Jumat, 18 Maret 2016

Allah Alkitab


SIAPAKAH ALLAH ALKITAB ?
(Pdt. Darman Halomoan Samosir, STh)

I.                   Pendahuluan
Adanya berbagai agama tentu melahirkan pandangan yang beragam tentang Allah. Masing-masing agama akan berpegang pada kebenaran ajarannya tentang Allah yang mereka sembah. Demikian halnya dengan kekristenan yang mendasarkan ajarannya pada Alkitab sebagai Firman Tuhan.
Harus diakui bahwa masih terdapat penolakan terhadap Alkitab sebagai Firman Allah ataupun yang meragukan kebenaran yang ada dalam laporan Alkitab. Ini tentu dapat mengaburkan pengenalan yang benar akan Allah dan juga melahirkan pandangan-pandangan yang beragam tentang Allah.
Kebenaran Alkitab sebagai Firman Allah telah teruji sepanjang masa, sehingga Alkitab menjadi saluran bagi kita untuk mengenal siapa Allah. Tulisan ini adalah suatu upaya untuk membantu menjawab siapakah Allah yang dinyatakan di dalam Alkitab itu.

II.                Alkitab sebagai sumber untuk mengenal Allah  
Orang Kristen menerima kebenaran tentang keberadaan Allah dengan iman. Tetapi iman itu bukanlah iman yang buta, melainkan yang berdasarkan bukti, dan bukti ini ditemukan pertama-tama dalam Alkitab sebagai Firman Allah yang diinspirasikan, dan kedua di dalam wahyu Allah tentang alam semesta[1].
Bruce Milne mengatakan bahwa salah satu cara untuk menyatakan keyakinan bahwa Allah sendirilah yang berbicara dalam Alkitab, adalah dengan menyebut Alkitab sebagai “firman Allah”. Konsep ini terdapat di dalam Alkitab sendiri. Perjanjian Lama berbicara tentang firman Allah yang kreatif (Kej 1:11; Mzm 33:6), hikmat Allah yang dianggap berpribadi (Ams 8), yang adalah wahana aktivitas Allah  (Yes 55:11). Yesus menyebut Perjanjian Lama sebagai “firman Allah” (Mrk 7:13; Yoh 10:35) dan para rasul berbuat demikian pula (misalnya Kis 6:4; Rm 9:6; Ibr 4:12). Istilah “Firman” juga dipakai untuk Yesus sendiri (Yoh 1:1, 14; 1 Yoh 1:1; Why 19:13)[2].
Selanjutnya ia menuliskan, bila dibicarakan bagaimana penyataan diri Allah telah diungkapkan dalam kata-kata Alkitab, maka istilah yang dipakai ialah “ilham” atau “pengilhaman”. Istilah ini menyebut kegiatan Roh Allah yang mengawasi para penulis Alkitab, sehingga tulisan mereka menjadi salinan firman Allah kepada manusia. Mengatakan bahwa Alkitab “diilhami” searti dengan mengatakan bahwa Alkitab adalah penyataan diri Allah yang berwewenang. Sesungguhnya pengilhaman ilahi memberi kepada Alkitab wewenangnya yang ditegaskan kembali oleh Roh Kudus. Sebab itu semua alasan yang dipakai untuk membuktikan wewenang Alkitab yang unik sebagai firman Allah, juga merupakan alasan yang mendukung pengilhamannya[3].
Sepanjang zaman, argumen-argumen rasional tertentu tentang keberadaan Allah terus dikembangkan, dan memperoleh dasar pijakan dalam teologi[4]. Pemikir-pemikir Kristen sepanjang masa sudah berusaha untuk membuktikan keberadaan Allah dari unsur-unsur dalam dunia ini. Usaha ini disebut “teologi alami” dan didasarkan pada hukum-hukum logika, kenyataan dunia ini dan beberapa gagasan filsafat. Ada versi kuat, yang berargumentasi bahwa keberadaan Allah secara logis dibutuhkan. Ada juga versi lemah, yakni bahwa keberadaan Allah adalah mungkin, atau bahwa argumen-argumen bahwa Ia tidak ada kurang kuat, atau bahwa hal percaya akan keberadaan Allah bukan hal yang tidak masuk akal[5]. Beberapa bukti atau argument tentang adanya Allah[6]:
1.      Bukti ontologis[7]
      Bukti ini ingin membuktikan bahwa Tuhan Allah ada, dengan menunjukkan kepada adanya pengertian tentang Tuhan. Tiap orang memiliki “pengertian tentang Tuhan”, maka Tuhan tentu ada.
2.      Bukti kosmologis[8]
      Rumusan bukti kosmologis adalah: segala yang ada memiliki suatu sebab. Bukti ini sering juga disebut bukti kausalitas.
3.      Bukti teleologis[9]
       Rumusan bukti teleologis adalah: Oleh karena di dalam seluruh kosmos ada tata tertib, suatu harmoni, suatu keselarasan dan suatu tujuan, maka harus ada suatu zat yang sadar, yang menentukan tujuan itu telebih dahulu. Bahwa musim datang pada waktunya, tiap makhluk mendapat pemeliharaan masing-masing dan sebagainya, menunjukkan bahwa ada Allah yang menjadikan dan mengatur semuanya itu.
4.      Bukti Moril[10]
       Bukti ini mengemukakan, bahwa pada segala orang ada kesadaran tentang kesusilaan, yaitu pengertian mengenai yang baik dan yang jahat. Dari mana asalnya itu, jika tidak ada yang memberitakannya? Ini adalah pekerjaan Tuhan Allah.

III.             Penyangkalan Keberadaan Allah
Walaupun telah banyak dikemukakan bukti tentang keberadaan Allah tetapi menurut Louis Berkhof[11], itu tidak berarti bahwa sama sekali tidak ada orang yang menyangkal keberadaan Allah, juga tidak berarti bahwa tidak ada sejumlah besar orang-orang yang tinggal di negara-negara Kristen yang menyangkal keberadaan Allah sebagaimana yang Ia wahyukan di dalam Alkitab, Allah yang keberadaan dan kesadaran diri-Nya sepenuhnya bergantung pada diri-Nya sendiri yang sempurna kekal, yang mengerjakan segala sesuatu menurut rencana yang telah lebih dulu Ia tetapkan.
1.      Penyangkalan Mutlak atas Keberadaan Allah
         Walaupun terdapat berbagai bukti untuk mendukung tentang adanya Allah, pada kenyataannya ada orang-orang yang menyangkal keberadaan Allah. Ini dikaitkan dengan ateis yang dapat dibagi ke dalam dua jenis, ateis praktis dan ateis teoritis. Ateis praktis  adalah orang-orang yang tidak bertuhan, yang dalam hidup sehari-harinya tidak mengindahkan Tuhan, tetapi hidup seolah-olah Tuhan itu ada. Ateis teoritis lebih bersifat intelektual dan mendasarkan penyangkalannya atas suatu proses pemikiran atau argumen yang rasional[12]. Ateisme teoritis biasanya berakar pada beberapa teori ilmiah atau filsafat.
2.      Konsep-konsep salah masa kini tentang Allah mencakup penyangkalan atas Allah yang Benar. Ada sejumlah konsep salah tentang Allah pada masa kini, yang mencakup penyangkalan dari konsep theistic tentang Allah, diantaranya:
  1.        Suatu Allah yang imanen dan bukan suatu pribadi imanen
  2.        Suatu Allah yang terbatas dan berpribadi
  3.        Allah adalah personifikasi dari ide abstrak semata

IV.             Allah Alkitab adalah Allah Israel yang menyatakan diriNya dalam berbagai aspek
Pengenalan kita akan Allah Alkitab tidak terlepas dari sejarah kehidupan suatu bangsa yang terdapat di dalam laporan Alkitab, yaitu Israel. Peristiwa penciptaan, pemangggilan dan perjanjian Allah dengan nenek moyang Israel mempunyai hubungan yang penting dengan lahirnya Israel sebagai umat Tuhan dengan keluaran dari Mesir sebagai dasarnya. Menurut C. Barth, pokok tentang Keluaran dari Mesir itu mendapat tempatnya yang demikian penting, sebab justru Keluaran inilah yang meletakkan dasar berdirinya Israel sebagai “umat TUHAN”. Memang di samping Keluaran ini ada juga lain-lain pokok kepercayaan, lain-lain perbuatan Allah yang dikatakan memainkan peranan yang sama. Dasar berdirinya umat Israel diletakkan juga oleh Pemilihan para bapa leluhur, oleh Penyataan Allah di gunung Sinai, oleh Pemberian tanah Kanaan, malah – menurut beberapa nats Perjanjian Lama yang agak jarang (Ul 32;10-12; Hos 9:10; Yer 31:2-3) – juga oleh Pembimbingan Israel di padang gurun; dan Penciptaan langit dan bumi pun secara tidak langsung ditujukan kepada kelahiran umat itu. Namun demikian, pokok Keluaran ini tidak dapat disangkal mempunyai semacam “priorita” atau keutamaan mutlak terhadap pokok-pokok lainnya[13].
Dapat dikatakan bahwa Allah Alkitab adalah Allah Israel tidak terjadi begitu saja tetapi melalui suatu proses yang sudah dipersiapkan terutama sejak dari pemanggilan dan perjanjian Tuhan kepada nenek moyang Israel Abraham, Ishak dan Yakub. Penyataan Tuhan tentang siapa dirinya kepada Israel selalu berhubungan dengan Abraham, Ishak dan Yakub, bahkan sebagai dasar bagi Allah untuk mendengar seruan umat Israel di Mesir, ”Allah mendengar mereka mengerang, lalu mengingat kepada perjanjian-Nya kepada Abraham, Ishak dan Yakub” (Kel 2:24). Demikian halnya ketika Tuhan menampakkan diri-Nya kepada Musa, Tuhan memperkenalkan diri sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub (Kel 3:6).
Kepada Abraham, Ishak dan Yakub Allah telah menampakkan diri dalam karakter dan sifat El Shaddai; tetapi kepada Israel, Ia akan menyatakan diri sebagai Tuhan (Kel 6:2) dengan membebaskan Israel dan memimpinnya ke negeri yang telah Ia janjikan untuk memberikannya kepada  para bapak leluhur (Kel 6:7; 33:1). Semua perbuatan ilahi ini dapat dimasukkan dalam satu konsep: itu karena Ia “ingat” akan perjanjian-Nya (Kel 6:4). Perjanjian Sinai secara teologi dan secara historis merupakan suatu kesinambungan dari janji Allah kepada Abraham[14].
Demikian halnya sebutan yang diberikan kepada Israel dalam rencana pembebasan menunjukkan suatu hubungan yang erat antara Allah dan Israel. Israel sebagai pilihan Allah nyata dalam sebutan itu. Pertama, Israel sebagai “umat” Allah. Sebutan ini dinyatakan ketika Allah menampakkan diri-Nya kepada Musa di dalam semak yang menyala, suatu persitiwa yang mengawali rencana pembebasan Israel, “… Aku telah memperhatikan dengan sungguh kesengsaraan umat-Ku di tanah Mesir …“ (Kel 3: 7).
Kedua, Israel sebagai “anak” Allah, “anak sulung” Allah. Hubungan Allah dan Israel adalah seperti bapa dan anak. Allah sebagai Bapa dan Israel sebagai Anak. Ini terlihat dari apa yang diperintahkan Tuhan untuk disampaikan Musa kepada Firaun, “Maka engkau harus berkata kepada Firaun: Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anak-Ku, anak-Ku yang sulung” (Kel 4:22). Sebutan sebagai anak sulung adalah bagian integral dari panggilan Allah dan tindakan-Nya membebaskan Israel dari Mesir. Kedudukan Israel sebagai anak menunjukkan suatu hubungan: Israel adalah anak Yahweh, tetapi bukanlah semata-mata dalam arti warga negara suatu bangsa. Bahasa Ibrani ben, “anak laki-laki” dapat difahami dalam berbagai konteks. Akan tetapi dalam hal ini, itu berarti hubungan kekeluargaan: suatu bangsa yang merupakan keluarga Allah. Israel bukanlah keluarga dalam arti diangkat atau semata-mata suatu kesatuan berdasarkan etnik, politik atau sosial, sebaliknya, Israel adalah suatu keluarga yang dibentuk, diselamatkan, dan dilindungi oleh Allah[15].
Ketiga, Israel sebagai “harta kesayangan” Allah, “Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku, maka kamu akan menjadi harta kesayangan-Ku sendiri dari antara segala bangsa, ...” (Kel 19:5). Sebutan ini merupakan sesuatu yang menakjubkan yang membuat Israel begitu berharga di antara bangsa-bangsa lain. Tetapi hal itu bukan bersumber dari Israel tetapi dari Allah semata. Nilai Israel berasal dari kasih dan sayang Allah bagi Israel. Israel menjadi harta milik-Nya. Israel akan menjadi harta khusus Allah yang dipisahkan untuk suatu maksud tertentu.
Allah memilih Israel bukan tanpa sebab, tetapi dengan berbagai alasan sebagaimana yang dikatakan oleh Robert Crossley[16], pertama, karena Ia telah mengikat dirinya dalam suatu janji untuk melakukannya (Kej 15); kedua, sebab Ia mengasihi bangsa yang jadi budak ini, walaupun pada bangsa ini sebenarnya tidak ada unsur yang membuatnya patut dikasihi ataupun diindahkan; ketiga, sebab Ia ingin memakai mereka sebagai alat untuk menyatakan diriNya sebagai Allah Juruselamat dunia.
Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa Alkitab dengan tegas menyatakan tiada jalan dari pihak manusia kepada Tuhan Allah. Dari Alkitab kita dapat mengetahui bahwa mula-mula bukan Israel yang mencari Tuhan Allah, melainkan sebaliknya, Tuhan Allahlah yang mencari Israel dan yang memperkenalkan atau menyatakan diri-Nya kepada Israel. Dengan karya-karya-Nya yang besar di dalam sejarah umat Israel Tuhan Allah telah menyatakan diri-Nya atau memperkenalkan diriNya kepada umat-Nya. Semuanya itu demi kelepasan dan kepentingan Israel. Bahwa Israel mengenal Allahnya, hal itu bukan karena Israel mempergunakan akalnya untuk menjelajah alam semesta, juga bukan karena Israel menyelami lubuk hatinya, melainkan karena Tuhan Allah memperkenalkan atau menyatakan diri-Nya kepada Israel[17].
Dalam perjalanan sejarah Israel, Allah menjadi pusat kepercayaan Israel di antara bangsa-bangsa yang percaya kepada beberapa tuhan dan dewa tetapi bukan kepada Allah Israel. Ini sejalan dengan apa yang diuraikan oleh Darwin Lumbantobing[18] bahwa ketika umat Israel telah mengenal Allah melalui penyataan diri Allah sebagai pencipta, pemelihara dan penyelamat, maka bentuk pengenalan, pemahaman dan kepercayaan umat Israel terhadap Allah selalu bersifat theosentris. Artinya, God is the center – Allah adalah pusat kepercayaan. Dengan dasar pemahaman theosentris tersebut, Allah dirumuskan sebagai Allah yang esa (Ul 6:4). Sejak itu, credo umat Israel selalu menekankan keesaan Allah. hal itu merupakan suatu sikap teologis Israel merespon keberadaaan dan kepercayaan agama dan kepercayaan bangsa-bangsa lain yang ada di sekitar mereka, yang semuanya menganut paham politeistis – percaya terhadap beberapa tuhan dan dewa. Umat Israel yang menganut paham monoteistis – yang percaya bahwa hanya ada satu Allah – selalu memahami bangsa-bangsa lain yang menganut politeistis sebagai bangsa-bangsa kafir, bangsa yang menyimpang dari nilai-nilai keberagamaan yang benar.
Dalam terang seluruh kesaksian Alkitab, Allah Israel adalah Allah yang hidup, Allah yang menyatakan diri-Nya sebagai pribadi. Dan sebagai Allah yang demikian Ia mempunyai nama sendiri yang dapat digunakan oleh umat-Nya untuk menyapa-Nya, untuk memanggil dan berseru kepada-Nya[19]. Inilah yang menunjukkan suatu hubungan yang erat antara Allah dengan umat-Nya Israel, suatu hubungan khusus karena TUHAN adalah Allah Israel sebagaimana yang Ia katakan kepada Israel, “... Akulah TUHAN, Allahmu…”[20]
Beberapa aspek penyataan Allah Israel yang dapat dilihat di dalam Alkitab.
1.      Allah Israel: Allah Sang Pencipta
Allah sebagai Pencipta dapat dijumpai dalam laporan-laporan yang terdapat dalam Pentateukh. Pentateukh dimulai dengan suatu penjelasan mengenai Allah sebagai Pencipta langit dan bumi (Kej 1:1), dan diakhiri dengan rujukan kepada Allah sebagai Bapa dan Pencipta Israel (Ul 32:6, 15)[21]. Menurut C. Barth, bagi umat Israel, peristiwa penciptaan dunia ini tidaklah semata-mata merupakan suatu pokok pengetahuan yang penting dan berharga, tetapi lebih-lebih merupakan suatu pokok kebanggaan, penghiburan dan pengakuan percaya. Umat Israel percaya  dan mengaku bahwa Allah telah menciptakan langit dan bumi, artinya: peristiwa ini merupakan alas dan sendi yang teguh, tempat berdiri yang tak goyang, sekalipun di waktu segala-galanya mau jatuh[22].
Penciptaan adalah salah satu peristiwa yang harus dihubungkan dengan peristiwa pokok lainnya untuk dapat mengenal Allah. Hal ini sejalan dengan Robert Davidson yang  mengatakan bahwa apabila kita mulai dengan Allah Sang Pencipta, janganlah kiranya mengandaikan bahwa iman Alkitab dimulai dengan spekulasi mengenai penciptaan dunia. Apa yang hendak dikatakan Alkitab mengenai Allah bersumber pada beberapa rentetan peristiwa di dalam sejarah manusia[23]. Selanjutnya ia menuliskan bahwa di dalam berbicara mengenai Allah Sang Pencipta, Alkitab tidak bermaksud untuk menarik perhatian kita pada suatu Allah yang sekali peristiwa, “pada mulanya”, telah memperlihatkan kuasa penciptaan-Nya. Allah kitab suci bukanlah seorang insinyur surgawi yang setelah menemukan mekanisme rumit yang bernama dunia dan menggerakkannya, lalu mundur dan membiarkan mekanisme tersebut bergerak sendiri. Ciptaan ini bukanlah suatu peristiwa yang telah terjadi di masa lalu, tetapi karya Tuhan yang sedang berlangsung terus menerus. Segala sesuatu yang sekarang ada tergantung dan memberi kesaksian akan Allah, Sang Pencipta yang selalu hadir (bnd Mzm 104)[24]. Alkitab berbicara mengenai Allah yang berada di luar dunia oleh karena Dialah penciptanya, namun selalu hadir secara kreatif di dalam dunia yang pada mulanya telah diciptakan-Nya[25].
2.      Allah Israel: Allah Abraham, Ishak dan Yakub.
Kitab-kitab Perjanjian Lama membenarkan bahwa pemilihan para bapa leluhur Israel sudah lama termasuk dalam rentetan pokok-pokok kepercayaan umat Israel. Bahwa umat itu “berasal” daripada Abraham, Ishak dan Yakub, hal ini tidaklah semata-mata merupakan bahan pengetahuan sejarah, dan tidaklah semata-mata menjadi suatu fakta dari masa lampau yang selayaknya diperingati.
Dari Kel 3:15 dapat diketahui, bahwa YAHWEH yang mengutus Musa melepaskan Israel, adalah Allah nenek moyang Israel, yaitu Allah Abraham, Allah Ishak dan Allah Yakub. Dengan para nenek moyang ini Tuhan Allah telah membuat perjanjian bahwa Ia akan menjadikan keturunan para nenek moyang itu menjadi besar dan akan diberi tanah Kanaan sebagai tanah pusakanya. Sekarang Tuhan Allah akan memenuhi segala janji-Nya, yang kira-kira empat abad yang lalu telah diberikan kepada para nenek moyang tadi. Tuhan Allah yang di dalam hidup para nenek moyang Israel telah berkenan menjadi Sekutu Israel, dengan membuat perjanjian dengan Israel, menyatakan dan memperkenalkan diri-Nya kepada Israel, menemui Israel dan berjanji akan melepaskan Isral dari tanah perhambaan. Dengan ini TUHAN menyatakan, bahwa Ia berkenan juga menjadi Sekutu Israel. Tuhan Allah akan memihak Israel dan akan menjadikan Israel sekutu-Nya. Jadi dapat dikatakan, bahwa nama Tuhan Allah yang kekal abadi, hakikat-Nya adalah “menjadi Sekutu Israel” atau “Allah perjanjian”. Menurut Harun Hadiwijono, disinilah letak perbedaan yang besar sekali di antara ajaran Alkitab dengan ajaran-ajaran agama yang lain[26]. Dengan ini dapat kita katakan bahwa ungkapan Allah Abraham, Ishak dan Yakub menunjukkan bahwa Allah yang diberitakan dalam Alkitab bukanlah Allah yang asing bagi Israel. Ia adalah Allah yang menyatakan diri-Nya dalam sejarah Israel. Ia adalah Allah yang telah menyatakan diri sebagai Allah umat-Nya Israel, Allah yang telah memilih Israel sebagai umat-Nya sesuai dengan perjanjian-Nya (bnd Ul 26:17; Yer 31:33).
3.      Allah Israel: Allah yang menyatakan diri-Nya di dalam Yesus Kristus
Harus diakui bahwa pernyataan ini mendapatkan kesulitan untuk diterima sebagai satu kebenaran mutlak apabila dikaitkan dengan kepercayaan agama lain dan penolakan terhadap Yesus sebagai Allah pada zaman Perjanjian Baru[27] dan juga mereka yang belum percaya hingga saat ini. Namun menurut kesaksian Alkitab, Allah telah menyatakan diri dalam kedatangan Yesus Kristus ke dunia ini. Percaya kepada Yesus Kristus dikerjakan dalam hati manusia oleh Allah sendiri, yaitu Roh Allah, Roh Kudus. Penyataan Allah berarti, bahwa Allah telah menyatakan diri sendiri dalam kedatangan Yesus, orang Nazaret itu, dan bahwa Roh Kudus menyatakan juga kepada kita kini, bahwa Yesus ini adalah Sang Kristus, Kebenaran yang dari Allah[28]. Apabila kita mau berjumpa dengan Allah, maka haruslah kita memandang kepada manusia Yesus orang Nazaret; percaya kepada Allah berarti menyambut Yesus; sebab … Allah telah menjadi manusia. Firman Allah telah menjadi manusia dalam munculnya Yesus Kristus (Yoh 1:14). Firman itu telah ada pada mulaNya, firman itu bersama-sama dengan Allah, Firman itu adalah Allah (Yoh 1:1). Siapa yang mau mendengarkan Firman Allah, ia harus mendengarkan, malah memandang kepada Yesus. Dan walaupun Tuhan telah menjadi manusia, tetaplah Ia Tuhan: kami sudah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran (Yoh 1: 14). Nama Yesus  berarti  Yahweh menolong yang serentak menunjukkan kepada kita hubungan yang langsung dengan sejarah serta bahasa bangsa Israel: Yesus orang Nazaret itu adalah seorang Yahudi yang hidup pada suatu waktu tertentu dan dalam lingkungan tertentu[29].
Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan menitikberatkan keilahian Kristus dan menegaskan sekali lagi bahwa Ia sungguh-sungguh Allah. Nyatalah sejak semula Gereja Kristen mengikrarkan keesaan Yesus Kristus dengan Allah Bapa, Allahnya orang Israel.[30] Dengan ini dapat dikatakan bahwa di dalam diri Yesus Kristus kita dapat mengenal Allah Israel karena Ia ada di dalam Bapa, dan Bapa di dalam Dia (bnd Yoh 14:10). Di dalam Yesus, Allah Abraham, Ishak dan Yakub bertindak (Kis 3:13). Di dalam Yesus, Allah Israel adalah Allah yang universal (Flp 2:10-11).

V.                Kesimpulan
Dari antara banyak bangsa, Israel menjadi pilihan Allah Alkitab. Pemilihan Israel adalah unik namun tidak terlepas dari perjanjian Allah dengan nenek moyang Israel: Abraham, Ishak dan Yakub. Berdasarkan perjanjian itu Israel menjadi umat Allah dan Yahweh menjadi Allah Israel. Allah Alkitab adalah Allah yang bertindak dalam sejarah kehidupan bangsa Israel. Melalui bangsa Israel, Allah Alkitab melaksanakan rencana-Nya untuk keselamatan dunia secara universal, dan Allah Israel menjadi Allah kita.

           Daftar Pustaka
1.      Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003
2.      C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004
3.      Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Pematangsiantar , L-SAPA, 2007
4.      Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001
5.      G.C. van Niftrik – B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1995
6.      Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia
7.      Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh, Malang, Gandum Mas, 2004
8.      J.L.Ch.Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2008
9.      Louis Berkhof, Teologi Sistematika, vol. 1, Doktrin Allah, Jakarta, Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993
10.  Robert Crossley, Tritunggal Yang Esa, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005
11.  Robert Davidson, Alkitab Berbicara, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001
12.  Walter C. Kaiser, Jr, Teologi Perjanjian Lama, Malang, Gandum Mas, 2004.


[1].  Keberadaan Allah dapat dikenal, diketahui dan dipahami melalui penyataan diri-Nya. Penyataan diri Allah dapat dibagi dalam dua peristiwa besar yaitu pertama yang disebut dengan penyataan umum (revelatio generalis) seperti melalui penciptaan, peristiwa-peritiwa alam, dan kedua adalah penyataan khusus (revelatio spesialis) di dalam diri Yesus Kristus. Lihat Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, Pematangsiantar , L-SAPA, 2007, hlm. 136.
[2].  Bruce Milne, Mengenali Kebenaran, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2003, hlm. 48.
[3]. Ibid., hlm. 54.
[4]. Sebagian dari argumen ini pada hakikatnya sudah dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, dan sebagian lain ditambahkan dalam zaman modern. Louis Berkhof, Teologi Sistematika, vol. 1, Doktrin Allah, Jakarta, Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993, hlm. 21.
[5].  Bruce Milne op. cit., hlm. 78.
[6]. Lihat Harun Hadiwijono, Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, hlm. 74-77. Paparan tentang bukti lainnya dapat dilihat pada Dieter Becker, Pedoman Dogmatika: Suatu Kompendium Singkat, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, hlm 59. Di antaranya adalah bukti henologis, bukti etnologis, bukti eudemologis. Dapat juga dibandingkan dengan apa yang diuraikan oleh Bruce Milne dan Louis Berkhof.
[7]. Louis Berkhof, op. cit., hlm. 21. Argumen tentang ini dikemukakan oleh Anselmus, Descartes, Samuel Clarke. Anselmus berpendapat bahwa manusia mempunyai ide tentang adanya suatu keberadaan yang sempurna secara mutlak; bahwa keberadaan adalah suatu sifat dari kesempurnaan; dan bahwa sebab itu satu keberadaan yang sempurna mutlak harus ada.
[8].  Bruce Milne, op. cit., hlm. 79. Pernyataan klasik tentang pandangan ini diberikan oleh Aquinas, yang menegaskan bahwa keberadaan dunia memerlukan oknum tertinggi yang  menyebabkan keberadaannya  itu.
[9].  Ibid., hlm.79. Pernyataan klasik tentang pandangan ini disampaikan oleh Paley.
[10].Ibid., hlm. 80. Pernyataan klasik dari pandangan ini diberikan oleh Kant, yang mengatakan bahwa Allah adalah “landasan” kehidupan moral, yaitu kepercayaan dahulu yang mengakibatkan perasaan akan kewajiban moral tanpa syarat.
[11].Lih. Louis Berkhof, op. cit., hlm. 13-20
[12].Ibid., hlm. 14-15. Ada tiga jenis ateisme teoritis menurut Prof. Flint sebagaimana dikutip oleh Louis  Berkhof, yaitu ateisme dogmatis yang sama sekali menolak adanya Keberadaan yang Ilahi; ateisme skeptis, yang meragukan kemampuan akal manusia dalam menentukan apakah Tuhan ada atau tidak, dan terakhir ateisme kritis, yang berpendapat bahwa tidak ada bukti yang dapat sah tentang keberadaan Allah. Ketiga jenis ateisme teoritis ini sering berjalan seiring, akan tetapi bahkan yang paling sederhana dari mereka  pun sungguh-sungguh menyatakan segala kepercayaan kepada Tuhan adalah sebuah khayal.
[13].C. Barth, Theologia Perjanjian Lama 1, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 131.
[14]. Walter C. Kaiser, Jr, Teologi Perjanjian Lama, Malang, Gandum Mas, 2004, hlm. 138.
[15]. Ibid., hlm. 139.
[16]. Robert Crossley, Tritunggal Yang Esa, Jakarta, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, 2005, hlm.  14-15.
[17]. Harun Hadiwijono, op. cit., hlm., 37.
[18]. Darwin Lumbantobing, op. cit., hlm. 137.
[19]. J.L.Ch.Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2008, hlm.    19. 
[20]. Lihat Kel 20:2.
[21]. Herbert Wolf, Pengenalan Pentateukh, Malang, Gandum Mas, 2004, hlm. 24.
[22]. C. Barth, op. cit., hlm. 26.
[23]. Robert Davidson, Alkitab Berbicara, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2001, hlm. 2.
[24]. Ibid., hlm. 6.
[25]. Ibid. hlm. 8.
[26]. Harun Hadiwijono, op.cit., hlm. 84, 85.
[27]. Seperti Farisi dan Saduki.
[28].G.C. van Niftrik – B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1995, hlm. 58-59.
[29].Ibid., hlm. 187-188.
[30].Ibid., hlm. 223

Tidak ada komentar:

Posting Komentar