Senin, 21 Maret 2016

Fungsi dan Peranan Imam


FUNGSI DAN PERANAN IMAM DALAM PERJANJIAN LAMA
(Pdt. Darman H. Samosir, STh)
I.                   Pemahaman tentang Imam
Kata Ibrani yang dipakai untuk imam adalah כהן (kohen). Kata imam secara tersendiri atau dihubungkan kepada kata “kepala” atau “besar” terdapat lebih dari 700 kali dalam PL dan 80 kali dalam Perjanjian Baru. Kata Ibrani kohen juga ditemukan dalam arti yang sama dalam tulisan-tulisan Funisia. Muncul dalam bentuk Aram (kahen) 8 kali dalam kitab Ezra. Penggunaan kohen tidak terbatas hanya kepada imam Yahweh. Kata itu digunakan juga untuk imam-imam Mesir (Kej. 41:45, 50; 46:20; 47:26), untuk imam-imam Filistin (1 Sam 6:12), imam-imam Dagon (1 Sam 5:5), imam-imam Baal (2 Rj 10:19), imam-imam Kamos (Yer 48:7), dan imam-imam Baal dan Asyer (2 Taw 34:5) Dalam bahasa Arab, kata yang mempunyai kaitan dengan kohen adalah kahin artinya pelihat atau peramal, dan dianggap sebagai pengertian yang semula dari istilah Ibrani. Ada bukti bahwa kohen adalah satu istilah Kanaan yang khusus dan kahin sebuah kata pinjaman yang telah mendapat pengertian yang berbeda. Kata benda kohen berasal dari kata kerja kahan, yang muncul dalam arti yang sama dengan כון (kun), “berdiri”. Oleh karena itu, imam adalah seorang yang berdiri di hadapan Allah sebagai pelayan-Nya[1].
Penggunaan pertama dari kata imam di dalam PL adalah kepada Melkisedek raja Salem, imam Allah yang Maha Tinggi (Kej 14:18). Kemudian kepada Yitro, mertua Musa, imam Midian[2] (Kel 3:1), dan kepada Harun (Kel 28:1)[3]. Sebelumnya tindakan keimamam yang dihubungkan kepada Allah dalam hal korban dan doa telah diperkenalkan dalam PL melalui Habel (Kej 4:4) dan selanjutnya oleh orang-orang Lewi (Kel 32:28-29; Bil 1: 47-53)[4].
Menurut Th. C. Vriezen, seorang imam adalah pejabat yang melakukan upacara suci di tempat yang suci, dengan menggunakan benda-benda  suci, yaitu efod, roti sajian, dan sebagainya[5]. Para imam tidak mendapat panggilan seperti para nabi, tetapi jabatan imam diwariskan turun-temurun dan kekuasaannya/pelayanannya hanya meliputi satu tempat suci tertentu saja[6].  Dari hal ini sementara dapat dikatakan bahwa jabatan imam berkaitan dengan hal-hal yang bersifat kultus di dalam pemeliharaan kesucian hubungan umat dengan Yahweh.

II.                            Kedudukan dan Perkembangan Jabatan Imam
Pada mulanya dalam sejarah Israel tugas imamat adalah tanggungjawab orang-orang Lewi, yaitu suku atau keluarga Lewi. (Ul 33:8-10)[7].  Menurut von Rad, jabatan imam adalah hak dari orang Lewi. Ini adalah berdasarkan sebuah cerita kuno dalam Hak 17:1 dyb menunjukkan bahwa pada periode mula-mula hanya seorang Lewi yang berhak atas jabatan itu[8]. Namun dalam kenyataannya tidak selalu demikian. Banyak imam yang tidak mempunyai hubungan dengan suku Lewi. Samuel bukanlah keturunan dari keluarga imam manapun, ayahnya adalah seorang Efraim. Tetapi dia diserahkan ke tempat kudus yang artinya bahwa dia sepenuhnya menjadi bagian dari keimaman dan melayani Yahweh (1 Sam 2: 18; 3:1). Dia memakai pakaian imam, kain efod (1 Sam 2: 8) dan bahkan pada malam hari dia tidur di tempat kudus di mana Tabut Perjanjian ditempatkan (1 Sam 3:3)[9].
Laporan yang lain adalah bahwa Daud mengangkat anak-anaknya menjadi imam (2 Sam 8:18). Menurut  H.H. Rowley agaknya ayat ini berarti bahwa anak-anak Daud menetap sebagai imam, maka dari situ ditarik kesimpulan bahwa imamat pada zaman Daud belum dianggap sebagai jabatan yang dapat diwarisi, atau sesuatu yang terbatas hanya kepada suku Lewi[10]. Demikian juga dengan Zadok baru kemudian hari digolongkan dan dihormati sebagai orang-orang Lewi[11]. Meskipun demikian, ada dugaan bahwa “Kaum Lewi” masih terus bertahan dan memberlakukan tradisi yang diwarisi dari Musa dan berhak atas jabatan imam walaupun yang terjadi tidak selalu demikian karena para raja juga bertindak sebagai imam.
Dalam perkembangan sejarah bangsa Israel, salah satu jabatan yang menjadi bagian dari kekuasaan raja adalah sebagai imam karena penguasa terhormat Yerusalem sekaligus menjadi imam besar Yerusalem. Jabatan rangkap ini dimulai oleh Daud (menurut Mzm 110, ia menggantikan Melkisedek) di dalam dirinya[12]:
a.       Ia membangun altar untuk Allah dan mempersembahkan korban (2 Sam 24:25)
b.      Ia ingin membangun Bait Allah (2 Sam 7:2 dan 1 Taw 22)
c.       Ia membawa Tabut Perjanjian ke Yerusalem, dengan berpakaian imam (2 Sam 6)
Menurutnya S.M. Siahaan, ini didukung bahwa Salomo juga menjadi imam tertinggi dari bangsa Israel. Ia membangun Bait Allah dan setelah Bait Allah selesai dibangun ia juga yang menahbiskan Bait Allah tersebut. Pada waktu penahbisan Bait Allah itu, Salomo mengumpulkan para imam dan penatua-penatua masyarakat Israel untuk membawa benda-benda suci dan Tabut Perjanjian ke dalam Bait Allah. Kemudian Ia sendiri mempersembahkan korban di depan Tabut Perjanjian. Ia berpidato (berkhotbah) dan memberkati seluruh bangsa Israel (1 Rj 8)[13].
Selanjutnya S.M. Siahaan mengatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan tersebut sebetulnya adalah tugas para imam terutama imam besar. Tetapi raja adalah imam tertinggi dan bahkan mengurapi imam (2 Sam 8:17; 20:15; 1 Rj 2:26). Daud, selain raja Yehuda dan Israel, adalah juga raja kota suci. Ia boleh menamai Yerusalem “Kota Daud”. Khususnya di Yerusalem Daud dan keturunannya mempunyai kekuasaan sebagai raja dan sekaligus imam[14]. Hal yang senada dituliskan oleh Wismoady Wahono yang mengatakan, raja-raja keturunan Daud memegang kuasa yang besar dalam urusan Bait Allah. Mereka bukan hanya menguasai soal-soal material, tetapi juga soal kepemimpinan dalam ibadah-ibadah nasional. Tetapi setelah masa pemerintahan  raja-raja itu berakhir, maka imam yang tertua (senior), yaitu imam agung memperoleh kekuasaaan yang semula dipegang oleh para raja itu[15].
Namun menurut H.H. Rowley, walaupun Daud sendiri mempersembahkan korban, pada waktu tabut diantar ke Yerusalem (2 Sam 6;13), tetapi fakta itu tidak berarti bahwa dia menjabat sebagai imam dalam upacara-upacara ibadat sehari-hari, karena sekiranya demikian, pastilah dia diberi gelar raja-imam[16]. Ini juga menjadi persoalan pada zaman raja Uzia. Tindakan raja Uzia yang menjabat sebagai imam ditolak oleh pengarang kitab Tawarikh (2 Taw 26:16 dyb), dan dikatakan bahwa penyakit kusta yang diderita Uzia disebabkan oleh tindakannya itu. Jelaslah bahwa pada zaman pengarang Tawarikh, dianggap kurang tepat kalau raja mencampuri urusan imam. Selanjutnya ia mengatakan bahwa walaupun pada periode pertama dalam sejarah kerajaan seorang raja adalah dianggap patut mempersembahkan korban, tetapi hal itu tidak berarti bahwa dia sudah menjadi imam[17].
Pada perkembangan selanjutnya tugas keimaman menjadi tanggung jawab kelompok imam yang sudah ada. Ketika Bait Allah telah dibangun di Yerusalem, keturunan Zadok ditunjuk sebagai kelompok Imam untuk bertugas di tempat itu. Pada mulanya melayani bersama-sama dengan kelompok Imam keturunan Abyatar (2 Sam 8:17). Akan tetapi pada pemerintahan Salomo, Imam Abyatar dipecat dari jabatannya selaku Imam Besar, dan digantikan oleh Zadok (1 Rj 1:5-8; 2:35). Ada ahli yang berpendapat bahwa sebelum Daud merebut Yerusalem, Zadok telah melayani sebagai imam di sana, dan setelah Daud merebut Yerusalem ia tetap diperbolehkan menjadi imam di sana. Jika pendapat ini benar imam-imam dari keluarga Abyatar adalah orang-oang Lewi asli, sedangkan imam-imam dari keluarga Zadok baru kemudian hari digolongkan dan dihormati sebagai orang-orang Lewi juga[18].
Dengan pendirian Bait Allah maka posisi imam Yerusalem menjadi sangat kuat. Posisi dan eksistensi para imam di luar Yerusalem menjadi semakin sulit[19]. Walaupun demikian imam-imam melanjutkan pekerjaan mereka seperti biasa di tempat-tempat ibadah di luar Yerusalem. Karena sekalipun Bait Allah dibangun, banyak orang Israel masih tetap beribadah di tempat-tempat suci yang tersebar di seluruh Israel. Setelah kerajaan Israel Raya terpecah menjadi dua kerajaan kecil, beberapa dari tempat suci itu, seperti Dan dan Betel, menjadi tempat peribadahan resmi, khususnya bagi orang-orang Israel di Kerajaan Utara[20]. Hal ini menunjukkan bahwa imam sangat dibutuhkan di dalam kehidupan bangsa Israel.

III.                         Beberapa hal yang berhubungan  dengan pekerjaan seorang imam
1.            Efod
Efod dibuat dari kain ungu tua dan kain ungu muda, kain kirmizi dan lenan halus yang dipintal benangnya, dan yang berpakan dengan benang emas. Efod adalah suatu pakaian yang dipakai oleh imam besar di bawah lengan menutupi dada dan punggung. Pakaian itu diikatkan erat pada tubuh[21]. Untuk menanyakan orakulum, imam memakai efod (1 Sam 14:3; 23;6 dyb; 30:7). Bentuk dan fungsi Efod tidak dapat dipastikan, tetapi agaknya merupakan suatu pakaian suci, bahkan mungkin pakaian ilahi, yang digunakan menurut cara tertentu (mungkin melalui batu Urim dan Tumim), untuk menyampaikan perintah-perintah Allah[22]. Efod merupakan benda sakral kedua sesudah tabut dalam urutan pentingnya karena merupakan sarana untuk menghubungkan si penyembah (si pembawa korban) dengan Yahweh. Efod, sama seperti tabut, menjadi simbol kehadiran Tuhan[23].
2.            Urim dan Tumim
Urim dan Tumim adalah sejenis alat untuk mengundi dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan atau memutuskan perkara-perkara yang ditemui dalam melaksanakan tugas peribadahannya (Bil. 27:21; 1 Sam 14:41)[24]. Urim dan Tumim diletakkan pada tutup dada di atas efod yang dipakai oleh imam[25].
3.            Tempat-tempat Suci[26]
Tempat-tempat suci adalah tempat para imam bertugas. Beberapa tempat suci tempat para imam bertugas:
a.       Silo
Tempat bertugasnya Eli dan keturunannya dan sejumlah muridnya seperti Samuel di masa mudanya.
b.      Nob
Tempat pelayanan imam Abimelekh. Tempat ini adalah tempat suci ke mana Daud pernah melarikan diri.
c.       Gilgal
Adalah tempat para imam yang menjaga Tabut Perjanjian yang asal usul mereka tidak dikenal. Gilgal dikenal karena pendirian dua belas batu oleh suku-suku Israel dan penyataan Allah di sana (Yos 4:8-20; 5:13-15). Pada zaman Saul, Gilgal menjadi tempat suci utama Israel dan tetap dihormati pada zaman Daud.
d.      Dan
Didirikan oleh Efraim (Hak 17-18). Kota suci ini mempunyai peran penting setelah Raja Yerobeam I menetapkannya menjadi tempat suci kerajaan Israel Utara.
e.       Bukit Zaitun
Dilihat dari 2 Samuel 15:32 ada tempat ibadat di atas Bukit Zaitun. Tidak dapat dipastikan apakah tempat suci itu berasal dari zaman pra-Israel atau zaman Israel. Tidak mezbah atau kuil di Bukit Zaitun karma fungsinya memang sebagai tempat doa. 
f.       Hebron
Hebron tempat Daud diurapi menjadi raja (2 Sam 2:4; 5:3). Sejak zaman patriarkh sudah ada tempat suci Israel kuno di Hebron (bnd pohon tarbantin di Mamre). Menurut tradisi patriarkh, Abraham mendirikan mezbah bagi Yahweh di situ (Kej 43:18; bnd 18:1).
g.      Yerusalem
Oleh Daud Yerusalem dijadikan tempat suci yang terpenting. Abyatar dan Zadok menjadi imam agung di tempat ini pada zaman Daud menjadi raja. Ini adalah tempat suci di mana Tabut Perjanjian disimpan.

IV.                         Fungsi dan Peranan Imam
Dalam pandangan von Rad tidak ada jabatan sakral di Israel yang mempunyai sejarah yang begitu panjang seperti jabatan imam. Tidak diragukan bahwa hal itu berawal dari permulaan keyahudian yang paling awal dan berakhir ketika Kuil Herodes hancur menjadi abu oleh pasukan Titus. Tentu saja selama periode itu banyak perubahan yang terjadi tentang jabatan imam. Di samping itu di Israel, imam tidak pernah terbentuk menjadi satu hirarki yang penuh kuasa seperti yang terjadi pada tempat-tempat suci lainnya di Timur kuno[27]. Namun ketika jabatan raja hilang dengan tiba-tiba sejalan dengan runtuhnya kerajaan, dan kenabian surut sejalan dengan waktu, imam bertahan dan memperoleh kuasa dan pengaruh yang terus menerus meningkat. Imam menjadi jabatan yang paling lama dibutuhkan fungsinya[28]. Hal ini terlihat dari kebutuhan umat akan peranan imam dalam hubungan umat dengan Allah. Segala urusan umat dengan Allah dibebankan kepada imam: imam adalah pribadi yang sangat unggul dan berkompeten untuk mengantarai keputusan ilahi[29].
Peran imam yang membedakannya dari yang lain adalah bahwa imam adalah pelayan pada tempat suci walaupun aktivitas-aktivitasnya tidak jauh berbeda dari para nabi. Adalah tugas imam untuk memelihara kekudusan tempat itu dan itu merupakan misi dari imam-imam terdahulu. Barangkali dalam hal ini ditemukan pertalian antara imam dan nabi karena nabi juga telah mengambil bagian di tempat-tempat suci. Tetapi tempat-tempat suci selalu identik dengan para imam[30]. Sebagai pelayan di tempat-tempat suci, para imam memimpin umat Israel untuk beribadah kepada Allah, dan berusaha agar peribadahan umat itu berlangsung secara teratur dan benar menurut tata kebiasaan agamawi yang berlaku[31].
Fungsi imam sebagai pelayan di tempat suci menghubungkannya dengan persembahan-persembahan yang diberikan oleh para umat[32]. Ini tidak lain karena salah satu hal yang penting dalam ibadah Israel adalah korban persembahan. Namun imam bukan satu-satunya orang yang berhak untuk mempersembahkan korban itu (Hak 6:22-24; 13:19, dll)[33]. Kepala keluarga dan orang-orang terkemuka dapat mempersembahkan korban, seperti yang dilakukan oleh Elkana di Silo (1 Sam 1:4 dyb).
Penyerahan korban persembahan menjadi tugas imam karena pemahaman bahwa hanya melalui kata-kata ilahi yang diucapkan oleh para imam maka korban persembahan itu sah dan berlaku. Meskipun adalah Allah satu-satunya yang dapat menentukan apakah persembahan itu diterima atau tidak, tetapi adalah kewajiban bagi imam untuk menyatakan penerimaan atau penolakan Allah[34]. Di sini imam menjadi mulut Yahweh untuk mengucapkan respon terhadap korban yang diserahkan. Hanya melalui penambahan perkataan ilahi membuat ibadat yang penting itu mempunyai arti sebagai peristiwa penyelamatan antara Yahweh dan umat-Nya. Hanya berdasarkan perkataan yang diumumkan oleh imam peristiwa sakral itu menjadi tindakan kemurahan hati Allah[35].
Perananan kaum imam dalam sistim korban adalah juga untuk mengawasi penggunaan darah, karena darah dianggap keramat dan harus dituangkan di depan mezbah  (Im 4:34; 8:15; 9:9 dsb)[36]. Di samping itu imam mempelajari dan menafsirkan maksud dari peraturan-peraturan dan hukum-hukum tentang korban persembahan tersebut, serta memberikan nasihat-nasihat mengenai cara pelaksanaan yang baik[37].
Imam adalah orang yang ahli dalam soal-soal ibadah. Untuk itu diperlukan pengetahuan khusus. Ia memberikan bimbingan dan putusan-putusan mengenai soal-soal upacara keagamaan dan hukum. Apalagi kalau ada kasus hukum yang berat. Ia adalah pelaksana dan penganjur pelaksanaan hukum Allah. Ucapan-ucapannya bersumber pada dua wibawa ilahi, yaitu tradisi imamat dan penggunaan batu undi kudus (Urim dan Tumim). Ucapan-ucapannya akan memberikan jawaban ilahi terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya. Ia adalah bapa dan penasehat umat Allah. Ialah yang bertanggungjawab atas segala acara dan upacara persembahan di Bait Allah atau tempat suci[38].
Menurut von Rad berdasarkan orakel tentang orang Lewi dalam Berkat Musa, pemberian Torah adalah fungsi utama dari imam[39]. Imam mengajarkan Israel peraturan-peraturan Yahweh dan Taurat-Nya (Ul 33:10). Imam harus menyampaikan keputusan tentang pertanyaan yang menyangkut hukum sakral. Untuk itu tentu saja, para imam harus betul-betul menguasai tradisi tentang hukum ilahi[40]. Dalam Hosea 4:6, Yeremia 2:8. Yehezkiel 7: 26, para imam dikecam dengan keras karena agaknya tidak mengetahui “Hukum Taurat” secara benar[41].
Fungsi imam sebagai pengajar adalah penting sekali karena imamlah yang merupakan wadah penyimpan tradisi-tradisi, sehingga dia sanggup memberi nasehat kepada Israel dalam setiap perkara berkenaan dengan ritus dan kultus. Menurut Hukum Imamat, imam bertanggungjawab atas membedakan (membuat perbedaan) antara suci dan yang sekuler. Para imam juga ditugaskan untuk mengambil keputusan apakah orang tertentu kena penyakit kusta atau tidak (Im 14:57; Ul 24:8). Para imam juga harus memutuskan apakah orang yang tadinya kena kusta itu sudah sembuh. Dalam hal ini imam tidak berfungsi sebagai tabib, melainkan sebagai penjaga kesucian ritual umat Israel, karena kesucian ritual atau kenajisan ritual dipandang penting sekali[42].
Imam sebagai penanya (peminta) orakulum. Menurut Ringgren, pada periode mula-mula, pemberian orakel adalah jelas satu dari fungsi imam yang paling penting. Dalam Berkat Musa (Ul 33) hal pertama yang dikatakan tentang keimamam suku Lewi adalah menanyakan orakel, barulah kemudian disebutkan tentang memerintahkan hukum dan memberikan korban persembahan. Keluaran 33:7-11 memberikan satu tradisi kuno: orang-orang Israel mendatangi kemah suci yang juga disebut kemah pertemuan, untuk “mencari” Yahweh agar memperoleh orakel. Dalam meminta orakel, imam harus menggunakan bantuan-bantuan mekanis, yang terutama disebutkan dalam Perjanjian Lama adalah efod dan Urim dan Tumim[43].
Tugas imam dalam meminta orakel diperlihatkan ketika imam-imam Ahia, Ahimelek, dan Abyatar diserahi tugas menanyakan (meminta) orakulum Allah atas nama raja atau menteri-menterinya, bilamana ada keperluan, entah pertempuran (1 Sam 22:10,13,15; 2 Sam 5:19,22 dyb; 1 Sam 14:18 dyb; 36) atau suatu ekspedisi (1 Sam 23:9 dyb; 30:7; 2 Sam 2:1 dyb). Proses bertanya itu dilangsungkan dengan jalan mengajukan kasus khusus yang dapat dijawab langsung dengan “ya” atau “tidak”[44].
Sebagai seorang yang diberkahi dengan kuasa ilahi, imam juga tampil untuk memberkati umat. Pada waktu-waktu tertentu, imam mempunyai rumusan berkat untuk diucapkan, dengan demikian mengukuhkan berkat atas komunitas ibadah. Beberapa rumusan berkat itu terdapat pada kitab Mazmur: “Diberkatilah dia yang datang dalam nama TUHAN” (Mzm 118:26), “TUHAN memberkati engkau dari Sion” (Mzm 128:5). Rumusan yang lebih panjang terdapat dalam Bil 6: 24 dyb: “TUHAN memberkati engkau dan melindungi engkau; TUHAN menyinari engkau dengan wajah-Nya dan memberi engkau kasih karunia; TUHAN menghadapkan wajah-Nya kepadamu dan memberi engkau damai sejahtera”.[45]
Imam juga berperan dalam perang. Kesucian yang dimiliki oleh imam di dalam dirinya memberinya kuasa dan kemungkinan untuk memberikan benteng dan memimpin umat seperti yang dilakukan para raja dan nabi. Imam menyertai umat dalam perang. Dalam perang Mikhmas Saul ditemani oleh Ahia (1 Sam 14:18, 41 dyb). Abyatar menyertai Daud dalam pengembaraan yang selalu besedia menanyakan ramalan (1 Sam 23:6) yang membimbingnya dalam situasi-situasi sulit (1 Sm 23:9 dyb; 30:7 dyb)[46].
Mereka menjadi pemelihara dan pembawa agama Yahweh. Tetapi mereka tidak pernah mengklaim sebagai dikuasai Roh Allah. Jabatan mereka sebagai Mulut Yahweh membuat mereka harus dipatuhi bangsa Israel. Para Imam Yerusalem di samping bernubuat juga dengan sendirinya bertugas mengajarkan hukum Allah atau Tora kepada seluruh bangsa Israel[47].
Ini menggambarkan bahwa imam mempunyai posisi yang penting dan strategis. Imam sebagai jabatan yang berperan untuk memelihara hidup kesucian umat dan kepercayaan kepada Yahweh sebagai dasar berkenannya Yahweh agar kelangsungan hidup umat dapat dipertahankan.

V.                            Kesimpulan
1.      Di dalam Perjanjian Lama, jabatan imam banyak dikenal melalui kehidupan bangsa Israel sebagai umat pilihan Tuhan walaupun pada zaman nenek moyang Israel telah ada kegiatan-kegiatan keimaman melalui pemberian korban persembahan dan pemujaan kepada Allah dan juga melalui keimaman dari orang-orang di luar Israel.
2.      Dalam perjalanan sejarah Israel, imam merupakan posisi yang penting dan strategis di tengah-tengah kehidupan bangsa Israel. Bagaimana menjaga hubungan yang benar dan kudus antara umat dan Yahweh demikian juga mengenai kelangsungan hidup bangsa Israel di bawah pemerintahan raja-raja tidak terlepas dari fungsi dan peranan imam.

Daftar Pustaka

1.      A. van Deursen, Purbakala Alkitab, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1982.
2.      David F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1994.
3.      G.A. Buutrick (ed), The Interpreter’s Dictionary of the Bible,  Nashville, Abingdon Press, 1981.
4.      Gerhard von Rad, Old Testament Theology I, New York and Evanston, Harper & Row Publishers, 1962.
5.      Helmer Ringgren, Israelite Religion, London, SPCK, 1966.
6.      H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuna, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1981.
7.      Johs Pedersen, Israel: Its Life and Culture, Copenhagen, Branner Og Korch, 1963.
8.      S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001.
9.      S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004.
10.  Th. C. Vriezen, Agama  Israel Kuno, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003.
11.  Walter A. Elwell (ed), Baker Theologically Dictionary of the Bible, Michigan, Baker Book, 1996.


[1].  R. Abba, Priest and Levities, dalam G.A. Buutrick (ed), The Interpreter’s Dictionary of the Bible,  Nashville, Abingdon Pressm 1981, hlm. 876-877. Istilah Lewi adalah kurang sering, terdapat sekitar 80 kali dalam PL dan hanya tiga kali dalam PB.
[2]. Pada kemudian hari Yitro juga dikenal sebagai imam Allah dari orang yang bukan Israel (Kel 18:9-12).
[3].  Richard E. Averbeck, Priest, Priesthood, dalam Walter A. Elwell (ed), Baker Theologically Dictionary of the Bible, Baker Book, 1996, hlm. 633.
[4].  Melvin H. Shoemaker, Priest, Christ as, dalam Walter A. Elwell (ed), Baker Theologically Dictionary of the Bible, Baker Book, 1996, hlm. 631.
[5]. Th. C. Vriezen, Agama  Israel Kuno, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003, hlm. 85.
[6]. S.M. Siahaan, Pengharapan Mesias dalam Perjanjian Lama, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001,  hlm. 10.
[7]. David F. Hinson, Sejarah Israel Pada Zaman Alkitab, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1994, hlm. 131.
[8].  Gerhard von Rad, Old Testament Theology I, New York and Evanston, Harper & Row Publishers, 1962. hlm. 244.
[9].  Johs Pedersen, Israel: Its Life and Culture, Copenhagen, Branner Og Korch, 1963, hlm. 150.    Walaupun selanjutnya tentang keimaman Samuel ini tidak kita ketahui
[10]. H.H. Rowley, Ibadat Israel Kuna, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1981, hlm. 73
[11]. David F. Hinson, op. cit., hlm. 131.
[12].S.M. Siahaan, op. cit., Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 9.
[13].Ibid., hlm. 9.
[14].Ibid., hlm.,10.
[15].S. Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan: Petunjuk Mempelajari dan Mengajarkan Alkitab, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 192.
[16].H.H. Rowley, op. cit., hlm. 73.
[17]. Ibid., hlm. 73.
[18]. David F. Hinson, op. cit. hlm. 131.
[19]. S.M. Siahaan, op. cit., hlm. 10,11.
[20]. David F. Hinson, op. cit. hlm. 131.
[21]. A. van Deursen, Purbakala Alkitab, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1982, hlm. 110.
[22].Th. C. Vriezen, op. cit., hlm., 83-84.
[23].Ibid., hlm., 85.
[24]. David F. Hinson, op. cit., hlm. 131.
[25]. A. van Deursen, op. cit., hlm. 110.
[26]. S.M. Siahaan, op. cit., hlm. 10-11. Lihat juga Th. C. Vrizen, op. cit., hlm. 77-78.
[27].Gerhard von Rad, op. cit., hlm. 244.
[28].Johs Pedersen, op. cit., hlm. 150.
[29].Gerhard von Rad, op. cit., hlm. 244
[30]. Johs Pedersen, op. cit., hlm. 157.
[31]. David F. Hinson, op. cit., hlm. 130.
[32]. Johs Pedersen, op. cit., hlm.
[33]. David F. Hinson, op. cit., hlm. 130.
[34]. Helmer Ringgren, Israelite Religion, London, SPCK, 1966, hlm. 208.
[35].Gerhard von Rad,op. cit., hlm. 262.
[36]. H.H. Rowley, op. cit., hlm. 77.
[37].David F. Hinson, op. cit., hlm. 130.
[38].S. Wismoady Wahono, op. cit., hlm. 193.
[39].Namun von Rad mempertanyakan, jika pemberian Torah adalah fungsi yang terpenting dari imam dalam periode sebelum pembuangan, mengapa hal itu hampir tidak pernah disebutkan kecuali dalam materi materi yang disusun oleh P.
[40].Gerhard von Rad, op. cit., hlm. 243.
[41].David F. Hinson, op. it., hlm. 131.
[42].H.H. Rowley, op. cit., hlm. 78,79.
[43]. Helmer Ringgren, op. cit., hlm. 205.
[44]. Th. C. Vriezen, op. cit., hlm. 83,84.
[45]. Helmer Ringgren, op. cit., hlm. 208,209.
[46]. Johs Pedersen, op. cit. hlm. 157,159.
[47]. S.M. Siahaan, op. cit., hlm. 12. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar