Rabu, 16 Maret 2016

Hubungan Gereja dan Pemerintah


HUBUNGAN GEREJA DAN PEMERINTAH
Studi Eksegese Roma 13:1-7
(Pdt. Darman H. Samosir, STh)
I.                   Pendahuluan
Sebagai warga negara, kehidupan orang Kristen tidak terlepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Ketika orang Kristen memiliki hak dan tanggungjawab di dalam bergereja, orang Kristen pasti memiliki hak dan tanggungjawab sebagai warga negara. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana orang Kristen menempatkan posisinya di dalam situasi yang demikian. Di mana hubungan gereja dan negara tidak terlepas dari masalah bahkan sudah ada sejak lama. Hubungan itu sesuatu yang dinamik dari waktu ke waktu. Dalam hal inilah bagi orang Kristen perlu pemahaman yang alkitabiah tentang hubungan Gereja (orang Kristen) dengan negara (pemerintah).
Pada dasarnya Gereja memahami bahwa kehadirannya adalah sebagai terang dan garam di tengah-tengah dunia. Inilah yang mewarnai semua missi, sikap, aktivitas dan pelayannnya, di berbagai lapangan kehidupan. Dalam konteks pemahaman itu, dapat dilihat sikap Yesus Kristus dan para rasul terhadap pemerintah pada masanya masing-masing. Dalam kehidupan gereja, sikap itu ada kalanya berubah dan berbeda sesuai dengan keadaan dan konteksnya. Namun menjadi garam dan terang tetap menjadi dasar teologis untuk memahami hubungan Gereja (orang Kristen) dan negara atau pemerintah pada masa kini.
Di sini penulis secara khusus ingin menyoroti persoalan itu berdasarkan pemikiran Paulus yang dituangkan dalam Roma 13:1-7. Bagaimanakah Paulus memandang posisi Gereja di dalam suatu pemerintahan yang berdaulat di dalam terang tugas panggilannya sebagai garam dan terang serta kasih sebagai dasar dan ciri kehidupan orang Kristen. Dan dalam pembahasan ini pemahaman penulis tentang Gereja adalah tertuju kepada orangnya dan Gereja sebagai lembaga.

II.                Study tentang Surat Roma
2.1.            Berdirinya Jemaat di Roma
Kota Roma di zaman Perjanjian Baru sudah lama menjadi pusat politis dan administratif Negara raksasa Roma. Kota Roma menjadi perlintasan dari segala macam orang, segala sesuatu, demikian juga bentara-bentara kekaisaran Roma. Atas hal ini Groennen menyebut Roma sebuah Metropol: ibukota segala yang baik dan buruk dalam masyarakat Yunani-Romawi[1].
Bagaimana atau oleh siapa jemaat di Roma didirikan, kurang diketahui. Namun menurut Groennen walaupun pengetahuan tentang jemaat Roma pada masa itu serba tidak lengkap, dengan latarbelakang kota Roma yang lama menjadi pusat politis dan administrative, perlintasan dari segala macam orang, segala sesuatu, demikian juga bentara-bentara kekaisaran, tidak mengherankan apabila kepercayaan Kristen agak pagi sudah sampai di Roma, jauh sebelum Paulus tiba di situ[2].
Jemaat Roma tidak didirikan oleh Paulus. Beberapa laporan dari Kisah Para Rasul membantu untuk memahami tentang seluk beluk jemaat Roma. Kisah 18:2 mengatakan bahwa Akwila “baru datang dari Italia dengan Priskila, isterinya, karena Kaisar Klaudius telah memerintahkan, semua orang Yahudi meninggalkan Roma”. Kisah 21:27-36 kemudian memperlihatkan bahwa orang Kristen dan orang Yahudi mulai bertengkar (bnd Kis 19:23-40). Kemungkinan besar bahwa kekacauan di Roma disebabkan oleh pertengkaran antara orang Kristen dan orang Yahudi[3]. Artinya, ketika Akwila dan Priskila diusir dari Roma – kira-kira tahun 49 – sudah ada jemaat kristiani di sana. Dan kemungkinan besar jemaat kristiani ini berasal dari orang Kristen bukan Yahudi. Dari Rom 16:3, tampak bahwa Priskila dan Akwila kembali ke Roma sesudah penganiayaan Klaudius, ketika Nero menjadi kaisar (thn 54). Ketika mereka kembali, dan orang Kristen Yahudi lainnya, mereka menemukan gereja bukan-yahudi di sana[4].
Pada saat Paulus menulis suratnya, kaum Yahudi agaknya sudah diperbolehkan kembali ke ibukota (16:3). Menurut van den End, “Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa sebelum tahun 49 sudah ada orang Kristen di Roma dan bahwa orang Kristen itu termasuk suku Yahudi”. Dari beberapa kata dalam Surat Roma menunjukkan bahwa jemaat Roma pada waktu itu terdiri dari orang Yahudi (4:1; 7:4-6, mungkin juga ‘orang lemah’ dalam 14-15) dan juga orang bukan Yahudi (1:5 dan 13; 11:13). Orang Kristen bukan Yahudi merupakan mayoritas dalam jemaat. Data dalam pasal 16 memberi kesan, orang-orang Kristen itu berkumpul dalam sejumlah jemaat rumah tangga[5].
2.2.            Kedudukan orang Kristen di kekaisaran Romawi
Ketika komposisi gereja sebagian besar adalah orang Yahudi, masalah-masalah dalam hubungan dengan pemerintah tidaklah kurang, tetapi keadaannya tidak begitu sulit sebagaimana kemudian. Posisi orang Yahudi dalam kekaisaran Roma diatur sesuai dengan pergantian dekrit kekaisaran. Sebagai warganegara dalam kekaisaran, mereka betul-betul menikmati hak-hak istimewa yang luar biasa. Komunitas Yahudi menerima status collegia licita (perkumpulan yang diijinkan). Praktek-praktek beragama yang menandakan Yahudi dari orang-orang kafir dilekatkan kepada mereka. Praktek-praktek itu mungkin nampaknya tidak masuk akal dan bersifat takhyul dalam pandangan orang Romawi, tetapi mereka dilindungi oleh hukum negara. Mereka memasukkan hukum sabbat dan hukum makanan dan larangan tentang patung ukiran. Politik kekaisaran melarang gubernur-gubernur Judea membawa standar militer, ketika berhubungan dengan mereka, di lingkungan tembok-tembok kota suci Yerusalem. Jika hukum Yahudi menyalahkan orang kafir dalam pengadilan pusat di kuil Yerusalem sebagai penghujatan yang patut menerima hukuman mati, Roma menegaskan menghargai hukum Yahudi pun tentang hal mengijinkan pelaksanaan hukuman mati untuk kesalahan seperti itu ketika yang melanggar adalah warganegara Roma[6].
Pada generasi pertama setelah kematian Kristus, hukum Romawi cenderung memandang dan menghargai orang Kristen sebagai variasi dari Yahudi. Hal ini terlihat dari sikap Galio ketika orang Yahudi di Korintus pada tahun 51 atau 52 M mendakwa Paulus mengenai propaganda suatu agama yang tidak sah. Galio memberi sedikit perhatian atas masalah itu (Kisah 18:12-17). Baginya, Paulus adalah jelas orang Yahudi sama seperti pendakwanya, dan perdebatan antara Paulus dan mereka dalam pandangan Galio adalah perbedaan penafsiran tentang pokok hukum Yahudi, dan dia tidak perlu datang ke Akhaya untuk memutuskan masalah-masalah itu. Menurut Bruce, “Keputusan Galio ini membuat contoh yang penting; karena 10 tahun kemudian hal itu membantu melindungi Paulus dalam pelayanan apostoliknya, di mana Paulus selanjutnya menyebarkan iman Kristen tidak hanya di propinsi kekaisaran Romawi tetapi di Roma itu sendiri (Kisah 28:30-31)”[7].

2.3.            Paulus dan Jemaat di Roma
2.3.1.      Latarbelakang kehidupan Paulus
Paulus berasal dari Tarsus (kini Turki Selatan, di sebelah baratdaya kota Adana)[9]. Ayahnya seorang Yahudi, dari suku Benyamin. Menerima pendidikan Yunani namun setia kepada agama Yahudi. Ia adalah murid Gamaliel. Kesetiaanya kepada agama Yahudi ditunjukkan dengan menjadi pemimpin aksi penangkapan orang-orang Kristen di Yerusalem dan di luarnya setelah ia menghadiri pembunuhan Stefanus. Tetapi ketika dalam perjalanan ke Damsyik untuk melakukan aksinya, Yesus menjadikannya sebagai ‘alat pilihan’ untuk membawa nama Yesus kepada bangsa-bangsa bukan Yahudi. Mengenai jalan hidup Paulus selanjutnya ada sejumlah data dalam kitab Kisah Para Rasul dan surat-surat Paulus sendiri. Menurut Th. van den End, satu-satunya peristiwa yang sungguh-sungguh dapat dijadikan sebagai pegangan dalam menentukan penjadwalan kegiatan Paulus ialah munculnya Galio sebagai walinegeri di Korintus, yang menurut salah satu prasasti agaknya berlangsung dari Mei 51 sampai Mei 52 M (atau selama beberapa waktu antara pertengahan th 50 dan pertengahan th 54)[10].
Paulus adalah penulis yang paling berpengaruh dalam Perjanjian Baru. Banyaknya isi suratnya hanya dapat ditandingi dengan Injil Lukas–Kisah Para Rasul. Kalau kitab-kitab Injil (dan Kisah Para Rasul) menyajikan evolusi bertahap tradisi-tradisi, maka surat-surat Paulus yang autentik itu tampil dengan semangat bergelora dari seorang yang beriman. Surat-suratnya ketus, umumnya jelas, dan seringkali orisinil dalam gagasan-gagasannya. Paulus bukan teolog “menara gading”. Ia mengembangkan panggilannya untuk membawa firman ke sekeliling Lautan Tengah dengan berkali-kali mengadakan perjalanan, menanggung sengsara, penganiayaan dari musuhnya dan perbantahan dengan pengkhotbah lain. Seperti halnya Yesus, Paulus sebagai figur keagamaan yang penting menyebabkan munculnya cerita-cerita cukup banyak mengenai dirinya, dan laporan-laporan tentang pengajarannya[11].

2.3.2.      Hubungan Paulus dengan Jemaat
Menurut Hunter, bagi Paulus, gereja (ekklesia) adalah lingkungan, tempat hidup baru dihayati. Bersama-sama dengan semua orang Kristen mula-mula, Paulus menggangap bahwa Gereja Kristus adalah satu dengan umat Allah kuno, Israel. Hanya, gereja merupakan ekklesia yang baru dan tulen, yang didirikan kembali oleh kematian dan kebangkitan Kristus, diberi kuasa oleh Roh, dan dipanggil pada suatu misi universal. Pada dasarnya, gereja merupakan persekutuan murni orang-orang yang terikat kepada Kristus, Kepala mereka, dan yang terikat satu sama lain di dalam Roh Kudus, sehingga itu menjadi “Persekutuan Roh”. Persekutuan ini dilukiskan Paulus dengan berbagai cara: Orang-orang kudus, Bait Allah, Pengantin Perempuan Kristus, Keluarga Allah, dan lain-lain. Tetapi nama yang paling disukai Paulus ialah Tubuh Kristus (Rm 12:4-5; 1 Kor 12:12 dst; Kol 1:18,24 2:19 dan Surat Efesus). Ide Ibrani tentang ‘kepribadian bersama’ membantu Paulus untuk berpikir dengan cara ini[12].
Dalam hal ini Paulus memandang jemaat menurut dua cara utama. Pertama, jemaat ialah perhimpunan orang-orang percaya dalam suatu daerah tertentu. Bentuk ini terlihat dalam kebanyakan surat-suratnya (1Kor 1:2; 2 Kor 1:1; 1 Tess 1:1; 2 Tes 1:1; Gal 1:2). Pengertian yang kedua ialah jemaat yang bersifat universal. Pengertian ini dinyatakan secara tidak langsung dalam beberapa kiasan yang dipakainya (satu tubuh, pengantin perempuan, bangunan, umat Allah yang sejati) yang menguraikan kedudukan Kristus sebagai Kepala Jemaat (Ef 1:22; Kol 1:18). Pemakaian kiasan ini oleh Paulus juga menunjukkan bahwa ketika Paulus memandang jemaat sebagai kelompok orang percaya yang berdiri sendiri sebagai satu Jemaat Allah, tetapi tidak memisahkan yang satu dari yang lainnya[13].
Dilihat dari banyaknya Surat Paulus dalam seluruh Perjanjian Baru dapat disimpulkan bahwa dalam Gereja Purba, atau di antara para pemimpin Gereja Purba, Pauluslah yang utama. Namun dibandingkan dengan isi suratnya, Paulus mengalami peralawanan yang cukup hebat sebagaimana tampak dari semua surat yang besar (Galatia, Roma; 1-2 Korintus) juga dari Filipi dan Kolose. Sebagian besar surat itu adalah pembelaan terhadap serangan para lawan atau setidak-tidaknya penjelasan pandangan Paulus yang rupa-rupanya dipermasalahkan di kalangan Gereja Purba. Memang di lain pihak Paulus mendapat dukungan yang jelas seperti yang tampak dari Kisah Para Rasul dan surat-surat pastoral. Malahan dalam karangan yang ditulis sesudah wafatnya, Paulus tampil sebagai pemimpin Gereja yang telah diterima oleh pemimpin yang lain dan disambut hangat dalam semua jemaat di seluruh Gereja[14].
Khusus mengenai Roma, Paulus mengenal banyak orang yang ada di Roma, walapun dia sendiri tidak pernah ke sana sebelumnya (lih Rm 1:8-15; 15:22-33). Juga Roma 14:1-15:13 memperlihatkan bahwa Paulus cukup tahu mengenai situasi di Roma. Maka boleh disimpulkan bahwa ada kontak cukup intensif antara Gereja di Yunani (Timur) dan di Roma (Barat)[15].

2.3.3.      Hubungan dengan wakil pemerintah
Pemahaman Paulus tentang pemeritahan banyak dipengaruhi oleh kehidupannya di Tarsus. Pada tahun 42 SM Jenderal Romawi, Markus Antonius memberikan kepada kota ini status libera civitas (kota merdeka). Karena itu, sekalipun kota ini bagian dari propinsi Kerajaan Romawi, Tarsus memiliki pemerintahan sendiri dan tidak diwajibkan membayar upeti kepada pihak Kerajaan Romawi. Di kota inilah Saulus muda tumbuh menjadi orang dewasa. Tradisi demokrasi model “Negara kota” dari Yunani telah lama berurat berakar di kota ini pada masa Paulus hidup. J.I. Packer, dkk., mengatakan, “Di dalam tulisan-tulisannya kemudian, kita bisa menemukan pantulan dari situasi hidup dan kejadian-kejadian di kota Tarsus semasa ia masih kecil. Berbeda sekali dengan ilustrasi-ilustrasi dari alam pedesaan yang dipakai oleh Yesus, metafora dalam tulisan-tulisan Paulus banyak digali dari kehidupan perkotaan”[16].
Bagaimana hubungan Paulus dengan wakil pemerintah barangkali dapat dilihat dari peristiwa-peristiwa dalam kehidupan Paulus yang bersinggungan langsung dengan pemerintah atau organ-organ pemerintahan. Diantaranya adalah ketika Paulus “diselamatkan” oleh kepala pasukan Romawi dari tindakan orang-orang Yahudi di Yerusalem yang menganiaya Paulus karena provokasi musuh-musuhnya. Ketika kepala Pasukan Romawi mendapatkan kabar bahwa “seluruh Yerusalem gempar” (Ksah 21:31) di mana kerumunan orang sudah kehilangan kendali melakukan pemukulan yang begitu hebat terhadap Paulus. Kepala pasukan memerintahkan pasukan dan para perwiranya untuk mengendalikan keadaan dan membawa Paulus ke markas (bnd Kisah 21:34). Ketika Paulus meminta izin untuk mengatakan sesuatu kepada keruman orang banyak itu, kepala pasukan mengabulkan permohonan Paulus. Dalam situasi seperti itu, sebagimana dituliskan oleh Swindol, “Paulus menganggap ini adalah kesempatan baginya bukan hanya untuk berbicara kepada orang banyak, tetapi juga untuk membangun suatu hubungan dengan kepala pasukan Romawi[17].
Tetapi kumpulan orang banyak itu kembali ribut karena perkataan Paulus yang memberi perhatian kepada orang kafir. Kepala pasukan Romawi menyelamatkan Paulus dari situasi itu dan memberi perintah untuk membawa Paulus ke markas untuk didera. Ketika serdadu Romawi akan melaksanakan hukuman atasnya, Paulus mempertanyakan “Bolehkah kamu menyesah seorang warganegara Romawi, apalagi tanpa diadili?” (Kisah 22:25)[18]. Paulus memiliki kewarganegaraan Romawi. Kewarganegaraan Romawi sangat berharga, karena dengannya orang bisa memiliki hak-hak khusus, seperti pembebasan dari jenis-jenis hukuman tertentu. Seorang warga negara Romawi tidak boleh disiksa atau disalibkan[19]. Atas dasar ini Paulus terlepas dari hukuman itu.
Tindakan kepala pasukan Romawi yang menolong Paulus kemudian berlanjut ketika ada rencana dari orang-orang Yahudi untuk membunuh Paulus. Kepala pasukan Romawi yang mengetahui rencana itu melalui kemenakan Paulus memerintahkan pasukannya untuk melindungi Paulus (lih Kisah 23:12-24)[20]. Namun sesuatu yang berbeda diterima oleh Paulus dari Feliks, gubernur Romawi atas wilayah  Yudea, pengganti Pontius Pilatus, demikian juga dari Festus pengganti Felliks kemudian. Pada masa mereka, Paulus mengalami pengadilan tidak sah, penuh dengan tuduhan-tuduhan kosong dan kritik yang tidak adil[21].
Walaupun Paulus mengalami tindakan yang tidak adil dari para penguasa tersebut, Paulus tetap menunjukkan sikap yang patut diteladani. Swindoll mengatakan, “… kita dapat mempelajari suatu pelajaran dari pahlawan kita, Paulus. Apabila Allah memberikan kepada kita kesempatan langka untuk berdiri di hadapan orang-orang bermartabat tinggi dan para pejabat pemerintah berpangkat tinggi, yang terbaik untuk kita lakukan adalah menunjukkan kesantunan dan kelemahlembutan. Bagaimanapun gaya hidup mereka, berbicaralah dengan respek. Apa pun politik mereka dan dunia kehidupan pribadi mereka, tunjukkan kelemahlembutan. Tunjukkan bahwa anda bermartabat[22].

2.3.4.      Pemikiran Paulus diperhadapkan dengan Filsuf lain waktu itu
Di antara banyak aliran filsafat yang ada pada waktu itu, aliran Stoik mungkin paling serasi bagi Paulus. Satu atau dua filsuf Stoik besar dari Tarsus, dan mungkin Paulus masih ingat sedikit tentang pengajaran mereka dari masa mudanya[23]. Memang hubungan Saulus muda dengan filsafat di Tarsus tidak diketahui dengan pasti. Namun jejak-jejak pendidikan dan hubungan yang luas dengan dunia filsafat Yunani jelas terlihat dalam diri Saulus ketika ia menanjak dewasa. Ia cukup memahami persoalan-persoalan seperti itu untuk mendukung pandangan-pandangannya yang kemudian ia kemukakan kepada segala macam orang. Dan ia sadar mengenai bahaya-bahaya yang tidak kentara di dalam berbagai filsafat keagamaan yang bersifat spekulatif dari orang-orang Yunani. Para filsuf dari kota Tarsus sebagian besar adalah filsuf penganut aliran Stoa. Ide-ide aliran Stoa, walau pada dasarnya adalah kafir melahirkan beberapa pemikir agung dari dunia kuno. Athenodorus, adalah contoh filsuf yang paling bagus dari Tarsus. Walaupun Athenodorus meninggal pada tahun 7, yaitu ketika Saulus masih anak-anak, Athenodorus lama tetap menjadi pahlawan yang dihormati di Tarsus. Saulus muda tentu pernah mendengar apa kata orang mengenai Athenodorus[24].
Beberapa ahli berpendapat pengetahuan Paulus tentang filsafat Stoik lebih dalam daripada itu. Pada tahun 1980 Rudolf Bultmann menunjukkan bahwa cara Paulus mengemukakan pendapatnya kadang-kadang menyerupai argumen-argumen Stoik. Kedua-duanya memakai pertanyaan retoris, pernyataan singkat yang berdiri sendiri, seorang lawan khayalan yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan, dan banyak ilustrasi yang diambil dri dunia atletik, pembangunan serta kehidupan sehari-hari. Dalam pengajaran Paulus dapat ditemukan frasa-frasa yang dapat dianggap mendukung ajaran Stoik; umpamanya pernyataannya, “segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Ia ada terlebih dahulu dari segala sesuatu dan segala sesuatu ada di dalam Dia” (Kol 1:16-17). Demikian juga dalam pidato Paulus di Atena, Lukas melaporkan bahwa Paulus benar-benar mengutip Aratus, penyair Stoik yang terkenal (Kis 17:28). Beberapa dari surat Paulus juga sering mencerminkan peristilahan Stoik – seperti waktu ia menggambarkan moralitas dengan istilah “seharusnya” atau “sepatutnya” dan “tidak pantas”[25]. Menurut Drane tidak perlu disangkal lagi, bahwa Paulus mengetahui dan bersimpati terhadap banyak cita-cita Stoik, namun ada beberapa perbedaan yang hakiki dan penting antara kekristenan Paulus dan filsafat Stoik. Kalau Paulus memakai bahasa Stoik maka ia memberikannya arti baru, sebab berita Paulus tentang keselamatan melalui Kritus jauh berbeda dengan berita Stoik tentang keselamatan melalui penguasaan diri. Drane mengatakan pengaruh Stoik terhadap Paulus haruslah dianggap sangat kecil saja[26].

2.4.            Latar belakang Surat Roma
Selain untuk berkenalan dengan jemaat Roma (1:10-13; 15:32), Paulus ingin menjadikan Roma sebagai titik tolaknya dalam rencana memberitakan Injil ke arah Barat: Spanyol (15:24,28), daerah yang masih luas, dan juga menurut anggapan pada masa itu: ujung bumi. Hal ini nyata dari kata-kata “kamu dapat mengantarkan aku ke sana” (15:24). Hal ini juga didukung karena pada saat Paulus menulis surat ini, pekerjaannya di sebelah Timur kerajaan Roma diangggapnya sudah selesai (15:19, 23). Jadi maksud Paulus yang konkret ialah untuk memperkenalkan dirinya, isi pemberitaannya dan rencananya, sebab ia menghendaki supaya mereka nanti akan membantunya[27].
Menurut Jacobs, “Karena surat Roma ditulis oleh Paulus ketika dalam perjalanan mengantarkan persembahan jemaat ke Yerusalem, ada kesan ketegangan antara Paulus dengan Yerusalem sedang memuncak sehingga ada dorongan bagi Paulus untuk menguraikan dan memaparkan pandangan teologisnya mengenai kemaslahatan Yahudi-kafir secara panjang lebar kepada umat di Roma”. Pertentangan antara orang Kristen Yahudi dan Kristen bukan Yahudi juga menjadi alasan bagi Paulus untuk menguraikan begitu panjang lebar permasalahan antara Yahudi dan non Yahudi. Malahan dalam surat ini pun ada sedikit pembelaan diri Paulus (lih 1:1-5), yang mungkin memperlihatkan bahwa di Roma ada desas-desus mengenai kerasulan Paulus. Menurut Jacobs, “Walaupun secara de facto ditulis kepada umat di Roma, namun sebetulnya surat Roma ditujukan kepada pimpinan di Yerusalem. Surat ini bukan tanggapan Paulus yang kurang lebih spontan terhadap permasalahan konkrit jemaat, melainkan suatu pernyataan agak “resmi” dari pandangannya”[28].
Secara pribadi Paulus tidak mengenal semua orang di Roma tetapi pernah mendengar tentang mereka (1:8). Mungkin ada orang Kristen Roma yang pernah berjumpa dengannya di kawasan Timur (bnd. 16:3,7,11).  Paulus kurang mengetahui tentang keadaan setempat, masalah dan soal yang ada di Roma secara lengkap dan menyeluruh sehingga Paulus tidak membahas banyak masalah dan soal konkret. Namun rupanya Paulus mendengar ketegangan di jemaat Roma (bnd.1:13-25; 14:1-15:7). Jadi Paulus barangkali ingin menyampaikan Injil penuh sebagai dasar dan landasan jemaat di pusat Negara Roma itu dengan menuangkan hasil matang dari pengalaman dan pemikirannya selama lebih kurang 20 tahun[29].

2.5.            Tempat dan Waktu Penulisan
Menurut van den End Surat Roma ditulis di Korintus (15:32), agaknya pada akhir perjalanan Paulus yang ketiga (15:25), menjelang awal musim pelayaran di wilayah Laut Tengah, pada akhir musim dingin. Keadaaan Paulus pada saat itu digambarkan dalam Kisah Para Rasul 20:2-3, yang pada waktu itu ‘orang-orang Yahudi bermaksud membunuh dia’, sehingga terpaksa membatalkan pelayaran ke Siria dan mengambil jalan darat ke Filipi (700 km jalan kaki dari Korintus)[30]. Sebelum melanjutkan perjalanan di luar kawasan timur, ia tinggal selama tiga bulan di Akhaya, agaknya di Korintus (Kis 20:3). Menurut Groennen, waktu itu cukup tenang bagi Paulus untuk menyusun Surat Roma ini[31]. Berhubung dengan catatan Kisah 20:3, Duyvermann menyimpulkan bahwa surat ini dikirim dari Kengkrea (terletak di sebelah timur Korintus), pada waktu Paulus terpaksa mengambil keputusan untuk menempuh jalan darat untuk menyampaikan pemberian jemaat Makedonia dan Akhaya ke Yerusalem (15:25). Agaknya surat yang panjang dan teratur ini sudah didiktekan lebih dahulu, yaitu dalam jangka waktu tiga bulan, ketika Paulus berada di tanah Yunani (Kis 20:2) al, juga di Korintus. Menurut catatan Kisah 20:6, waktunya surat ini ditulis ialah bulan-bulan pertama tahun 57[32].

2.6.            Susunan dan Isi Surat Roma
Menurut Duyverman, dibanding dengan surat-surat lain, karangan Paulus ini lebih merupakan uraian lengkap, yang di dalamnya setiap bagian mempunyai fungsi menurut rencananya. Hal ini disebabkan oleh keadaan. Di sini Paulus mengambil keadaan jemaat secara am sebagai titik tumpuan dan tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan konkret yang sudah disampaikan kepadanya. Jadi ia dapat mengatur jalan pikirannya tanpa perlu mengingat apa yang dihadapkan kepadanya oleh pihak lain[33]. Menurut Marxsen tidak heran kalau dokumen ini berbeda sifatnya dengan surat-surat Rasul yang lain[34].
Ada beberapa sebutan yang diberikan oleh ahli kepada surat Roma ini. Oleh Melanchthon, doctrinae christianae compendium; Feine-Behme, confessiones; Michel, surat didaktis yang memaparkan suatu apologia[35]. Penyebutan surat ini sebagai “ikrar Paulus” ataupun “uraian tentang asas kepercayaan-kepercayaan”, menurut Duyverman tidak mengena karena beberapa pokok yang penting tidak disebut samasekali; ada yang disinggung, tetapi tidak seimbang dengan uraian lain yang panjang, seperti: baptisan, perjamuan kudus, kedatangan Kristus kedua kalinya, kemenangan atas kuasa-kuasa kegelapan. Sejalan dengan Groennen yang mengatakan bahwa Roma bukan suatu uraian lengkap mengenai segala apa yang dapat dan mesti dijabarkan dari iman kepercayaan Kristen dna dari Injil[36]. Sifat uraian surat Roma ini menurut Duyverman sangat mirip dengan apa yang waktu itu lazim disebut: diatribe, yakni uraian ilmiah berbalas-balasan. Dalam diatribe, pendengar-pendengar sering dihardik justru untuk menimbulkan perlawanan supaya selanjutnya perlawanan itu dapat diberantas dengan lebih tegas. Cara ini sering digunakan oleh guru-guru zaman itu. [37]
Para ahli umumnya meragukan bagian akhir dari surat ini[38]. Hal ini dibuktikan oleh salinan-salinan dan oleh bapak-bapak gereja: menurut Origenes, Marcion (+ 140) memotong semuanya sesudah ‘segala sesuatu yang tidak beradasarkan iman, adalah dosa’ (14:23). Tertullianus (lawan Marcion) beanggapan bahwa 14:10 merpakan bagian-bagian akhir surat, sehingga selanjutnya tidak dikutipnya lagi. Ireneus (140-202) dan Cyprianus (200-258), dan juga beberapa salinan Italia tidak menyebut fasal 15 dan 16. Selain daripada itu pasal 16:25-27 juga menjadi persoalan. Kesemuanya itu memberi kesan yang kuat bahwa mula-mula ada salinan yang lebih pendek[39]. Walupun beberapa bagian kadang-kadang terputus, menurut Groennen tidak perlu kiranya mengandaikan bahwa surat Roma suatu penggabungan beberapa karangan Paulus[40]. Karena teori-teori yang mau menjelaskan tambahan itu lebih rumit dan tidak karuan daripada kesulitan-kesulitan yang mau dipecahkan olehnya, oleh karena itu kebanyakan orang mempertahankan kitab Roma sebagimana yang ada sekarang sebagai surat Paulus[41].
Menurut Jacobs, para ahli pada umumnya sependapat bahwa dalam 1:16-17 diberikan tema surat. Sebagai “sub-tema” menguraikan soal pembenaran dan penyelamatan. Namun tentang pembagian surat Roma ini menurut Jacobs tidak begitu mudah[42], sehingga ada beberapa susunan yang diusulkan oleh para ahli. Di antaranya adalah Marshall, pembagiannya adalah sebagai berikut[43]:
I     Salam dan doa (1:1-17)
II   Injil menurut Paulus (1:18 – 8:39)
a.       Dosa dan kejahatan universal (1:18 – 3:20)
b.      Pembenaran karena anugerah melalui iman (3:21-31)
c.       Pembenaran Abraham (4:1-25)
d.      Adam dan Kristus: Perbandingan dan Perbdaan (5:12-21)
e.       Kematian dan kehidupan baru bagi orang percaya (6:1-23)
f.       Pentingnya hukum (7:1-25)
g.      Roh Kudus dan kemuliaan yang akan datang (8:1-39)
III  Israel dan Orang Kafir (9 – 11)
IV  Menjalani hidup baru (12 – 15)
Dalam pasal 16 yang diragukan keasliannya[44], Paulus minta supaya seorang saudari yang sangat berjasa, Febe, disambut baik di Roma (16:1-2). Menyusul daftar orang yang dikirim salam (16-3-6). Disisipkan sebuah peringatan terhadap pengacau umat disusul berkat dan salam (16:17-20). Beberapa ornag teman Paulus mengirimkan salam juga (16:21-23). Dan tambahan berupa pujian kepada Allah (16:25-27)[45].
Mengenai makna penulisan Surat Roma dapat dilihat sebagaimana yang diringkaskan oleh van den End[46]:
-          Berkenalan dengan jemaat, yang tidak didirikan Paulus (1:1 dyb).
-          Meminta dukungan keuangan dan penyediaan sarana untuk perjalanan ke Spanyol yang sdang direncanakan Paulus (15:24).
-          Meminta doa syafaat jemaat Roma berhubung dengan konfrontasi dengan orang-orang Yahudi di Yerusalem (15:30-31).
-          Meminta doa syafaat jemaat Roma berhubung dengan ketidakpastian Paulus mengenai sikap jemaat Kristen di Yerusalem terhadap sumbangan jemaat-jemaat Makedonia dan Akhaya yang dibawa Paulus ke Yerusalem (15:30-31)
-          Agaknya juga meredakan perselisihan yang sedang berlangsung dalam jemaat Roma (14:1-15:13).

III.             Study Eksegese Roma 13:1-7
3.1.            Nats
3.1.1.      Kritik Nats
Dalam meneliti kritik nats ini, penulis memakai naskah Yunani yang diterbitkan oleh Nestle – Aland, NOVUM TESTAMENTUM GRAECE, Deutsche Bibelstiftung , Stuttgart, 1981.
13:1 Kata-kata Pa/sa yuch. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqw diganti dengan Pa/saij. evxousi,aij u`perecou,saij u`potasse,sqe oleh beberapa kodeks seperti P46 (ca 200), D* (abad VI), F (IX), G (IX) dan tulisan bapak-bapak Gereja seperti Irlat (p. 380), Ambst (366-384). Tetapi banyak kodeks yang mengikuti teks seperti א (abad IV), A (V), B (IV), D2 (VI), Ψ (VIII/IX). Yang berubah adalah Pa/sa (kata sifat tak tentu nominatif feminine tunggal, setiap) dan yuch (kata benda nominatif feminin tunggal, jiwa) menjadi Pa/saij (kata sifat infinitif datif feminin jamak, semua) dengan menghilangkan yuch. Kemudian u`potasse,sqw (kata kerja imperatif present pasif orang ke-3 tunggal dari u`potassw, tunduklah) menjadi u`potasse,sqe (kata kerja imperatif present pasif orang ke-2 jamak dari kata u`potassw)
Kata u`po. (kata depan, oleh) diganti oleh D* (VI), F (IX), G (IX) dengan apo (kata depan, dari) kemudian ada penambahan kata evxousi,ai oleh D2 (VI), Ψ (VIII/IX) antara kata ou=sai u`po........ Banyak kodeks yang menuliskan seperti dalam teks א (IV), A (V), B (IV), D* (VI), F (IX), G (IX). Selanjutnya ada penambahan kata tou (kata sandang tentu maskulin tunggal) sebelum kata qeou oleh korektor אc (IV), Ψ (VIII/IX). Tetapi beberapa kodeks mengikuti seperti teks א* (IV) A (V), B (IV), D (VI), F (IX), G (IX), P 81 (VII), 104 (VII), 365 (XIII), 1506 (1320), 1739 (X), 1881 (XIV). Penulis setuju pada teks karena didukung kodeks yang lebih tua dan lebih memberi arti yang lebih jelas.
13:3 Kata-kata tw/| avgaqw/| e;rgw| (avgaqw  kata sifat normal datif neuter tunggal dari avgaqo,j, baik;  e;rgw| kata benda datif neuter tunggal dari e;rgon, pekerjaan) oleh F*vid diganti dengan tw/| avgaqoergw (mm, dari avgaqoergew, berbuat baik) sementara oleh D2 (VI), Ψ (VIII/IX) mengganti dengan twn agaqwn ergwn (bentuk jamak) dan mengganti tw/| kakw/| (kata sifat normal datif neuter tunggal dari kako,j, kejahatan) dengan twn kakwn (bentuk jamak). Teks diikuti oleh papirus dan beberapa P46 (ca.  200),  א (IV), A (V), B (IV), D* (VI), Fc (IX), G (IX), P 6 . 630 (XIV), 1506 (1320), 1739 (X), 1881 (XIV) juga bapa gereja Irlat (380). Penulis setuju pada teks karena didukung kodeks yang lebih tua.
13:4 Dalam beberapa tradisi seperti F (IX), G (IX), kata soi (kata ganti personal datif tunggal) dihilangkan. Kata to oleh B (IV) dihilangkan. Kemudian e;kdikoj eivj ovrgh.n (e;kdikoj, kata sifat normal nominatif maskulin tunggal, pembalas; eivj kata depan akusatif, kepada; ovrgh.n, kata benda akusatif feminin tunggal, kemarahan) oleh D* (VI), Fc (IX), G (IX) menjadi e;kdikoj saja. Sementara oleh א* (IV), D2 (VI), 33, 945, 1175, 1241 dirubah susunannya menjadi eivj ovrgh.n e;kdikoj.. Namun beberapa tradisi mengikuti teks P46 (ca.  200),  אc (IV), A (V), B (IV), L (VIII), P (VI), Ψ (VIII/IX), 048 (V), 365 (XIII), 630 (XIV), 1506 (1320), 1739 (X), 1881 (XIV). Penulis setuju pada teks karena didukung oleh banyak kodeks dan yang lebih tua dan perubahan tidak mengubah arti.
13:5 Kata-kata avna,gkh u`pota,ssesqai (avna,gkh, kata benda nominatif feminin tunggal, keperluan; u`pota,ssesqai, kata kerja infinitif present pasif, tunduklah) oleh P46 diganti menjadi kai u`pota,ssesqe (kai, kata penghubung, dan; u`pota,ssesqe, kata kerja imperatif present pasif orang ke-2 jamak dari kata u`potassw) dan oleh tradisi lain diganti menjadi hanya u`pota,ssesqe seperti D (VI), F (IX), G (IX), dan oleh bapa gereja Irlat (380), Ambst (366-384) sementara beberapa tradisi yang mengikuti teks adalah  א (IV), A (V), B (IV), Ψ (VIII/IX), 048 (V). Penulis setuju pada teks karena didukung kodeks yang lebih tua.

3.1.2.      Terjemahan
Di bawah ini penulis mengusulkan terjemahan nats sebagai berikut:
1)      Setiap orang tunduklah kepada penguasa-penguasa yang berada di atas. Sebab penguasa tidak ada jika tidak oleh Allah.
2)      Bahwa melawan penguasa adalah menentang peraturan Allah, tetapi yang telah menentang akan menerima hukuman bagi dirinya.
3)      Karena para penguasa bukan ketakutan kepada yang mengerjakan yang baik tetapi kepada yang jahat. Tetapi tidakkah kamu menginginkan takut kepada penguasa? Lakukanlah yang baik, dan kamu akan menerima pujian darinya.
4)      Karena penguasa adalah hamba Allah untuk kebaikanmu. Tetapi jika engkau melakukan yang jahat takutlah? Sebab tidak tanpa alasan mereka memakai pedang, sebab mereka adalah hamba Allah untuk menghukum dengan kemurkaan yang melakukan kejahatan.
5)      Sebab itu perlu tunduk, bukan hanya karena kemurkaan tetapi juga karena suara hati.
6)      Sebab itu kamu memenuhi pajak dan karena mereka adalah pelayan-pelayan Allah yang bertekun untuk itu.
7)      Bayarlah semua kewajibanmu, pajak untuk yang menerima pajak, cukai untuk yang menerima cukai, takut untuk yang menerima takut, hormat untuk yang menerima hormat.


3.2.            Bentuk
Sebelum membahas kedudukan nats dalam konteks, adalah perlu memahami evxousi,a dan u`potassw yang dianggap sebagai kata kunci dalam perikop ini.
a.       evxousi,a
Ada beberapa pengertian dari evxousi,a,, eksousia dalam penggunaan bahasa Yunani yang lazim. Pertama eksousia, yang berasal dari kata evxestin,, menandakan ‘kemampuan untuk mempertunjukkan suatu tindakan’ pada tingkat di mana tidak ada hambatan, yang berbeda dengan dunamij, dalam pengertian kemampuan secara hakiki. Kedua, eksousia juga berarti kemampuan yang diberikan oleh norma atau pengadilan, oleh karena itu mempunyai arti ‘hak untuk melakukan sesuatu atau hak atas sesuatu’. Dengan penambahan infinitive dan genetif kata itu mempunyai arti sesuai dengan konteks penggunaannya seperti ‘hak menjadi’ penguasa, ijin, kebebasan. Ketiga, eksousia dihubungkan dengan dunamis adalah sebagai kekuasaaan yang merupakan antithesis kepada kekuatan atau daya yang nyata. Dunamis menandakan kekuatan eksternal sementara eksousia adalah kekuatan yang diperlihatkan di mana suatu perintah ditaati. Keempat, eksousia juga dapat digunakan dalam antithesis kepada hukum dalam pengertian kebebasan untuk menyatakan sendiri atau bertingkah, yang sejajar dengan kata u,,,,,,,brij. Kelima, pengertian turunan dari kata ini adalah ‘posisi yang otoritatif’, ‘jabatan dalam negara’, ‘pemangku jabatan’, ‘penguasa’[47].
Dalam LXX, eksousia mempunyai arti hak, kekuasaaan, ijin atau kebebasan dalam pengertian legal atau politik, kemudian digunakan tentang hak atau ijin yang diberikan oleh Allah atau untuk ijin yang ditetapkan atau didukung oleh hukum Yahudi. Pada tulisan yang kemudian seperti Daniel dan Makkabe, kata itu menunjukkan kuasa raja atau Allah, kuasa untuk memutuskan dalam hubungan otoritas lainnya tentang kehidupan setiap hari. Sementara Josephus mengartikan eksousia dengan ijin, kekuasaan, hak yang diberikan atau dilindungi oleh hukum, dan disposisi kuasa yang actual. Kemudian kata itu juga digunakan untuk menunjukkan kuasa Allah dan juga kuasa raja dan bentuk jamak dipakai untuk menunjuk pada penguasa. Demikian juga Philo yang mengikuti penggunaan yang lazim dalam bahasa Yunani. Dia menggunakan kata itu secara khusus untuk kuasa mutlak, apakah raja, atau gubernur, atau Allah yang selalu dimaksudkannya sebagai pemilik eksousia yang mutlak[48].
Dalam PB secara formal penggunaan kata eksousia paling dekat dengan LXX yang menunjukkan kuasa Allah di alam dan dunia rohani, kuasa yang Setan gunakan dan berikan, dan khususnya kuasa atau kebebasan yang diberikan kepada Yesus, dan olehNya kepada murid-murid. Dalam hubungan dengan politik, kata itu mempunyai arti kekuasaan dari Sanhedrin (Kis 9:14), kuasa raja (Why 17:12,13). Dalam bentuk jamak kata itu digunakan untuk menunjukkan ‘penguasa-penguasa’ (Luk 12:11; Rm 13:1; Tit 3:1). Sebagaimana dalam LXX, kata itu juga dapat berarti lingkungan kekuasaaan, seperti negara, daerah kekuasaan roh-roh (Ef. 2:2; Kol 1:13). Kata itu digunakan juga untuk menandakan kekuatan spiritual/roh (1 Kor 15:24; Ef 1:21; 3:10; 6:12; Kol 1:16; 2:10,15; 1 Pet 3:22)[49].

b.      u`potassw
Kata u`potassw hupotasso dalam bentuk aktif artinya adalah ‘menempatkan di bawah’, dalam kaitan dengan sebuah tulisan artinya adalah ‘menambahkan di bawah’, ‘menyusun di bawah rubik’, ‘menempatkan lebih rendah’. Kemudian dalam bentuk pertengahan (mid) artinya adalah ‘menundukkan diri sendiri, ‘menjadi tunduk’, mengakui adanya tuan, menyerah dengan sukarela. Kemudian dalam LXX, bentuk kata kerja ini tidak lazim tetapi kata itu mewakili 10 bentuk Ibrani yang sepadan. Arti kata itu adalah ‘menempatkan di bawah’, ‘menempatkan lebih rendah/bawahan’, ‘mengalahkan’, ‘menjadi takluk’, mengakui kekuasaaan seseorang’[50].
Dalam PB, kata itu terdapat pada Injil Lukas, corpus Pauline, Ibrani, Yakobus 4:7, dan 1 Petrus. Penggunaan yang utama dalam PB dipengaruhi oleh LXX  demikian juga artinya sesuai dengan apa yang dikatakan dalam LXX. Mula-mula kata itu adalah satu istilah hirarkis yang menekankan hubungan kepada atasan. dalam PB kata itu tidak dengan begitu saja membawa pemikiran tentang ketaatan. Taat atau harus taat, tanpa ada tekanan adalah suatu tanda penundukan dengan sukarela atau menempatkan diri di bawah. Dalam bentuk aktif, kata itu berarti ‘menjadi tunduk’, ‘menyerah’. Dalam bentuk passif aorist, artinya ‘harus menyerah’. Sementara itu Paulus menggunakan kata itu dalam rumusan dari pernyataan-pernyataan teologis yang penting,’tunduk pada tuntutan Allah’ (Rm 8:7).[51]

3.2.1.      Tempat Nats dalam Konteks
Menurut O’Neil, perikop ini berdiri sendiri, dan disatukan dengan bagian etik yang panjang, 12:1-15:13, bahkan barangkali bagian itu disatukan sendiri ke dalam surat Roma. Ernst Barnikol, Erich Klostermann memperdebatkan bahwa tidak ada penulis Kristen merujuk ke Roma 13:1-7 sebelum 150 AD atau bahkan sebelum 180. James Kalla memperlihatkan tesis yang sama[52]. Menurut O’Neil, Roma 13:1-7 tidak berasal dari orang Kristen maupun Jahudi. Alasannya karena tradisi Kristen dan Yahudi memerintahkan hormat (respek) kepada penguasa duniawi tetapi tidak pernah ketaatan yang mutlak[53]. Perikop yang dibentuk oleh delapan perintah ini, dikumpulkan bersama oleh seorang guru Stoa dan diberikan filsafat Stoa yang berdasar pada perkataan pertama (ay 1). Kumpulan itu hanya menambah suatu tumpuan dalam landasan Kristen oleh karena dua keadaan, satu bersifat pokok dan yang lain sesuatu yang hampir kebetulan[54]. Alasan yang utama untuk penggabungan bagian ini adalah bahwa orang Kristen kemudian akan membutuhkan tuntunan dalam hubungan dengan Negara. O”Neil mengatakan, “Kita hanya dapat berharap bahwa waktu penggabungan itu adalah pada masa damai dan kemakmuran. Ketika kekaisaran Romawi adil dan benar, ketika penguasa adalah pelayan Allah, dalam segala hal (ay 6)[55].
Dapat dibandingkan dengan apa yang dikatakan oleh Jacobs bahwa perikop 13:1-7 diragukan keasliannya karena dianggap mengganggu jalan pikiran; 3:10-18, karena tidak mempunyai hubungan yang jelas dengan konteks[56]. Namun berdasarkan susunan surat Roma dapat disimpulkan bahwa 13:1-7 adalah bagian dari pasal 12 – 15 yang berbicara tentang etika atau nasihat praktis tentang kehidupan bersama[57]. Dengan demikian Roma 13:1-7 menjadi bagian dari pasal 12 – 15 yang Paulus sampaikan tentang sikap hidup kasih dalam hubungan dengan peemrintah.

3.2.2.      Konteks Umum
Dari susunan kitab Roma sebagaimana yang diuraikan oleh beberapa penafsir, memperlihatkan bahwa perikop 13:1 – 7 merupakan bagian dari 12:1  – 15: 13 yang berisi nasihat-nasihat atau bagian yang berisi pembicaraan tentang etika atau nasihat praktis tentang kehidupan bersama. Pembagiannya adalah[58]:
1.      Nasihat umum (12 – 13); pasal 12:3-21 berisikan himbauan umum yang menyangkut kehidupan gereja; pasal 13 berisikan himbauan yang ditujukan keluar gereja.
2.      Nasihat menyangkut persoalan konkrit di jemaat Roma: membahas masalah tentang yang kuat dan lemah (14: 1 – 15:13).
Menurut Groennen ada suatu peralihan dari ajaran ke praktek (12:1-2). Lalu menyusul sejumlah nasihat umum (12:3 – 13:14), yaitu saling melayani dan kerjasama dalam kerendahan hati (12:3-8); serangkaian nasihat yang berkisar pada kasih persaudaraan (12:9-21); petunjuk bagi hubungan orang percaya dengan Negara, yang dinilai cukup positif (13:1-7); kasih menjadi ciri khas orang percaya dan meringkaskan  seluruh tata susila (13:8-11); hidup tertib dan pengendalian diri dituntut oleh hubungan orang beriman dengan Kristus (13:12-14). Kemudian nasihat-nasihat yang lebih terarah: perbedaan pendapat dalam hal-hal yang tidak dasariah, seperti macam-macam aturan keagamaan jangan menimbulkan perpecahan (14:1-12). Sebaliknya karena kasih kepada saudara yang lemah orang mesti rela melepaskan haknya (14:13-23) dan mengutamakan kepentingan sesama saudara dalam toleransi yang besar demi persatuan dan persekutuan, seturut teladan Kristus (15:1-13)[59].

3.2.3.      Konteks Khusus
Sebagian orang yang berpendapat bahwa tidak ada hubungan antara bahan pasal 12:9-21 dengan pokok pembahasan 13:1-7 adalah karena peralihan dari 12:21 ke 13:1 yang agaknya bersifat mendadak. Ada yang menyatakan bahwa 13:1-7 memutuskan hubungan yang memang terdapat antara 12:21 dan 13:8 dyb sehingga 13:1-7 dipandang sebagai nasihat tersendiri, yang disisipkan sesudah 12:21, apakah oleh Paulus sendiri atau oleh seorang tokoh sesudahnya. Namun menurut van den End jika diperhatikan kosa-kata pasal 12-13, ditemukan titik-titik kesamaan[60]:
-          Pertama, munculnya pasangan kata ‘baik-jahat’ dalam 12:21 dan dalam 13:3 dyb. dan adanya kata kerja ‘harus/berhutang’ dalam ayat 7 dan 8, mengaitkan 13:1-7 dengan bagian sebelum dan sesudahnya. Demikian juga kata ‘pembalasan –murka’ dalam 12:19 dan 13;4, dan mungkin juga ‘semua orang’ dalam 12:7 dyb dan 13:7.
-          Kedua, munculnya pasangan kata ‘baik-jahat’ itu menunjukkan pokok bersama 12:9-21 dan seluruh pasal 13, yaitu: keharusan berbuat baik. 12:1-13 berkenaan dengan kebaikan terhadap sesama anggota jemaat, 12:14-21 mengenai kebaikan dalam hubungan dengan orang-orang luar. Khususnya musuh-musuh, 13:1-7 menyangkut sikap terhaap pemerintah dan perana  par penguasa dalam mellindungi orang yang berbuat baik dna menghukum mereka yang berbuat jahat.
Berdasarkan uraian di atas van den End menyimpulkan[61]:
a)      Dalam 13:1-7 terdapat unsur-unsur yang menghubungkannya dengan bagian sebelumnya dan sesudahnya.
b)      Ada kesan bahwa 13:1-7 merupakan nasihat tersendiri, yang hubungannya dengan nasihat-nasihat lain agak longgar.
c)      Alasan mengapa nasihat mengenai sikap terhadap pemerintah duniawi ini dimuat dalam rangka Roma 12-13 tidak dapat ditentukan dengan pasti.
d)     Sama seperti halnya 12:14-21, 13:1-7 bermaksud hendak menempatkan jemaat di tengah masyarakat, bukan di luarnya, sambil memberi nasihat mengenai sikapnya terhadap masyarakat itu.
Pembagian perikop 13:1-7 menurut van den End adalah[62]:
Ayat 1a: rumus singkat yang mengandung tesis
Ayat 1b-2: dasar (bukti) pertama tesis itu
Ayat 3-4: dasar (bukti) kedua tesis itu
Ayat 5: penggabungan kedua dasar pada ayat 1b-2 dan 3-4
Ayat 6: memuat dasar yang ketiga
Ayat 7: nasihat yang mengikhtisarkan isi ayat-ayat 1-6

3.3.4.      Pengaruh Agama
Dio Chrysostom dalam The First  Discourse of Kingship 45-46, (40-120 M) melaporkan bahwa hubungan antara seorang raja dan yang menopangnya ditentukan oleh kesamaan mereka. Di antara raja-raja yang mereka menerima kuasa dan penugasannya dari Zeus, tetap memandang pada Zeus, mengatur dan memerintah rakyatnya dengan keadilan dan persamaan menurut hukum dan aturan Zeus. Raja yang melakukan demikian menikmati kebahagiaan dan akhir yang beruntung, tetapi ketika dia keluar dari jalan yang benar dan tidak menghormati dia yang telah  mempercayakan kepadanya penugasan atau memberinya hadiah ini, tidak menerima ganjaran dari kuasa dan kekuatannya yang besar itu tetapi sebaliknya: dia telah menunjukkan dirinya kepada semua orang pada zaman itu dan kepada keturunannya yang akan datang bahwa dia telah menjadi seorang yang jahat dan tidak disiplin[63].
Menurut Eugene Boring dkk, persamaan kepada Paulus adalah: 1) Kekuasaan dianugerahkan oleh Allah. 2) Bagi Paulus, konteksnya juga adalah untuk memenuhi hukum Allah (13:8, tetapi juga keseluruhan tema tentang “baik/jahat” mulai dari 12:17) yang sangat berhubungan dekat dengan pemeliharaan “aturan” dalam dunia.  Perbedaannya adalah bahwa nasihat Paulus dialamatkan kepada orang Roma bukan penguasa. Paulus tidan mengatakan sesuatu tentang kemungkinan mereka menyebabkan kerusakan aturan yang sudah ditetapkan itu, dan juga tentang hukuman Allah terhadap mereka. Mengenai pandangan bahwa raja berasal dari dewa bukanlah semata-mata propaganda yang berasal dari para penguasa itu sendiri, tetapi telah tersebar luas oleh masyarakat dunia Hellenistik, Yahudi dan Kafir[64].
Dalam hal ketaatan terhadap tanah air, Hierocles the Stoic, dalam On Duties, “How to Conduct Oneself Toward One’s Fatherland (117 – 138 SM) memaparkan bahwa oleh Zeus, ada beberapa dewa kedua, dan orangtua pertama dan terbesar. Zeus memberinya nama yang mungkin sejenis gabungan dari ‘bapak’ dan ‘ibu’. Kata itu juga memerintahkan supaya kita menghormati tanah air sama seperti kepada orang tua. Bahkan ada alasan lain yang  mendesak kita supaya menghormati tanah air lebih dari kedua orang, ataupun lebih dari segala hal. Menurut Eugene Boring dkk, perbedaan terhadap Paulus adalah bahwa status dari negara seseorang tidak didasarkan secara teologis dalam Roma 13:1-7  ini, tetapi atas prinsip kegunaan, empiris dan logis, tetapi dengan konsekuensi yang sama dengan Paulus. Ini dapat dibandingkan dengan Plutarch, “Precepts of Statecraft” 21, “…adalah satu hal yang paling cemerlang dan berguna untuk belajar untuk menaati mereka yang berkuasa, meskipun jika mereka menjadi tidak sempurna dalam kuasa dan reputasi”[65].
Kemudian Sirach 10:4 (sekitar 180 SM) menuliskan bahwa pemerintah dunia berada di tangan Allah, dan di atas mereka Tuhan akan membangkitkan pemimpin yang adil pada waktu yang tepat. Tradisi Ibrani dan Yahudi yang lama menegaskan bahwa seluruh raja memerintah atas perintah Allah. Namun menurut Eugene Boring, pengajaran Sirach mungkin menunjuk tidak terus terang kepada raja-raja Hellenistik di mana kepadanya Yudea taluk pada zamannya, mengingatkan murid-muridnya bahwa kedaulatan akhir adalah milik Allah dengan demikian ada dorongan yang berbeda dengan pengajaran Paulus kepada orang Kristen, yang diperkirakan mendukung kerjasama dengan penguasa-penguasa Romawi daripada mendorong perlawanan dari jauh dan dari dalam[66].
Khusus tentang Roma 13:3 Plutarch dalam Moralia, “To an Uneducated Ruler” (45-125 SM) menuliskan, “Siapa yang memerintah para penguasa? Sang Hukum, raja dari segalanya, yang tidak kekal dan kekal”, sebagaimana Pindar katakan, bukanlah hukum yang dituliskan diluar Dia, di dalam buku atau pada catatan dari kayu atau yang sejenisnya, tetapi pertimbangan yang baik di dalamnya ada anugerah hidup, yang selalu tinggal bersama dengannya dan memperhatikannya dan tidak pernah meninggalkan jiwanya tanpa pimpinannya. Polermo berkata bahwa kasih “melayankan kebaikan sebagai perhatian dan pemeliharaan kepada orang muda; seseorang mungkin lebih benar mengatakan bahwa penguasa melayankan kebaikan untuk perhatian dan pemeliharaan manusia, supaya hadiah kemuliaan yang allah berikan kepada manusia dapat mereka berikan sebagian dan melindungi yang lain…. hadiah dan berkat ini, begitu fantastis dan besar, yang allah karuniakan yang tidak dapat dinikmati maupun digunakan dengan benar tanpa hukum dan keadilan dan seorang penguasa. Menurut Eugene Boring, kesamaan kepada Paulus adalah: 1) Hubungan yang mengikat antara penguasa dan hukum. 2) Raja memerintah berdasarkan kehendak Allah dan sebagai pelayannya. Sebagaimana dalam Paulus, fungsi yang bersifat penyelamatan dilambangkan kepadanya. 3) Perbedaan antara apa yang dituliskan, yang dapat dilihat secara ekternal dan yang internal dan tidak dapat dilihat. Bagi Paulus, perbedaan ini digambarkan seperti surat/Roh (bnd 2 Kor 3:3,6)[67].

3.3.            Tafsiran ayat per ayat
Ayat 1.
Kata-kata Pa/sa yuch., pasa psukhe menandai awal nasihat baru mengenai pemerintah duniawi dan sikap orang Kristen terhadapnya.  Ungkapan ‘setiap orang’ memberi arti bahwa demikianlah kehendak Tuhan terhadap semua orang, yang Kristen maupun bukan Kristen. Namun dalam hubungan surat ini Paulus secara khusus menyapa orang Kristen. Pa/sa yuch.  secara harafiah berbunyi ‘setiap jiwa’ berasal dari bahasa Ibrani, artinya dari Perjanjian Lama. Pemakaian ungkapan dari Perjanjian Lama ini meningkatkan sifat khidmat nasihat Paulus dan oleh karena itu nasihat itu menuntut perhatian yang lebih besar[68]. Menurut Luther pemakaian kata itu menunjukan bahwa sikap tunduk itu haruslah suatu ketundukan yang tulus/sepenuh hati. Kemudian karena jiwa adalah media antara tubuh dan roh, sehingga Paulus menunjukkan bahwa orang percaya adalah mulia dan secara definitif di atas segala hal dan meskipun pada waktu yang sama tunduk kepada pemerintah, menunjukkan peran ganda orang percaya, yang memiliki dua bentuk/rupa di dalam dirinya sama seperti Kristus[69].
Tentang evxousi,aij ada dualisme, beberapa menganggap ada makna ganda dari pemakaian kata itu oleh Paulus. Pendapat ini mulanya dimunculkan oleh M. Dibelius, walaupun kemudian meninggalkan pandangan itu, tetapi pendapat ini kemudian dikembangkan oleh Oscar Cullmann. Ada beberapa argument Cullmann tentang hal itu diantaranya, menurutnya bahwa di tempat lain dalam surat-surat Paulus eksousia terjadi dalam bentuk jamak atau bentuk tunggal dengan tambahan kata pa/sa, pasa, jelas menandakan kekuatan malaikat tak terlihat. Kemudian bahwa kekristenan mula-mula bersama dengan Yudaisme berkeyakinan bahwa kekuatan tak terlihat berada di balik fenomena duniawi[70]. Pendapat ini ditentang oleh Morrison. Dia mengatakan antara lain bahwa referensi eksousia dalam bentuk jamak kepada kuasa yang bersifat spiritual atau otoritas sipil bergantung pada konteks linguistik dan substansial. Konteks lingusitk yang terdapat dalam Rom 13:1 berbeda dari seluruh kejadian dalam tulisan Paulus di mana hanya di sini tidak diiringi oleh a/rch,, , arkhe dan tidak membentuk bagian dari sebuah daftar (setidaknya dua) istilah, sementara konteks substansial berbeda bahwa hanya di sini tidak ada referensi kepada Kristus. Kemudian adalah pengajaran Paulus dalam Rom 13:1-7 bersandar dengan tepat pada nubuatan PL, tradisi apokaliptis dan hikmat janji Allah dan pemakaian penguasa manusia untuk tujuanNya[71]. Menurut Bruce dalam konteks sekarang eksousia paling baik dimengerti sebagai pemerintah sipil, yang memakai pedang untuk menghukum yang jahat dan melindungi yang baik, yang oleh karena itu memiliki hak untuk memerintah dan menerima ketaatan, dan yang kepadanya diberikan pajak dan tanggungjawab yang lain, bersama-sama dengan hormat dan pujian yang pantas[72]. Atas dasar ini penulis lebih setuju bahwa kata itu menunjuk pada penguasa duniawi.
Dengan demikian terjemahan ‘pemerintah’ dalam LAI dapat diterjemahkan dengan ‘penguasa-penguasa’ karena bahasa asli memakai bentuk jamak. Pemakaian kata  ‘penguasa-penguasa’ membuat nasihat ini menjadi lebih konkret. ‘Pemerintah’ merupakan pengertian yang abstrak tetapi penguasa menunjukkan sesuatu konkrit seperti jajaran orang yang berwenang, para pejabat sipil, petugas-petugas kepolisian, komandan-komandan distrik militer yang tiap orang berurusan dengan mereka[73].
Selanjutnya jika kita menyebut pemerintah selalu dalam kaitan dengan kuasa yang ada di dalamnya. Kuasa itulah yang membuat pemerintah itu berjalan. Pemerintah yang berkuasa, yang sedang berkuasa adalah pemerintah yang sah. Kuasa pemerintah yang demikian berasal dari Allah. Kuasa itu diberikan oleh Allah sendiri. Bahkan Ia yang mengukuhkan kuasa itu pada seseorang. Dengan  kata lain, orang memerintah menerima “Surat Ketetapan” dari Allah. Mereka itu “ditetapkan Allah” (ay. 1) [74]. Hal ini kemudian ditekankan pada ayat yang berikut (ayat 2).
Kata kerja u`potasse,sqai yang juga digunakan dalam ayat 5 benar-benar sebagai kata kunci pada perikkop ini. Kata itu selalu diterima dengan arti ‘menaati, tunduk’[75].  Dalam PB u`potasse,sqai terdapat 30 kali. Kata itu digunakan untuk menunjukan sikap yang patut dari seorang Kristen kepada pemimpin Gereja (1 Kor 16:16), terhadap otoritas sipil (Tit 3:1; 1 Pet 2:13ff dan dalam Roma 13:1,5), terhadap Allah (Jas 4:7), dari seorang istri Kristen terhadap suaminya (Ef 5:22; Kol 3:18; 1 Pet 3:1,5), dari budak Kristen terhadap tuannya (1 Pet 2:18), dari newteroi terhadap presbuteroi (1 Pet 5:5), Gereja kepada Kristus (Ef 5:24). Tetapi juga digunakan dalam Ef 5:21 tentang kewajiban timbal-balik[76].
Kata u`potasse,sqai sebagai padanan ‘obey, menaati, tunduk’ harus dianggap bahwa perintah Paulus dalam ayat 1a tidak berarti mutlak, di mana ketika ada pertentangan antara perintah penguasa duniawi dan perintah Allah, ‘Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada terhadap manusia’ (Kis 5:29; cf 4:19)[77]. Takluk atau tunduk sama maksudnya. Kadang-kadang disebut patuh. Walaupun tampaknya istilah tersebut agak keras, tetapi maksud dan tujuannya sebenarnya tidak demikian. Takluk dalam ayat 1 menunjukkan kerendahan hati. Rakyat adalah orang-orang yang rendah hati terhadap pemerintahnya. Oleh sebab itu, rakyat disebut “Untertanen” (bahasa Jerman: warga Negara yang rendah hati). Rakyat tidak memerintah atasannya. Atasanlah yang memerintah. Rakyat mematuhi dan menjalankan peraturan yang berlaku. Demikianlah kehendak Allah[78].
Sungguh pasti artinya pengakuan di mana seseorang ditempatkan di bawah kuasa oleh Allah, dan sebagai pelayan Allah dan alat kerajaan Allah, dan karena, sepanjang keberadaanya adalah untuk kebaikan sesama, pelayanan seseorang adalah bagian dari kewajiban untuk mengasihi sesama. Ini tidak mengaburkan ketaatan terhadap setiap perintah penguasa; karena penguasa akhir tentang apa yang mendasari ketaatan bukan otoritas sipil tetapi adalah Allah[79].
Menurut van den End  nats terakhir seharusnya membuat kita menyadari apa sebenarnya sifat ‘ketaklukan’ yang dianjurkan kepada kita orang Kristen. Menurut pola dunia ini (bnd. Tafsiran 12:2), orang takluk kepada penguasa atau kepada salah seorang sesamanya sebab mereka takut, karena alasan apa pun juga. Dan sudah tentu seorang penguasa takkan menganggap dirinya takluk kepada kaum bawahannya. Tetapi menurut kehendak Allah orang Kristen takluk karena alasan lain. Sikap seorang Kristen terhadap pemerintah tidak ditentukan oleh rasa takut, tetapi berdasarkan asas kasih (12:9; 13:8)[80].
Batasannya dikemukakan pada bagian selanjutnya dari ayat 1. Pada ayat 1 bagian terakhir, ‘sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah’ tersurat apa yang tersirat dalam perkataan takluk. Pertama-tama dikatakan, bahwa tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah. Kalimat ini mengandung tiga unsur yang patut diperhatikan. Pertama, bahwa kita harus takluk kepada penguasa, sebab bagi kita ia mewakili Allah. Dalam menghadapi penguasa, kita tidak sekadar berurusan dengan manusia yang sederajat, tetapi secara langsung kita berurusan dengan Tuhan sendiri. Kedua, bahwa kuasa apa pun juga tidak mempunyai dasar selain ketetapan Allah. Dasarnya bukanlah kepercayaan bahwa orang tertentu merupakan keturunan dewa. Bukan juga kepercayaan kepada kesaktian (kasakten) seseorang yang dianggap telah menerima wahyu. Dasarnya bukan juga kekerasan senjata ataupun kemauan rakyat semata-mata. Ketiga, kata-kata ini menunjukkan batas kuasa kaum penguasa. Mereka harus melaksanakan kehendak Tuhan. Tuhan ingin keselamatan semua orang, dan pemerintah seharusnya menjadi sarana dalam menjalankan rencana keselamatan itu[81].
ouv ga.r e;stin evxousi,a eiv mh. u`po. Qeou,, menyatakan alasan kepada perintah yang baru diberikan. Kata-kata  itu mengungkapkan kebenaran yang telah dikenal orang Yahudi (bnd.2 Sam 12:8; Yer 27:5f; Dan 2:21, 37f; 4:17,25,32; 5:21; Kebijaksanaan 6:3; 1 Henokh 46:5) yaitu bahwa Allah yang menetapkan (dan menjatuhkan) penguasa, dan bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun yang dapat menjalankan kekuasaan pemerintahan kalau bukan Allah yang memberikannya[82].
ai` de. ou=sai u`po. qeou/ tetagme,nai eivsi,n dapat dipahami sebagai pernyataan umum, yang sepadan dengan ayat 1b. Pernyataan ini pada dasarnya menunjuk ‘penguasa-penguasa yang dihadapi” oleh Paulus dan orang Kristen di Roma pada waktu. Pernyataan ini memberi arti bahwa meskipun pemerintah itu adalah penyembah berhala/dewa mereka diakui sebagai yang ditetapkan Allah[83]. Walapun kadang-kadang pemerintah itu juga yang mengambil tindakan yang merugikan orang-orang Kristen[84].

Ayat 2.
            Ayat 2 menarik kesimpulan dari apa yang dikatakan dalam ayat 1b: barang siapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah[85]. Artinya orang-orang yang gagal memberikan ketaatan yang pantas bahkan menentang pemerintah adalah kejahatan pemberontakan terhadap perintah Allah, karena pemerintah itu ditetapkan oleh Allah. Tindakan yang demikian akan mendatangkan hukuman atas dirinya. Dalam pandangan ayat 2a, hukuman yang dimaksud dinyatakan oleh kata kri,ma, krima, ‘hukuman’[86]. Hukuman itu datangnya bukan hanya dari penguasa tetapi dari Allah karena Allah akan mempertahankan ketetapan-Nya dan menghukum mereka yang melanggar ketetapan itu.
            Tetapi menurut Cullmann kalimat ini jangan disalahgunakan sebagaimana beberapa perkataan dalam PB. Penyalahgunannya itu adalah dalam hal membenarkan ketaatan tanpa kritik kepada perintah dari pemerintah yang totaliter. Negara pada tempatnya dapat memerintahkan ketaatan hanya dalam batas-batas tujuan di mana hal itu adalah ketetapan ilahi. Negara tidak hanya mungkin tetapi harus ditentang ketika menuntut ketaatan yang menjadi hak Allah semata[87]. Ketaatan orang Kristen yang diberikan kepada Negara tidak pernah mutlak. Bahwa dalam keadaan tertentu ketidaktaatan terhadap perintah Negara bukan hanya sebagai hak tetapi juga sebagai tugaas. Ini telah menjadi doktrin yang klasik sejak para rasul menyatakan bahwa mereka lebih baik taat kepada Allah daripada kepada manusia[88].

Ayat 3.
Menurut van den End, awal kata sebab dapat mendukung penafsiran dari ayat 3 dan ayat 4 sebagai penjelasan dari ayat 2b tetapi berdasarkan istilah ‘yang jahat’ yang bersifat umum, lebih masuk akal kalau isi ayat 3-4 dipandang menjadi alasan menjadi takluk kepada pemerintah seperti yang dianjurkan dalam ayat 1. Alasan itu adalah: Pemerintah bukanlah musuhmu, asalkan kamu berbuat baik dan bukan yang jahat. Artinya, tentu seorang Kristen takkan berbuat jahat, maka ia tidak perlu takut. Sebaliknya ia dapat mengharap akan beroleh pujian dari penguasa[89]. Dalam hal ini, penguasa bukan teror kepada warga yang baik. Ini dapat dibandingkan dengan apa yang dikatakan dalam 1 Petrus 3:13, “Dan siapakah yang akan berbuat jahat terhadap kamu, jika kamu rajin berbuat baik?”[90]. 
Selajutnya tentang istilah ‘yang baik’pada ayat ini menurut van den End dapat menimbulkan salah paham. Yaitu salah paham seakan-akan di sini hanya dianjurkan kepada seorang Kristen agar ia menaati hukum negara, lalu sudah cukup. Padahal apa itu ‘yang baik’ sudah ditentukan sebelumnya dalam 12:9-21 bahkan 12:1. Maka ‘kebaikan’ yang di sini dituntut dari seorang Kristen bukan (bukan hanya) kebaikan menurut hukum negara atau menurut kaidah kesopanan yang berlaku dalam masyrakat. Yang dituntut daripadanya ialah kebaikan menurut kaidah yang berlaku dalam Khotbah di Bukit. Maka yang dilakukan orang Kristen bahkan lebih dari yang dituntut oleh negara. Negara menuntut keadilan, orang Kristen menambahkan kasih[91].
Hal yang sukar adalah bahwa Paulus sepertinya tidak melaporkan kemungkinan bahwa pemerintah dapat menjadi tidak adil dan menghukum yang berbuat baik dan memuji yang jahat. Kemungkinannya adalah bahwa Paulus bermaksud bahwa sadar atau tidak sadar, dengan sukarela atau tidak, dalam satu cara atau yang lain, penguasa akan memuji yang mengerjakan yang baik dan menghukum kejahatan. Janji dalam ayat 3 adalah mutlak: orang Kristen, sepanjang taat kepada Injil, dapat meyakini bahwa penguasa akan menghormatinya[92].

Ayat 4.
Ayat 4 memuat 3 kalimat. Dua kalimat pada ayat 4 yang dimulai dengan qeou/ ga.r dia,kono,j evstin menunjukkan dasar dari janji pada ayat 3 dan peringatan pada ayat 4. Alasan mengapa pemerintah terpaksa harus mau tidak mau memuji yang melakukan yang baik dan menghukum yang jahat adalah karena pemerintah, apakah mengetahuinya atau tidak, apakah dengan sukarela atau tidak, adalah pelayan Allah (bnd Yes: 5-15). Tujuan utama bukan untuk dirinya, tetapi untuk Allah[93]. Orang Kristen boleh percaya kepada pemerintah karena pemerintah adalah hamba Allah.
Kata Yunani yang dipakai untuk hamba adalah diakonos, diaken. Arti dasar kata ‘diakonos’ adalah hamba yang melayani di meja makan, yang atas perintah tuannya membagi-bagikan makanan. Istilah itu bertentangan dengan pandangan orang Yunani dan Romawi tentang negara. Kaum abdi negara memang ‘hamba’, tetapi negara sendiri tidak berhamba kepada siapa pun juga. Sebaliknya negara merupakan penguasa tertinggi yang menuntut loyalitas mutlak dari pihak rakyat. Namun di sini Paulus tidak mempersoalkan loyalitas kepada negara secara langsung, bahkan ia memerintahkan orang Kristen supaya mereka taat kepada negara. Namun ketaatan itu ditempatkannya dalam kerangka yang sama sekali baru dengan menyebut negara ‘hamba Allah’. Fungsi penguasa sebagai ‘hamba Allah’ memang serupa: atas perintah Tuhan, negara membagi-bagikan pemberian-Nya. Kepada orang yang berbuat baik, penguasa membagikan kebaikan (bnd 1 Tim 2:2). Fungsi pemerintah itu memang paling bermanfaat bagi mereka yang berbuat baik, sebab justru merekalah yang perlu dilindungi daripada orang-orang jahat[94].
Frase yang sejajar soi. eivj to. avgaqo,n dan  e;kdikoj eivj ovrgh.n tw/| to. kako.n pra,ssonti yang menunjukkan dua tujuan yang dilakukan oleh dia,kono,j. Tetapi yang pertama adalah yang mendasar dan utama. Pemerintah menolong orang Kristen menuju  ‘kebaikan’ yang Allah telah sediakan baginya, menuju keselamatan, jika pemerintah adalah pemerintah yang adil, dengan memberikan keberanian untuk melakukan yang baik dan penjeraan dari melakukan yang jahat, dengan mengekang perbuatan jahat yang berlebihan dan memberikan alasan bagi untuk bertindak dengan adil[95].
Pemerintah tidak hanya bertugas melindungi yang baik. Dia juga harus mengekang yang jahat. Dalam hubungan ini Paulus memakai semacam kiasan: penguasa ‘menyandang pedang’. Kiasan Paulus di sini menunjukkan kemampuan dan wewenang penguasa untuk menghukum orang-orang jahat. Sebagaimana dalam melindungi orang baik, demikian juga dalam menghukum orang jahat penguasa adalah hamba Allah. Di sini istilah itu dapat diterjemahkan ‘wakil untuk melaksanakan tindakan penguasa tertinggi’. Hukuman pemerintah merupakan perwujudan sementara, yang masih terbatas, dari hukuman Allah yang akan ditimpakan-Nya pada hari kiamat[96]. Dalam hal ini di tangan pemerintah ada fungsi penghakiman. Pengadilan yang dilaksanakan untuk kepentingan rakyat.
Pemerintah adalah penyandang pedang. Pedang adalah symbol kekaisaran penguasa Roma[97]. Pedang menyatakan perwujudan dari kekuasaan. Pedang itu bukan hanya symbol, melainkan pedang yang bermakna pedang sesungguhnya. Pedang yang memiliki kekuatan hukum, yang berhak menghukum. Tidak ada satu negara atau kerajaan tanpa pedang (alat perlengkapan senjata). Pedang itu juga dipertangungjawabkan oleh pemegangnya kepada Tuhan. mereka tidak boleh mempergunakannya dengan semena-mena[98]. Oleh karena itu pedang itu harus selalu dilihat dalam kaitannya dengan kuasa yang berasal dari Tuhan. Artinya pemerintah menyandang pedang, memberi arti merekalah yang berkuasa atas bawahan dan rakyatnya, berkuasa sebagai ‘hamba Allah” dan “pelayan-pelayan Allah”. Pemerintah itu adalah pengabdi di dalam kekuasaannya. Penguasa yang mengabdi kepada Tuhan sekaligus menjadi “abdi negara”[99]. Pemerintah menjalankan hukuman, dan menjalankan fungsi pedangnya dalam rangka kepentingan rakyat. Bukan alat balas dendam. Bukan untuk menunjukkan kuasa[100].

Ayat 5.
            Menurut van den End ayat ini menjadi kesimpulan dari ayat 1-4. Ini diperlihatkan oleh kata dio., sebab itu, yakni sebab segala sesuatu yang dikatakan dalam ayat-ayat terdahulu. Kesimpulan itu adalah: perlu menaklukkan diri. Kata avna,gkh, anangke, ‘perlu’ dapat artikan dengan nasib yang harus diterjemahkan lebih keras lagi, ‘mutlak perlu’, terpaksa takluk kepada penguasa[101].
            Ada 2 alasan untuk ‘takluk’: bukan saja oleh karena kemurkaan Allah, tetapi juga oleh karena suara hati kita. Keduanya berkaitan dengan nasihat dalam ayat 3 dan 4: ‘jika seorang berbuat baik … tetapi jika engkau berbuat jahat’. Artinya, kalau kita cenderung untuk melanggar peraturan, kita dengan sepatutnya takut akan hukuman, dan rasa takut itu dapat mendorong kita untuk meninggalkan kejahatan kita. Tetapi kalau kita’hidup dalam Roh’ (8:9) dan ‘mematikan perbuatan-perbuatan tubuh’ (8:13), maka kita telah menjadi sadar akan kehendak Tuhan. ‘Suara hati’ adalah kesaksian dalam batin mengenai kehendak Tuhan (lih 2:5). Dengan demikian seorang percaya takluk kepada penguasa bukan karena hukuman yang dia takuti, melainkan terutama karena hukum yang dia senangi. Sebab ia tahu bahwa Tuhan telah memberi para penguasa tugas tertentu dalam mempertahankan dan menjalankan hukum itu[102].  
Lebih lanjut van den End melihat jelaslah bahwa paksaaan yang disebut dalam bagian pertama nas ini tidak sama bagi kedua belah pihak. Bagi orang yang taat karena takut dan hukuman, paksaan itu datangnya dari luar. Sebaliknya bagi orang yang takluk karena hukum Tuhan yang dia senangi, ‘paksaan’ itu lebih pantas disebut ‘dorongan batin’. Berkat dorongan itu, ia dengan senang hati melaksanakan hukum Tuhan dan dengan demikian memenuhi tuntutan untuk taat kepada pemerintah duniawi, yang telah diberi tugas mempertahankan hukum itu[103].
            Dalam hal ini, menurut Bruce, orang Kristen mepunyai motif yang lebih mulia untuk menaati penguasa dibandingkan keadaan yang tidak menyenangkan atas konsekuensi ketidaktaatan, orang Krsiten tahu bahwa ketaatan yang demikian sesuai dengan kehendak Allah, dan dengan melakukannya akan memelihara suara hati yang baik di dalam hubungan kepada Allah.[104] 
Ayat 6.
Kata-kata dia. tou/to, merujuk ke belakang bukan ke depan. Kata-kata itu dapat dipandang sebagai paralel dari dio., pada ayat 5 sebelumnya dan dengan demikian merujuk kepada apa yang telah dikatakan  pada ayat 1b-4, atau - barangkali yang lebih  mungkin  - merujuk kepada th.n sunei,dhsin[105].
Pada ayat 6, Paulus mengutip kenyataan, yaitu bahwa orang Kristen di Roma membayar pajak. Kenyataan itu membuktikan bahwa keyakinan yang telah diungkapkannya dalam ayat 3-4 bukan omong kosong belaka, dan bahwa desakannya dalam ayat 5 agar orang Kristen menaati pemerintah, memang wajar. Sebab dengan membayar pajak, yang mungkin justru pada tahun-tahun itu sangat berat, orang Kristen sudah memperlihatkan kerelaan untuk takluk kepada pemerintah. Pembayaran pajak menjadi pengakuan terhadap pemerintah sebagai hamba Allah[106].
Pemerintah berhak memungut pajak dan cukai. Hal itu pun demi kepentingan rakyat, bukan untuk kepentingan pribadi penguasa tersebut. Pajak atau cukai bukanlah menjadi beban masyarakat kalau pelaksanaannya tidak menyimpang dari ketentuan yang sebenarnya[107]. Rakyat yang sudah sadar pajak tidak keberatan membayar pajaknya karena sudah menganggap bahwa pajak itu adalah bagian dari tanggungjawabnya[108].  
Menurut Bruce barangkali RSV benar dalam menuliskan bagian ini sebagai satu pernyataan, bukan sebagai perintah. Dasarnya  menurut Bruce adalah bahasa Yunani adalah rancu/ambiguous (kata kerja dapat berbentuk imperative maupun indikatif).  ‘Adalah kebenaranmu dengan membayar pajak kepada pemerintah kafir karena mereka memikul pelayanan kepada Allah’. Pembayaran pajak adalah satu persoalan suara hati bagi banyak orang Yahudi, dan barangkali bagi beberapa orang Kristen juga. Menurut Bruce, Ireaneus yang tidak setuju dengan penafsiran gnostik, mengutip ayat ini untuk membutikan bahwa Paulus dalam paragraph ini menunjuk ‘bukan kepada kuasa malaikat atau penguasa yang tidak dapat dilihat, seperti beberapa usaha yang dilakukan untuk menguraikan bagian itu, tetapi kepada penguasa manusia yang sesungguhnya[109].
Dalam bagian kedua ayat 6, Paulus menyebut pemerintah dengan memakai gelar yang lebih terhormat dari dia,kono,j,‘hamba’ yaitu leitourgoi., leitourgoi. Dalam PB dan literatur Kristen mula-mula, leitourgos digunakan secara khusus untuk pelayanan keagamaan[110]. Dalam bahasa Yunani, leitourgos dipakai untuk orang yang menyelenggarakan pelayanan umum. Pelayanan itu bisa di bidang keagamaan[111]. Tetapi dalam bahasa Yunani umum, leitourgos biasanya berarti orang yang melayani negara. Para penguasa adalah abdi negara tetapi mereka juga abdi Tuhan[112].
Dalam pandangan Bruce, pengalaman Paulus yang menyenangkan dari peradilan Romawi barangkali direfleksikan dalam permintaannya yang tegas di sini bahwa para hakim, yang disebutnya ‘pelayan Allah’ (ay 6), bukanlah suatu teror kepada yang baik, tetapi kepada yang jahat’. Namun prinsip yang diberikan disini berlaku meskipun ketika penguasa-penguasa tidak baik hati terhadap orang Kristen seperti Galio lakukan terhadap Paulus[113].

Ayat 7.
Ayat 7 ini menutup nasihat mengenai hal pemerintahan, sekaligus merupakan peralihan ke bagian yang berikut. Kata ‘semua orang’ menunjuk kepada semua orang yang menjalankan kekuasaan atas nama Allah dan demi kebaikan kita[114].
‘Bayarlah kepada semua orang apa yang harus kamu bayar’. Mungkin ini adalah gaung dari perintah Yesus pada Markus 12:17. Tetapi menurut Bruce, ayat berikutnya menunjukkan bahwa tugas ketaatan kepada penguasa duniawi adalah bersifat temporer, bertahan hanya untuk periode sekarang dari ‘malam’ (ayat 12); dan pada ‘siang ‘yang ‘sudah dekat’ pemerintahan baru akan diperkenalkan, di mana orang kudus akan menghakimi dunia (1 Kor 6:2)[115].
Takut dan hormat mungkin merupakan dua ungkapan yang sejajar sehingga harus digabungkan. Dalam hal itu, yang berhak menerima rasa takut dan yang berhak menerima hormat  merupakan satu golongan saja, yaitu penguasa pada umumnya. Namun  timbul persoalan karena bukankah yang patut ditakuti (dalam arti positif) adalah Allah sendiri? Demikian juga dalam ayat 3-4 yang menyatakan bahwa orang jahatlah yang perlu takut akan alat-alat negara? Menurut van den End, mungkin anjuran ini harus ditafsirkan sebagai nasihat untuk rasa takut kepada Allah sehingga Roma 13:7b ini sama isinya dengan 1 Petrus 2:17[116].
Menurut A. Munthe takut dalam hal ini adalah dalam arti positip. Rakyat tidak boleh menganggap enteng atasan. Takut kepada atasan berarti melakukan kebijakan yang diambil oleh pemerintah sebagai abdi Allah dan abdi negara[117]. Selanjutnya ungkapan menghormati orang yang berhak dihormati tidak melemahkan nasihat untuk saling menghormati. Bawahan pantas memberi hormat kepada atasan. Pemerintah menerima hormat karena mereka adalah pemerintah. Sejalan dengan kepatuhan kepada pemerintah digolongkan sederajat dengan kepatuhan terhadap orang tua, oleh sebab itu, sejak seseorang telah menjabat jabatan pemerintahan dengan segala kebesaran, maka adalah kewajiban untuk menghormati dan menyanjungnya sebagai harta dan permata yang paling bernilai di dunia ini. A.  Munthe kemudian mengatakan, “Jika seseorang tidak berbuat demikian dalam kasih, tetapi sebaliknya menghina atau menentang kekuasaan yang berlaku, biarlah ia mengetahui bahwa ia tidak akan memperoleh kasih atau berkat Allah. Sebagaimana kita berbuat terhadap orang tua kita, demikian pula kita berbuat terhadap pemerintah”.[118]

3.4.            Tafsiran keseluruhan
Apa yang diterangkan di dalam perikop ini adalah menyangkut dua hal, yaitu: kuasa pemerintah; dan sikap terhadap pemerintah. Perikop ini tidak menyebutkan tentang tokoh atau pribadi tetapi hanya tentang jabatan. Dalam hal ini tidak dilihat siapa orangnya, dari suku mana, dari partai mana atau dari agama apa. Juga tidak menerangkan tentang sistem pemerintahannya, apakah kerajaan, kekaisaran, republik, negara agama atau negara sekuler.[119]. Barangkali atas dasar ini J.W. Allen menilai bahwa akan menjadi kesalahan yang menyolok untuk mengandaikan apabila seseorang, pada satu waktu, mengambil pandangan politiknya dari Paulus meskipun Roma 13:1-7 berisikan apa yang barangkali adalah kata-kata yang paling penting yang pernah dituliskan tentang sejarah pemikiran politik[120].
Tentang sikap orang Kristen, yang ditekankan adalah ketaatan, bukan karena rasa takut tetapi karena dorongan batin. Namun, ajaran Kristen mengenai negara tidak dapat dirumuskan hanya dengan perikop ini. Dalam Alkitab Perjanjian Lama dan Baru dapat ditemukan banyak nas serta kisah lain yang mengandung banyak petunjuk bagi sikap orang percaya terhadap penguasa. Petunjuk tentang cara berurusan dengan petugas, pegawai negeri, penguasa, juga tentang sikap ketika memegang jabatan pemerintahan, yang rendah maupun yang tinggi dapat ditemukan dalam perikop[121].
Tentang kuasa pemerintah ditegaskan bahwa tidak terlepas dari Allah. Ini harus selalu diingat agar mengetahui bagaimana bersikap di hadapan pemerintah. Allah sendiri yang memberi kuasa kepada manusia, yang diangkat untuk memerintah. Oleh karena itu setiap pemerintah yang ada di dunia ini menerima kuasa dari-Nya. Dialah juga Allah yang memberikan kuasa bagi semua penguasa, siapa pun dia, dan apa pun jabatannya. Pemerintah mengadakan peraturan-peraturan yang diberlakukan di daerah pemerintahannya dan mempertanggungjawabkannya kepada Pemberi kuasa itu. Artinya, Allah adalah di atas semua pemerintahan dan di atas segala-galanya[122].
Dengan demikian melalui nas ini, menurut A. Munthe, Paulus mengingatkan kita agar hubungan gereja dengan pemerintah tetap harmonis, “Pemerintah menjalankan kuasanya selaku abdi Allah dan negara. Pemerintah melayani rakyat demi Tuhan. Rakyat takluk dalam kerendahan hati. Rakyat menjalankan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Rakyat berbuat baik dan meninggalkan yang jahat. Pemerintah memuji yang pantas dipuji. Pemerintah menghukum yang patut dihukum.[123]

3.5.            Skopus
Ketaatan seorang Kristen kepada penguasa adalah bagian dari tanggungjawab sebagai umat Allah, ketaatan itu datang dari kesungguhan sebagai wujud kasih untuk mendukung pemerintah dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya sesuai dengan kehendak Tuhan karena penguasa sesungguhnya ada dan berkuasa karena Tuhan.

IV.             Refleksi
4.1.      Konteks Umum
Dieter Becker[124] menuliskan, bahwa pada abad-abad terakhir di beberapa negara Eropa sering sekali terjadi suatu hubungan antara negara dan gereja, di mana gereja secara problematik tergantung pada negara (gereja-negara). Pada Abad Pertengahan negara seringkali tidak lebih daripada bagian dari gereja (Papalisme), sedangkan mulai abad ke-4 gereja diancam bahaya menjadi bagian dari negara saja (Kaesaropapisme). Katolikisme tradisional berusaha untuk menghapus batas-batas antar negara dan gereja demi gagasan Papalisme. Tendensi yang serupa juga terdapat dalam Calvinisme berdasarkan pemikirannya yang bersifat teokratis. Sementara menurut tradisi Lutheran, gereja dan negara harus dibedakan dengan tegas.
Namun menurut Becker, pembedaan di antara gereja dan negara itu tidak berarti bahwa gereja tidak memperhatikan kondisi-kondisi politik atau mengasingkan diri dari hubungan dengan negara. Gereja tidak dapat keluar dari situasi kehidupan pada zamannya. Menurutnya sayang sekali bahwa Gereja-gereja Lutheran dalam sejarahnya tidak jarang mempunyai anggapan yang salah, seolah-olah kedua kerajaan itu dapat saling terpisah dan kerajaan dunia dibiarkan saja menjalankan fungsinya menurut hukum-hukumnya sendiri dan menurut kuasa-kuasanya sendiri. Harus dikatakan bahwa kemandirian dunia tidak berarti dunia diserahkan kepada penguasa menurut hukum-hukumnya sendiri. Tetapi di bawah kondisi-kondisi yang normal, justru berdasarkan perbedaan yang nyata antara gereja dan negara ada kesempatan bagi suatu hubungan yang terbuka tanpa ketergantungan antara yang satu dengan yang lainnya[125].
Ada tiga cara hubungan antara gereja dan pemerintah yang membawa kepada langkah yang salah[126].
-          Gereja dan pemerintah adalah dua hal yang terpisah yang seharusnya tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Tipe ini menggambarkan suatu pemisahan yang pasti antara keduanya: gereja berhubungan dengan sesuatu yang hal-hal bersifat “rohani” dan pemerintah dengan hal-hal yang bersifat material. Ini barangkali disampaikan oleh seorang pietis yang melihat dunia sebagai yang jahat dan untuk dihindari sebisa mungkin. Atau barangkali dikembangkan oleh gagasan bahwa iman adalah sematamata hubungan khusus “antara Allah dan saya” dan tidak ada hubungannya dengan pemerintah. Tipe ini umumnya digambarkan dengan frase, “Agama dan politik tidak bercampur”.
-          Pemerintah mengendalikan gereja. Melalui paksaan, praktek tradisional atau kerelaan bekerjasama, gereja menjadi tunduk kepada pemerintah atau barangkali bahkan bawahan dari pemerintah. Tahta dan altar kelihatanya satu; presiden dan bishop berjanlan bergandengan tangan, dan hadir untuk menghormati satu sama lain dalam kegiatan-kegiatan khusus. Dalam tipe ini, gereja memberikan dukungan tanpa syarat kepada pemerintah, apa yang pemerintah lakukan, gereja gemakan dan berkati.  Gereja mungkin memperoleh kuasa dan perlakuan khhusus tetapi kehilangan jarak kritis dari pemerintah. Gereja menjadi corong (mouthpiece) atau binatang piaraan (lapdog) pemerintah dan kebijakannya.
-          Gereja mengendalikan pemerintah. Agama menggunakan kekuasaannya untuk memperlakukan pemerintah sebagai bawahannya bagi dirinya dan kepentingannya. Dalam tipe ini, “otoritas rohani (spiritual authority)” pemerintah yang superior memberinya hak untuk memimpin dan memerintah “otoritas sementara (temporal authority)” yang lebih kecil. Saat ini tipe ini barangkali kurang umum di antara gereja dibandingkan di antara beberapa kelompok agama yang lain dimana usaha-usaha diciptakan untuk menempatkan seluruh masyarakat di bawah hukum agama tertentu sebagamana ditafsirkan oleh pemimpin-pemimpin agama.
Bagi K. Barth, sebagaimana dituliskan oleh Becker, gereja dan negara sama-sama berlandaskan kerajaan Kristus, di mana negara pun diartikan sebagai bagaian dari “tata anugerah”. Dengan demikian hendak dijamin agar proses saling mempengaruhi di antara keduanya jangan terlalu besar, dan supaya yang satu tidak mengambil alih tugas yang lain[127]. Dalam hal ini keberadaan gereja di dunia ini mempunyai hubungan langsung dengan negara dan pemerintah di mana gereja itu berada. Gereja dan pemerintah adalah sama-sama wakil Allah, dapat menjadi mitra untuk bekerjasama dalam pemeliharaan dunia ini. Tetapi dalam hubungan itu dituntut ketegasan bagi gereja dalam menentukan sikapnya. Jika gereja dapat bersikap kritis, positif dan realistis terhadap negara dan pemerintah maka hubungan gereja dan pemerintah dapat berjalan dengan baik dalam arti berjalan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing[128].
Disinilah gereja mempunyai tugas nabiah dan fungsi kontrol, dengan penyampaian pesan-pesan bahkan kritik profetis kepada negara. Tugas tersebut dilakukan dengan tujuan mensejahterakan umat manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab kesejahteraan umat adalah kesejahteraan bangsa, yang hanya mungkin terjadi apabila di dalam negara berlaku keadilan, hukum ditegakkan dan hak azasi manusia dihargai dengan semestinya[129].
Hal itu menurut Eleazar S. Fernandez, untuk menguatkan gereja dalam gerakan kritik sosial sebagaimana mestinya. Identitas gereja yang benar adalah sebagai gerakan sosial kenabian dan jika menyimpang dari identitas ini akan membuat gereja kehilangan tujuan. Tetapi sebagai gerakan sosial kenabian, gereja harus berdiri dalam solidaritas bersama dengan orang-orang yang telah memberikan hidupnya untuk kesaksian kenabian di tengah-tengah pemerintahan suatu bangsa[130].

4.2.      Hubungan dengan Konteks Indonesia
Berbicara tentang hubungan gereja dengan negara di Indonesia tidak terlepas dari pemahaman tentang politik dan sistim pemerintahan Indonesia yang berasaskan Pancasila, UUD 1945 dan demokrasi modern yang berpijak pada pemisahan kekuasaan: eksekutif, legislatif dan judikatif. Hubungan-hubungan itu terjadi dalam dua arus, lewat warga gereja secara pribadi dan sebagai warga negara, dan lewat gereja sebagai sebuah organisasi[131].
Dalam konteks Indonesia, pembatasan hubungan gereja dan negara sudah sangat jelas, misalnya dengan sila pertama Pancasila dan UUD 45, fasal 29. Dengan dasar negara dan undang-undang dasarnya, negara Indonesia mengakui bahwa agama dan kebebasan beragama bukanlah ciptaan dan pemberian negara, melainkan adalah penyataan Tuhan tentang harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan demikian hubungan gereja dan negara harus ditempatkan sejajar, yang saling membantu, memperlengkapi dan memberdayakan satu sama lain. Posisi gereja tidak berada pada sub-ordinasi atau onderbouw negara. Demikian juga sebaliknya, negara tidak berada pada sub-ordinasi atau onderbouw gereja[132].
Untuk itu gereja-gereja di Indonesia hadir serta menjalankan perannya di tengah negara kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila. Peranan itu dengan berbagai tantangan dan pergumulan dilaksanakan dengan penuh tanggungjawab berdasarkan tugas dan panggilannya yang bersumber pada Kristus. Gereja-gereja di Indonesia turut berperan serta dalam pembangunan bangsa sebagai pengamalan Pancasila. Umat Kristen Indonesia harus memahami dirinya sebagai bagian integral dari bangsa Indonesia.Tidak menarik diri dari pergumulan bangsanya, tidak berpikir primordial/sektarian tetapi berwawasan kebangsaan dan nasional. Esensi kehadiran gereja di manapun adalah ketaatan kepada Tuhan di atas segalanya[133].
Berkaitan dengan itu walaupun jumlah orang Kristen minoritas dibandingkan dengan jumlah pemeluk agama mayoritas, bukan berarti orang Kristen menjadi warga negara kelas dua. Orang Kristen lahir di bumi Indonesia berarti juga sebagai pemilik negara ini. Oleh karena itu sebagai warganegara yang bertanggungjawab, orang Kristen harus mencintai bangsanya dan tetap berusaha memelihara iman dan berjuang untuk menegakkan keadilan seperti yang dimandatkan oleh Yesus Kristus sendiri. Panggilan sebagai warga Kerajaan Allah dibuktikan dalam kehadiran sebagai pelaku firman dan tidak berkompromi dengan kejahatan. Sebagai warganegara, orang Kristen di Indonesia bertanggungjawab terhadap maju dan mundurnya Negara Indonesia.
Di sinilah perlu ditegaskan sebagaimana yang disampaikan oleh Eddy Paimoen bahwa[134], orang Kristen tidak hanya berjuang untuk mendapatkan “political power” atau “governmental power” tetapi perjuangan untuk melaksanakan “intellectual revolution” untuk mendapat “intellectual power” dalam semua disiplin ilmu agar mampu berperan serta dalam membangun masyarakat baru, sebagai wujud kerajaan Allah di bumi yang berazaskan kebenaran, keadilan, kekudusan dan pengampunan.  Dengan memiliki “intellectual power” umat Kristen akan dapat menjadi garam yang akan menggarami bangsa ini dan akan menjadi terang yang akan menerangi bangsa ini, menjadi bangsa yang solid yang berdiri di atas dasar Pancasila dan UUD 1945.
Kehadiran gereja-gereja di Indonesia haruslah masuk dalam sejarah kehidupan umat manusia dan memberikan dinamika dan perspektif baru. Kehadiran gereja di Indonesia ini adalah alat bagi pengenalan karya penyelamatan Allah yang berdampak bagi kemajuan masyarakat dalam peningkatan taraf hidup dan penegakan keadilan sosial serta perikemanusiaan. Menurut Einar Sitompul[135], yang mesti dilakukan adalah: Pertama, mengevaluasi secara kritis kehadiran gereja selama ini. Apakah sudah turut bersama-sama dengan semua komponen masyarakat yang berjuang untuk kehidupan yang lebih adil? Kedua, turut mengupayakan terciptanya tatanan yang lebih demokratis, adil dan manusiawi mulai dari lingkungan kita sendiri. Sehubungan dengan itu, isu HAM yang menjadi agenda dunia menjadi bagian yang tak terpisahkan dari penghayatan iman Kristen, karena manusia adalah ciptaan Allah yang bermartabat. Setiap penindasan harus ditentang karena penindasan itu bertentangan dengan kehendak Allah yang menghendaki kehidupan ini berniat memberikannya di dalam kelimpahan.
Dengan demikian kehadiran republik ini benar-benar sebagai bagian dari karya penyelamatan Allah melalui peran gereja (orang percaya) yang menerima mandat untuk melanjutkan dan memelihara pekerjaan penyelamatan Allah itu. Berlandaskan pada Roma 13:1-7, orang Kristen di Indonesia memberi peran di dalam ketaatan yang didasari oleh pengetahuan akan kehendak Tuhan bagi dirinya untuk mendukung berjalannya pemerintahan yang adil dan bertanggungjawab.

V.                Kesimpulan
1.      Roma 13:1-7 menegaskan bahwa kehidupan orang Kristen tidak terlepas dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu orang Kristen harus mengetahui bagaimana sikap terhadap penguasa yang sesuai ajaran kekristenan. Sikap itu adalah sikap tunduk terhadap penguasa (yang taat kepada Tuhan) dengan memenuhi tanggungjawab sebagai warganegara.  Sebaliknya Roma 13:1-7 juga menunjukkan bahwa penguasa tidak ada karena dirinya sendiri tetapi penguasa ada dan berkuasa atas penetapan Tuhan yang berada di atas segalanya dan yang memerintah segala sesuatu. Oleh karena itu peraturan yang ditetapkan dan dijalankan penguasa juga harus mencerminkan kehendak dan ketaatan kepada Tuhan.
2.      Hubungan orang Kristen dan penguasa digambarkan oleh sikap tunduk orang Kristen terhadap penguasa dan tindakan penguasa yang memuji warganegara yang melakukan perbuatan baik dan menghukum yang melakukan kejahatan. Kemauan kedua belah pihak untuk melaksanakannya dengan sunggguh-sungguh dapat menciptakan hubungan yang baik dan saling mendukung antara keduanya. Disinilah Gereja perlu memantapkan perannya dalam menyuarakan suara kenabian sehingga penguasa tidak bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan roda pemerintahan.
3.      Sikap tunduk terhadap penguasa di dalam Roma 13:1-7 tidak bersifat mutlak karena orang Kristen harus mengutamakan kataatan kepada Tuhan yang memberikan dasar bagaimana bersikap terhadap penguasa sekaligus hak dan kekuasaan kepada penguasa untuk memerintah. Orang Kristen harus menolak tuntutan penguasa yang bertentangan dengan firman Tuhan dan yang menyangkal atau merampas ketaatan orang Kristen kepada Tuhan.
4.      Roma 13:1-7 tidak menjadi dasar untuk menetapkan bentuk suatu  pemerintahan dalam suatu negara dan tidak menjadi dasar untuk menentukan bentuk politik atau dasar bagi orang Kristen dalam berpolitik praktis. Tetapi Roma 13:1-7 menjadi salah satu pedoman bagi orang Kristen untuk mengetahui bagaimana sikap sebagai warganegara yang bertanggungjawab dan bagaimana sikap orang Kristen ketika diberi kuasa dan jabatan untuk memerintah.

Daftar Pustaka
Becker, Dieter, 2009, Pedoman Dokmatika; Suatu Konpendium Singkat, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Berkhof, H., dkk, 1992, Sejarah Gereja, Jakarta; BPK Gunung Mulia,
Bloomquist, Karen L. dkk, 2010, Churches Holding Governments Accountable, Geneva: LWF
Boring, M. Eugene dkk (ed.), 1995, Hellenistic Commentary to the New Testament, Nashville: Abingdon Press
Bruce, F.F., 1985, Romans: Letter of Paul, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company
---------------, 2003, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
Chilton, Bruce, 2004, Studi Perjanjian Baru bagi Pemula, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Cranfield, C.E.B., 1979, A Critical and Exegeticl Commentary on The Epistle of the Romans, Vol. II, Edinburgh: T&T Clark Limited
Drane, John, 2000, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis – Teologis, (terj.), Jakarta: BPK Gunung Mulia
Duyverman, M.E., 1992, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia
Fernandez, Eleazer S., 1994, Toward A Theology of Struggle, New York: Orbis Book,
Friedrich, G.  (ed.), 1983, Theological Dictionary of the New Testament, Vol. VIII, Grand Rapids Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company.
Groennen, C., 1984, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, Kanisius: Yogyakarta.
Guthrie, Donald, 1996, Teologi Perjanjian Baru 3: Ekklesiologi, Eskatologi, Etika,(terj.), Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hunter, A.M., 2002, Memperkenalkan Teologi Perjanjian Baru (terj.), Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Jacobs, Tom, 1983, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius.
Kittel, G.  (ed.),1982, Theological Dictionary of the New Testament, Vol. II, Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company.
Lumbantobing, Darwin, 2007, Teologi di Pasar Bebas, Pematangsiantar: L-SAPA.
Marshall, I. Howard, 2004, New Testament Theology II, Downers Grove: InterVarsity Press.
Marxsen, Willi, 2005, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kristis terhadap Masalah-masalahnya, (terj.), Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Munthe, A., 2008, Tema-tema Perjanjian Baru, Jakarta: BPK Gunung Mulia
O’Neill, J.C., 1975, Paul’s Letter to the Romans, Harmondsworth, Middlesex: Penguin Books.
Simorangkir, Mangisi S.E., 2008, Ajaran Dua Kerajaan Luther Dan Relevansinya di Indonesia, Pematangsiantar: Kolportase Pusat GKPI.
Swindoll, Charles R., 2007, Paulus: Seorang yang penuh kasih karunia dan tegar, dalam Seri Tokoh Terbesar, (terj.), , Jakarta: Nafiri Gabriel
Packer, J.I. dkk., 1995, Dunia Perjanjian Baru, (terj.), Surabaya & Malang: YAKIN & Gandum Mas
Paimoen, Eddy, 1999, Kerajaan Allah dan Gereja, Bandung: Agiamedia.
Van den End, Th., 2000, Tafsiran Alkitab Surat Roma, Jakarta: BPK Gunung Mulia,


[1] C. Groennen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, Kanisius, Yogyakarta, 1984: hlm. 217.
[2] Groennen, Pengantar, hlm. 217.
[3] Suetonius, seorang pengarang Romawi, melaporkan hal itu sebagai berikut: “Ia (kaisar) mengusir orang Yahudi dari Roma karena mereka terus menerus mengacau, dihasut oleh seorang yang bernama Krestus. Jelas bahwa dengan “Krestus” dimaksudkan Kristus. Suetonius, dan barangkali juga Klaudius, berpendapat bahwa Kristus itu seorang Yahudi.
[4] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, BPK Gunung Mulia & Kanisius, Jakarta & Yogyakarta, 1983: hlm. 93-94.
[5] Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2000: hlm. 3.
[6] F.F.Bruce, Romans: Letter of Paul, Wm.B. Eerdmans Publishing Company, Michigan, 1985: hlm. 218.
[7] Bruce, hlm. 219.
[8] Bruce, Romans: Letter of Paul, hlm. 220.
[9] Kota Tarsus terletak di Kilikia, Asia Kecil, yang disebut oleh Paulus sebagai “kota terkenal” (Kis. 21:39), adalah pusat penting dari kebudayaan Yunani pada waktu itu, dan ini ikut memberikan ciri pada Paulus seperti yang dapat dilihat pada pidato-pidato dan surat-suratnya. F.F. Bruce, Dokumen-Dokumen Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2003: hlm. 74.
[10] van den End, Tafsiran …, hlm. 1-2.
[11] Bruce Chilton, Studi Perjanjian Baru bagi Pemula, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2004: hlm. 53-54.
[12] A.M. Hunter, Memperkenalkan Teologi Perjanjian Baru (terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2002: hlm. 94.
[13] Lih. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru 3: Ekklesiologi, Eskatologi, Etika,(terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 1996: hlm. 69-78. Pada bagian ini dapat dilihat uraian tentang kiasan jemaat yang dimaksud.
[14] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 29-30.
[15] Tom Jacobs, hlm. 29-30.
[16] J.I. Packer, dkk., Dunia Perjanjian Baru, (terj.), YAKIN & Gandun Mas, Surabaya & Malang 1995: hlm. 195.
[17] Charles R. Swindoll, Paulus: Seorang yang penuh kasih karunia dan tegar, dalam Seri Tokoh Terbesar, (terj.), Nafiri Gabriel, Jakarta 2007: hlm. 330-333.
[18] Swindoll, hlm. 334
[19] J.I. Packer, dkk., Dunia Perjanjian Baru, hlm. 198.
[20] Dalam pandangan Swindoll, kebaikan hati kepala pasukan itu adalah bagian dari rencana Tuhan atas Paulus. Lih. Swindoll,  Paulus: Seorang yang penuh kasih … hlm. 337-341.
[21] Lih. Swindoll, hlm. 350-351.
[22] Lih. Swindoll, hlm. 372.
[23] Lih. John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis – Teologis, (terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2000: hlm. 293.
[24] Lih. J.I. Packer, dkk., Dunia Perjanjian Baru, hlm. 197.
[25] Lih. John Drane, Memahami Perjanjian Baru: …, hlm. 293-294.
[26] Lih. John Drane, hlm. 294-295.
[27] M.E. Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 1992, hlm. 94-95.
[28] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya, hlm. 193-194. Akan hal ini, menurut Tom Jacobs, Bornkamm menyebut surat ini “surat wasiat”.
[29] Lih. Groennen,  Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, hlm. 218-220.
[30] Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, hlm. 3.
[31] Groennen, hlm. 221-222.
[32] Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru, hlm. 99.
[33] Duyverman, hlm. 98.
[34] Willi Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kristis terhadap Masalah-masalahnya, (terj.), BPK Gunung Mulia, Jakarta 2005: hlm. 105.
[35] Lih. Marxsen, hlm. 106-107.
[36] C. Groennen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru, hlm. 220.
[37] Duyverman, Pembimbing ke dalam Perjanjian Baru hlm. 98-99.
[38] Tentang ini juga dapat dilihat Tom Jacobs, Paulus …, hlm. 195-196. C. Groennen, Pengantar …, hlm. 221.
[39] lih. Duyverman, hlm. 99-100.
[40] Groennen, Pengantar…, hlm. 221.
[41] Tom Jacobs, Paulus: Hidup, … , hlm. 196.
[42] bnd. Tom Jacobs, hlm. 195.
[43] lih. I. Howard Marshali, New Testament Theology II, InterVarsity Press, Downers Grove, Illinois 2004: hlm. 306-329. Bnd. Jacobs, Paulus: Hidup …, hlm. 195. Groennen, Pengantar , hlm. 222-226. Bnd. Marxsen, Pengantar , hlm. 109-127.
[44] Argument keraguan Groennen atas pasal ini karena untuk apa daftar nama sepanjang itu dan bagaimana Paulus mengenal sekian banyak orang di Roma (16:1-23); dari mana tiba-tiba muncul suatu serangan pedas atas orang yang (dapat) menyesatkan orang beriman (16:17-19); demikian juga 16:25-27 tidak terdapat pada tempat yang sama pada naskah kuno (Bnd. Groennen, hlm. 221).  Atas dasar keraguannya menurut Duyverman salam pada bagian akhir surat ini ini ditujukan kepada orang-orang yang tinggal di Efesus, Pembimbing …, hlm. 101.
[45] Lih. Groennen, Pengantar …, hlm. 226.
[46] Lih. van den End, Tafsiran…, hlm. 4.
[47] Lih. Behm, evxestin,  evxousi,a, exousiazw, katexousiazw dalam G. Kittel (ed.), Theological Dictionary of the New Testament, Vol. II, Wm. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan 1982:  hlm. 562-563.
[48] Lih. Behm  evxestin, …  dalam G. Kittel (ed.), Theological Dictionary, hlm. 564.
[49] Lih. Behm  evxestin, …  dalam G. Kittel (ed.), Theological Dictionary, hlm. 565.
[50] Lih. Delling,  tassw, anatassw, apotassw, uvpotassw , dalam G. Friedrich (ed.), Theological Dictionary of the New Testament, Vol. VIII, Wm. B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan 1983:  hlm. 39-40.
[51] Lih. Delling,  tassw, …, dalam G. Friedrich (ed.), Theological Dictionary, hlm41-43.
[52] J.C.O’Neill, Paul’s Letter to the Romans, Harmondsworth, Middlesex, Penguin Books 1975: hlm. 207-208.
[53]  Menurut O’Neil sudah tentu pengajaran Kristen dan Yahudi sepakat tentang hal ini. Penguasa diberi kuasa oleh Allah (Kebijaksanaan Salom 6:3; Josephus, War, ii. 140 (8.7)) dan oleh karena itu harus ditaati (Mrk 12:17), tetapi kekuasaaan mereka pada dasarnya di bawah kuasa Allah (Mzm 82; Kebijaksanaan Salomo 6.I-II) dan tidak seorang pun dapat melawan Allah, meskipun jika penguasa memerintahkannya (Mrk 12:17; Kis 5:29)[53].
[54] Keadaan yang bersifat pokok adalah persetujuan pengajaran dalam memasukkan untaian tradisi Yahudi-Kristen, untaian tradisi yang mengakui sumber ilahi dari kekuasaan penguasa duniawi, kekuasaan mereka untuk mengumpulkan pajak, dan hal untuk mendapatkan ketaatan dan hormat dan doa untuk kebaikan mereka. Keadaan yang hampir kebetulan adalah semata-mata persesuaian kata antara Roma 13:8 dan kalimat terakhir dari kumpulan Stoa Roma 13:7. Ayat 8: jangan berhutang apa pun kepada seseorang dan ayat 7: berikan kepada setiap orang apa yang menjadi miliknya. Persamaan kata, dengan perbedaan yang sempurna dalam konsep, hanyalah apa yang akan dimohonkan kepada seorang penyusun aphorisme atau seorang pengumpul aphorisme, yang baginya permainan kata-kata adalah segalanya
[55] J.C.O’Neill, Paul’s Letter to the Romans,  209.
[56] Lih. Jacobs, Paulus …, hlm. 196.
[57] Lih Groennen, Pengantar …, hlm. 225; bnd. Marxsen, Pengantar …, hlm. 110.
[58] Lih. Marxen, Pengantar …, hlm. 109-110; bnd van den End, Tafsiran…, hlm. 12.
[59] Lih. Groennen, Pengantar …, hlm. 225-226.
[60] Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, hlm. 598.
[61] Th van den End, hlm. 598.
[62] Th van den End, hlm. 597.
[63] Lih. M. Eugene Boring dkk (ed.), Hellenistic Commentary to the New Testament, Abingdon Press, Nashville 1995: hlm. 385-386.
[64] Lih. Eugene Boring dkk (ed.), hlm. 386.
[65] Lih. M. Eugene Boring dkk (ed.), Hellenistic, hlm. 386.
[66] Lih. M. Eugene Boring dkk (ed.), hlm. 387.
[67] Lih. M. Eugene Boring dkk (ed.), Hellenistic, hlm. 386.
[68] Th. van den End, Tafsiran Alkitab Surat Roma, hlm. 599.
[69] Hilton C. Oswald (ed), Luther’s Work Vol. 25: Lectures on Roma, Concordia Publishing House, Saint Louis 1972: hlm. 468.
[70] Lih. C.E.B. Cranfield , A Critical and Exegeticl Commentary on The Epistle of the Romans, Vol. II, T&T Clark Limited, Edinburgh 1979: hlm. 656.
[71] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 658.
[72] Bruce, Romans: …, hlm. 223.
[73] Bnd. Th. van den End, Tafsiran …,  hlm. 599-600.
[74] Bnd. A. Munthe, Tema-tema Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2008: hlm. 81.
[75] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 660. Sanday dan Headlam memberi judul perikop ini ‘On Obedience to Rulers’ dan dalam ringkassan pengantarnya mengatakan’Penguasa kota … harus ditaati’. Ketaatan terhadapnya adalah satu tanggungjawab orang Kristen … ‘. Barret menggunakan frase ‘obedience to magistrates’ (ketaatan kepada hakim-hakim)’ dan UBS ‘Obedience to Rulers’ sebagai judul perikop untuk 13:1-7.
[76] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical … , hlm. 660-661.
[77] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 660.
[78] A. Munthe, Tema-tema …, hlm. 84.
[79] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 662.
[80] Lih. Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 600-601.
[81] Lih. Th. van den End, hlm 601.
[82] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical …, hlm. 663.
[83] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 663.
[84] Th. van den End, Tafsiran …, hlm 602.
[85] Th. van den End, hlm. 603.
[86] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 664.
[87] Lih. Bruce, Romans: …, hlm. 224.
[88] Lih. Bruce, hlm.  224.
[89] Lih. van den End, Tafsiran …, hlm. 603-604.
[90] Lih. Bruce, Romans, hlm. 224.
[91] Lih. van den End, Tafsiran …, hlm. 604.
[92] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical …, hlm. 665.
[93] Lih. C.E.B. Cranfield, hlm. 665.
[94] Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 605.
[95] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical …, hlm. 665-666.
[96] Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 607.
[97] Bruce, Romans,  hlm. 224.
[98] A. Munthe, Tema-tema Perjanjian Baru, hlm. 82.
[99] A. Munthe, hlm. 82.
[100] A. Munthe, hlm. 82-83.
[101] Th. van den End, Tafsiran  , hlm. 607.
[102] Th. van den End, hlm. 607-608.
[103] Th. van den End, Tafsiran …, hlm. 608.
[104] Bruce, Romans: …, hlm. 225.
[105] Lih. C.E.B. Cranfield, A Critical …, hlm. 668.
[106] Th. van den End, hlm. 609.
[107] A. Munthe, Tema-tema Perjanjian Baru, hlm. 83.
[108] A. Munthe, hlm. 86.
[109] Bruce, Romans,  hlm. 225.
[110] Bruce, hlm. 229.
[111] Th. van den End, Tafsiran,  hlm. 609.
[112] Th. van den End, hlm. 609.
[113] Bruce, hlm. 219.
[114] Th. van den End, Tafsiran, hlm. 610.
[115] Bruce, Romans, hlm. 226-227.
[116] Th. van den End, hlm. 610.
[117] A. Munthe, Tema-tema, hlm. 86.
[118] A. Munthe, Tema-tema …, hlm. 86-87.
[119] A. Munthe, hlm. 80.
[120] Bruce, Romans, hlm. 222.
[121] Th. van den End, Tafsiran, hlm. 611.
[122] A. Munthe, Tema-tema …, hlm. 81-82.
[123] A. Munthe, hlm. 86-87.
[124] Dieter Becker, Pedoman Dokmatika; Suatu Konpendium Singkat, BPK Gunung Mulia, Jakarta 2009: hlm. 180.
[125] Dieter Becker, hlm. 181.
[126] Bnd. Karen L. Bloomquist, dkk, Churches Holding Governments Accountable, LWF, Geneva 2010: hlm. 21-24.

[127] Lih. Dieter Becker, hlm. 18
[128] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar 2007: hlm. 256.
[129] Darwin Lumbantobing, hlm. 266.
[130] Bnd. Eleazer S. Fernandez, Toward A Theology of Struggle, Orbis Book, New York 1994: hlm. 143-157.
[131] Lih. Mangisi S.E. Simorangkir, Ajaran Dua Kerajaan Luther Dan Relevansinya di Indonesia, Kolportase Pusat GKPI, Pematangsiantar 2008: hlm. 152,153.
[132] Darwin Lumbantobing, hlm. 267.
[133] Mangisi S.E. Simorangkir, hlm. 182,183
[134]  Eddy Paimoen, Kerajaan Allah dan Gereja, Agiamedia, Bandung 1999: hlm. 113,114.
[135] Eddy Paimoen, hlm. 65,66.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar