannya di Tarsus. Pada tahun
42 SM Jenderal Romawi, Markus Antonius memberikan kepada kota ini status libera civitas (kota merdeka). Karena
itu, sekalipun kota ini bagian dari propinsi Kerajaan Romawi, Tarsus memiliki
pemerintahan sendiri dan tidak diwajibkan membayar upeti kepada pihak Kerajaan
Romawi. Di kota inilah Saulus muda tumbuh menjadi orang dewasa. Tradisi
demokrasi model “Negara kota” dari Yunani telah lama berurat berakar di kota
ini pada masa Paulus hidup. J.I. Packer, dkk., mengatakan, “Di dalam tulisan-tulisannya kemudian, kita bisa menemukan pantulan
dari situasi hidup dan kejadian-kejadian di kota Tarsus semasa ia masih kecil.
Berbeda sekali dengan ilustrasi-ilustrasi dari alam pedesaan yang dipakai oleh
Yesus, metafora dalam tulisan-tulisan Paulus banyak digali dari kehidupan
perkotaan”[16].
Bagaimana
hubungan Paulus dengan wakil pemerintah barangkali dapat dilihat dari
peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Paulus yang bersinggungan langsung dengan
pemerintah atau organ-organ pemerintahan. Diantaranya adalah ketika Paulus
“diselamatkan” oleh kepala pasukan Romawi dari tindakan orang-orang Yahudi di
Yerusalem yang menganiaya Paulus karena provokasi musuh-musuhnya. Ketika kepala
Pasukan Romawi mendapatkan kabar bahwa “seluruh Yerusalem gempar” (Ksah 21:31)
di mana kerumunan orang sudah kehilangan kendali melakukan pemukulan yang
begitu hebat terhadap Paulus. Kepala pasukan memerintahkan pasukan dan para
perwiranya untuk mengendalikan keadaan dan membawa Paulus ke markas (bnd Kisah
21:34). Ketika Paulus meminta izin untuk mengatakan sesuatu kepada keruman
orang banyak itu, kepala pasukan mengabulkan permohonan Paulus. Dalam situasi
seperti itu, sebagimana dituliskan oleh Swindol, “Paulus menganggap ini adalah kesempatan baginya bukan hanya untuk
berbicara kepada orang banyak, tetapi juga untuk membangun suatu hubungan
dengan kepala pasukan Romawi”[17].
Tetapi kumpulan
orang banyak itu kembali ribut karena perkataan Paulus yang memberi perhatian
kepada orang kafir. Kepala pasukan Romawi menyelamatkan Paulus dari situasi itu
dan memberi perintah untuk membawa Paulus ke markas untuk didera. Ketika
serdadu Romawi akan melaksanakan hukuman atasnya, Paulus mempertanyakan
“Bolehkah kamu menyesah seorang warganegara Romawi, apalagi tanpa diadili?”
(Kisah 22:25)[18].
Paulus memiliki kewarganegaraan Romawi. Kewarganegaraan Romawi sangat berharga,
karena dengannya orang bisa memiliki hak-hak khusus, seperti pembebasan dari
jenis-jenis hukuman tertentu. Seorang warga negara Romawi tidak boleh disiksa
atau disalibkan[19].
Atas dasar ini Paulus terlepas dari hukuman itu.
Tindakan kepala
pasukan Romawi yang menolong Paulus kemudian berlanjut ketika ada rencana dari
orang-orang Yahudi untuk membunuh Paulus. Kepala pasukan Romawi yang mengetahui
rencana itu melalui kemenakan Paulus memerintahkan pasukannya untuk melindungi
Paulus (lih Kisah 23:12-24)[20].
Namun sesuatu yang berbeda diterima oleh Paulus dari Feliks, gubernur Romawi
atas wilayah Yudea, pengganti Pontius
Pilatus, demikian juga dari Festus pengganti Felliks kemudian. Pada masa
mereka, Paulus mengalami pengadilan tidak sah, penuh dengan tuduhan-tuduhan
kosong dan kritik yang tidak adil[21].
Walaupun Paulus
mengalami tindakan yang tidak adil dari para penguasa tersebut, Paulus tetap
menunjukkan sikap yang patut diteladani. Swindoll mengatakan, “… kita dapat mempelajari suatu pelajaran dari
pahlawan kita, Paulus. Apabila Allah memberikan kepada kita kesempatan langka
untuk berdiri di hadapan orang-orang bermartabat tinggi dan para pejabat
pemerintah berpangkat tinggi, yang terbaik untuk kita lakukan adalah
menunjukkan kesantunan dan kelemahlembutan. Bagaimanapun gaya hidup mereka,
berbicaralah dengan respek. Apa pun politik mereka dan dunia kehidupan pribadi
mereka, tunjukkan kelemahlembutan. Tunjukkan bahwa anda bermartabat”[22].
2.3.4.
Pemikiran
Paulus diperhadapkan dengan Filsuf lain waktu itu
Di antara banyak
aliran filsafat yang ada pada waktu itu, aliran
Stoik mungkin paling serasi bagi Paulus. Satu atau dua filsuf Stoik besar
dari Tarsus, dan mungkin Paulus masih ingat sedikit tentang pengajaran mereka
dari masa mudanya[23].
Memang hubungan Saulus muda dengan filsafat di Tarsus tidak diketahui dengan
pasti. Namun jejak-jejak pendidikan dan hubungan yang luas dengan dunia
filsafat Yunani jelas terlihat dalam diri Saulus ketika ia menanjak dewasa. Ia
cukup memahami persoalan-persoalan seperti itu untuk mendukung
pandangan-pandangannya yang kemudian ia kemukakan kepada segala macam orang.
Dan ia sadar mengenai bahaya-bahaya yang tidak kentara di dalam berbagai
filsafat keagamaan yang bersifat spekulatif dari orang-orang Yunani. Para
filsuf dari kota Tarsus sebagian besar adalah filsuf penganut aliran Stoa.
Ide-ide aliran Stoa, walau pada dasarnya adalah kafir melahirkan beberapa
pemikir agung dari dunia kuno. Athenodorus, adalah contoh filsuf yang paling
bagus dari Tarsus. Walaupun Athenodorus meninggal pada tahun 7, yaitu ketika
Saulus masih anak-anak, Athenodorus lama tetap menjadi pahlawan yang dihormati
di Tarsus. Saulus muda tentu pernah mendengar apa kata orang mengenai
Athenodorus[24].
Beberapa ahli
berpendapat pengetahuan Paulus tentang filsafat Stoik lebih dalam daripada itu.
Pada tahun 1980 Rudolf Bultmann menunjukkan bahwa cara Paulus mengemukakan
pendapatnya kadang-kadang menyerupai argumen-argumen Stoik. Kedua-duanya
memakai pertanyaan retoris, pernyataan singkat yang berdiri sendiri, seorang
lawan khayalan yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan banyak ilustrasi yang
diambil dri dunia atletik, pembangunan serta kehidupan sehari-hari. Dalam
pengajaran Paulus dapat ditemukan frasa-frasa yang dapat dianggap mendukung
ajaran Stoik; umpamanya pernyataannya, “segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan
untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di
dalam Dia” (Kol 1:16-17). Demikian juga dalam pidato Paulus di Atena, Lukas
melaporkan bahwa Paulus benar-benar mengutip Aratus, penyair Stoik yang
terkenal (Kis 17:28). Beberapa dari surat Paulus juga sering mencerminkan
peristilahan Stoik – seperti waktu ia menggambarkan moralitas dengan istilah
“seharusnya” atau “sepatutnya” dan “tidak pantas”[25]. Menurut
Drane tidak perlu disangkal lagi, bahwa Paulus mengetahui dan bersimpati
terhadap banyak cita-cita Stoik, namun ada beberapa perbedaan yang hakiki dan
penting antara kekristenan Paulus dan filsafat Stoik. Kalau Paulus memakai
bahasa Stoik maka ia memberikannya arti baru, sebab berita Paulus tentang
keselamatan melalui Kritus jauh berbeda dengan berita Stoik tentang keselamatan
melalui penguasaan diri. Drane mengatakan pengaruh Stoik terhadap Paulus
haruslah dianggap sangat kecil saja[26].
2.4.
Latar
belakang Surat Roma
Selain untuk berkenalan
dengan jemaat Roma (1:10-13; 15:32), Paulus ingin menjadikan Roma sebagai titik
tolaknya dalam rencana memberitakan Injil ke arah Barat: Spanyol (15:24,28),
daerah yang masih luas, dan juga menurut anggapan pada masa itu: ujung bumi. Hal
ini nyata dari kata-kata “kamu dapat mengantarkan aku ke sana” (15:24). Hal ini
juga didukung karena pada saat Paulus menulis surat ini, pekerjaannya di
sebelah Timur kerajaan Roma diangggapnya sudah selesai (15:19, 23). Jadi maksud
Paulus yang konkret ialah untuk memperkenalkan dirinya, isi pemberitaannya dan
rencananya, sebab ia menghendaki supaya mereka nanti akan membantunya[27].
Menurut Jacobs, “Karena
surat Roma ditulis oleh Paulus ketika dalam perjalanan mengantarkan persembahan
jemaat ke Yerusalem, ada kesan ketegangan antara Paulus dengan Yerusalem sedang
memuncak sehingga ada dorongan bagi Paulus untuk menguraikan dan memaparkan
pandangan teologisnya mengenai kemaslahatan Yahudi-kafir secara panjang lebar
kepada umat di Roma”. Pertentangan antara orang Kristen Yahudi dan Kristen
bukan Yahudi juga menjadi alasan bagi Paulus untuk menguraikan begitu panjang
lebar permasalahan antara Yahudi dan non Yahudi. Malahan dalam surat ini pun
ada sedikit pembelaan diri Paulus (lih 1:1-5), yang mungkin memperlihatkan
bahwa di Roma ada desas-desus mengenai kerasulan Paulus. Menurut Jacobs, “Walaupun
secara de facto ditulis kepada umat
di Roma, namun sebetulnya surat Roma ditujukan kepada pimpinan di Yerusalem.
Surat ini bukan tanggapan Paulus yang kurang lebih spontan terhadap
permasalahan konkrit jemaat, melainkan suatu pernyataan agak “resmi” dari
pandangannya”[28].
Secara pribadi
Paulus tidak mengenal semua orang di Roma tetapi pernah mendengar tentang
mereka (1:8). Mungkin ada orang Kristen Roma yang pernah berjumpa dengannya di
kawasan Timur (bnd. 16:3,7,11). Paulus
kurang mengetahui tentang keadaan setempat, masalah dan soal yang ada di Roma
secara lengkap dan menyeluruh sehingga Paulus tidak membahas banyak masalah dan
soal konkret. Namun rupanya Paulus mendengar ketegangan di jemaat Roma
(bnd.1:13-25; 14:1-15:7). Jadi Paulus barangkali ingin menyampaikan Injil penuh
sebagai dasar dan landasan jemaat di pusat Negara Roma itu dengan menuangkan
hasil matang dari pengalaman dan pemikirannya selama lebih kurang 20 tahun[29].
2.5.
Tempat
dan Waktu Penulisan
Menurut van den
End Surat Roma ditulis di Korintus (15:32), agaknya pada akhir perjalanan
Paulus yang ketiga (15:25), menjelang awal musim pelayaran di wilayah Laut
Tengah, pada akhir musim dingin. Keadaaan Paulus pada saat itu digambarkan
dalam Kisah Para Rasul 20:2-3, yang pada waktu itu ‘orang-orang Yahudi
bermaksud membunuh dia’, sehingga terpaksa membatalkan pelayaran ke Siria dan
mengambil jalan darat ke Filipi (700 km jalan kaki dari Korintus)[30].
Sebelum melanjutkan perjalanan di luar kawasan timur, ia tinggal selama tiga
bulan di Akhaya, agaknya di Korintus (Kis 20:3). Menurut Groennen, waktu itu
cukup tenang bagi Paulus untuk menyusun Surat Roma ini[31].
Berhubung dengan catatan Kisah 20:3, Duyvermann menyimpulkan bahwa surat ini
dikirim dari Kengkrea (terletak di sebelah timur Korintus), pada waktu Paulus
terpaksa mengambil keputusan untuk menempuh jalan darat untuk menyampaikan
pemberian jemaat Makedonia dan Akhaya ke Yerusalem (15:25). Agaknya surat yang
panjang dan teratur ini sudah didiktekan lebih dahulu, yaitu dalam jangka waktu
tiga bulan, ketika Paulus berada di tanah Yunani (Kis 20:2) al, juga di
Korintus. Menurut catatan Kisah 20:6, waktunya surat ini ditulis ialah
bulan-bulan pertama tahun 57[32].
2.6.
Susunan
dan Isi Surat Roma
Menurut Duyverman,
dibanding dengan surat-surat lain, karangan Paulus ini lebih merupakan uraian
lengkap, yang di dalamnya setiap bagian mempunyai fungsi menurut rencananya.
Hal ini disebabkan oleh keadaan. Di sini Paulus mengambil keadaan jemaat secara
am sebagai titik tumpuan dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan konkret yang
sudah disampaikan kepadanya. Jadi ia dapat mengatur jalan pikirannya tanpa
perlu mengingat apa yang dihadapkan kepadanya oleh pihak lain[33].
Menurut Marxsen tidak heran kalau dokumen ini berbeda sifatnya dengan
surat-surat Rasul yang lain[34].
Ada beberapa sebutan
yang diberikan oleh ahli kepada surat Roma ini. Oleh Melanchthon, doctrinae christianae compendium;
Feine-Behme, confessiones; Michel, surat didaktis yang memaparkan suatu
apologia[35].
Penyebutan surat ini sebagai “ikrar Paulus” ataupun “uraian tentang asas
kepercayaan-kepercayaan”, menurut Duyverman tidak mengena karena beberapa pokok
yang penting tidak disebut samasekali; ada yang disinggung, tetapi tidak
seimbang dengan uraian lain yang panjang, seperti: baptisan, perjamuan kudus,
kedatangan Kristus kedua kalinya, kemenangan atas kuasa-kuasa kegelapan.
Sejalan dengan Groennen yang mengatakan bahwa Roma bukan suatu uraian lengkap
mengenai segala apa yang dapat dan mesti dijabarkan dari iman kepercayaan
Kristen dna dari Injil[36].
Sifat uraian surat Roma ini menurut Duyverman sangat mirip dengan apa yang
waktu itu lazim disebut: diatribe,
yakni uraian ilmiah berbalas-balasan. Dalam diatribe,
pendengar-pendengar sering dihardik justru untuk menimbulkan perlawanan supaya
selanjutnya perlawanan itu dapat diberantas dengan lebih tegas. Cara ini sering
digunakan oleh guru-guru zaman itu. [37]
Para ahli umumnya
meragukan bagian akhir dari surat ini[38].
Hal ini dibuktikan oleh salinan-salinan dan oleh bapak-bapak gereja: menurut
Origenes, Marcion (+ 140) memotong semuanya sesudah ‘segala sesuatu yang
tidak beradasarkan iman, adalah dosa’ (14:23). Tertullianus (lawan Marcion)
beanggapan bahwa 14:10 merpakan bagian-bagian akhir surat, sehingga selanjutnya
tidak dikutipnya lagi. Ireneus (140-202) dan Cyprianus (200-258), dan juga
beberapa salinan Italia tidak menyebut fasal 15 dan 16. Selain daripada itu
pasal 16:25-27 juga menjadi persoalan. Kesemuanya itu memberi kesan yang kuat
bahwa mula-mula ada salinan yang lebih pendek[39].
Walupun beberapa bagian kadang-kadang terputus, menurut Groennen tidak perlu
kiranya mengandaikan bahwa surat Roma suatu penggabungan beberapa karangan
Paulus[40].
Karena teori-teori yang mau menjelaskan tambahan itu lebih rumit dan tidak
karuan daripada kesulitan-kesulitan yang mau dipecahkan olehnya, oleh karena
itu kebanyakan orang mempertahankan kitab Roma sebagimana yang ada sekarang
sebagai surat Paulus[41].
Menurut Jacobs, para
ahli pada umumnya sependapat bahwa dalam 1:16-17 diberikan tema surat. Sebagai
“sub-tema” menguraikan soal pembenaran dan penyelamatan. Namun tentang
pembagian surat Roma ini menurut Jacobs tidak begitu mudah[42],
sehingga ada beberapa susunan yang diusulkan oleh para ahli. Di antaranya
adalah Marshall, pembagiannya adalah sebagai berikut[43]:
I Salam dan
doa (1:1-17)
II Injil
menurut Paulus (1:18 – 8:39)
a. Dosa
dan kejahatan universal (1:18 – 3:20)
b. Pembenaran
karena anugerah melalui iman (3:21-31)
c. Pembenaran
Abraham (4:1-25)
d. Adam
dan Kristus: Perbandingan dan Perbdaan (5:12-21)
e. Kematian
dan kehidupan baru bagi orang percaya (6:1-23)
f. Pentingnya
hukum (7:1-25)
g.
Roh Kudus dan kemuliaan yang akan datang
(8:1-39)
III Israel dan
Orang Kafir (9 – 11)
IV Menjalani hidup baru (12 – 15)
Dalam pasal 16 yang diragukan
keasliannya[44],
Paulus minta supaya seorang saudari yang sangat berjasa, Febe, disambut baik di
Roma (16:1-2). Menyusul daftar orang yang dikirim salam (16-3-6). Disisipkan
sebuah peringatan terhadap pengacau umat disusul berkat dan salam (16:17-20).
Beberapa ornag teman Paulus mengirimkan salam juga (16:21-23). Dan tambahan
berupa pujian kepada Allah (16:25-27)[45].
Mengenai makna
penulisan Surat Roma dapat dilihat sebagaimana yang diringkaskan oleh van den
End[46]:
-
Berkenalan dengan jemaat, yang tidak
didirikan Paulus (1:1 dyb).
-
Meminta dukungan keuangan dan penyediaan
sarana untuk perjalanan ke Spanyol yang sdang direncanakan Paulus (15:24).
-
Meminta doa syafaat jemaat Roma
berhubung dengan konfrontasi dengan orang-orang Yahudi di Yerusalem (15:30-31).
-
Meminta doa syafaat jemaat Roma
berhubung dengan ketidakpastian Paulus mengenai sikap jemaat Kristen di
Yerusalem terhadap sumbangan jemaat-jemaat Makedonia dan Akhaya yang dibawa
Paulus ke Yerusalem (15:30-31)
-
Agaknya juga meredakan perselisihan yang
sedang berlangsung dalam jemaat Roma (14:1-15:13).
III.
Study
Eksegese Roma 13:1-7
3.1.
Nats
3.1.1. Kritik Nats
Dalam
meneliti kritik nats ini, penulis memakai naskah Yunani yang diterbitkan oleh
Nestle – Aland, NOVUM TESTAMENTUM GRAECE, Deutsche Bibelstiftung , Stuttgart,
1981.
13:1
Kata-kata Pa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqw diganti dengan Pa/saij. evxousi,aij
u`perecou,saij u`potasse,sqe oleh
beberapa kodeks seperti P46 (ca 200), D* (abad VI), F (IX), G (IX)
dan tulisan bapak-bapak Gereja seperti Irlat (p. 380), Ambst
(366-384). Tetapi banyak kodeks yang mengikuti teks seperti א (abad IV), A (V), B
(IV), D2 (VI), Ψ (VIII/IX). Yang berubah adalah Pa/sa (kata sifat
tak tentu nominatif feminine tunggal, setiap)
dan yuch (kata benda nominatif feminin
tunggal, jiwa) menjadi Pa/saij (kata sifat infinitif
datif feminin jamak, semua) dengan
menghilangkan yuch.
Kemudian u`potasse,sqw (kata kerja imperatif present pasif orang ke-3 tunggal dari
u`potassw, tunduklah) menjadi u`potasse,sqe
(kata kerja imperatif present pasif orang ke-2 jamak dari
kata u`potassw)
Kata
u`po. (kata depan, oleh) diganti oleh D* (VI), F (IX), G
(IX) dengan apo (kata
depan, dari) kemudian ada penambahan
kata evxousi,ai oleh D2
(VI), Ψ (VIII/IX) antara kata ou=sai u`po........ Banyak kodeks yang menuliskan
seperti dalam teks א (IV), A (V), B (IV), D* (VI), F (IX), G (IX). Selanjutnya ada
penambahan kata tou (kata
sandang tentu maskulin tunggal) sebelum kata qeou oleh korektor אc (IV),
Ψ (VIII/IX). Tetapi beberapa kodeks mengikuti seperti teks א* (IV) A (V), B (IV),
D (VI), F (IX), G (IX), P 81 (VII), 104 (VII), 365 (XIII), 1506
(1320), 1739 (X), 1881 (XIV). Penulis setuju pada teks karena didukung kodeks
yang lebih tua dan lebih memberi arti yang lebih jelas.
13:3 Kata-kata tw/|
avgaqw/| e;rgw| (avgaqw kata sifat normal datif neuter tunggal dari avgaqo,j, baik; e;rgw| kata benda datif neuter tunggal dari e;rgon, pekerjaan) oleh
F*vid diganti dengan tw/| avgaqoergw (mm, dari avgaqoergew, berbuat baik)
sementara oleh D2 (VI), Ψ (VIII/IX) mengganti dengan twn
agaqwn ergwn (bentuk jamak) dan
mengganti tw/| kakw/| (kata sifat normal datif neuter tunggal dari kako,j, kejahatan) dengan
twn kakwn (bentuk jamak).
Teks diikuti oleh papirus dan beberapa P46 (ca. 200), א (IV), A (V), B (IV), D* (VI), Fc (IX),
G (IX), P 6 . 630 (XIV), 1506 (1320), 1739 (X), 1881 (XIV) juga bapa gereja Irlat
(380). Penulis setuju pada teks karena didukung kodeks yang lebih tua.
13:4 Dalam
beberapa tradisi seperti F (IX), G (IX), kata soi (kata ganti personal
datif tunggal) dihilangkan. Kata to oleh B (IV) dihilangkan. Kemudian e;kdikoj
eivj ovrgh.n (e;kdikoj, kata sifat normal nominatif maskulin
tunggal, pembalas; eivj kata depan
akusatif, kepada; ovrgh.n, kata benda
akusatif feminin tunggal, kemarahan) oleh
D* (VI), Fc (IX), G (IX) menjadi e;kdikoj saja. Sementara oleh א* (IV), D2 (VI), 33, 945, 1175,
1241 dirubah susunannya menjadi eivj ovrgh.n e;kdikoj.. Namun beberapa tradisi mengikuti teks P46 (ca. 200), אc (IV),
A (V), B (IV), L (VIII), P (VI), Ψ (VIII/IX), 048 (V), 365 (XIII), 630 (XIV),
1506 (1320), 1739 (X), 1881 (XIV). Penulis setuju pada teks karena didukung oleh
banyak kodeks dan yang lebih tua dan perubahan tidak mengubah arti.
13:5 Kata-kata avna,gkh
u`pota,ssesqai (avna,gkh, kata benda nominatif feminin tunggal, keperluan; u`pota,ssesqai, kata kerja infinitif present pasif, tunduklah) oleh P46 diganti menjadi
kai u`pota,ssesqe (kai, kata penghubung, dan;
u`pota,ssesqe, kata kerja imperatif present pasif orang ke-2 jamak dari
kata u`potassw) dan oleh tradisi
lain diganti menjadi hanya u`pota,ssesqe seperti D (VI), F
(IX), G (IX), dan oleh bapa gereja Irlat (380), Ambst
(366-384) sementara beberapa tradisi yang mengikuti teks adalah א (IV), A (V), B (IV), Ψ (VIII/IX),
048 (V). Penulis setuju pada teks karena didukung kodeks yang lebih tua.
3.1.2. Terjemahan
Di
bawah ini penulis mengusulkan terjemahan nats sebagai berikut:
1) Setiap
orang tunduklah kepada penguasa-penguasa yang berada di atas. Sebab penguasa
tidak ada jika tidak oleh Allah.
2) Bahwa
melawan penguasa adalah menentang peraturan Allah, tetapi yang telah menentang
akan menerima hukuman bagi dirinya.
3) Karena
para penguasa bukan ketakutan kepada yang mengerjakan yang baik tetapi kepada
yang jahat. Tetapi tidakkah kamu menginginkan takut kepada penguasa? Lakukanlah
yang baik, dan kamu akan menerima pujian darinya.
4) Karena
penguasa adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau melakukan yang
jahat takutlah? Sebab tidak tanpa alasan mereka memakai pedang, sebab mereka
adalah hamba Allah untuk menghukum dengan kemurkaan yang melakukan kejahatan.
5) Sebab
itu perlu tunduk, bukan hanya karena kemurkaan tetapi juga karena suara hati.
6) Sebab
itu kamu memenuhi pajak dan karena mereka adalah pelayan-pelayan Allah yang
bertekun untuk itu.
7) Bayarlah
semua kewajibanmu, pajak untuk yang menerima pajak, cukai untuk yang menerima cukai,
takut untuk yang menerima takut, hormat untuk yang menerima hormat.
3.2.
Bentuk
Sebelum
membahas kedudukan nats dalam konteks, adalah perlu memahami evxousi,a dan u`potassw
yang dianggap sebagai kata kunci dalam perikop ini.
a. evxousi,a
Ada
beberapa pengertian dari evxousi,a,, eksousia dalam penggunaan bahasa Yunani yang lazim. Pertama eksousia, yang berasal dari kata evxestin,, menandakan ‘kemampuan
untuk mempertunjukkan suatu tindakan’ pada tingkat di mana tidak ada hambatan, yang
berbeda dengan dunamij, dalam
pengertian kemampuan secara hakiki. Kedua, eksousia
juga berarti kemampuan yang diberikan oleh norma atau pengadilan, oleh karena
itu mempunyai arti ‘hak untuk melakukan sesuatu atau hak atas sesuatu’. Dengan
penambahan infinitive dan genetif kata itu mempunyai arti sesuai dengan konteks
penggunaannya seperti ‘hak menjadi’ penguasa, ijin, kebebasan. Ketiga, eksousia dihubungkan dengan dunamis adalah sebagai kekuasaaan yang
merupakan antithesis kepada kekuatan atau daya yang nyata. Dunamis menandakan kekuatan eksternal sementara eksousia adalah
kekuatan yang diperlihatkan di mana suatu perintah ditaati. Keempat, eksousia juga dapat digunakan dalam
antithesis kepada hukum dalam pengertian kebebasan untuk menyatakan sendiri
atau bertingkah, yang sejajar dengan kata u,,,,,,,brij. Kelima,
pengertian turunan dari kata ini adalah ‘posisi yang otoritatif’, ‘jabatan
dalam negara’, ‘pemangku jabatan’, ‘penguasa’[47].
Dalam
LXX, eksousia mempunyai arti hak, kekuasaaan,
ijin atau kebebasan dalam pengertian legal atau politik, kemudian digunakan
tentang hak atau ijin yang diberikan oleh Allah atau untuk ijin yang ditetapkan
atau didukung oleh hukum Yahudi. Pada tulisan yang kemudian seperti Daniel dan
Makkabe, kata itu menunjukkan kuasa raja atau Allah, kuasa untuk memutuskan
dalam hubungan otoritas lainnya tentang kehidupan setiap hari. Sementara
Josephus mengartikan eksousia dengan
ijin, kekuasaan, hak yang diberikan atau dilindungi oleh hukum, dan disposisi
kuasa yang actual. Kemudian kata itu juga digunakan untuk menunjukkan kuasa
Allah dan juga kuasa raja dan bentuk jamak dipakai untuk menunjuk pada
penguasa. Demikian juga Philo yang mengikuti penggunaan yang lazim dalam bahasa
Yunani. Dia menggunakan kata itu secara khusus untuk kuasa mutlak, apakah raja,
atau gubernur, atau Allah yang selalu dimaksudkannya sebagai pemilik eksousia yang mutlak[48].
Dalam
PB secara formal penggunaan kata eksousia
paling dekat dengan LXX yang menunjukkan kuasa Allah di alam dan dunia rohani,
kuasa yang Setan gunakan dan berikan, dan khususnya kuasa atau kebebasan yang
diberikan kepada Yesus, dan olehNya kepada murid-murid. Dalam hubungan dengan
politik, kata itu mempunyai arti kekuasaan dari Sanhedrin (Kis 9:14), kuasa
raja (Why 17:12,13). Dalam bentuk jamak kata itu digunakan untuk menunjukkan
‘penguasa-penguasa’ (Luk 12:11; Rm 13:1; Tit 3:1). Sebagaimana dalam LXX, kata
itu juga dapat berarti lingkungan kekuasaaan, seperti negara, daerah kekuasaan
roh-roh (Ef. 2:2; Kol 1:13). Kata itu digunakan juga untuk menandakan kekuatan
spiritual/roh (1 Kor 15:24; Ef 1:21; 3:10; 6:12; Kol 1:16; 2:10,15; 1 Pet 3:22)[49].
b.
u`potassw
Kata
u`potassw hupotasso dalam bentuk aktif artinya
adalah ‘menempatkan di bawah’, dalam kaitan dengan sebuah tulisan artinya
adalah ‘menambahkan di bawah’, ‘menyusun di bawah rubik’, ‘menempatkan lebih
rendah’. Kemudian dalam bentuk pertengahan (mid) artinya adalah ‘menundukkan
diri sendiri, ‘menjadi tunduk’, mengakui adanya tuan, menyerah dengan sukarela.
Kemudian dalam LXX, bentuk kata kerja ini tidak lazim tetapi kata itu mewakili
10 bentuk Ibrani yang sepadan. Arti kata itu adalah ‘menempatkan di bawah’,
‘menempatkan lebih rendah/bawahan’, ‘mengalahkan’, ‘menjadi takluk’, mengakui
kekuasaaan seseorang’[50].
Dalam PB, kata itu
terdapat pada Injil Lukas, corpus Pauline, Ibrani, Yakobus 4:7, dan 1 Petrus.
Penggunaan yang utama dalam PB dipengaruhi oleh LXX demikian juga artinya sesuai dengan apa yang
dikatakan dalam LXX. Mula-mula kata itu adalah satu istilah hirarkis yang
menekankan hubungan kepada atasan. dalam PB kata itu tidak dengan begitu saja
membawa pemikiran tentang ketaatan. Taat atau harus taat, tanpa ada tekanan
adalah suatu tanda penundukan dengan sukarela atau menempatkan diri di bawah. Dalam
bentuk aktif, kata itu berarti ‘menjadi tunduk’, ‘menyerah’. Dalam bentuk
passif aorist, artinya ‘harus menyerah’. Sementara itu Paulus menggunakan kata
itu dalam rumusan dari pernyataan-pernyataan teologis yang penting,’tunduk pada
tuntutan Allah’ (Rm 8:7).[51]
3.2.1. Tempat Nats dalam Konteks
Menurut O’Neil, perikop
ini berdiri sendiri, dan disatukan dengan bagian etik yang panjang, 12:1-15:13,
bahkan barangkali bagian itu disatukan sendiri ke dalam surat Roma. Ernst
Barnikol, Erich Klostermann memperdebatkan bahwa tidak ada penulis Kristen merujuk
ke Roma 13:1-7 sebelum 150 AD atau bahkan sebelum 180. James Kalla
memperlihatkan tesis yang sama[52].
Menurut O’Neil, Roma 13:1-7 tidak berasal dari orang Kristen maupun Jahudi.
Alasannya karena tradisi Kristen dan Yahudi memerintahkan hormat (respek) kepada
penguasa duniawi tetapi tidak pernah ketaatan yang mutlak[53].
Perikop yang dibentuk oleh delapan perintah ini, dikumpulkan bersama oleh
seorang guru Stoa dan diberikan filsafat Stoa yang berdasar pada perkataan
pertama (ay 1). Kumpulan itu hanya menambah suatu tumpuan dalam landasan
Kristen oleh karena dua keadaan, satu bersifat pokok dan yang lain sesuatu yang
hampir kebetulan[54].
Alasan yang utama untuk penggabungan bagian ini adalah bahwa orang Kristen
kemudian akan membutuhkan tuntunan dalam hubungan dengan Negara. O”Neil
mengatakan, “Kita hanya dapat berharap bahwa waktu penggabungan itu adalah pada
masa damai dan kemakmuran. Ketika kekaisaran Romawi adil dan benar, ketika
penguasa adalah pelayan Allah, dalam segala hal (ay 6)[55].
Dapat dibandingkan dengan
apa yang dikatakan oleh Jacobs bahwa perikop 13:1-7 diragukan keasliannya
karena dianggap mengganggu jalan pikiran; 3:10-18, karena tidak mempunyai
hubungan yang jelas dengan konteks[56].
Namun berdasarkan susunan surat Roma dapat disimpulkan bahwa 13:1-7 adalah
bagian dari pasal 12 – 15 yang berbicara tentang etika atau nasihat praktis
tentang kehidupan bersama[57].
Dengan demikian Roma 13:1-7 menjadi bagian dari pasal 12 – 15 yang Paulus
sampaikan tentang sikap hidup kasih dalam hubungan dengan peemrintah.
3.2.2. Konteks Umum
Dari susunan kitab Roma
sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa penafsir, memperlihatkan bahwa perikop
13:1 – 7 merupakan bagian dari 12:1 –
15: 13 yang berisi nasihat-nasihat atau bagian yang berisi pembicaraan tentang
etika atau nasihat praktis tentang kehidupan bersama. Pembagiannya adalah[58]:
1.
Nasihat umum (12 – 13); pasal 12:3-21
berisikan himbauan umum yang menyangkut kehidupan gereja; pasal 13 berisikan
himbauan yang ditujukan keluar gereja.
2. Nasihat
menyangkut persoalan konkrit di jemaat Roma: membahas masalah tentang yang kuat
dan lemah (14: 1 – 15:13).
Menurut Groennen ada suatu
peralihan dari ajaran ke praktek (12:1-2). Lalu menyusul sejumlah nasihat umum
(12:3 – 13:14), yaitu saling melayani dan kerjasama dalam kerendahan hati (12:3-8);
serangkaian nasihat yang berkisar pada kasih persaudaraan (12:9-21); petunjuk
bagi hubungan orang percaya dengan Negara, yang dinilai cukup positif (13:1-7);
kasih menjadi ciri khas orang percaya dan meringkaskan seluruh tata susila (13:8-11); hidup tertib
dan pengendalian diri dituntut oleh hubungan orang beriman dengan Kristus
(13:12-14). Kemudian nasihat-nasihat yang lebih terarah: perbedaan pendapat
dalam hal-hal yang tidak dasariah, seperti macam-macam aturan keagamaan jangan
menimbulkan perpecahan (14:1-12). Sebaliknya karena kasih kepada saudara yang
lemah orang mesti rela melepaskan haknya (14:13-23) dan mengutamakan
kepentingan sesama saudara dalam toleransi yang besar demi persatuan dan
persekutuan, seturut teladan Kristus (15:1-13)[59].
3.2.3. Konteks Khusus
Sebagian orang yang
berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara bahan pasal 12:9-21 dengan pokok
pembahasan 13:1-7 adalah karena peralihan dari 12:21 ke 13:1 yang agaknya
bersifat mendadak. Ada yang menyatakan bahwa 13:1-7 memutuskan hubungan yang
memang terdapat antara 12:21 dan 13:8 dyb sehingga 13:1-7 dipandang sebagai
nasihat tersendiri, yang disisipkan sesudah 12:21, apakah oleh Paulus sendiri
atau oleh seorang tokoh sesudahnya. Namun menurut van den End jika diperhatikan
kosa-kata pasal 12-13, ditemukan titik-titik kesamaan[60]:
-
Pertama, munculnya pasangan kata
‘baik-jahat’ dalam 12:21 dan dalam 13:3 dyb. dan adanya kata kerja
‘harus/berhutang’ dalam ayat 7 dan 8, mengaitkan 13:1-7 dengan bagian sebelum
dan sesudahnya. Demikian juga kata ‘pembalasan –murka’ dalam 12:19 dan 13;4,
dan mungkin juga ‘semua orang’ dalam 12:7 dyb dan 13:7.
-
Kedua, munculnya pasangan kata
‘baik-jahat’ itu menunjukkan pokok bersama 12:9-21 dan seluruh pasal 13, yaitu:
keharusan berbuat baik. 12:1-13 berkenaan dengan kebaikan terhadap sesama
anggota jemaat, 12:14-21 mengenai kebaikan dalam hubungan dengan orang-orang
luar. Khususnya musuh-musuh, 13:1-7 menyangkut sikap terhaap pemerintah dan
perana par penguasa dalam mellindungi
orang yang berbuat baik dna menghukum mereka yang berbuat jahat.
Berdasarkan uraian di
atas van den End menyimpulkan[61]:
a)
Dalam 13:1-7 terdapat unsur-unsur yang
menghubungkannya dengan bagian sebelumnya dan sesudahnya.
b)
Ada kesan bahwa 13:1-7 merupakan nasihat
tersendiri, yang hubungannya dengan nasihat-nasihat lain agak longgar.
c)
Alasan mengapa nasihat mengenai sikap
terhadap pemerintah duniawi ini dimuat dalam rangka Roma 12-13 tidak dapat
ditentukan dengan pasti.
d) Sama
seperti halnya 12:14-21, 13:1-7 bermaksud hendak menempatkan jemaat di tengah masyarakat,
bukan di luarnya, sambil memberi nasihat mengenai sikapnya terhadap masyarakat
itu.
Pembagian perikop
13:1-7 menurut van den End adalah[62]:
Ayat
1a: rumus singkat yang mengandung tesis
Ayat
1b-2: dasar (bukti) pertama tesis itu
Ayat
3-4: dasar (bukti) kedua tesis itu
Ayat
5: penggabungan kedua dasar pada ayat 1b-2 dan 3-4
Ayat
6: memuat dasar yang ketiga
Ayat
7: nasihat yang mengikhtisarkan isi ayat-ayat 1-6
3.3.4. Pengaruh Agama
Dio
Chrysostom dalam The First Discourse of Kingship 45-46, (40-120 M) melaporkan
bahwa hubungan antara seorang raja dan yang menopangnya ditentukan oleh
kesamaan mereka. Di antara raja-raja yang mereka menerima kuasa dan
penugasannya dari Zeus, tetap memandang pada Zeus, mengatur dan memerintah
rakyatnya dengan keadilan dan persamaan menurut hukum dan aturan Zeus. Raja
yang melakukan demikian menikmati kebahagiaan dan akhir yang beruntung, tetapi ketika
dia keluar dari jalan yang benar dan tidak menghormati dia yang telah mempercayakan kepadanya penugasan atau
memberinya hadiah ini, tidak menerima ganjaran dari kuasa dan kekuatannya yang
besar itu tetapi sebaliknya: dia telah menunjukkan dirinya kepada semua orang
pada zaman itu dan kepada keturunannya yang akan datang bahwa dia telah menjadi
seorang yang jahat dan tidak disiplin[63].
Menurut
Eugene Boring dkk, persamaan kepada Paulus adalah: 1) Kekuasaan dianugerahkan
oleh Allah. 2) Bagi Paulus, konteksnya juga adalah untuk memenuhi hukum Allah
(13:8, tetapi juga keseluruhan tema tentang “baik/jahat” mulai dari 12:17) yang
sangat berhubungan dekat dengan pemeliharaan “aturan” dalam dunia. Perbedaannya adalah bahwa nasihat Paulus
dialamatkan kepada orang Roma bukan penguasa. Paulus tidan mengatakan sesuatu
tentang kemungkinan mereka menyebabkan kerusakan aturan yang sudah ditetapkan
itu, dan juga tentang hukuman Allah terhadap mereka. Mengenai pandangan bahwa
raja berasal dari dewa bukanlah semata-mata propaganda yang berasal dari para
penguasa itu sendiri, tetapi telah tersebar luas oleh masyarakat dunia
Hellenistik, Yahudi dan Kafir[64].
Dalam
hal ketaatan terhadap tanah air, Hierocles the Stoic, dalam On Duties, “How to Conduct Oneself
Toward One’s Fatherland (117 – 138 SM) memaparkan bahwa oleh Zeus, ada beberapa
dewa kedua, dan orangtua pertama dan terbesar. Zeus memberinya nama yang
mungkin sejenis gabungan dari ‘bapak’ dan ‘ibu’. Kata itu juga memerintahkan supaya
kita menghormati tanah air sama seperti kepada orang tua. Bahkan ada alasan
lain yang mendesak kita supaya
menghormati tanah air lebih dari kedua orang, ataupun lebih dari segala hal. Menurut
Eugene Boring dkk, perbedaan terhadap Paulus adalah bahwa status dari negara
seseorang tidak didasarkan secara teologis dalam Roma 13:1-7 ini, tetapi atas prinsip kegunaan, empiris
dan logis, tetapi dengan konsekuensi yang sama dengan Paulus. Ini dapat
dibandingkan dengan Plutarch, “Precepts
of Statecraft” 21, “…adalah satu hal yang paling cemerlang dan berguna
untuk belajar untuk menaati mereka yang berkuasa, meskipun jika mereka menjadi
tidak sempurna dalam kuasa dan reputasi”[65].
Kemudian
Sirach 10:4 (sekitar 180 SM) menuliskan bahwa pemerintah dunia berada di tangan
Allah, dan di atas mereka Tuhan akan membangkitkan pemimpin yang adil pada
waktu yang tepat. Tradisi Ibrani dan Yahudi yang lama menegaskan bahwa seluruh
raja memerintah atas perintah Allah. Namun menurut Eugene Boring, pengajaran
Sirach mungkin menunjuk tidak terus terang kepada raja-raja Hellenistik di mana
kepadanya Yudea taluk pada zamannya, mengingatkan murid-muridnya bahwa
kedaulatan akhir adalah milik Allah dengan demikian ada dorongan yang berbeda
dengan pengajaran Paulus kepada orang Kristen, yang diperkirakan mendukung
kerjasama dengan penguasa-penguasa Romawi daripada mendorong perlawanan dari
jauh dan dari dalam[66].
Khusus
tentang Roma 13:3 Plutarch dalam Moralia,
“To an Uneducated Ruler” (45-125 SM)
menuliskan, “Siapa yang memerintah para
penguasa? Sang Hukum, raja dari segalanya, yang tidak kekal dan kekal”,
sebagaimana Pindar katakan, bukanlah hukum yang dituliskan diluar Dia, di dalam
buku atau pada catatan dari kayu atau yang sejenisnya, tetapi pertimbangan yang
baik di dalamnya ada anugerah hidup, yang selalu tinggal bersama dengannya dan memperhatikannya
dan tidak pernah meninggalkan jiwanya tanpa pimpinannya. Polermo berkata bahwa
kasih “melayankan kebaikan sebagai perhatian dan pemeliharaan kepada orang
muda; seseorang mungkin lebih benar mengatakan bahwa penguasa melayankan
kebaikan untuk perhatian dan pemeliharaan manusia, supaya hadiah kemuliaan yang
allah berikan kepada manusia dapat mereka berikan sebagian dan melindungi yang
lain…. hadiah dan berkat ini, begitu fantastis dan besar, yang allah karuniakan
yang tidak dapat dinikmati maupun digunakan dengan benar tanpa hukum dan
keadilan dan seorang penguasa. Menurut Eugene Boring, kesamaan kepada Paulus
adalah: 1) Hubungan yang mengikat antara penguasa dan hukum. 2) Raja memerintah
berdasarkan kehendak Allah dan sebagai pelayannya. Sebagaimana dalam Paulus,
fungsi yang bersifat penyelamatan dilambangkan kepadanya. 3) Perbedaan antara
apa yang dituliskan, yang dapat dilihat secara ekternal dan yang internal dan
tidak dapat dilihat. Bagi Paulus, perbedaan ini digambarkan seperti surat/Roh (bnd
2 Kor 3:3,6)[67].
3.3.
Tafsiran
ayat per ayat
Ayat
1.
Kata-kata
Pa/sa yuch., pasa psukhe
menandai awal nasihat baru mengenai pemerintah duniawi dan sikap orang Kristen
terhadapnya. Ungkapan ‘setiap orang’
memberi arti bahwa demikianlah kehendak Tuhan terhadap semua orang, yang
Kristen maupun bukan Kristen. Namun dalam hubungan surat ini Paulus secara
khusus menyapa orang Kristen. Pa/sa yuch. secara harafiah berbunyi ‘setiap jiwa’ berasal
dari bahasa Ibrani, artinya dari Perjanjian Lama. Pemakaian ungkapan dari
Perjanjian Lama ini meningkatkan sifat khidmat nasihat Paulus dan oleh karena
itu nasihat itu menuntut perhatian yang lebih besar[68].
Menurut Luther pemakaian kata itu menunjukan bahwa sikap tunduk itu haruslah
suatu ketundukan yang tulus/sepenuh hati. Kemudian karena jiwa adalah media
antara tubuh dan roh, sehingga Paulus menunjukkan bahwa orang percaya adalah
mulia dan secara definitif di atas segala hal dan meskipun pada waktu yang sama
tunduk kepada pemerintah, menunjukkan peran ganda orang percaya, yang memiliki
dua bentuk/rupa di dalam dirinya sama seperti Kristus[69].
Tentang evxousi,aij
ada dualisme, beberapa menganggap ada makna ganda dari
pemakaian kata itu oleh Paulus. Pendapat ini mulanya dimunculkan oleh M.
Dibelius, walaupun kemudian meninggalkan pandangan itu, tetapi pendapat ini
kemudian dikembangkan oleh Oscar Cullmann. Ada beberapa argument Cullmann
tentang hal itu diantaranya, menurutnya bahwa di tempat lain
dalam surat-surat Paulus eksousia
terjadi dalam bentuk jamak atau bentuk tunggal dengan tambahan kata pa/sa, pasa, jelas
menandakan kekuatan malaikat tak terlihat. Kemudian bahwa kekristenan mula-mula
bersama dengan Yudaisme berkeyakinan bahwa kekuatan tak terlihat berada di
balik fenomena duniawi[70]. Pendapat
ini ditentang oleh Morrison. Dia mengatakan antara lain bahwa referensi eksousia dalam bentuk jamak kepada kuasa
yang bersifat spiritual atau otoritas sipil bergantung pada konteks linguistik
dan substansial. Konteks lingusitk yang terdapat dalam Rom 13:1 berbeda dari
seluruh kejadian dalam tulisan Paulus di mana hanya di sini tidak diiringi oleh
a/rch,,
, arkhe dan tidak membentuk bagian dari sebuah daftar
(setidaknya dua) istilah, sementara konteks substansial berbeda bahwa hanya di
sini tidak ada referensi kepada Kristus. Kemudian adalah pengajaran Paulus
dalam Rom 13:1-7 bersandar dengan tepat pada nubuatan PL, tradisi apokaliptis
dan hikmat janji Allah dan pemakaian penguasa manusia untuk tujuanNya[71]. Menurut
Bruce dalam konteks sekarang eksousia
paling baik dimengerti sebagai pemerintah sipil, yang memakai pedang untuk menghukum
yang jahat dan melindungi yang baik, yang oleh karena itu memiliki hak untuk
memerintah dan menerima ketaatan, dan yang kepadanya diberikan pajak dan
tanggungjawab yang lain, bersama-sama dengan hormat dan pujian yang pantas[72]. Atas
dasar ini penulis lebih setuju bahwa kata itu menunjuk pada penguasa duniawi.
Dengan
demikian terjemahan ‘pemerintah’ dalam LAI dapat diterjemahkan dengan
‘penguasa-penguasa’ karena bahasa asli memakai bentuk jamak. Pemakaian
kata ‘penguasa-penguasa’ membuat nasihat
ini menjadi lebih konkret. ‘Pemerintah’ merupakan pengertian yang abstrak
tetapi penguasa menunjukkan sesuatu konkrit seperti jajaran orang yang
berwenang, para pejabat sipil, petugas-petugas kepolisian, komandan-komandan
distrik militer yang tiap orang berurusan dengan mereka[73].
Selanjutnya jika kita
menyebut pemerintah selalu dalam
kaitan dengan kuasa yang ada di dalamnya. Kuasa itulah yang membuat pemerintah
itu berjalan. Pemerintah yang berkuasa, yang sedang berkuasa adalah pemerintah
yang sah. Kuasa pemerintah yang demikian berasal dari Allah. Kuasa itu
diberikan oleh Allah sendiri. Bahkan Ia yang mengukuhkan kuasa itu pada
seseorang. Dengan kata lain, orang
memerintah menerima “Surat Ketetapan”
dari Allah. Mereka itu “ditetapkan Allah”
(ay. 1) [74].
Hal ini kemudian ditekankan pada ayat yang berikut (ayat 2).
Kata
kerja u`potasse,sqai yang juga digunakan dalam ayat 5 benar-benar
sebagai kata kunci pada perikkop ini. Kata itu selalu diterima dengan arti ‘menaati,
tunduk’[75]. Dalam
PB u`potasse,sqai terdapat
30 kali. Kata itu digunakan untuk menunjukan sikap yang patut dari seorang
Kristen kepada pemimpin Gereja (1 Kor 16:16), terhadap otoritas sipil (Tit 3:1;
1 Pet 2:13ff dan dalam Roma 13:1,5), terhadap Allah (Jas 4:7), dari seorang
istri Kristen terhadap suaminya (Ef 5:22; Kol 3:18; 1 Pet 3:1,5), dari budak
Kristen terhadap tuannya (1 Pet 2:18), dari newteroi terhadap presbuteroi (1 Pet 5:5), Gereja kepada Kristus (Ef 5:24). Tetapi juga digunakan dalam
Ef 5:21 tentang kewajiban timbal-balik[76].
Kata
u`potasse,sqai sebagai padanan ‘obey, menaati, tunduk’ harus dianggap bahwa perintah Paulus dalam
ayat 1a tidak berarti mutlak, di mana ketika ada pertentangan antara perintah
penguasa duniawi dan perintah Allah, ‘Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada
terhadap manusia’ (Kis 5:29; cf 4:19)[77]. Takluk
atau tunduk sama maksudnya. Kadang-kadang disebut patuh. Walaupun tampaknya istilah tersebut agak keras, tetapi
maksud dan tujuannya sebenarnya tidak demikian. Takluk dalam ayat 1 menunjukkan
kerendahan hati. Rakyat adalah orang-orang yang rendah hati terhadap
pemerintahnya. Oleh sebab itu, rakyat disebut “Untertanen” (bahasa Jerman: warga Negara yang rendah hati). Rakyat
tidak memerintah atasannya. Atasanlah yang memerintah. Rakyat mematuhi dan menjalankan
peraturan yang berlaku. Demikianlah kehendak Allah[78].
Sungguh pasti artinya pengakuan di mana seseorang
ditempatkan di bawah kuasa oleh Allah, dan sebagai pelayan Allah dan alat
kerajaan Allah, dan karena, sepanjang keberadaanya adalah untuk kebaikan sesama,
pelayanan seseorang adalah bagian dari kewajiban untuk mengasihi sesama. Ini
tidak mengaburkan ketaatan terhadap setiap perintah penguasa; karena penguasa
akhir tentang apa yang mendasari ketaatan bukan otoritas sipil tetapi adalah Allah[79].
Menurut
van den End nats terakhir seharusnya
membuat kita menyadari apa sebenarnya sifat ‘ketaklukan’ yang dianjurkan kepada
kita orang Kristen. Menurut pola dunia ini (bnd. Tafsiran 12:2), orang takluk
kepada penguasa atau kepada salah seorang sesamanya sebab mereka takut, karena
alasan apa pun juga. Dan sudah tentu seorang penguasa takkan menganggap dirinya
takluk kepada kaum bawahannya. Tetapi menurut kehendak Allah orang Kristen
takluk karena alasan lain. Sikap seorang Kristen terhadap pemerintah tidak
ditentukan oleh rasa takut, tetapi berdasarkan asas kasih (12:9; 13:8)[80].
Batasannya
dikemukakan pada bagian selanjutnya dari ayat 1. Pada ayat 1 bagian terakhir, ‘sebab tidak ada pemerintah, yang tidak
berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah’
tersurat apa yang tersirat dalam perkataan takluk. Pertama-tama dikatakan,
bahwa tidak ada pemerintah, yang tidak
berasal dari Allah. Kalimat ini mengandung tiga unsur yang patut
diperhatikan. Pertama, bahwa kita
harus takluk kepada penguasa, sebab bagi kita ia mewakili Allah. Dalam
menghadapi penguasa, kita tidak sekadar berurusan dengan manusia yang
sederajat, tetapi secara langsung kita berurusan dengan Tuhan sendiri. Kedua, bahwa kuasa apa pun juga tidak
mempunyai dasar selain ketetapan Allah. Dasarnya bukanlah kepercayaan bahwa
orang tertentu merupakan keturunan dewa. Bukan juga kepercayaan kepada
kesaktian (kasakten) seseorang yang
dianggap telah menerima wahyu. Dasarnya
bukan juga kekerasan senjata ataupun kemauan rakyat semata-mata. Ketiga, kata-kata ini menunjukkan batas
kuasa kaum penguasa. Mereka harus melaksanakan kehendak Tuhan. Tuhan ingin
keselamatan semua orang, dan pemerintah seharusnya menjadi sarana dalam
menjalankan rencana keselamatan itu[81].
ouv
ga.r e;stin evxousi,a eiv mh. u`po. Qeou,, menyatakan alasan kepada perintah yang baru diberikan.
Kata-kata itu mengungkapkan kebenaran
yang telah dikenal orang Yahudi (bnd.2 Sam 12:8; Yer 27:5f; Dan 2:21, 37f;
4:17,25,32; 5:21; Kebijaksanaan 6:3; 1 Henokh 46:5) yaitu bahwa Allah yang
menetapkan (dan menjatuhkan) penguasa, dan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang
pun yang dapat menjalankan kekuasaan pemerintahan kalau bukan Allah yang
memberikannya[82].
ai`
de. ou=sai u`po. qeou/ tetagme,nai eivsi,n dapat dipahami
sebagai pernyataan umum, yang sepadan dengan ayat 1b. Pernyataan ini pada
dasarnya menunjuk ‘penguasa-penguasa yang dihadapi” oleh Paulus dan orang
Kristen di Roma pada waktu. Pernyataan ini memberi arti bahwa meskipun
pemerintah itu adalah penyembah berhala/dewa mereka diakui sebagai yang
ditetapkan Allah[83].
Walapun kadang-kadang pemerintah itu juga yang mengambil tindakan
yang merugikan orang-orang Kristen[84].
Ayat
2.
Ayat
2 menarik kesimpulan dari apa yang dikatakan dalam ayat 1b: barang siapa melawan pemerintah, ia melawan
ketetapan Allah[85]. Artinya orang-orang yang gagal memberikan ketaatan yang pantas bahkan
menentang pemerintah adalah kejahatan pemberontakan terhadap perintah Allah,
karena pemerintah itu ditetapkan oleh Allah. Tindakan yang demikian akan mendatangkan
hukuman atas dirinya. Dalam pandangan ayat 2a, hukuman yang dimaksud dinyatakan
oleh kata kri,ma, krima,
‘hukuman’[86].
Hukuman itu datangnya bukan hanya dari penguasa tetapi dari Allah karena Allah akan
mempertahankan ketetapan-Nya dan menghukum mereka yang melanggar ketetapan itu.
Tetapi
menurut Cullmann kalimat ini jangan disalahgunakan sebagaimana beberapa
perkataan dalam PB. Penyalahgunannya itu adalah dalam hal membenarkan ketaatan tanpa
kritik kepada perintah dari pemerintah yang totaliter. Negara pada tempatnya
dapat memerintahkan ketaatan hanya dalam batas-batas tujuan di mana hal itu
adalah ketetapan ilahi. Negara tidak hanya mungkin tetapi harus ditentang
ketika menuntut ketaatan yang menjadi hak Allah semata[87]. Ketaatan
orang Kristen yang diberikan kepada Negara tidak pernah mutlak. Bahwa dalam
keadaan tertentu ketidaktaatan terhadap perintah Negara bukan hanya sebagai hak
tetapi juga sebagai tugaas. Ini telah menjadi doktrin yang klasik sejak para
rasul menyatakan bahwa mereka lebih baik taat kepada Allah daripada kepada
manusia[88].
Ayat
3.
Menurut van den End, awal kata sebab dapat mendukung penafsiran dari ayat 3 dan ayat 4 sebagai
penjelasan dari ayat 2b tetapi berdasarkan istilah ‘yang jahat’ yang bersifat
umum, lebih masuk akal kalau isi ayat 3-4 dipandang menjadi alasan menjadi
takluk kepada pemerintah seperti yang dianjurkan dalam ayat 1. Alasan itu
adalah: Pemerintah bukanlah musuhmu, asalkan kamu berbuat baik dan bukan yang
jahat. Artinya, tentu seorang Kristen takkan berbuat jahat, maka ia tidak perlu
takut. Sebaliknya ia dapat mengharap akan beroleh pujian dari penguasa[89]. Dalam
hal ini, penguasa bukan teror kepada warga yang baik. Ini dapat dibandingkan
dengan apa yang dikatakan dalam 1 Petrus 3:13, “Dan siapakah yang akan berbuat
jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?”[90].
Selajutnya tentang istilah ‘yang baik’pada ayat ini menurut
van den End dapat menimbulkan salah paham. Yaitu salah paham seakan-akan di
sini hanya dianjurkan kepada seorang Kristen agar ia menaati hukum negara, lalu
sudah cukup. Padahal apa itu ‘yang baik’ sudah ditentukan sebelumnya dalam
12:9-21 bahkan 12:1. Maka ‘kebaikan’ yang di sini dituntut dari seorang Kristen
bukan (bukan hanya) kebaikan menurut hukum negara atau menurut kaidah kesopanan
yang berlaku dalam masyrakat. Yang dituntut daripadanya ialah kebaikan menurut
kaidah yang berlaku dalam Khotbah di Bukit. Maka yang dilakukan orang Kristen
bahkan lebih dari yang dituntut oleh negara. Negara menuntut keadilan, orang
Kristen menambahkan kasih[91].
Hal yang sukar adalah bahwa Paulus sepertinya tidak
melaporkan kemungkinan bahwa pemerintah dapat menjadi tidak adil dan menghukum yang
berbuat baik dan memuji yang jahat. Kemungkinannya adalah bahwa Paulus
bermaksud bahwa sadar atau tidak sadar, dengan sukarela atau tidak, dalam satu
cara atau yang lain, penguasa akan memuji yang mengerjakan yang baik dan
menghukum kejahatan. Janji dalam ayat 3 adalah mutlak: orang Kristen, sepanjang
taat kepada Injil, dapat meyakini bahwa penguasa akan menghormatinya[92].
Ayat
4.
Ayat 4 memuat 3 kalimat. Dua kalimat pada ayat 4 yang
dimulai dengan qeou/ ga.r dia,kono,j evstin menunjukkan
dasar dari janji pada ayat 3 dan peringatan pada ayat 4. Alasan mengapa
pemerintah terpaksa harus mau tidak mau memuji yang melakukan yang baik dan
menghukum yang jahat adalah karena pemerintah, apakah mengetahuinya atau tidak,
apakah dengan sukarela atau tidak, adalah pelayan Allah (bnd Yes: 5-15). Tujuan
utama bukan untuk dirinya, tetapi untuk Allah[93]. Orang
Kristen boleh percaya kepada pemerintah karena
pemerintah adalah hamba Allah.
Kata Yunani yang dipakai untuk hamba adalah diakonos,
diaken. Arti dasar kata ‘diakonos’ adalah hamba yang melayani di meja
makan, yang atas perintah tuannya membagi-bagikan makanan. Istilah itu
bertentangan dengan pandangan orang Yunani dan Romawi tentang negara. Kaum abdi
negara memang ‘hamba’, tetapi negara sendiri tidak berhamba kepada siapa pun
juga. Sebaliknya negara merupakan penguasa tertinggi yang menuntut loyalitas
mutlak dari pihak rakyat. Namun di sini Paulus tidak mempersoalkan loyalitas
kepada negara secara langsung, bahkan ia memerintahkan orang Kristen supaya
mereka taat kepada negara. Namun ketaatan itu ditempatkannya dalam kerangka
yang sama sekali baru dengan menyebut negara ‘hamba Allah’. Fungsi penguasa
sebagai ‘hamba Allah’ memang serupa: atas perintah Tuhan, negara
membagi-bagikan pemberian-Nya. Kepada orang yang berbuat baik, penguasa
membagikan kebaikan (bnd 1 Tim 2:2). Fungsi pemerintah itu memang paling
bermanfaat bagi mereka yang berbuat baik, sebab justru merekalah yang perlu
dilindungi daripada orang-orang jahat[94].
Frase yang
sejajar soi. eivj to. avgaqo,n dan e;kdikoj
eivj ovrgh.n tw/| to. kako.n pra,ssonti yang
menunjukkan dua tujuan yang dilakukan oleh dia,kono,j. Tetapi yang pertama adalah yang mendasar dan utama.
Pemerintah menolong orang Kristen menuju
‘kebaikan’ yang Allah telah sediakan baginya, menuju keselamatan, jika
pemerintah adalah pemerintah yang adil, dengan memberikan keberanian untuk
melakukan yang baik dan penjeraan dari melakukan yang jahat, dengan mengekang perbuatan
jahat yang berlebihan dan memberikan alasan bagi untuk bertindak dengan adil[95].
Pemerintah tidak hanya bertugas melindungi yang baik.
Dia juga harus mengekang yang jahat. Dalam hubungan ini Paulus memakai semacam
kiasan: penguasa ‘menyandang pedang’. Kiasan Paulus di sini menunjukkan
kemampuan dan wewenang penguasa untuk menghukum orang-orang jahat. Sebagaimana
dalam melindungi orang baik, demikian juga dalam menghukum orang jahat penguasa
adalah hamba Allah. Di sini istilah itu dapat diterjemahkan ‘wakil untuk melaksanakan
tindakan penguasa tertinggi’. Hukuman pemerintah merupakan perwujudan
sementara, yang masih terbatas, dari hukuman Allah yang akan ditimpakan-Nya
pada hari kiamat[96].
Dalam hal ini di tangan pemerintah ada fungsi penghakiman. Pengadilan yang
dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.
Pemerintah adalah penyandang pedang. Pedang adalah
symbol kekaisaran penguasa Roma[97]. Pedang
menyatakan perwujudan dari kekuasaan. Pedang itu bukan hanya symbol, melainkan
pedang yang bermakna pedang sesungguhnya. Pedang yang memiliki kekuatan hukum,
yang berhak menghukum. Tidak ada satu negara atau kerajaan tanpa pedang (alat
perlengkapan senjata). Pedang itu juga dipertangungjawabkan oleh pemegangnya
kepada Tuhan. mereka tidak boleh mempergunakannya dengan semena-mena[98].
Oleh karena itu pedang itu harus selalu dilihat dalam kaitannya dengan kuasa
yang berasal dari Tuhan. Artinya pemerintah menyandang pedang, memberi arti
merekalah yang berkuasa atas bawahan dan rakyatnya, berkuasa sebagai ‘hamba
Allah” dan “pelayan-pelayan Allah”. Pemerintah itu adalah pengabdi di dalam
kekuasaannya. Penguasa yang mengabdi kepada Tuhan sekaligus menjadi “abdi negara”[99]. Pemerintah
menjalankan hukuman, dan menjalankan fungsi pedangnya dalam rangka kepentingan
rakyat. Bukan alat balas dendam. Bukan untuk menunjukkan kuasa[100].
Ayat
5.
Menurut van den End ayat ini menjadi
kesimpulan dari ayat 1-4. Ini diperlihatkan oleh kata dio., sebab
itu,
yakni sebab segala sesuatu yang dikatakan dalam ayat-ayat terdahulu. Kesimpulan
itu adalah: perlu menaklukkan diri.
Kata avna,gkh, anangke,
‘perlu’ dapat artikan dengan nasib yang harus diterjemahkan lebih
keras lagi, ‘mutlak perlu’, terpaksa takluk kepada penguasa[101].
Ada 2 alasan untuk ‘takluk’: bukan saja oleh karena kemurkaan Allah,
tetapi juga oleh karena suara hati kita. Keduanya berkaitan dengan nasihat
dalam ayat 3 dan 4: ‘jika seorang berbuat baik … tetapi jika engkau berbuat
jahat’. Artinya, kalau kita cenderung untuk melanggar peraturan, kita dengan
sepatutnya takut akan hukuman, dan rasa takut itu dapat mendorong kita untuk
meninggalkan kejahatan kita. Tetapi kalau kita’hidup dalam Roh’ (8:9) dan ‘mematikan
perbuatan-perbuatan tubuh’ (8:13), maka kita telah menjadi sadar akan kehendak
Tuhan. ‘Suara hati’ adalah kesaksian dalam batin mengenai kehendak Tuhan (lih
2:5). Dengan demikian seorang percaya takluk kepada penguasa bukan karena
hukuman yang dia takuti, melainkan terutama karena hukum yang dia senangi.
Sebab ia tahu bahwa Tuhan telah memberi para penguasa tugas tertentu dalam
mempertahankan dan menjalankan hukum itu[102].
Lebih lanjut van den End melihat jelaslah bahwa
paksaaan yang disebut dalam bagian pertama nas ini tidak sama bagi kedua belah
pihak. Bagi orang yang taat karena takut dan hukuman, paksaan itu datangnya
dari luar. Sebaliknya bagi orang yang takluk karena hukum Tuhan yang dia
senangi, ‘paksaan’ itu lebih pantas disebut ‘dorongan batin’. Berkat dorongan
itu, ia dengan senang hati melaksanakan hukum Tuhan dan dengan demikian memenuhi
tuntutan untuk taat kepada pemerintah duniawi, yang telah diberi tugas
mempertahankan hukum itu[103].
Dalam hal ini, menurut Bruce, orang
Kristen mepunyai motif yang lebih mulia untuk menaati penguasa dibandingkan
keadaan yang tidak menyenangkan atas konsekuensi ketidaktaatan, orang Krsiten
tahu bahwa ketaatan yang demikian sesuai dengan kehendak Allah, dan dengan
melakukannya akan memelihara suara hati yang baik di dalam hubungan kepada
Allah.[104]
Ayat
6.
Kata-kata dia. tou/to,
merujuk ke belakang bukan ke depan. Kata-kata itu dapat dipandang sebagai
paralel dari dio., pada ayat 5
sebelumnya dan dengan demikian merujuk kepada apa yang telah dikatakan pada ayat 1b-4, atau - barangkali yang
lebih mungkin - merujuk kepada th.n sunei,dhsin[105].
Pada ayat 6, Paulus mengutip kenyataan, yaitu bahwa
orang Kristen di Roma membayar pajak. Kenyataan itu membuktikan bahwa keyakinan
yang telah diungkapkannya dalam ayat 3-4 bukan omong kosong belaka, dan bahwa
desakannya dalam ayat 5 agar orang Kristen menaati pemerintah, memang wajar.
Sebab dengan membayar pajak, yang mungkin justru pada tahun-tahun itu sangat
berat, orang Kristen sudah memperlihatkan kerelaan untuk takluk kepada
pemerintah. Pembayaran pajak menjadi pengakuan terhadap pemerintah sebagai
hamba Allah[106].
Pemerintah berhak memungut pajak dan cukai. Hal itu
pun demi kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi penguasa tersebut.
Pajak atau cukai bukanlah menjadi beban masyarakat kalau pelaksanaannya tidak
menyimpang dari ketentuan yang sebenarnya[107].
Rakyat yang sudah sadar pajak tidak keberatan membayar pajaknya karena sudah
menganggap bahwa pajak itu adalah bagian dari tanggungjawabnya[108].
Menurut
Bruce barangkali RSV benar dalam menuliskan bagian ini sebagai satu pernyataan,
bukan sebagai perintah. Dasarnya menurut
Bruce adalah bahasa Yunani adalah rancu/ambiguous (kata kerja dapat berbentuk
imperative maupun indikatif). ‘Adalah
kebenaranmu dengan membayar pajak kepada pemerintah kafir karena mereka memikul
pelayanan kepada Allah’. Pembayaran pajak adalah satu persoalan suara hati bagi
banyak orang Yahudi, dan barangkali bagi beberapa orang Kristen juga. Menurut
Bruce, Ireaneus yang tidak setuju dengan penafsiran gnostik, mengutip ayat ini
untuk membutikan bahwa Paulus dalam paragraph ini menunjuk ‘bukan kepada kuasa
malaikat atau penguasa yang tidak dapat dilihat, seperti beberapa usaha yang
dilakukan untuk menguraikan bagian itu, tetapi kepada penguasa manusia yang
sesungguhnya[109].
Dalam bagian kedua ayat 6, Paulus menyebut
pemerintah dengan memakai gelar yang lebih terhormat dari dia,kono,j,‘hamba’
yaitu leitourgoi., leitourgoi.
Dalam PB dan literatur Kristen mula-mula, leitourgos
digunakan secara khusus untuk pelayanan keagamaan[110].
Dalam bahasa Yunani, leitourgos
dipakai untuk orang yang menyelenggarakan pelayanan umum. Pelayanan itu bisa di
bidang keagamaan[111].
Tetapi dalam bahasa Yunani umum, leitourgos
biasanya berarti orang yang melayani negara. Para penguasa adalah abdi negara
tetapi mereka juga abdi Tuhan[112].
Dalam pandangan Bruce, pengalaman Paulus yang
menyenangkan dari peradilan Romawi barangkali direfleksikan dalam permintaannya
yang tegas di sini bahwa para hakim, yang disebutnya ‘pelayan Allah’ (ay 6),
bukanlah suatu teror kepada yang baik, tetapi kepada yang jahat’. Namun prinsip
yang diberikan disini berlaku meskipun ketika penguasa-penguasa tidak baik hati
terhadap orang Kristen seperti Galio lakukan terhadap Paulus[113].
Ayat
7.
Ayat 7 ini
menutup nasihat mengenai hal pemerintahan, sekaligus merupakan peralihan ke
bagian yang berikut. Kata ‘semua orang’ menunjuk kepada semua orang yang
menjalankan kekuasaan atas nama Allah dan demi kebaikan kita[114].
‘Bayarlah kepada
semua orang apa yang harus kamu bayar’. Mungkin ini adalah gaung dari perintah
Yesus pada Markus 12:17. Tetapi menurut Bruce, ayat berikutnya menunjukkan
bahwa tugas ketaatan kepada penguasa duniawi adalah bersifat temporer, bertahan
hanya untuk periode sekarang dari ‘malam’ (ayat 12); dan pada ‘siang ‘yang
‘sudah dekat’ pemerintahan baru akan diperkenalkan, di mana orang kudus akan
menghakimi dunia (1 Kor 6:2)[115].
Takut dan hormat
mungkin merupakan dua ungkapan yang sejajar sehingga harus digabungkan. Dalam
hal itu, yang berhak menerima rasa takut dan yang berhak menerima hormat merupakan satu golongan saja, yaitu penguasa
pada umumnya. Namun timbul persoalan
karena bukankah yang patut ditakuti (dalam arti positif) adalah Allah sendiri?
Demikian juga dalam ayat 3-4 yang menyatakan bahwa orang jahatlah yang perlu
takut akan alat-alat negara? Menurut van den End, mungkin anjuran ini harus
ditafsirkan sebagai nasihat untuk rasa takut kepada Allah sehingga Roma 13:7b
ini sama isinya dengan 1 Petrus 2:17[116].
Menurut A.
Munthe takut dalam hal ini adalah dalam arti positip. Rakyat tidak boleh
menganggap enteng atasan. Takut kepada atasan berarti melakukan kebijakan yang
diambil oleh pemerintah sebagai abdi Allah dan abdi negara[117].
Selanjutnya ungkapan menghormati orang yang berhak dihormati tidak melemahkan
nasihat untuk saling menghormati. Bawahan pantas memberi hormat kepada atasan.
Pemerintah menerima hormat karena mereka adalah pemerintah. Sejalan dengan
kepatuhan kepada pemerintah digolongkan sederajat dengan kepatuhan terhadap
orang tua, oleh sebab itu, sejak seseorang telah menjabat jabatan pemerintahan
dengan segala kebesaran, maka adalah kewajiban untuk menghormati dan
menyanjungnya sebagai harta dan permata yang paling bernilai di dunia ini. A. Munthe kemudian mengatakan, “Jika seseorang tidak berbuat demikian dalam
kasih, tetapi sebaliknya menghina atau menentang kekuasaan yang berlaku,
biarlah ia mengetahui bahwa ia tidak akan memperoleh kasih atau berkat Allah.
Sebagaimana kita berbuat terhadap orang tua kita, demikian pula kita berbuat
terhadap pemerintah”.[118]
3.4.
Tafsiran
keseluruhan
Apa yang diterangkan di
dalam perikop ini adalah menyangkut dua hal, yaitu: kuasa pemerintah; dan sikap
terhadap pemerintah. Perikop ini tidak menyebutkan tentang tokoh atau pribadi
tetapi hanya tentang jabatan. Dalam hal ini tidak dilihat siapa orangnya, dari
suku mana, dari partai mana atau dari agama apa. Juga tidak menerangkan tentang
sistem pemerintahannya, apakah kerajaan, kekaisaran, republik, negara agama
atau negara sekuler.[119].
Barangkali atas dasar ini J.W. Allen menilai bahwa akan menjadi kesalahan yang
menyolok untuk mengandaikan apabila seseorang, pada satu waktu, mengambil
pandangan politiknya dari Paulus meskipun Roma 13:1-7 berisikan apa yang barangkali
adalah kata-kata yang paling penting yang pernah dituliskan tentang sejarah
pemikiran politik[120].
Tentang sikap orang
Kristen, yang ditekankan adalah ketaatan, bukan karena rasa takut tetapi karena
dorongan batin. Namun, ajaran Kristen mengenai negara tidak dapat dirumuskan
hanya dengan perikop ini. Dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Baru dapat
ditemukan banyak nas serta kisah lain yang mengandung banyak petunjuk bagi
sikap orang percaya terhadap penguasa. Petunjuk tentang cara berurusan dengan petugas,
pegawai negeri, penguasa, juga tentang sikap ketika memegang jabatan
pemerintahan, yang rendah maupun yang tinggi dapat ditemukan dalam perikop[121].
Tentang kuasa
pemerintah ditegaskan bahwa tidak terlepas dari Allah. Ini harus selalu diingat
agar mengetahui bagaimana bersikap di hadapan pemerintah. Allah sendiri yang
memberi kuasa kepada manusia, yang diangkat untuk memerintah. Oleh karena itu setiap
pemerintah yang ada di dunia ini menerima kuasa dari-Nya. Dialah juga Allah
yang memberikan kuasa bagi semua penguasa, siapa pun dia, dan apa pun
jabatannya. Pemerintah mengadakan peraturan-peraturan yang diberlakukan di
daerah pemerintahannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemberi kuasa itu. Artinya,
Allah adalah di atas semua pemerintahan dan di atas segala-galanya[122].
Dengan demikian melalui
nas ini, menurut A. Munthe, Paulus mengingatkan kita agar hubungan gereja
dengan pemerintah tetap harmonis, “Pemerintah menjalankan kuasanya selaku abdi
Allah dan negara. Pemerintah melayani rakyat demi Tuhan. Rakyat takluk dalam
kerendahan hati. Rakyat menjalankan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Rakyat
berbuat baik dan meninggalkan yang jahat. Pemerintah memuji yang pantas dipuji.
Pemerintah menghukum yang patut dihukum”.[123]
3.5.
Skopus
Ketaatan
seorang Kristen kepada penguasa adalah bagian dari tanggungjawab sebagai umat Allah,
ketaatan itu datang dari kesungguhan sebagai wujud kasih untuk mendukung
pemerintah dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan kehendak
Tuhan karena penguasa sesungguhnya ada dan berkuasa karena Tuhan.
IV.
Refleksi
4.1.
Konteks Umum
Dieter
Becker[124]
menuliskan, bahwa pada abad-abad terakhir di beberapa negara Eropa sering
sekali terjadi suatu hubungan antara negara dan gereja, di mana gereja secara
problematik tergantung pada negara (gereja-negara). Pada Abad Pertengahan negara
seringkali tidak lebih daripada bagian dari gereja (Papalisme), sedangkan mulai
abad ke-4 gereja diancam bahaya menjadi bagian dari negara saja
(Kaesaropapisme). Katolikisme tradisional berusaha untuk menghapus batas-batas
antar negara dan gereja demi gagasan Papalisme. Tendensi yang serupa juga
terdapat dalam Calvinisme berdasarkan pemikirannya yang bersifat teokratis.
Sementara menurut tradisi Lutheran, gereja dan negara harus dibedakan dengan
tegas.
Namun
menurut Becker, pembedaan di antara gereja dan negara itu tidak berarti bahwa
gereja tidak memperhatikan kondisi-kondisi politik atau mengasingkan diri dari
hubungan dengan negara. Gereja tidak dapat keluar dari situasi kehidupan pada
zamannya. Menurutnya sayang sekali bahwa Gereja-gereja Lutheran dalam
sejarahnya tidak jarang mempunyai anggapan yang salah, seolah-olah kedua
kerajaan itu dapat saling terpisah dan kerajaan dunia dibiarkan saja
menjalankan fungsinya menurut hukum-hukumnya sendiri dan menurut kuasa-kuasanya
sendiri. Harus dikatakan bahwa kemandirian dunia tidak berarti dunia diserahkan
kepada penguasa menurut hukum-hukumnya sendiri. Tetapi di bawah kondisi-kondisi
yang normal, justru berdasarkan perbedaan yang nyata antara gereja dan negara
ada kesempatan bagi suatu hubungan yang terbuka tanpa ketergantungan antara
yang satu dengan yang lainnya[125].
Ada tiga cara hubungan antara
gereja dan pemerintah yang membawa kepada langkah yang salah[126].
-
Gereja dan pemerintah adalah dua hal
yang terpisah yang seharusnya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Tipe
ini menggambarkan suatu pemisahan yang pasti antara keduanya: gereja
berhubungan dengan sesuatu yang hal-hal bersifat “rohani” dan pemerintah dengan
hal-hal yang bersifat material. Ini barangkali disampaikan oleh seorang pietis
yang melihat dunia sebagai yang jahat dan untuk dihindari sebisa mungkin. Atau
barangkali dikembangkan oleh gagasan bahwa iman adalah sematamata hubungan khusus
“antara Allah dan saya” dan tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Tipe ini
umumnya digambarkan dengan frase, “Agama dan politik tidak bercampur”.
-
Pemerintah mengendalikan gereja. Melalui
paksaan, praktek tradisional atau kerelaan bekerjasama, gereja menjadi tunduk
kepada pemerintah atau barangkali bahkan bawahan dari pemerintah. Tahta dan
altar kelihatanya satu; presiden dan bishop berjanlan bergandengan tangan, dan
hadir untuk menghormati satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan khusus. Dalam
tipe ini, gereja memberikan dukungan tanpa syarat kepada pemerintah, apa yang
pemerintah lakukan, gereja gemakan dan berkati.
Gereja mungkin memperoleh kuasa dan perlakuan khhusus tetapi kehilangan
jarak kritis dari pemerintah. Gereja menjadi corong (mouthpiece) atau binatang piaraan (lapdog) pemerintah dan kebijakannya.
-
Gereja mengendalikan pemerintah. Agama
menggunakan kekuasaannya untuk memperlakukan pemerintah sebagai bawahannya bagi
dirinya dan kepentingannya. Dalam tipe ini, “otoritas rohani (spiritual authority)” pemerintah yang
superior memberinya hak untuk memimpin dan memerintah “otoritas sementara (temporal authority)” yang lebih kecil.
Saat ini tipe ini barangkali kurang umum di antara gereja dibandingkan di
antara beberapa kelompok agama yang lain dimana usaha-usaha diciptakan untuk
menempatkan seluruh masyarakat di bawah hukum agama tertentu sebagamana
ditafsirkan oleh pemimpin-pemimpin agama.
Bagi
K. Barth, sebagaimana dituliskan oleh Becker, gereja dan negara sama-sama
berlandaskan kerajaan Kristus, di
mana negara pun diartikan sebagai bagaian dari “tata anugerah”. Dengan demikian
hendak dijamin agar proses saling mempengaruhi di antara keduanya jangan
terlalu besar, dan supaya yang satu tidak mengambil alih tugas yang lain[127].
Dalam hal ini keberadaan gereja di dunia ini mempunyai hubungan langsung dengan
negara dan pemerintah di mana gereja itu berada. Gereja dan pemerintah adalah
sama-sama wakil Allah, dapat menjadi mitra untuk bekerjasama dalam pemeliharaan
dunia ini. Tetapi dalam hubungan itu dituntut ketegasan bagi gereja dalam
menentukan sikapnya. Jika gereja dapat bersikap kritis, positif dan realistis
terhadap negara dan pemerintah maka hubungan gereja dan pemerintah dapat
berjalan dengan baik dalam arti berjalan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing[128].
Disinilah
gereja mempunyai tugas nabiah dan fungsi kontrol, dengan penyampaian
pesan-pesan bahkan kritik profetis kepada negara. Tugas tersebut dilakukan
dengan tujuan mensejahterakan umat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebab kesejahteraan umat adalah kesejahteraan bangsa, yang hanya mungkin
terjadi apabila di dalam negara berlaku keadilan, hukum ditegakkan dan hak
azasi manusia dihargai dengan semestinya[129].
Hal itu menurut Eleazar
S. Fernandez, untuk menguatkan gereja dalam gerakan kritik sosial sebagaimana
mestinya. Identitas gereja yang benar adalah sebagai gerakan sosial kenabian
dan jika menyimpang dari identitas ini akan membuat gereja kehilangan tujuan. Tetapi
sebagai gerakan sosial kenabian, gereja harus berdiri dalam solidaritas bersama
dengan orang-orang yang telah memberikan hidupnya untuk kesaksian kenabian di
tengah-tengah pemerintahan suatu bangsa[130].
4.2. Hubungan dengan Konteks Indonesia
Berbicara
tentang hubungan gereja dengan negara di Indonesia tidak terlepas dari
pemahaman tentang politik dan sistim pemerintahan Indonesia yang berasaskan
Pancasila, UUD 1945 dan demokrasi modern yang berpijak pada pemisahan
kekuasaan: eksekutif, legislatif dan judikatif. Hubungan-hubungan itu terjadi
dalam dua arus, lewat warga gereja secara pribadi dan sebagai warga negara, dan
lewat gereja sebagai sebuah organisasi[131].
Dalam
konteks Indonesia, pembatasan hubungan gereja dan negara sudah sangat jelas,
misalnya dengan sila pertama Pancasila dan UUD 45, fasal 29. Dengan dasar negara
dan undang-undang dasarnya, negara Indonesia mengakui bahwa agama dan kebebasan
beragama bukanlah ciptaan dan pemberian negara, melainkan adalah penyataan
Tuhan tentang harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan demikian hubungan gereja
dan negara harus ditempatkan sejajar, yang saling membantu, memperlengkapi dan
memberdayakan satu sama lain. Posisi gereja tidak berada pada sub-ordinasi atau onderbouw negara. Demikian juga sebaliknya, negara tidak berada
pada sub-ordinasi atau onderbouw gereja[132].
Untuk
itu gereja-gereja di Indonesia hadir serta menjalankan perannya di tengah negara
kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila. Peranan itu dengan berbagai tantangan
dan pergumulan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab berdasarkan tugas dan
panggilannya yang bersumber pada Kristus. Gereja-gereja di Indonesia turut
berperan serta dalam pembangunan bangsa sebagai pengamalan Pancasila. Umat
Kristen Indonesia harus memahami dirinya sebagai bagian integral dari bangsa
Indonesia.Tidak menarik diri dari pergumulan bangsanya, tidak berpikir
primordial/sektarian tetapi berwawasan kebangsaan dan nasional. Esensi
kehadiran gereja di manapun adalah ketaatan kepada Tuhan di atas segalanya[133].
Berkaitan
dengan itu walaupun jumlah orang Kristen minoritas dibandingkan dengan jumlah
pemeluk agama mayoritas, bukan berarti orang Kristen menjadi warga negara kelas
dua. Orang Kristen lahir di bumi Indonesia berarti juga sebagai pemilik negara
ini. Oleh karena itu sebagai warganegara yang bertanggungjawab, orang Kristen harus
mencintai bangsanya dan tetap berusaha memelihara iman dan berjuang untuk
menegakkan keadilan seperti yang dimandatkan oleh Yesus Kristus sendiri.
Panggilan sebagai warga Kerajaan Allah dibuktikan dalam kehadiran sebagai
pelaku firman dan tidak berkompromi dengan kejahatan. Sebagai warganegara,
orang Kristen di Indonesia bertanggungjawab terhadap maju dan mundurnya Negara
Indonesia.
Di
sinilah perlu ditegaskan sebagaimana yang disampaikan oleh Eddy Paimoen bahwa[134],
orang Kristen tidak hanya berjuang untuk mendapatkan “political power” atau “governmental
power” tetapi perjuangan untuk melaksanakan “intellectual revolution” untuk mendapat “intellectual power” dalam semua disiplin ilmu agar mampu berperan
serta dalam membangun masyarakat baru, sebagai wujud kerajaan Allah di bumi
yang berazaskan kebenaran, keadilan, kekudusan dan pengampunan. Dengan memiliki “intellectual power” umat Kristen akan dapat menjadi garam yang akan
menggarami bangsa ini dan akan menjadi terang yang akan menerangi bangsa ini,
menjadi bangsa yang solid yang berdiri di atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Kehadiran
gereja-gereja di Indonesia haruslah masuk dalam sejarah kehidupan umat manusia
dan memberikan dinamika dan perspektif baru. Kehadiran gereja di Indonesia ini
adalah alat bagi pengenalan karya penyelamatan Allah yang berdampak bagi
kemajuan masyarakat dalam peningkatan taraf hidup dan penegakan keadilan sosial
serta perikemanusiaan. Menurut Einar Sitompul[135],
yang mesti dilakukan adalah: Pertama,
mengevaluasi secara kritis kehadiran gereja selama ini. Apakah sudah turut
bersama-sama dengan semua komponen masyarakat yang berjuang untuk kehidupan
yang lebih adil? Kedua, turut
mengupayakan terciptanya tatanan yang lebih demokratis, adil dan manusiawi
mulai dari lingkungan kita sendiri. Sehubungan dengan itu, isu HAM yang menjadi
agenda dunia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penghayatan iman Kristen,
karena manusia adalah ciptaan Allah yang bermartabat. Setiap penindasan harus
ditentang karena penindasan itu bertentangan dengan kehendak Allah yang
menghendaki kehidupan ini berniat memberikannya di dalam kelimpahan.
Dengan
demikian kehadiran republik ini benar-benar sebagai bagian dari karya
penyelamatan Allah melalui peran gereja (orang percaya) yang menerima mandat untuk
melanjutkan dan memelihara pekerjaan penyelamatan Allah itu. Berlandaskan pada
Roma 13:1-7, orang Kristen di Indonesia memberi peran di dalam ketaatan yang
didasari oleh pengetahuan akan kehendak Tuhan bagi dirinya untuk mendukung
berjalannya pemerintahan yang adil dan bertanggungjawab.
V.
Kesimpulan
1.
Roma 13:1-7 menegaskan bahwa kehidupan orang
Kristen tidak terlepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu orang
Kristen harus mengetahui bagaimana sikap terhadap penguasa yang sesuai ajaran
kekristenan. Sikap itu adalah sikap tunduk terhadap penguasa (yang taat kepada Tuhan) dengan memenuhi
tanggungjawab sebagai warganegara. Sebaliknya Roma 13:1-7 juga menunjukkan bahwa penguasa
tidak ada karena dirinya sendiri tetapi penguasa ada dan berkuasa atas
penetapan Tuhan yang berada di atas segalanya dan yang memerintah segala
sesuatu. Oleh karena itu peraturan yang ditetapkan dan dijalankan penguasa juga
harus mencerminkan kehendak dan ketaatan kepada Tuhan.
2.
Hubungan orang Kristen dan penguasa
digambarkan oleh sikap tunduk orang Kristen terhadap penguasa dan tindakan
penguasa yang memuji warganegara yang melakukan perbuatan baik dan menghukum
yang melakukan kejahatan. Kemauan kedua belah pihak untuk melaksanakannya
dengan sunggguh-sungguh dapat menciptakan hubungan yang baik dan saling
mendukung antara keduanya. Disinilah Gereja perlu memantapkan perannya dalam
menyuarakan suara kenabian sehingga penguasa tidak bertindak sewenang-wenang
dalam menjalankan roda pemerintahan.
3.
Sikap tunduk terhadap penguasa di dalam
Roma 13:1-7 tidak bersifat mutlak karena orang Kristen harus mengutamakan
kataatan kepada Tuhan yang memberikan dasar bagaimana bersikap terhadap
penguasa sekaligus hak dan kekuasaan kepada penguasa untuk memerintah. Orang
Kristen harus menolak tuntutan penguasa yang bertentangan dengan firman Tuhan
dan yang menyangkal atau merampas ketaatan orang Kristen kepada Tuhan.
4.
Roma 13:1-7 tidak menjadi dasar untuk
menetapkan bentuk suatu pemerintahan
dalam suatu negara dan tidak menjadi dasar untuk menentukan bentuk politik atau
dasar bagi orang Kristen dalam berpolitik praktis. Tetapi Roma 13:1-7 menjadi
salah satu pedoman bagi orang Kristen untuk mengetahui bagaimana sikap sebagai
warganegara yang bertanggungjawab dan bagaimana sikap orang Kristen ketika diberi
kuasa dan jabatan untuk memerintah.
Daftar Pustaka
Becker, Dieter, 2009, Pedoman
Dokmatika; Suatu Konpendium Singkat, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Berkhof, H., dkk, 1992, Sejarah
Gereja, Jakarta; BPK Gunung Mulia,
Bloomquist, Karen L. dkk, 2010, Churches
Holding Governments Accountable, Geneva: LWF
Boring, M. Eugene dkk (ed.), 1995, Hellenistic
Commentary to the New Testament, Nashville: Abingdon Press
Bruce, F.F., 1985, Romans: Letter of Paul, Michigan: Wm.B.
Eerdmans Publishing Company
---------------, 2003, Dokumen-Dokumen
Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Chilton, Bruce, 2004, Studi Perjanjian Baru bagi Pemula,
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Cranfield, C.E.B., 1979, A
Critical and Exegeticl Commentary on The Epistle of the Romans, Vol. II,
Edinburgh: T&T Clark Limited
Drane, John, 2000, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar
Historis – Teologis, (terj.), Jakarta: BPK Gunung Mulia
Duyverman, M.E., 1992, Pembimbing ke
dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Fernandez, Eleazer S., 1994, Toward A
Theology of Struggle, New York: Orbis Book,
Friedrich, G. (ed.), 1983, Theological Dictionary of the New
Testament, Vol. VIII, Grand
Rapids Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing
Company.
Groennen, C., 1984, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru,
Kanisius: Yogyakarta.
Guthrie, Donald, 1996, Teologi
Perjanjian Baru 3: Ekklesiologi,
Eskatologi, Etika,(terj.), Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hunter, A.M., 2002, Memperkenalkan
Teologi Perjanjian Baru (terj.), Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jacobs, Tom, 1983, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, Jakarta
& Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius.
Kittel, G. (ed.),1982, Theological
Dictionary of the New Testament, Vol. II, Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company.
Lumbantobing, Darwin, 2007, Teologi di Pasar
Bebas, Pematangsiantar: L-SAPA.
Marshall, I. Howard, 2004, New Testament
Theology II, Downers Grove: InterVarsity Press.
Marxsen, Willi, 2005, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kristis terhadap Masalah-masalahnya,
(terj.), Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Munthe, A., 2008, Tema-tema Perjanjian Baru, Jakarta: BPK
Gunung Mulia
O’Neill, J.C., 1975, Paul’s Letter to the Romans,
Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.
Simorangkir, Mangisi S.E., 2008, Ajaran Dua Kerajaan Luther
Dan Relevansinya di Indonesia, Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI.
Swindoll, Charles R., 2007, Paulus: Seorang
yang penuh kasih karunia dan tegar, dalam Seri Tokoh Terbesar, (terj.), ,
Jakarta: Nafiri Gabriel
Packer, J.I. dkk., 1995, Dunia
Perjanjian Baru, (terj.), Surabaya & Malang: YAKIN & Gandum Mas
Paimoen, Eddy, 1999, Kerajaan Allah dan Gereja, Bandung:
Agiamedia.
Van den End, Th., 2000, Tafsiran
Alkitab Surat Roma, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
[1] C. Groennen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru,
Kanisius, Yogyakarta, 1984: hlm. 217.
[2] Groennen, Pengantar, hlm. 217.
[3] Suetonius, seorang pengarang
Romawi, melaporkan hal itu sebagai berikut: “Ia (kaisar) mengusir orang Yahudi
dari Roma karena mereka terus menerus mengacau, dihasut oleh seorang yang
bernama Krestus. Jelas bahwa dengan
“Krestus” dimaksudkan Kristus. Suetonius, dan barangkali juga Klaudius,
berpendapat bahwa Kristus itu seorang Yahudi.
[4] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, BPK Gunung Mulia &
Kanisius, Jakarta & Yogyakarta, 1983: hlm. 93-94.
[5] Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 2000: hlm. 3.
[6] F.F.Bruce, Romans: Letter of Paul, Wm.B. Eerdmans Publishing Company,
Michigan, 1985: hlm. 218.
[7] Bruce, hlm. 219.
[8] Bruce, Romans: Letter of Paul, hlm. 220.
[9] Kota Tarsus terletak di Kilikia,
Asia Kecil, yang disebut oleh Paulus sebagai “kota terkenal” (Kis. 21:39),
adalah pusat penting dari kebudayaan Yunani pada waktu itu, dan ini ikut
memberikan ciri pada Paulus seperti yang dapat dilihat pada pidato-pidato dan
surat-suratnya. F.F. Bruce, Dokumen-Dokumen
Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: hlm. 74.
[10] van den End, Tafsiran …, hlm. 1-2.
[11] Bruce Chilton, Studi Perjanjian Baru bagi Pemula, BPK
Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm. 53-54.
[12] A.M. Hunter, Memperkenalkan Teologi Perjanjian Baru
(terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2002: hlm. 94.
[13] Lih. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3: Ekklesiologi, Eskatologi, Etika,(terj.),
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1996: hlm. 69-78. Pada bagian ini dapat dilihat uraian
tentang kiasan jemaat yang dimaksud.
[14] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 29-30.
[15] Tom Jacobs, hlm. 29-30.
[16] J.I. Packer, dkk., Dunia Perjanjian Baru, (terj.), YAKIN
& Gandun Mas, Surabaya & Malang 1995: hlm. 195.
[17] Charles R. Swindoll, Paulus: Seorang yang penuh kasih karunia
dan tegar, dalam Seri Tokoh Terbesar, (terj.), Nafiri Gabriel, Jakarta 2007:
hlm. 330-333.
[18] Swindoll, hlm. 334
[19] J.I. Packer, dkk., Dunia Perjanjian Baru, hlm. 198.
[20] Dalam pandangan Swindoll,
kebaikan hati kepala pasukan itu adalah bagian dari rencana Tuhan atas Paulus.
Lih. Swindoll, Paulus: Seorang yang penuh kasih … hlm. 337-341.
[21] Lih. Swindoll, hlm. 350-351.
[22] Lih. Swindoll, hlm. 372.
[23] Lih. John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar
Historis – Teologis, (terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2000: hlm. 293.
[24] Lih. J.I. Packer, dkk., Dunia Perjanjian Baru, hlm. 197.
[25] Lih. John Drane, Memahami Perjanjian Baru: …, hlm.
293-294.
[26] Lih. John Drane, hlm. 294-295.
[27] M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992, hlm. 94-95.
[28] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 193-194. Akan hal ini,
menurut Tom Jacobs, Bornkamm menyebut surat ini “surat wasiat”.
[29] Lih. Groennen, Pengantar
ke dalam Perjanjian Baru, hlm. 218-220.
[30] Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, hlm. 3.
[31] Groennen, hlm. 221-222.
[32] Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru, hlm. 99.
[33] Duyverman, hlm. 98.
[34] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kristis terhadap Masalah-masalahnya,
(terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2005: hlm. 105.
[35] Lih. Marxsen, hlm. 106-107.
[36] C. Groennen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, hlm. 220.
[37] Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru hlm. 98-99.
[38] Tentang ini juga dapat dilihat Tom
Jacobs, Paulus …, hlm. 195-196. C.
Groennen, Pengantar …, hlm. 221.
[39] lih. Duyverman, hlm. 99-100.
[40] Groennen, Pengantar…, hlm. 221.
[41] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, … , hlm. 196.
[42] bnd. Tom Jacobs, hlm. 195.
[43] lih. I. Howard Marshali, New Testament Theology II, InterVarsity
Press, Downers Grove, Illinois 2004: hlm. 306-329. Bnd. Jacobs, Paulus: Hidup …, hlm. 195. Groennen, Pengantar …, hlm. 222-226. Bnd. Marxsen, Pengantar
…, hlm. 109-127.
[44] Argument keraguan Groennen atas
pasal ini karena untuk apa daftar nama sepanjang itu dan bagaimana Paulus
mengenal sekian banyak orang di Roma (16:1-23); dari mana tiba-tiba muncul
suatu serangan pedas atas orang yang (dapat) menyesatkan orang beriman
(16:17-19); demikian juga 16:25-27 tidak terdapat pada tempat yang sama pada
naskah kuno (Bnd. Groennen, hlm. 221).
Atas dasar keraguannya menurut Duyverman salam pada bagian akhir surat
ini ini ditujukan kepada orang-orang yang tinggal di Efesus, Pembimbing …, hlm. 101.
[45] Lih. Groennen, Pengantar …, hlm. 226.
[46] Lih. van den End, Tafsiran…, hlm. 4.
[47] Lih. Behm, evxestin, evxousi,a, exousiazw, katexousiazw dalam G.
Kittel (ed.), Theological Dictionary of
the New Testament, Vol. II, Wm.
B. Eerdmans Publishing Company,
Grand Rapids, Michigan 1982: hlm. 562-563.
[50]
Lih. Delling, tassw, anatassw, apotassw, uvpotassw
…, dalam G. Friedrich
(ed.), Theological Dictionary of the New
Testament, Vol. VIII, Wm. B. Eerdmans Publishing Company, Grand
Rapids, Michigan 1983: hlm. 39-40.
[52] J.C.O’Neill, Paul’s Letter to the Romans,
Harmondsworth, Middlesex, Penguin Books 1975: hlm. 207-208.
[53] Menurut O’Neil sudah tentu pengajaran Kristen
dan Yahudi sepakat tentang hal ini. Penguasa diberi kuasa oleh Allah
(Kebijaksanaan Salom 6:3; Josephus, War, ii. 140 (8.7)) dan oleh karena itu
harus ditaati (Mrk 12:17), tetapi kekuasaaan mereka pada dasarnya di bawah
kuasa Allah (Mzm 82; Kebijaksanaan Salomo 6.I-II) dan tidak seorang pun dapat
melawan Allah, meskipun jika penguasa memerintahkannya (Mrk 12:17; Kis 5:29)[53].
[54] Keadaan yang bersifat pokok
adalah persetujuan pengajaran dalam memasukkan untaian tradisi Yahudi-Kristen,
untaian tradisi yang mengakui sumber ilahi dari kekuasaan penguasa duniawi,
kekuasaan mereka untuk mengumpulkan pajak, dan hal untuk mendapatkan ketaatan
dan hormat dan doa untuk kebaikan mereka. Keadaan yang hampir kebetulan adalah
semata-mata persesuaian kata antara Roma 13:8 dan kalimat terakhir dari
kumpulan Stoa Roma 13:7. Ayat 8: jangan berhutang apa pun kepada seseorang dan
ayat 7: berikan kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya. Persamaan kata,
dengan perbedaan yang sempurna dalam konsep, hanyalah apa yang akan dimohonkan
kepada seorang penyusun aphorisme atau seorang pengumpul aphorisme, yang
baginya permainan kata-kata adalah segalanya
[55] J.C.O’Neill, Paul’s Letter to the Romans, 209.
[56] Lih. Jacobs, Paulus …, hlm. 196.
[57] Lih Groennen, Pengantar …, hlm. 225; bnd. Marxsen, Pengantar …, hlm. 110.
[58] Lih. Marxen, Pengantar …, hlm. 109-110; bnd van den
End, Tafsiran…, hlm. 12.
[59] Lih. Groennen, Pengantar …, hlm. 225-226.
[60] Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, hlm. 598.
[61] Th van den End, hlm. 598.
[62] Th van den End, hlm. 597.
[63] Lih. M. Eugene Boring dkk (ed.),
Hellenistic Commentary to the New
Testament, Abingdon Press, Nashville 1995: hlm. 385-386.
[64] Lih. Eugene Boring dkk (ed.),
hlm. 386.
[65] Lih. M. Eugene Boring dkk (ed.),
Hellenistic, hlm. 386.
[66] Lih. M. Eugene Boring dkk (ed.),
hlm. 387.
[67] Lih. M. Eugene Boring dkk (ed.),
Hellenistic, hlm. 386.
[68] Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, hlm. 599.
[69] Hilton C. Oswald (ed), Luther’s Work Vol. 25: Lectures on Roma,
Concordia Publishing House, Saint Louis 1972: hlm. 468.
[70]
Lih. C.E.B. Cranfield , A Critical and Exegeticl Commentary on The
Epistle of the Romans, Vol. II, T&T Clark Limited, Edinburgh 1979: hlm.
656.
[71] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 658.
[72] Bruce, Romans: …, hlm. 223.
[73] Bnd. Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 599-600.
[74] Bnd. A. Munthe, Tema-tema Perjanjian Baru, BPK Gunung
Mulia, Jakarta 2008: hlm. 81.
[75] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 660.
Sanday dan Headlam memberi judul perikop ini ‘On Obedience to Rulers’ dan dalam ringkassan pengantarnya
mengatakan’Penguasa kota … harus ditaati’. Ketaatan terhadapnya adalah satu
tanggungjawab orang Kristen … ‘. Barret menggunakan frase ‘obedience to magistrates’ (ketaatan kepada hakim-hakim)’ dan UBS ‘Obedience to Rulers’ sebagai judul
perikop untuk 13:1-7.
[76] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical … , hlm. 660-661.
[77] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 660.
[78] A. Munthe, Tema-tema …, hlm. 84.
[79] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 662.
[80] Lih. Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 600-601.
[81] Lih. Th. van den End, hlm 601.
[82] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical …, hlm. 663.
[83] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 663.
[84] Th. van den End, Tafsiran …, hlm 602.
[85] Th. van den End, hlm. 603.
[86] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 664.
[87] Lih. Bruce, Romans: …, hlm. 224.
[88] Lih. Bruce, hlm. 224.
[89] Lih. van den End, Tafsiran …, hlm. 603-604.
[90] Lih. Bruce, Romans, hlm. 224.
[91] Lih. van den End, Tafsiran …, hlm. 604.
[92] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical …, hlm. 665.
[93] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 665.
[94] Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 605.
[95] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical …, hlm. 665-666.
[96] Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 607.
[97] Bruce, Romans, hlm. 224.
[98] A. Munthe, Tema-tema Perjanjian Baru, hlm. 82.
[99] A. Munthe, hlm. 82.
[100] A. Munthe, hlm. 82-83.
[101] Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 607.
[102] Th. van den End, hlm. 607-608.
[103] Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 608.
[104] Bruce, Romans: …, hlm. 225.
[105] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical
…, hlm. 668.
[106] Th. van den End, hlm. 609.
[107] A. Munthe, Tema-tema Perjanjian Baru, hlm. 83.
[108] A. Munthe, hlm. 86.
[109] Bruce, Romans, hlm. 225.
[110] Bruce, hlm. 229.
[111] Th. van den End, Tafsiran, hlm. 609.
[112] Th. van den End, hlm. 609.
[113] Bruce, hlm. 219.
[114] Th. van den End, Tafsiran, hlm. 610.
[115] Bruce, Romans, hlm. 226-227.
[116] Th. van den End, hlm. 610.
[117] A. Munthe, Tema-tema, hlm. 86.
[118] A. Munthe, Tema-tema …, hlm. 86-87.
[119] A. Munthe, hlm. 80.
[120] Bruce, Romans, hlm. 222.
[121] Th. van den End, Tafsiran, hlm. 611.
[122] A. Munthe, Tema-tema …, hlm. 81-82.
[123] A. Munthe, hlm. 86-87.
[124] Dieter Becker, Pedoman Dokmatika; Suatu Konpendium Singkat,
BPK Gunung Mulia, Jakarta 2009: hlm. 180.
[125] Dieter Becker, hlm. 181.
[126] Bnd. Karen L. Bloomquist, dkk, Churches Holding Governments Accountable,
LWF, Geneva 2010: hlm. 21-24.
[127]
Lih. Dieter Becker, hlm. 18
[128] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar
2007: hlm. 256.
[129] Darwin Lumbantobing, hlm. 266.
[130] Bnd. Eleazer S. Fernandez, Toward A Theology of Struggle, Orbis
Book, New York 1994: hlm. 143-157.
[131] Lih. Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther Dan Relevansinya
di Indonesia, Kolportase Pusat GKPI, Pematangsiantar 2008: hlm. 152,153.
[132] Darwin Lumbantobing, hlm. 267.
[133] Mangisi S.E. Simorangkir, hlm.
182,183
[134]
Eddy Paimoen, Kerajaan Allah dan
Gereja, Agiamedia, Bandung 1999: hlm. 113,114.
[135] Eddy Paimoen, hlm. 65,66.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar