SIAPAKAH ALLAH ALKITAB ?
(Pdt.
Darman Halomoan Samosir, STh)
I.
Pendahuluan
Adanya
berbagai agama tentu melahirkan pandangan yang beragam tentang Allah. Masing-masing
agama akan berpegang pada kebenaran ajarannya tentang Allah yang mereka sembah.
Demikian halnya dengan kekristenan yang mendasarkan ajarannya pada Alkitab
sebagai Firman Tuhan.
Harus
diakui bahwa masih terdapat penolakan terhadap Alkitab sebagai Firman Allah
ataupun yang meragukan kebenaran yang ada dalam laporan Alkitab. Ini tentu
dapat mengaburkan pengenalan yang benar akan Allah dan juga melahirkan pandangan-pandangan
yang beragam tentang Allah.
Kebenaran
Alkitab sebagai Firman Allah telah teruji sepanjang masa, sehingga Alkitab
menjadi saluran bagi kita untuk mengenal siapa Allah. Tulisan ini adalah suatu
upaya untuk membantu menjawab siapakah Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab
itu.
II.
Alkitab
sebagai sumber untuk mengenal Allah
Orang
Kristen menerima kebenaran tentang keberadaan Allah dengan iman. Tetapi iman
itu bukanlah iman yang buta, melainkan yang berdasarkan bukti, dan bukti ini
ditemukan pertama-tama dalam Alkitab sebagai Firman Allah yang diinspirasikan,
dan kedua di dalam wahyu Allah tentang alam semesta[1].
Bruce
Milne mengatakan bahwa salah satu cara untuk menyatakan keyakinan bahwa Allah
sendirilah yang berbicara dalam Alkitab, adalah dengan menyebut Alkitab sebagai
“firman Allah”. Konsep ini terdapat di dalam Alkitab sendiri. Perjanjian Lama
berbicara tentang firman Allah yang kreatif (Kej 1:11; Mzm 33:6), hikmat Allah
yang dianggap berpribadi (Ams 8), yang adalah wahana aktivitas Allah (Yes 55:11). Yesus menyebut Perjanjian Lama
sebagai “firman Allah” (Mrk 7:13; Yoh 10:35) dan para rasul berbuat demikian
pula (misalnya Kis 6:4; Rm 9:6; Ibr 4:12). Istilah “Firman” juga dipakai untuk
Yesus sendiri (Yoh 1:1, 14; 1 Yoh 1:1; Why 19:13)[2].
Selanjutnya
ia menuliskan, bila dibicarakan bagaimana penyataan diri Allah telah
diungkapkan dalam kata-kata Alkitab, maka istilah yang dipakai ialah “ilham”
atau “pengilhaman”. Istilah ini menyebut kegiatan Roh Allah yang mengawasi para
penulis Alkitab, sehingga tulisan mereka menjadi salinan firman Allah kepada
manusia. Mengatakan bahwa Alkitab “diilhami” searti dengan mengatakan bahwa
Alkitab adalah penyataan diri Allah yang berwewenang. Sesungguhnya pengilhaman
ilahi memberi kepada Alkitab wewenangnya yang ditegaskan kembali oleh Roh
Kudus. Sebab itu semua alasan yang dipakai untuk membuktikan wewenang Alkitab
yang unik sebagai firman Allah, juga merupakan alasan yang mendukung
pengilhamannya[3].
Sepanjang
zaman, argumen-argumen rasional tertentu tentang keberadaan Allah terus
dikembangkan, dan memperoleh dasar pijakan dalam teologi[4]. Pemikir-pemikir
Kristen sepanjang masa sudah berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah dari
unsur-unsur dalam dunia ini. Usaha ini disebut “teologi alami” dan didasarkan
pada hukum-hukum logika, kenyataan dunia ini dan beberapa gagasan filsafat. Ada
versi kuat, yang berargumentasi bahwa keberadaan Allah secara logis dibutuhkan.
Ada juga versi lemah, yakni bahwa keberadaan Allah adalah mungkin, atau bahwa
argumen-argumen bahwa Ia tidak ada kurang kuat, atau bahwa hal percaya akan
keberadaan Allah bukan hal yang tidak masuk akal[5]. Beberapa
bukti atau argument tentang adanya Allah[6]:
Bukti ini ingin membuktikan bahwa Tuhan Allah ada, dengan menunjukkan
kepada adanya pengertian tentang Tuhan. Tiap orang memiliki “pengertian tentang
Tuhan”, maka Tuhan tentu ada.
Rumusan
bukti kosmologis adalah: segala yang ada memiliki suatu sebab. Bukti ini sering
juga disebut bukti kausalitas.
Rumusan bukti teleologis adalah: Oleh karena di dalam seluruh kosmos ada
tata tertib, suatu harmoni, suatu keselarasan dan suatu tujuan, maka harus ada
suatu zat yang sadar, yang menentukan tujuan itu telebih dahulu. Bahwa musim
datang pada waktunya, tiap makhluk mendapat pemeliharaan masing-masing dan
sebagainya, menunjukkan bahwa ada Allah yang menjadikan dan mengatur semuanya
itu.
Bukti ini mengemukakan, bahwa pada segala orang ada kesadaran tentang
kesusilaan, yaitu pengertian mengenai yang baik dan yang jahat. Dari mana
asalnya itu, jika tidak ada yang memberitakannya? Ini adalah pekerjaan Tuhan
Allah.
III.
Penyangkalan
Keberadaan Allah
Walaupun
telah banyak dikemukakan bukti tentang keberadaan Allah tetapi menurut Louis
Berkhof[11], itu
tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada orang yang menyangkal keberadaan
Allah, juga tidak berarti bahwa tidak ada sejumlah besar orang-orang yang
tinggal di negara-negara Kristen yang menyangkal keberadaan Allah sebagaimana
yang Ia wahyukan di dalam Alkitab, Allah yang keberadaan dan kesadaran diri-Nya
sepenuhnya bergantung pada diri-Nya sendiri yang sempurna kekal, yang
mengerjakan segala sesuatu menurut rencana yang telah lebih dulu Ia tetapkan.
1.
Penyangkalan Mutlak atas Keberadaan Allah
Walaupun terdapat berbagai bukti untuk mendukung tentang adanya Allah,
pada kenyataannya ada orang-orang yang menyangkal keberadaan Allah. Ini
dikaitkan dengan ateis yang dapat dibagi ke dalam dua jenis, ateis praktis dan
ateis teoritis. Ateis praktis adalah
orang-orang yang tidak bertuhan, yang dalam hidup sehari-harinya tidak
mengindahkan Tuhan, tetapi hidup seolah-olah Tuhan itu ada. Ateis teoritis
lebih bersifat intelektual dan mendasarkan penyangkalannya atas suatu proses
pemikiran atau argumen yang rasional[12].
Ateisme teoritis biasanya berakar pada beberapa teori ilmiah atau filsafat.
2.
Konsep-konsep salah masa kini tentang Allah mencakup
penyangkalan atas Allah yang Benar. Ada sejumlah konsep salah tentang Allah pada
masa kini, yang mencakup penyangkalan dari konsep theistic tentang Allah,
diantaranya:
- Suatu Allah yang imanen dan bukan suatu pribadi imanen
- Suatu Allah yang terbatas dan berpribadi
- Allah adalah personifikasi dari ide abstrak semata
IV.
Allah
Alkitab adalah Allah Israel yang menyatakan diriNya dalam berbagai aspek
Pengenalan
kita akan Allah Alkitab tidak terlepas dari sejarah kehidupan suatu bangsa yang
terdapat di dalam laporan Alkitab, yaitu Israel. Peristiwa penciptaan,
pemangggilan dan perjanjian Allah dengan nenek moyang Israel mempunyai hubungan
yang penting dengan lahirnya Israel sebagai umat Tuhan dengan keluaran dari
Mesir sebagai dasarnya. Menurut C. Barth, pokok tentang Keluaran dari Mesir itu
mendapat tempatnya yang demikian penting, sebab justru Keluaran inilah yang
meletakkan dasar berdirinya Israel sebagai “umat TUHAN”. Memang di samping
Keluaran ini ada juga lain-lain pokok kepercayaan, lain-lain perbuatan Allah
yang dikatakan memainkan peranan yang sama. Dasar berdirinya umat Israel diletakkan
juga oleh Pemilihan para bapa leluhur, oleh Penyataan Allah di gunung Sinai,
oleh Pemberian tanah Kanaan, malah – menurut beberapa nats Perjanjian Lama yang
agak jarang (Ul 32;10-12; Hos 9:10; Yer 31:2-3) – juga oleh Pembimbingan Israel
di padang gurun; dan Penciptaan langit dan bumi pun secara tidak langsung
ditujukan kepada kelahiran umat itu. Namun demikian, pokok Keluaran ini tidak
dapat disangkal mempunyai semacam “priorita” atau keutamaan mutlak terhadap
pokok-pokok lainnya[13].
Dapat
dikatakan bahwa Allah Alkitab adalah Allah Israel tidak terjadi begitu saja
tetapi melalui suatu proses yang sudah dipersiapkan terutama sejak dari pemanggilan
dan perjanjian Tuhan kepada nenek moyang Israel Abraham, Ishak dan Yakub.
Penyataan Tuhan tentang siapa dirinya kepada Israel selalu berhubungan dengan
Abraham, Ishak dan Yakub, bahkan sebagai dasar bagi Allah untuk mendengar
seruan umat Israel di Mesir, ”Allah
mendengar mereka mengerang, lalu mengingat kepada perjanjian-Nya kepada
Abraham, Ishak dan Yakub” (Kel 2:24). Demikian halnya ketika Tuhan
menampakkan diri-Nya kepada Musa, Tuhan memperkenalkan diri sebagai Allah
Abraham, Ishak dan Yakub (Kel 3:6).
Kepada
Abraham, Ishak dan Yakub Allah telah menampakkan diri dalam karakter dan sifat
El Shaddai; tetapi kepada Israel, Ia akan menyatakan diri sebagai Tuhan (Kel
6:2) dengan membebaskan Israel dan memimpinnya ke negeri yang telah Ia janjikan
untuk memberikannya kepada para bapak
leluhur (Kel 6:7; 33:1). Semua perbuatan ilahi ini dapat dimasukkan dalam satu
konsep: itu karena Ia “ingat” akan perjanjian-Nya (Kel 6:4). Perjanjian Sinai
secara teologi dan secara historis merupakan suatu kesinambungan dari janji
Allah kepada Abraham[14].
Demikian
halnya sebutan yang diberikan kepada Israel dalam rencana pembebasan menunjukkan
suatu hubungan yang erat antara Allah dan Israel. Israel sebagai pilihan Allah
nyata dalam sebutan itu. Pertama, Israel sebagai “umat” Allah. Sebutan ini
dinyatakan ketika Allah menampakkan diri-Nya kepada Musa di dalam semak yang
menyala, suatu persitiwa yang mengawali rencana pembebasan Israel, “… Aku telah memperhatikan dengan sungguh
kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir …“ (Kel 3: 7).
Kedua,
Israel sebagai “anak” Allah, “anak sulung” Allah. Hubungan Allah dan Israel
adalah seperti bapa dan anak. Allah sebagai Bapa dan Israel sebagai Anak. Ini
terlihat dari apa yang diperintahkan Tuhan untuk disampaikan Musa kepada
Firaun, “Maka engkau harus berkata kepada
Firaun: Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung”
(Kel 4:22). Sebutan sebagai anak sulung adalah bagian integral dari panggilan
Allah dan tindakan-Nya membebaskan Israel dari Mesir. Kedudukan Israel sebagai
anak menunjukkan suatu hubungan: Israel adalah anak Yahweh, tetapi bukanlah
semata-mata dalam arti warga negara suatu bangsa. Bahasa Ibrani ben, “anak laki-laki” dapat difahami
dalam berbagai konteks. Akan tetapi dalam hal ini, itu berarti hubungan
kekeluargaan: suatu bangsa yang merupakan keluarga Allah. Israel bukanlah
keluarga dalam arti diangkat atau semata-mata suatu kesatuan berdasarkan etnik,
politik atau sosial, sebaliknya, Israel adalah suatu keluarga yang dibentuk,
diselamatkan, dan dilindungi oleh Allah[15].
Ketiga,
Israel sebagai “harta kesayangan” Allah, “Jadi
sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada
perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara
segala bangsa, ...” (Kel 19:5). Sebutan ini merupakan sesuatu yang
menakjubkan yang membuat Israel begitu berharga di antara bangsa-bangsa lain.
Tetapi hal itu bukan bersumber dari Israel tetapi dari Allah semata. Nilai Israel
berasal dari kasih dan sayang Allah bagi Israel. Israel menjadi harta
milik-Nya. Israel akan menjadi harta khusus Allah yang dipisahkan untuk suatu
maksud tertentu.
Allah
memilih Israel bukan tanpa sebab, tetapi dengan berbagai alasan sebagaimana yang
dikatakan oleh Robert Crossley[16],
pertama, karena Ia telah mengikat dirinya dalam suatu janji untuk melakukannya
(Kej 15); kedua, sebab Ia mengasihi bangsa yang jadi budak ini, walaupun pada
bangsa ini sebenarnya tidak ada unsur yang membuatnya patut dikasihi ataupun
diindahkan; ketiga, sebab Ia ingin memakai mereka sebagai alat untuk menyatakan
diriNya sebagai Allah Juruselamat dunia.
Hal
ini didukung oleh kenyataan bahwa Alkitab dengan tegas menyatakan tiada jalan
dari pihak manusia kepada Tuhan Allah. Dari Alkitab kita dapat mengetahui bahwa
mula-mula bukan Israel yang mencari Tuhan Allah, melainkan sebaliknya, Tuhan
Allahlah yang mencari Israel dan yang memperkenalkan atau menyatakan diri-Nya
kepada Israel. Dengan karya-karya-Nya yang besar di dalam sejarah umat Israel
Tuhan Allah telah menyatakan diri-Nya atau memperkenalkan diriNya kepada
umat-Nya. Semuanya itu demi kelepasan dan kepentingan Israel. Bahwa Israel
mengenal Allahnya, hal itu bukan karena Israel mempergunakan akalnya untuk
menjelajah alam semesta, juga bukan karena Israel menyelami lubuk hatinya,
melainkan karena Tuhan Allah memperkenalkan atau menyatakan diri-Nya kepada
Israel[17].
Dalam
perjalanan sejarah Israel, Allah menjadi pusat kepercayaan Israel di antara
bangsa-bangsa yang percaya kepada beberapa tuhan dan dewa tetapi bukan kepada
Allah Israel. Ini sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Darwin Lumbantobing[18] bahwa
ketika umat Israel telah mengenal Allah melalui penyataan diri Allah sebagai
pencipta, pemelihara dan penyelamat, maka bentuk pengenalan, pemahaman dan
kepercayaan umat Israel terhadap Allah selalu bersifat theosentris. Artinya, God is
the center – Allah adalah pusat kepercayaan. Dengan dasar pemahaman
theosentris tersebut, Allah dirumuskan sebagai Allah yang esa (Ul 6:4). Sejak
itu, credo umat Israel selalu menekankan keesaan Allah. hal itu merupakan suatu
sikap teologis Israel merespon keberadaaan dan kepercayaan agama dan
kepercayaan bangsa-bangsa lain yang ada di sekitar mereka, yang semuanya
menganut paham politeistis – percaya terhadap beberapa tuhan dan dewa. Umat
Israel yang menganut paham monoteistis – yang percaya bahwa hanya ada satu
Allah – selalu memahami bangsa-bangsa lain yang menganut politeistis sebagai
bangsa-bangsa kafir, bangsa yang menyimpang dari nilai-nilai keberagamaan yang
benar.
Dalam
terang seluruh kesaksian Alkitab, Allah Israel adalah Allah yang hidup, Allah
yang menyatakan diri-Nya sebagai pribadi. Dan sebagai Allah yang demikian Ia
mempunyai nama sendiri yang dapat digunakan oleh umat-Nya untuk menyapa-Nya,
untuk memanggil dan berseru kepada-Nya[19].
Inilah yang menunjukkan suatu hubungan yang erat antara Allah dengan umat-Nya
Israel, suatu hubungan khusus karena TUHAN adalah Allah Israel sebagaimana yang
Ia katakan kepada Israel, “... Akulah TUHAN, Allahmu…”[20]
Beberapa
aspek penyataan Allah Israel yang dapat dilihat di dalam Alkitab.
1.
Allah Israel: Allah Sang Pencipta
Allah
sebagai Pencipta dapat dijumpai dalam laporan-laporan yang terdapat dalam
Pentateukh. Pentateukh dimulai dengan suatu penjelasan mengenai Allah sebagai
Pencipta langit dan bumi (Kej 1:1), dan diakhiri dengan rujukan kepada Allah
sebagai Bapa dan Pencipta Israel (Ul 32:6, 15)[21].
Menurut C. Barth, bagi umat Israel, peristiwa penciptaan dunia ini tidaklah
semata-mata merupakan suatu pokok pengetahuan yang penting dan berharga, tetapi
lebih-lebih merupakan suatu pokok kebanggaan, penghiburan dan pengakuan
percaya. Umat Israel percaya dan mengaku
bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi, artinya: peristiwa ini merupakan
alas dan sendi yang teguh, tempat berdiri yang tak goyang, sekalipun di waktu
segala-galanya mau jatuh[22].
Penciptaan
adalah salah satu peristiwa yang harus dihubungkan dengan peristiwa pokok
lainnya untuk dapat mengenal Allah. Hal ini sejalan dengan Robert Davidson yang
mengatakan bahwa apabila kita mulai
dengan Allah Sang Pencipta, janganlah kiranya mengandaikan bahwa iman Alkitab
dimulai dengan spekulasi mengenai penciptaan dunia. Apa yang hendak dikatakan
Alkitab mengenai Allah bersumber pada beberapa rentetan peristiwa di dalam
sejarah manusia[23]. Selanjutnya
ia menuliskan bahwa di dalam berbicara mengenai Allah Sang Pencipta, Alkitab
tidak bermaksud untuk menarik perhatian kita pada suatu Allah yang sekali
peristiwa, “pada mulanya”, telah memperlihatkan kuasa penciptaan-Nya. Allah
kitab suci bukanlah seorang insinyur surgawi yang setelah menemukan mekanisme
rumit yang bernama dunia dan menggerakkannya, lalu mundur dan membiarkan
mekanisme tersebut bergerak sendiri. Ciptaan ini bukanlah suatu peristiwa yang
telah terjadi di masa lalu, tetapi karya Tuhan yang sedang berlangsung terus
menerus. Segala sesuatu yang sekarang ada tergantung dan memberi kesaksian akan
Allah, Sang Pencipta yang selalu hadir (bnd Mzm 104)[24]. Alkitab
berbicara mengenai Allah yang berada di luar dunia oleh karena Dialah
penciptanya, namun selalu hadir secara kreatif di dalam dunia yang pada mulanya
telah diciptakan-Nya[25].
2.
Allah Israel: Allah Abraham, Ishak dan Yakub.
Kitab-kitab
Perjanjian Lama membenarkan bahwa pemilihan para bapa leluhur Israel sudah lama
termasuk dalam rentetan pokok-pokok kepercayaan umat Israel. Bahwa umat itu
“berasal” daripada Abraham, Ishak dan Yakub, hal ini tidaklah semata-mata
merupakan bahan pengetahuan sejarah, dan tidaklah semata-mata menjadi suatu
fakta dari masa lampau yang selayaknya diperingati.
Dari
Kel 3:15 dapat diketahui, bahwa YAHWEH yang mengutus Musa melepaskan Israel,
adalah Allah nenek moyang Israel, yaitu Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah
Yakub. Dengan para nenek moyang ini Tuhan Allah telah membuat perjanjian bahwa
Ia akan menjadikan keturunan para nenek moyang itu menjadi besar dan akan
diberi tanah Kanaan sebagai tanah pusakanya. Sekarang Tuhan Allah akan memenuhi
segala janji-Nya, yang kira-kira empat abad yang lalu telah diberikan kepada
para nenek moyang tadi. Tuhan Allah yang di dalam hidup para nenek moyang
Israel telah berkenan menjadi Sekutu Israel, dengan membuat perjanjian dengan
Israel, menyatakan dan memperkenalkan diri-Nya kepada Israel, menemui Israel
dan berjanji akan melepaskan Isral dari tanah perhambaan. Dengan ini TUHAN
menyatakan, bahwa Ia berkenan juga menjadi Sekutu Israel. Tuhan Allah akan
memihak Israel dan akan menjadikan Israel sekutu-Nya. Jadi dapat dikatakan,
bahwa nama Tuhan Allah yang kekal abadi, hakikat-Nya adalah “menjadi Sekutu
Israel” atau “Allah perjanjian”. Menurut Harun Hadiwijono, disinilah letak
perbedaan yang besar sekali di antara ajaran Alkitab dengan ajaran-ajaran agama
yang lain[26]. Dengan
ini dapat kita katakan bahwa ungkapan Allah Abraham, Ishak dan Yakub
menunjukkan bahwa Allah yang diberitakan dalam Alkitab bukanlah Allah yang
asing bagi Israel. Ia adalah Allah yang menyatakan diri-Nya dalam sejarah
Israel. Ia adalah Allah yang telah menyatakan diri sebagai Allah umat-Nya
Israel, Allah yang telah memilih Israel sebagai umat-Nya sesuai dengan
perjanjian-Nya (bnd Ul 26:17; Yer 31:33).
3. Allah
Israel: Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus
Harus
diakui bahwa pernyataan ini mendapatkan kesulitan untuk diterima sebagai satu kebenaran
mutlak apabila dikaitkan dengan kepercayaan agama lain dan penolakan terhadap
Yesus sebagai Allah pada zaman Perjanjian Baru[27]
dan juga mereka yang belum percaya hingga saat ini. Namun menurut kesaksian
Alkitab, Allah telah menyatakan diri dalam kedatangan Yesus Kristus ke dunia
ini. Percaya kepada Yesus Kristus dikerjakan dalam hati manusia oleh Allah
sendiri, yaitu Roh Allah, Roh Kudus. Penyataan Allah berarti, bahwa Allah telah
menyatakan diri sendiri dalam kedatangan Yesus, orang Nazaret itu, dan bahwa
Roh Kudus menyatakan juga kepada kita kini, bahwa Yesus ini adalah Sang
Kristus, Kebenaran yang dari Allah[28].
Apabila kita mau berjumpa dengan Allah, maka haruslah kita memandang kepada
manusia Yesus orang Nazaret; percaya kepada Allah berarti menyambut Yesus;
sebab … Allah telah menjadi manusia. Firman Allah telah menjadi manusia dalam
munculnya Yesus Kristus (Yoh 1:14). Firman itu telah ada pada mulaNya, firman
itu bersama-sama dengan Allah, Firman itu adalah Allah (Yoh 1:1). Siapa yang
mau mendengarkan Firman Allah, ia harus mendengarkan, malah memandang kepada Yesus.
Dan walaupun Tuhan telah menjadi manusia, tetaplah Ia Tuhan: kami sudah melihat
kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal
Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran (Yoh 1: 14). Nama Yesus berarti
Yahweh menolong yang serentak menunjukkan kepada kita hubungan yang
langsung dengan sejarah serta bahasa bangsa Israel: Yesus orang Nazaret itu
adalah seorang Yahudi yang hidup pada suatu waktu tertentu dan dalam lingkungan
tertentu[29].
Pengakuan
bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan menitikberatkan keilahian Kristus dan
menegaskan sekali lagi bahwa Ia sungguh-sungguh Allah. Nyatalah sejak semula
Gereja Kristen mengikrarkan keesaan Yesus Kristus dengan Allah Bapa, Allahnya
orang Israel.[30] Dengan
ini dapat dikatakan bahwa di dalam diri Yesus Kristus kita dapat mengenal Allah
Israel karena Ia ada di dalam Bapa, dan Bapa di dalam Dia (bnd Yoh 14:10). Di
dalam Yesus, Allah Abraham, Ishak dan Yakub bertindak (Kis 3:13). Di dalam
Yesus, Allah Israel adalah Allah yang universal (Flp 2:10-11).
V.
Kesimpulan
Dari
antara banyak bangsa, Israel menjadi pilihan Allah Alkitab. Pemilihan Israel
adalah unik namun tidak terlepas dari perjanjian Allah dengan nenek moyang
Israel: Abraham, Ishak dan Yakub. Berdasarkan perjanjian itu Israel menjadi
umat Allah dan Yahweh menjadi Allah Israel. Allah Alkitab adalah Allah yang
bertindak dalam sejarah kehidupan bangsa Israel. Melalui bangsa Israel, Allah
Alkitab melaksanakan rencana-Nya untuk keselamatan dunia secara universal, dan
Allah Israel menjadi Allah kita.
Daftar Pustaka
1. Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003
2. C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004
3. Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Pematangsiantar
, L-SAPA, 2007
4. Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, Jakarta, BPK Gunung
Mulia, 2001
5. G.C. van Niftrik – B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 1995
6. Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia
7. Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh, Malang, Gandum Mas, 2004
8. J.L.Ch.Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia,
2008
9. Louis Berkhof, Teologi Sistematika, vol. 1, Doktrin Allah, Jakarta, Lembaga
Reformed Injili Indonesia, 1993
10. Robert Crossley, Tritunggal Yang Esa, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF,
2005
11. Robert Davidson, Alkitab Berbicara, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001
12. Walter C. Kaiser, Jr, Teologi Perjanjian Lama, Malang, Gandum
Mas, 2004.
[1]. Keberadaan Allah dapat dikenal, diketahui dan
dipahami melalui penyataan diri-Nya. Penyataan diri Allah dapat dibagi dalam
dua peristiwa besar yaitu pertama yang disebut dengan penyataan umum (revelatio generalis) seperti melalui
penciptaan, peristiwa-peritiwa alam, dan kedua adalah penyataan khusus (revelatio spesialis) di dalam diri Yesus
Kristus. Lihat Darwin Lumbantobing, Teologi
di Pasar Bebas, Pematangsiantar , L-SAPA, 2007, hlm. 136.
[3]. Ibid., hlm. 54.
[4]. Sebagian
dari argumen ini pada hakikatnya sudah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles,
dan sebagian lain ditambahkan dalam zaman modern. Louis Berkhof, Teologi Sistematika, vol. 1, Doktrin
Allah, Jakarta, Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993, hlm. 21.
[5]. Bruce Milne op. cit., hlm. 78.
[6]. Lihat
Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta , BPK Gunung Mulia,
hlm. 74-77. Paparan tentang bukti lainnya dapat dilihat pada Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat,
Jakarta , BPK
Gunung Mulia, 2001, hlm 59. Di antaranya adalah bukti henologis, bukti
etnologis, bukti eudemologis. Dapat juga dibandingkan dengan apa yang diuraikan
oleh Bruce Milne dan Louis Berkhof.
[7]. Louis
Berkhof, op. cit., hlm. 21. Argumen
tentang ini dikemukakan oleh Anselmus, Descartes, Samuel Clarke. Anselmus
berpendapat bahwa manusia mempunyai ide tentang adanya suatu keberadaan yang
sempurna secara mutlak; bahwa keberadaan adalah suatu sifat dari kesempurnaan;
dan bahwa sebab itu satu keberadaan yang sempurna mutlak harus ada.
[8]. Bruce Milne, op. cit., hlm. 79. Pernyataan klasik tentang pandangan ini
diberikan oleh Aquinas, yang menegaskan bahwa keberadaan dunia memerlukan oknum
tertinggi yang menyebabkan
keberadaannya itu.
[9]. Ibid.,
hlm.79. Pernyataan klasik tentang pandangan ini disampaikan oleh Paley.
[10].Ibid., hlm. 80. Pernyataan klasik dari
pandangan ini diberikan oleh Kant, yang mengatakan bahwa Allah adalah
“landasan” kehidupan moral, yaitu kepercayaan dahulu yang mengakibatkan
perasaan akan kewajiban moral tanpa syarat.
[11].Lih.
Louis Berkhof, op. cit., hlm. 13-20
[12].Ibid., hlm. 14-15. Ada tiga jenis
ateisme teoritis menurut Prof. Flint sebagaimana dikutip oleh Louis Berkhof, yaitu ateisme dogmatis yang sama
sekali menolak adanya Keberadaan yang Ilahi; ateisme skeptis, yang meragukan
kemampuan akal manusia dalam menentukan apakah Tuhan ada atau tidak, dan
terakhir ateisme kritis, yang berpendapat bahwa tidak ada bukti yang dapat sah
tentang keberadaan Allah. Ketiga jenis ateisme teoritis ini sering berjalan
seiring, akan tetapi bahkan yang paling sederhana dari mereka pun sungguh-sungguh menyatakan segala
kepercayaan kepada Tuhan adalah sebuah khayal.
[15]. Ibid., hlm. 139.
[16]. Robert
Crossley, Tritunggal Yang Esa, Jakarta , Yayasan
Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005, hlm.
14-15.
[17]. Harun
Hadiwijono, op. cit., hlm., 37.
[18]. Darwin
Lumbantobing, op. cit., hlm. 137.
[19].
J.L.Ch.Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari
Iman Kristen, Jakarta ,
BPK Gunung Mulia, 2008, hlm. 19.
[20].
Lihat Kel 20:2.
[22].
C. Barth, op. cit., hlm. 26.
[24]. Ibid., hlm. 6.
[25]. Ibid. hlm. 8.
[26].
Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 84,
85.
[27].
Seperti Farisi dan Saduki.
[28].G.C.
van Niftrik – B.J. Boland, Dogmatika
Masa Kini, Jakarta ,
BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 58-59.
[29].Ibid., hlm. 187-188.
[30].Ibid., hlm. 223
Tidak ada komentar:
Posting Komentar