Kamis, 17 Maret 2016

Misi Kebenaran dalam Politik


MISI KEBENARAN DALAM POLITIK
(Pdt. Darman H. Samosir, STh)
I.                   Pendahuluan
Gereja sebagai Tubuh Kristus terpanggil untuk memberlakukan seluruh hidupnya sebagai suatu kesaksian (bnd. Kis 2:32; 2 Tim 1:8). Oleh karena itu pekerjaan misi tidak terlepas dari kehidupan gereja. Itu menjadi indikasi gereja yang hidup. Hidup bangunnya gereja dapat digambarkan di dalam pekerjaan misi yang diembannya dari Sang Kepala Gereja (Mat 28:19-20; Mrk 16:15-16). Salah satu muatan misi itu adalah memberitakan dan menyatakan kebenaran Allah di tengah dunia ini. Ini menjadi tugas dan tanggungjawab gereja sepanjang masa di seluruh aspek kehiduan.
Akan tetapi banyak orang mempertanyakan apakah masih berguna untuk memberitahukan Injil; apakah masih perlu untuk memberitakan kasih Allah sekuat tenaga; apakah tidak lebih baik kalau kita berdiam diri saja dan menunggu sampai Tuhan menyatakan keputusan-Nya kepada manusia jika keselamatan kita bergantung sepenuhnya kepada rencana Tuhan atau pemilihan oleh-Nya? Jika diperhadapakan dengan fakta bahwa salah satu pilar gereja dan sekaligus menjadi indikasi gereja yang hidup adalah gereja yang bersaksi, anggapan di atas adalah salah paham yang besar. Pemilihan oleh Tuhan adalah pemilihan untuk mengabdi kepada sesama manusia dan kepada dunia di sekitar kita. Setiap orang yang percaya kepada Yesus Kristus terpanggil untuk memberlakukan seluruh kehidupannya sebagai suatu kesaksian tentang Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat manusia (Kis 2:32). Oleh karena itu, gereja tidak cukup hanya bersekutu dan melayani, tetapi juga harus bersaksi dan memberitakan Injil Kristus kepada semua bangsa[1].
Sebagaimana ternyata bahwa kesaksian gereja adalah untuk semua bangsa bahkan seluruh  dunia, itu berarti kesaksian mencakup seluruh aspek kehidupan. Jika politik adalah bagian dari kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat suatu bangsa dan negara, maka bidang politik adalah juga wilayah di mana misi perlu bekerja. Tetapi jika di perhadapkan dengan kenyataan bahwa banyak masyarakat bahkan gereja (orang Kristen) yang “alergi” terhadap politik karena politik itu cenderung dianggap “negatip” dan “kotor”, timbul pertanyaan: apakah misi itu perlu menyentuh sampai kepada ranah politik? Jika termasuk bagian dari misi, bagaimanakah gereja menyatakan kebenaran dalam politik? Inilah yang akan digali dalam tulisan ini.  
II.                Pemahaman tentang Misi
Istilah ‘misi’ berasal dari bahasa Latin missio, artinya pengutusan[2] atau amanat[3]. Istilah ini kemudian dapat berarti: pengiriman missionaries ke sebuah daerah tertentu; kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh missionaris-missionaris tersebut; wilayah geografis di mana para missionaris itu bekerja; lembaga yang mengutus para missionaris; dunia non-Kristen atau “lapangan misi”; pusat yang daripadanya para missionaris itu bekerja di “lapangan misi”; sebuah jemaat setempat tanpa pendeta yang menetap di situ dan masih tergantung pada dukungan dari sebuah jemaat yang lebih tua dan mapan; serangkaian pelayanan yang khusus dimaksudkan untuk memperdalam atau menyebarkan iman Kristen, biasanya di sebuah lingkungan yang nominal Kristen. Pengertian selanjutnya adalah: penyebaran iman; perluasan pemerintahan Allah; pertobatan orang-orang kafir; dan pendirian jemaat-jemaat baru[4].
Dalam Markus 3:13-15 dinyatakan bahwa Tuhan Yesus memanggil dan menetapkan 12 orang yang dikehendaki-Nya “untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil”. Amanat itu dikumandangkan lagi oleh Tuhan sesudah kebangkitan-Nya dari kematian (Mat 28:18-20; Kis 1:18). Selanjutnya Alkitab menyatakan bahwa amanat tersebut juga diberikan kepada murid-murid yang lain (Luk 10:1-12). Sedangkan dalam Yohanes 17:18,21, dalam doa-Nya, Tuhan Yesus   berkata, “Sama seperti Engkau telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke dalam dunia … agar dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”. Dan menurut 1 Petrus 2: 9 seluruh umat Tuhan juga menerima tugas atau amanat untuk “memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar bagi Dia”. Dengan demikian misi gereja pada hakikatnya adalah perpanjangan misi Kristus sendiri yaitu untuk membebaskan dan menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa dan hukumannya, serta pembinaan satu kehidupan yang baru, sesuai dengan Firman dan hukum-hukum Allah[5].
Untuk dapat memahami arti misi Kristiani, menurut Sutarno, kita harus bertolak dari pemahaman mengenai hakikat keberadaan gereja sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. Sebab misi gereja tidak dapat dilepaskan dari hakikat keberadaannya. Hakikat keberadaan gereja itu adalah: Gereja sebagai Tubuh Kristus (1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-6; Ef 1:23; 4:11-16); Gereja sebagai Umat/Bangsa Pilihan Allah (1 Pet 2:9-10); Gereja sebagai Bangunan (1 Kor 3:10-17); Gereja sebagai “Gladiator Rohani”. Dengan memahami hakikat keberadaan gereja ini, kita akan dapat memahami apa yang harus dilakukan oleh gereja sebagai tugas misinya, apa tujuan dari misi tersebut, serta cara-cara yang bagaimana yang boleh dilakukan[6].
Selanjutnya menurut Sutarno bahwa dari Matius 5:13-16 kita memahami bahwa hakikat dan tugas misi gereja sebagai “garam” dan “terang” serta “kota di atas gunung”. Ini memberi arti bahwa sebagai garam, terang, dan kota di atas gunung, gereja dalam keberadaan dan kehidupannya harus mampu memancarkan daya dan pengaruh yang positip terhadap lingkungannya, yaitu daya dan pengaruh karya penyelamatan dan pembaruan yang telah dikerjakan Kristus. Ini sama artinya dengan melaksanakan misi yang telah diamanatkan oleh Allah[7].
Menurut Newbigin misi Kristen menjadi petunjuk bagi sejarah dunia. Dengan memahami Injil sebagai petunjuk bagi sejarah, bagi sejarah universal dan dengan demikian bagi sejarah dari setiap orang maka dapat dikatakan bahwa misi Kristen kepada dunia adalah petunjuk bagi sejarah dalam arti ganda, yang dapat dicirikan sebagai memproklamasikan dan menggerakkan. Pada satu pihak, dengan memproklamasikan Kristus, misi Kristen kepada dunia menawarkan kepada semua orang kemungkinan untuk memahami apa yang sedang dilakukan Allah di dalam sejarah. Pada pihak lain, mendesak peristiwa-peristiwa ke arah tujuan akhirnya yang benar[8]. Dengan demikian misi Gereja bukanlah hanya suatu penafsiran tentang sejarah tetapi kekuatan yang membuat sejarah. Bahkan melalui misi Gereja, Allah membawa sejarah ke tujuannya, dan tujuan sejarah dapat dimengerti. Misi itu tidak hanya bersifat menyatakan atau mengumumkan; namun dia juga bersifat melakukan atau melaksanakan[9].
Namun menurut Newbigin ada dua konsep yang keliru tentang misi sekarang ini yang memecah persekutuan Kristen, yaitu: Pada satu pihak ada orang-orang yang menempatkan penekanan yang eksklusif atas pemenangan individu-individu kepada pertobatan, baptisan dan keanggotaan gereja; pertumbuhan jumlah dalam Gereja menjadi sasaran sentral dari misi. Tindakan untuk keadilan dan perdamaian di dalam dunia adalah masalah sekunder. Injil adalah mengenai perubahan manusia, tidak menyangkut perubahan-perubahan struktur. Pemberitaan Injil tentang keselamatan dari dosa dan penawaran kehidupan kekal adalah usaha yang paling utama dari Gereja. Pada pihak lain, ada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai tidak relevan atau keliru. Injil, menurut mereka adalah mengenai kerajaan Allah, pemerintahan Allah atas semua bangsa dan atas segala sesuatu. Inti pokok pengajaran Yesus adalah doa: “KerajaanMu datanglah; kehendakMu jadilah seperti di sorga demikian juga di atas bumi. Tanggung jawab yang sentral dari Gereja ditunjukkan oleh doa tersebut. Itu berarti berusaha untuk melakukan kehendak Allah akan kebenaran dan perdamaian dalam dunia ini. Suatu persekutuan Kristen yang menjadikan pembangunan dirinya sendiri sebagai tugasnya yang paling utama dapat berarti bertindak melawan kehendak Allah[10].
Akan tetapi pada kenyataannya orang percaya menerima dua mandat dari Yesus Kristus. Yang pertama mengacu pada pengutusan untuk memberitakan kabar baik keselamatan melalui Yesus Kristus; yang kedua memanggil orang Kristen untuk ikut serta secara bertanggungjawab dalam masyarakat manusia, termasuk berusaha demi kesejahteraan manusia dan keadilan[11]. Bersaksi atau memberitakan tentang kejuruselamatan Yesus berarti, pada satu sisi, memberitakan Injil atau Kabar Kesukaan mengenai kasih Tuhan yang menyelamatkan manusia, melalui dan oleh Kristus, serta pada sisi yang lain, mewujudkan kemanusiaan yang baru, melalui suatu kehidupan berdasarkan moralitas dan spiritualitas yang baru, oleh dan dalam Kristus, di mana syalom Tuhan berdasarkan kebenaran, keadilan dan kasih-Nya dinyatakan, sebagai tanda atau bukti dari terwujudnya dunia di mana ia hidup dan berada[12]. Dalam hal inilah kita dapat memahami misi itu sebagai tugas gereja dan orang percaya untuk menyatakan dan mewujudkan terang kebenaran Injil di seluruh segi kehidupan manusia sebagai perwujudan keselamatan yang dinyatakan oleh Allah di dalam Kristus untuk dunia ini.

III.             Pemahaman tentang Politik
Menurut J. Verkuyl, kata politik ada hubungannya dengan berbagai kata Yunani. Pertama-tama dengan kata polis. Di dalam bahasa Yunani kata polis berarti benteng, lalu berarti kota, kemudian berarti negara dan akhirnya berarti suatu bentuk negara tertentu, yakni demokrasi. Kata politik ada juga hubungannya dengan kata Yunani, politeia, yang bermacam-macam artinya; politeia dapat berarti penduduk atau warga negara, hak warga negara, kewarganegaraan, tetapi juga tata negara, bentuk pemerintahan. Oleh Plato kata itu telah dicap sebagai suatu terminus technicus (istilah) dengan tulisannya “Politeia”, yang menguraikan tentang prinsip-prinsip atau dasar negara, bentuk negara dan tindakan-tindakan kenegaraan. Selanjutnya di dalam sejarah dalam arti itulah kata politik diartikan[13].
Pengertian politik menurut Sutarno adalah pemikiran dan/atau perbuatan yang bersangkut paut dengan persoalan menjalankan dan mengatur kehidupan bersama sebagai masyarakat dan bangsa, melalui negara dan pemerintah sebagai alatnya yang utama. Sejalan dengan pengertian itu maka di dalam politik terkandung dua aspek utama, yaitu aspek idealisme di mana cita-cita dan keinginan mengenai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dikehendaki itu dirumuskan; dan aspek kekuasaan yang dengannya idealisme politik yang diinginkan itu diwujudkan[14].
Sementara menurut P.D. Latuihamallo, politik adalah cara bagaimana negara, masyarakat atau persekutuan hidup dapat ditata sehingga orang dapat hidup damai dan berkembang[15]. Sejalan dengan itu Eddy Kristiyanto mengatakan bahwa pada prinsipnya politik merupakan seni memanage (the art of managing), seni mengurus atau merawat negara dan pemerintahan dalam kaitannya dengan tanggungjawab untuk melayani rakyat. Di sini politik menyiratkan kebijakan terorganisasi yang diperlukan untuk mencapai tujuan hidup bersama, yakni bonum commune (kebaikan bersama) yang adil dan merata. Ini semua menunjukkan politik mestinya dijunjung tinggi sedemikian rupa sehingga menampakkan apa yang mau dicapai dengannya, juga jelas bagi siapa diperuntukkannya, sekaligus tanpa tolak ukur untuk menilai capaian politik. Begitu pentingnya fungsi dan peranan politik dalam hidup berkomunitas, sampai-sampai siapa pun yang mengkehendaki keselamatan maka berpolitik merupakan keniscayaan. Dengan meminjam istilah dalam perspektif teologi, Kristiyanto mengatakan: “politik adalah tanda dan sarana penyelamatan[16].
Masih banyak lagi pengertian-pengertian tentang politik seperti yang dalam kamus wikipedia[17]:
-          Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai defenisi yang berbeda mengenai hakikat politik dalam ilmu politik.
-          Politik adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan secara konstitusinal maupun non konstitusional.
Di samping itu politik juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, antara lain:
-          Politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
-          Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
-          Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
-          Politik adalah segala sesuatu tentang proses dan perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Sementara yang dimaksud dengan berpolitik adalah ikut serta atau berpartisipai dalam kehidupan politik. Dalam negara demokrasi, kehidupan politik menyangkut hidup dan kesejahteraan semua warga negara. Sebab itu, pada dasarnya berpolitik menjadi hak dan tanggung jawab semua warga negara. Partisipasi dalam kehidupan politik dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Orang dapat berpolitik “praktis”, yaitu ikut serta dalam usaha memperoleh kekuasaan politik. Hal itu dapat dilakukan baik bagi dirinya sendiri sebagai perseorangan atau atas nama partainya, atau sekurang-kurangnya membantu orang lain atau partai yang didukungnya memperoleh kekuasaan sesuai dengan aturan main yang berlaku dalam sistim politik yang ada. Politik praktis itu dapat berlanjut dalam lembaga-lembaga negara dan dapat juga berlangsung di luar lembaga-lembaga negara, terutama manakala lembaga-lembaga itu dipersepsikan sebagai tidak sewajarnya atau tidak sepenuhnya menyalurkan aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Mereka yang merasakan aspirasinya tidak tersalurkan tetap berhak untuk menyatakan atau mengungkapkannya. Mereka dapat berpolitik praktis di luar lembaga negara resmi, misalnya melalui aksi unjuk rasa secara damai.[18]
Berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya politik itu bernilai positip. Politik menjadi negatip dan kotor ketika di tangan orang-orang menyalahgunakan dan memakainya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya; yang memakainya hanya untuk memperoleh kekuasaan saja.

IV.             Pemahaman tentang Kebenaran
4.1.            Terminologi Alkitabiah
Di dalam Perjanjian Lama, kata yang digunakan untuk menerjemahkan kebenaran adalah tsedaqa hqdc.. Kata ini mempunyai aneka pengertian baik arti secara harafiah maupun rohani. Misalnya, hidup Yakub yang memenuhi syarat-syarat perjanjiannya untuk menggembalakan domba Laban disebut tsedaqa (Kej 30:33, kejujuranku). Musa yang membicarakan batu-batu timbangan yang betul (Im 19:36) atau utuh dan tepat (Ul 25:15); tuntutan supaya para hakim Israel menghakimi dengan pengadilan yang adil (Ul 16:18,20); kehendak Allah dan tindakan-tindakan yang diakibatkannya (Ul 32:4; Zef 3:5; Mzm 89:14); menggambarkan pemeliharaan Allah akan hidup manusia dan binatang (Mzm 36:7); menunjukkan perkataan Allah yang selalu benar dan memberitakan apa yang lurus (Ye 45:19). Tsedaqa kemudian menjabarkan ukuran susila yang dipakai Allah untuk mengukur tindak-tanduk manusia, secara khusus dibebankan kepada raja-raja (2 Sam 8:15; Yer 22:15b), tapi setiap orang benar juga diharapkan untuk melakukan tsedaqa (Mzm 119:121; Ams 1:3). Berhubungan dengan pemerintahan ilahi, keadilan dan kebenaran menunjuk khususnya pada hukuman (bnd. Kel 9:27; Hab 1:13; Ul 32:22). Dipakai untuk menunjukkan tindakan-tindakan Allah bagi orang-orang yang dianggap layak menerimanya (Hak 5:1); dihubungkan dengan penebusan (bnd Mzm 31:1; 103:17; 143:1; Yes 45:21); sebagai pemberian Allah kepada mereka yang percaya (Hab 2:4; Yes 45:24,25; 54:17; Yer 31:23); mempunyai arti ‘kebaikan’ terutama berkaitan dengan sikap umat yang telah menerima kasih karunia (Yes 1:17; Yer 22:16); menjadi suatu istilah yang berarti sedekah, memberi uang kepada orang miskin (Dan 4:27; Mzm 112:9). Dalam pengunaannya tsedaqa sering dihubungkan dengan misypat. Kedua istilah itu selalu digunakan bersamaan dan sepertinya mempunyai arti yang sinonim, yaitu keadilan dan kebenaran[19].
Di dalam Perjanjian Baru, kata yang diterjemahkan dengan kebenaran adalah dikaiosune. Kata ini juga dapat berarti ‘keadilan’ (2 Kor 6:7; 1 Tim 6:11; 2 Tim 2:22; Ibr 1:9; 2 Ptr 1:1); ‘kehendak Allah’ (Mat 3:5); ‘hidup keagamaan’ (Mat 5:20); ‘pembenaran’ (2 Kor 3:9); ‘perbuatan yang baik’ (Tit 3:5). Dikaiosune dapat berarti kebenaran karena menaati hukum Taurat dan kebenaran yang merupakan pemberian dari Tuhan[20]. Bagi Paulus, dikaiosune berada pada hubungan yang dekat kepada inti peristiwa keselamatan. Dalam persesuaian kepada tradisi Yahudi dan PL, Paulus melihat di dalam kebenaran itu bukan hanya suatu sifat etis Allah atau manusia, malah, dengan menyingung kepada manusia, kata itu berarti suatu karakteristik yang asasi yang mengijinkan seseorang  berada pada hubungan dengan Allah dan manusia[21]. Kata selanjutnya di dalam Perjanjian Baru yang berkaitan dengan kebenaran adalah aletheia, yang menunjuk kepada kebenaran secara budi. Dalam Perjanjian Baru, kata ini banyak dipengaruhi oleh kata Ibarani emet[22]. Kata ini diartikan sebagai truth. Nuansa pengertian aletheia dengan bentuknya yang lain adalah benar dalam pengertian dapat dipercayai, tetap, nyata, asli dan setia, mengatakan yang benar (Gal 4:16); sungguh-sungguh, tulus dalam hal kasih (Ep 4:15)[23].

4.2.            Pandangan Para Ahli
a.      Martin Luther
Bagi Luther kebenaran berpusat pada Kristus. Dengan itulah orang percaya diberi rahmat oleh Allah. Menurut Luther kebenaran itu ditujukan kepada orang percaya, sebagai ungkapan yang mendalam dari anugerah Allah[24]. Pandangan Luther tentang Kebenaran terkait dengan Doktrin Pembenaran. Doktrin pembenaran sejalan dengan doktrin tentang Yesus Kristus. Doktrin Yesus Kristus adalah esensi dari seluruh pengetahuan Kristen; yang adalah unsur yang menentukan dari Kekristenan yang membedakannya dari seluruh agama lainnya. Di dalamnya “terletak seluruh hikmat, keselamatan, dan berkat”.  Seluruh orang Kristen pasti bergantung pada doktrin ini. Doktrin pembenaran tidak lain adalah iman di dalam Kritus. Pembenaran bergantung pada iman kepada Kristus, didasari dan dibentuk hanya oleh iman kepada Kristus (bnd. Rm 4:1 dyb). Luther memahami pembenaran sebagai tindakan Allah dalam menghargai, menghubungkan, mengakui dengan adil, yaitu sebagai tindakan dengan mana Allah menilai seseorang dalam hubungan kepada-Nya. Hal ini terjadi karena Allah melihat manusia itu satu dengan Kristus. Oleh karena itu kebenaran yang diwariskan kepada orang berdosa bukanlah hasil dari dirinya sendiri tetapi milik Yesus Kristus. Luther dapat sekaligus mengatakan bahwa “kebenaran kita adalah kebenaran Kristus dan bahwa kebenaran kita terkandung dalam kemurahan hati Allah”[25].

b.   G. von Rad
Pandangan von Rad tentang kebenaran dapat dilihat dari pembahasan tentang tsedaqa. Menurut von Rad, tsedaqa adalah standar bukan hanya tentang hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan sesamanya, bahkan menjangkau hal-hal yang paling kecil, bahkan juga menjadi standar mengenai hubungan manusia dengan binatang-binatang dan lingkungan alamiahnya. Oleh karena itu von Rad mengatakan, “Tsedaqa dapat digambarkan sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan, sehingga atasnya seluruh kehidupan berjalan ketika kebenaran itu dilaksanakan selayaknya[26]
Menurut von Rad bukti kebenaran Yahweh diungkapkan dalam hukum atau perintah-Nya. Yahweh mengambil bagian dalam umat-Nya dan memberi bukti-bukti yang tegas tentang kebenaran-Nya; tetapi Ia juga mengeluarkan aturan-aturan hidup di mana hanya itu yang membuat manusia itu dapat hidup bersama-sama. Perintah-perintahnya bukan beberapa hukum yang sungguh-sungguh mutlak, tetapi hadiah yang murah hati yang menolong hidup secara tertib. Yahweh berada di tengah-tengah mereka sebagai tsedaqa. (bnd. Zef 3:5). Untuk semuanya itu, perintah-perintah dan aturan-aturan hidup persekutuan adalah hanya satu bagian dari tsadiq yang agung yang terus menerus Yahweh wariskan kepada Israel. Tindakan-tindakan besar dalam sejarah dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan yang menunjukkan keadilan Yahweh. Tetapi tsadiq Yahweh adalah sesuatu yang aktif tidak hanya dalam ruang lingkup sejarah, tetapi juga bekerja di tempat-tempat yang dapat kita sebut “the realm of nature” (seluruh alam kehidupan; bnd. Joel 2:23f). Selanjutnya dalam pandangan von Rad, raja dan kerajaan menjadi titik fokus mengenai kebenaran di dalam Perjanjian Lama. Karena sebagai pemimpin bangsa, raja dianggap sebagai penjamin dan pelindung dari segala sesuatu di negeri yang menciptakan kesetiaan di dalam hubungan persekutuan. Tetapi pada jabatan ini meskipun raja hanya sebagai mediator dan wali, raja bergantung pada fakta bahwa keadilan dan kebenaran diberikan kepadanya oleh Allah (Mzm 72:1)[27].

c.   David F. Hinson
Bagi Hinson kebenaran Allah menjadi bagian yang mempengaruhi sejarah karena atas dasar kebenaran, TUHAN akan menghentikan kejahatan, dan akan mendirikan kebenaran pada hari-Nya. Pada waktu itu akan ada kedamaian dan keadilan di bumi (Yes 65:21; Mi 4:4). Mereka yang menolak jalan TUHAN tidak akan pernah dapat mengganggu kehidupan masyarakat, dan membawa penderitaan dan ketidakadilan. Mereka akan menghadap pengadilan (Zef 1:15), ketika orang benar akan menerima perintah baru di bawah pemerintahan Allah (Yoel 2:32). Seluruh tindakan Allah di tengah-tengah manusia pada akhirnya membawa pada satu waktu di mana semua orang akan melayani TUHAN (Yes 65:17)[28].

d.   Donald Guthrie
Menurut Guthrie kebenaran Allah adalah dasar bagi seluruh rencana penyelamatan. Dalam PL, “kebenaran Allah” tidak hanya berarti bahwa Allah selalu bertindak dengan cara yang benar secara moral. Tetapi “kebenaran Allah” ini juga mencakup kenyataan bahwa Allah berindak dmei kepentingan umatNya pada waktu mereka ditindas secara tidak adil. Dalam PB, Paulus tidak mempertanyakan apakah Allah itu benar. Yang terutama baginya adalah penegasan bahwa kebenaran Allah telah dinyatakan (Rm 1:17; 3:21-22). Sementara di dalam Injil Matius, sebagaimana yang dicatat Guthrie dari Schrenk, istilah “kebenaran” mempunyai arti ‘persesuaian dengan kehendak Allah’. Oleh karena itu, jika apa yang dilakukan sesuai dengan kehendak Allah adalah kebenaran, maka kehendak itu sendiri harus bersifat kebenaran juga. Selanjutnya menurut Guthrie suatu segi yang penting dari kebenaran dan keadilan adalah murka-Nya. Murka Allah bukanlah suatu luapan kemarahan yang sama seperti kemarahan manusia, yaitu suatu luapan nafsu yang tak terkendali, tetapi merupakan penolakan dari kekudusan yang mutlak terhadap semua yang tidak kudus. Berdasarkan Roma 5:9, ‘murka Allah’ adalah suatu ungkapan penolakan terhadap semua yang berdosa[29].

4.3.            Kebenaran dalam praktek Politik
Dalam praktek politik ungkapan “Tidak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik” diamini begitu saja, seolah-olah menjadi “gaya hidup” dalam politik, bahkan credo seorang politisi. Hal ini tidak dapat dipungkiri bahkan menjadi suatu kebenaran di dalam praktek politik sejauh politik dipahami sebagai pergulatan untuk memperoleh kekuasaaan, di mana segala sesuatu bisa dipertaruhkan[30].
Politik dalam prakteknya cenderung menekankan ‘kecerdikan’ untuk memanfaatkan segala kemampuan untuk kekuasaan dengan dalil mempertahankan kepentingan negara. Ini ditunjukkan oleh pandangan Machiavelli. Menurut Machiavelli, ketrampilan dan kecerdikan mengunakan kekuasaan bertujuan untuk mempertahankan seluruh kepentingan negara. Dan segala tindakan dan perbuatan yang dilakukan demi kepentingan negara haruslah dibebaskan dari segala pertimbangan dan kepentingan lainnya. Tegasnya, penggunaan kekuasaan politik harus diseterilkan dari nilai-nilai etis, religius dan kultural. Machiavelli berpendapat bahwa kekuasaan politik harus benar-benar dipisahkan dari etika, religi dan kultur. Bagi Machiavelli, sang penguasa harus bertekad hanya menganut sistem nilai politik yang semata-mata tertuju bagi kepentingan negara, sedangkan sistem nilai-sistem nilai lainnya haruslah diabaikan. Machiavelli membangun suatu teori politik yang dikenal dengan istilah “kepentingan negara” (reason of state atau staatsraison). Dalam teori “kepentingan negara” Machiavelli, seluruh tindakan dan perbuatan yang bersifat kriminal, amoral, licik, jahat dan kejam yang dilakukan para penguasa, dapat dibenarkan[31].
Ini menunjukkan bahwa pada prakteknya, kebenaran dalam politik tidak mencerminkan kebenaran seperti yang diungkapkan di dalam Alkitab. Karena politik dalam prakteknya cenderung untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan maka muncul pemahaman bahwa kebenaran dalam praktek politik adalah kemampuan atau keberhasilan memanfaatkan segala sesuatu untuk mencapai tujuan dan mempertahankan kekuasaan tanpa mempertimbangkan tuntutan ajaran agama maupun kaidah-kaidah moral dan etis.

V.                Misi Kebenaran dalam Politik
5.1.            Landasan teologis berpolitik
Keterlibatan gereja dalam politik pada dasarnya tidak terlepas dari fakta bahwa gereja ada di dalam dunia dan terhubung dengan segala persoalan yang terjadi di sekitarnya seperti ekonomi, sosial, budaya dan politik dan yang lainnya. Dalam hal ini gereja tentu tidak dapat menutup diri atas segala persoalan-persoalan itu karena gereja juga ada untuk dunia ini. Sejalan dengan itu warga gereja adalah juga warga negara. Sebagai warga negara, warga gereja langsung atau tidak langsung tentu ikut terlibat di dalam segala proses berjalannya suatu negara, di mana politik adalah satu unsur utama di dalam proses keberlangsungan negara itu. Dengan demikian warga gereja tidak terlepas dari politik di mana dia berada sebagai warga negara suatu bangsa.
Kesadaran akan hal itu terlihat di dalam Dalil kelima Deklarasi Barmen (1943). Dalil kelima Deklarasi Barmen (1943) memperlihatkan gereja atau orang Kristen tidak terlepas dari persoalan politik di mana dia berada. Dalam dalil itu dikatakan bahwa Umat Kristen berada “di dunia yang belum diselamatkan”. Oleh karena itu di antara berbagai persoalan yang membebankan negara, tiada satu pun yang tidak kena mengena dengan gereja. Masyarakat warga negara senantiasa hidup sebagai Politeia (dari “polis”/negeri) yang mengenal badan pimpinan dan jabatan-jabatan tertentu, bentuk persekutuan dan pembagian kerja yang lazim. Dan sekalipun umat Kristen tidak meliputi semua orang, tetapi hanya mereka yang berpengakuan Kristen, gereja hadir sebagai “terang dunia”, biarpun jumlah anggotanya banyak atau sedikit, ia bertujuan untuk semua orang.  Di hadapan semua orang ia memberikan kesaksian tentang Yesus: Injil yang diberitakannya itu menyapa sekalian orang. Maksud dari kehadirannya ialah melayani seluruh umat manusia. Dalam 1 Timoteus 2:1-7, dikatakan bahwa Allah berkenan bila orang-orang Kristen itu hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan kehormatan, serta menghendaki agar semua orang diselamatkan dan memperoleh pengetahuan akan kebenaran; itu sebabnya ia berpesan pada kaum Kristen agar mereka berdoa untuk semua orang, khususnya untuk raja-raja, yaitu mereka yang di dalam lingkungan negara memegang jabatan-jabatan yang penuh dengan tanggung jawab. Dalam arti ini umat Kristen tidak lepas dari kegiatan politik, tetapi hidup secara politis. Dari situ boleh dan wajib kita menerangkan bahwa eksistensi umat Kristen secara hakiki bersifat politis[32].
Menjadi Kristen berarti menjadi pengikut-pengikut Kristus yang harus memberitakan (bersaksi) dan setia kepada ajaran-ajaran-Nya. Pada sisi lain, karena umat Kristen juga menjadi bagian integral dari masyarakat/bangsa di mana berada, maka umat Kristen juga untuk ikut bertanggungjawab terhadap kehidupan bersama seluruh masyarakat/bangsanya. Dengan kata lain, umat Kristen itu memiliki suatu kewarganegaraan rangkap: warga negara Kerajaan Allah dan dunia. Karenanya, ia juga mengemban tanggung jawab rangkap (bnd. Yoh 17:15-19; 1 Ptr 2:9; Kol 1:13). Kesaksian dan pelayanan Kristen di bidang politik harus kita pahami dan laksanakan dengan memperhatikan sifat rangkap yang menjadi hakikat keberadaan umat Kristen tersebut, serta konsekuensi-konsekuensinya[33].
Bagaimanapun juga untuk mengetahui landasan teologis dalam berpolitik harus dilihat dari apa yang disampaikan oleh Injil tentang karya Allah bagi dunia ini dan apa yang diperlihatkan oleh Yesus di dalam hidup dan pelayanan-Nya. Eddy Kristiyanto misalnya dengan tegas mengatakan bahwa semua agamawan sadar, bahwa Allah itu politis. Menurutnya jika orang mengeluarkan dari kitab-kitab suci agama kandungan dan makna politis, maka akan ditemukan bahwa “begitu banyak lobang” dalam kitab suci. Kandungan dan makna politis di sini adalah sikap Diri Allah yang berada di samping, mendampingi, menyertai. Mengingat Allah itu politis di hadapan kenyataan ciptaan-Nya. Maka segenap ciptaan (terutama manusia, yang adalah citra Allah sendiri), tidak ada pilihan lain. Manusia perlu bersikap politis. Tegasnya, bersikap politis merupakan sakramen, yakni tanda dan sarana yang mengantar pada pembebasan dan penyelamatan[34].
Demikian juga hidup dan pelayanan Yesus pada dasarnya tidak terlepas dari persoalan politis zaman itu. Di anatarnya dapat dilihat dari hukuman yang dituduhkan kepada Yesus. Menurut J.L.Ch. Abineno hukuman yang dijatuhkan atas Yesus adalah hukuman Romawi yang didasarkan atas tuduhan pemimpin-pemimpin Yahudi juga tulisan di bagian atas dari salib-Nya – “Yesus orang Nazaret, raja orang Yahudi” (Yoh 19:19) – memberi kesan, bahwa tuduhan-tuduhan pemimpin-pemimpin Yahudi itu adalah pertama-tama tuduhan yang bersifat politis. Kemudian dari penulis-penulis Injil dapat ditarik beberapa kesimpulan mengapa Yesus dijatuhi hukuman mati: Pertama, dari mulanya pengajaran Yesus bukan saja banyak mendapat perhatian, tetapi Ia juga banyak menimbulkan perlawanan dari orang-orang yang tidak menyukai-Nya. Kedua, pemberitaan-Nya tentang keadilan, yaitu keadilan yang harus “melebihi keadilan para ahli Taurat dan orang-orang Farisi”, sikap kritis-Nya terhadap peraturan-peraturan Torah, yang harus ditaati oleh tiap-tiap orang Yahudi, dan pergaulan-Nya dengan “orang-orang berdosa dan pemungut-pemungut cukai”, menyebabkan-Nya dimusuhi oleh pemimpin-pemimpin agama. Ketiga, penampilan-Nya – yang mula-mula mungkin banyak memberikan harapan kepada tokoh-tokoh politik yang revolusioner – sangat mengecewakan mereka dan menjauhkan mereka dari Dia. Keempat, pemberitaan-Nya tentang Kerajaan Allah, yang di dalam diri, perkataan dan perbuatan-Nya telah mendobrak masuk ke dalam dunia, membuat golongan aristokratis marah dan mencurigai-Nya[35]. Ini menunjukkan bahwa kehidupan Yesus tidak terlepas dari situasi poltik pada zamannya. Walapun Yesus tidak terlibat secara praktis dalam persoalan politik saat itu tetapi sikap, pengajaran, dan pelayanan-Nya mempengaruhi kondisi politik zaman itu. Kehidupan dan pelayanan Yesus ini menjadi teladan bagi gereja dalam menyatakan sikap politisnya di tengah-tengah dunia yang sarat dengan berbagai persoalan hidup.
Berkaitan dengan itu, Kristiyanto memahami bahwa keterlibatan awam dalam dunia politik merupakan pemenuhan panggilan untuk peduli pada persoalan dan cita-cita hidup bermasyarakat dan berbangsa. Bagi orang Kristen, terlibat dalam dunia politik merupakan rahmat istimewa, mengingat misteri ‘inkarnasi’ sendiri langsung berkaitan dengan hal tersebut. Ia mengatakan, ”Bukankah suatu pencerahan bagi kegelapan dunia ini ketika Allah menjadi manusia, Ia rela menjadi salah seorang anggota masyarakat warga? Kekotoran dan kehirukpikukan dunia ini tidak menjadikan-Nya miris dan apatis, tetapi justru sebaliknya”. Maka secara teologis keterlibatan para anggota Gereja dalam dunia politik mendapat dasar kokoh kuat pada misteri inkarnasi (bnd. Yoh 1:14)[36]. Selanjutnya menurut Kristiyanto sejujurnya para hierarki pun terlibat dalam politik. Akan tetapi istilah politik ini perlu dipahami bukan dalam artian sempit (stricto sensu), melainkan dalam arti luas (largo sensu), yakni arti utama dan sesungguhnya dari politik. Hierarki memang tidak berpolitik praktis, dan tetap memegang teguh ketetapan dan ajaran Gereja tentang politik, namun sikap, ajaran, dan karya para hierarki Gereja sudah sangat sering berdampak pada politik praktis[37].
Pada kenyataannya, orang-orang Kristen memang bertanggungjawab atas tindakan-tindakan politis yang terjadi. Ini berarti bahwa kita tidak bisa menjadi apolitis atau tidak terlibat secara politik, karena kita hidup di dalam dunia ciptaan Tuhan, maka kita ikut terlibat. Kalau kita mencoba bersikap pasif atau meremehkan apa yang sedang terjadi di sekitar kita, maka kita hanya dapat mengatakan bahwa kita menerima keadaan sebagaimana adanya sebagai keadaan yang memang dikehendaki oleh Tuhan. Bersikap pasif dalam politik berarti sama dengan sikap politik untuk menerima situasi yang berlangsung sebagaimana adanya. Dengan adanya dosa dan penderitaan dunia, sikap politik yang demikian hanya bisa dipandang sebagai suatu yang subkristiani, suatu pengingkaran dari apa yang Tuhan dan sesama harapkan untuk kita lakukan. Untuk menjadi orang Kristen yang sejati, kita harus berani memikul tanggung jawab, bertindak, mendorong, dan mendesak pemerintah untuk melaksanakan hukum Tuhan[38].
Perlu ditekankan dua pokok yang berkaitan dengan tanggungjawab khusus orang beragama. Kedua pokok itu, yang satu mengenai titik tolak tanggungjawab dan yang lain tidak langsung, yakni bentuk-bentuk kritik sosial tangungjawab. Tanpa tanggungjawab sosial dan politis itu, kita dan agama kita terancam menjadi agama borjuis, bukan mesianis. Sebab di sini yang dijadikan fokus bukan lagi berpikir tentang Yang-Ilahi, melainkan nilai-nilai luhur ajaran agama demi kehidupan yang lebih baik. Kegiatan keterlibatan manusia beragama sama sekali bukanlah kiprah “intelektual” yang borjuis. Keterlibatan itu seyogyanya bertumpu pada kenangan akan Dia yang peduli pada dunia, yang dicintainya secara total, berikut segenap keprihatinannya seperti penderitaan manusia dan segenap ciptaan-Nya. Maka jika gereja tetap adem ayam dan tenang-tenang saja di hadapan praktik-praktik ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, kemiskinan, dan proses pembusukan masyarakat berarti agama (gereja) sedang menggali kubur untuk dirinya sendiri dan sama sekali tidak relevan untuk kehidupan[39].
Oleh karena itu benarlah apa yang dikatakan oleh Eka Darmaputera. Menurutnya orang Kristen harus melibatkan diri dalam politik adalah karena tidak ada pilihan lain. Memilih untuk bersikap tidak mau tahu soal politik (=apolitis) pun adalah pilihan politis. Keterlibatan politik bukan hanya merupakan sebuah keharusan praktis, melainkan juga sebuah keharusan teologis, sebuah wujud dari ketaatan iman[40]. Persoalan partisipasi politik terkandung dalam pemahaman mengenai Injil. Injil bukan hanya keselamatan jiwa, tapi juga Injil kebenaran dan keadilan. Partisipasi politik dalam arti perjuangan untuk kebenaran dan keadilan adalah panggilan misioner gereja dan orang Kristen[41].
Di bawah ini beberapa dasar teologis alkitabiah keterlibatan orang Kristen dalam politik dapat dilihat dari apa yang diuraikan oleh Sutarno[42]:
-          Sebagai pengikut Kristus kita mengemban amanat untuk memberitakan/bersaksi tentang Kristus dan karya penyelamatan-Nya (bnd. 1 Ptr 2:9; Mat 28:18-20; Kis 1:8).
-          Penyelamatan Kristus meliputi kehidupan manusia seutuhnya: menyangkut aspek kehidupan rohaniah dan jasmaniah, dan mencakup semua bidang kehidupan (bnd. Luk 4:18,19; 7: 20-22). Kesaksian itu dilaksanakan baik dengan perkataan maupun perbuatan-perbuatan n yata (bn. Mat 4:23; 10:7,8). Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan upaya untuk “mendirikan tanda-tanda” dari penyelamatan Kristus secara visual dan dapat dirasakan secara nyata.
-          Alkitab mengajarkan kepada kita tentang kuasa dosa yang masih terus mengancam dan meracuni kehidupan manusia, dan bahwa tidak ada seorang mansuia pun yang bebas dari ancaman dan pencemaran dari kuasa dosa tersebut (Rm 3:9-18) sehingga memerlukan teguran dan pertobatan. Kita terpanggil untuk ikut bertanggung jawab di dalam mengendalikan politik.
-          Injil keselamatan berarti pula injil pembebasan dan pembaruan hidup secara total (2 Kor 5:17) yang tertuang di dalam ajaran mengenai Kerajaan Allah di mana syalom Tuhan (yaitu kebenaran, keadilan, kesejahteraan, dan kasih-Nya) terwujud bagi semua orang. Politik merupakan sarana untuk mendekatkan kehidupan ini kepada janji dan tuntutan syalom itu.
Keterlibatan dalam politik adalah pengutusan. Menyatakan karya penyelamatan Kristus dalam politik menjadi tujuan. Hadirnya suatu tatanan kehidupan yang memungkinkan setiap insan dapat hidup dalam kebenaran, keadilan, dan syalom menjadi ciri politik yang berlandaskan terang Firman dan yang diamanatkan kepada gereja.

5.2.            Misi dalam Politik: Perwujudan Kebenaran dan Keadilan
Jika diperhadapkan pada kenyataan dapat dikatakan bahwa terdapat kontras antara sikap dan praktek politik yang terjadi dengan apa yang amanatkan Kristus kepada gereja. Pada dasarnya praktek sikap dan politik dalam suatu negara menganut dan menerapkan politik machiavelian. Bagi Machiavelli sebagaimana yang dituliskan oleh J.H. Rapar, nilai politis agama yang paling utama ialah bahwa agama itu dapat membangun dan membentuk sikap manusia menjadi tulus, taat, setia, patuh dan bersatu. Dan pada kenyataannya agama dapat menjadi alat bantu bagi penguasa, karena agama itu memiliki kekuatan yang sanggup membuat manusia menjadi taat secara tulus, setia, patuh dan bersatu. Oleh sebab itu, apabila penguasa dapat memanfaatkan agama dengan sebaik-baiknya maka ia akan mudah memperoleh hal-hal penting dari rakyatnya. Machiavelli mengatakan, ”Sebab itu, para pemerintah republik atau para penguasa kerajaan harus berupaya mempertahankan dan memelihara prinsip-prinsip agama mereka. Apabila mereka telah melakukan hal ini, maka mereka akan menemukan bahwa adalah suatu hal yang mudah untuk menjaga negara taat secara tulus, patuh dan bersatu”. Dengan demikian menurut J.H. Rapar, jelas terlihat bahwa Machiavelli menempatkan agama hanya sebagai salah satu faktor dalam masyarakat yang merupakan salah satu kekuatan yang perlu digunakan oleh para penguasa untuk memperkuat negara atau untuk melayani kepentingan negara. Jadi, agama memiliki tempat yang istimewa di dalam sesuatu negara, bukan berdasarkan kebenaran agama itu, melainkan karena nilai-nilai politis yang dimilikinya[43]. Tentu peran politik Kristen tidak seperti praktek politik yang menganut paham machiavelianisme.
Kontradiksi peran politik Kristen dengan politik yang menganut paham machiavelianisme dapat dilihat dari pemahaman trilogi tugas panggilan gereja. Melalui trilogi tugas panggilan tersebut, gereja dipahami sebagai pewaris misi mesianis Kristus. Gereja dipahami sebagai prolongatus Christi – perpanjangan tangan Kristus. Hakekat dan kehadiran gereja tidak boleh dipahami hanya dalam urusan ritual peribadatan saja. Gereja sebagai pengemban tugas panggilan yang rajani, nabi dan imami harus turut serta menangani masalah-masalah kehidupan yang konkret, yang merupakan pergumulan nyata manusia itu sendiri (bnd. Luk 4:18-19; dan Mat 25:35-37). Dalam kehidupan gereja modern sekarang ini, tritugas panggilan gereja itu dijabarkan di dalam makna bersekutu di dalam ibadah, melayani sebagai tindakan solidaritas dan keberpihakan kepada kaum tertindas dan bersaksi tentang iman melalui tindakan dan perbuatan nyata. Dalam hal ini, gereja mempunyai tugas nabiah dan fungsi sosial kontrol, dengan penyampaian pesan-pesan bahkan kritik profetis kepada negara. Tugas tersebut dilakukan dengan tujuan mensejahterakan umat manusia di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab kesejahteraan umat adalah kesejahteraan bangsa, yang hanya mungkin terjadi apabila di dalam negara berlaku keadilan, hukum ditegakkan dan hak azasi manusia dihargai dengan semestinya (Yer 29:7; Am 5:24; bdn. Hab 1:2-4)[44].
Tidak dapat dipungkiri bahwa praktek-praktek politik yang menganut paham machievalianisme tentu berlangsung dalam pelaksanaan proses pemerintahan suatu negara. Untuk itulah gereja harus menyikapi hal itu dengan senantiasa melaksanakan tritugas panggilannya untuk mewujudkan misi kebenaran dan keadilan dalam kehidupan masyarakat. Dalam menyatakan misi kebenaran dalam politik gereja dapat bertindak dalam kapasitas sebagai institusi atau melalui warga jemaatnya.
Pandangan Albertus Patty dapat menjadi pertimbangan bagi gereja sebagai institusi dalam menyatakan misi kebenaran dalam politik. Patty memandang bahwa  gereja terpanggil untuk mendorong semua komponen bangsa agar mampu berpartisipasi menjadi aktor utama dalam proses politik yang dijiwai oleh nilai-nilai demokrasi. Dalam hal ini ada empat peran yang perlu digeluti oleh gereja yaitu: Pertama, berperan dalam memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Pendidikan politik berguna agar rakyat mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses politik dengan bersikap kritis baik terhadap pemerintah, terhadap sikap keberagamaan maupun terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, memiliki kemampuan untuk melakukan transformasi terhadap negara dan terhadap berbagai kondisi sosial yang membelenggu dan menderitakan rakyat. Kedua, mempersiapkan pemimpin politik masa depan yang memiliki intelektualitas tinggi, berwawasan luas, memiliki integritas dan spiritualitas yang tangguh. Pemimpin yang demikian diharapkan dapat merubah kultur konflik dan kekerasan menjadi kultur persaudaraan. Ketiga, meletakkan landasan etik dalam kehidupan sosial dan dalam kehidupan berpolitik bangsa. Landasan etik dalam kehidupan sosial mengatur relasi horizontal yang mengakui kemajemukan bangsa sehingga tidak hanya sibuk menuntut hak-hak sendiri tetapi juga peduli dengan hak-hak dan eksistensi dari kelompok lain. Keempat, berperan dalam tataran spiritual yaitu kemampuan mentransenden diri yang mendorong “korban-korban” dapat saling bekerja dan saling menyembuhkan[45].
Gereja dan warga jemaat, secara khusus di Indosnesia, pada dasarnya tidak sulit lagi untuk mengambil sikap terhadap kondisi sosial politik di sekitarnya. PGI dalam dokumen Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB) merumuskan: “Gereja mempunyai tanggung jawab politik dalam arti turut serta aktif di dalam mengupayakan kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia dengan memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan (jutice), dan kasih (love). Orang Kristen terpanggil untuk membangun kesejahteraan di mana mereka berada karena kesejahteraan mereka adalah kesejahteraan kita, menjadi kesejahteraan bersama (Yer 29:7)”.  Suara kenabian gereja diberi peluang untuk diperdengarkan apabila negara dan pejabat-pejabatnya menyimpang dari tujuan, yaitu menyejahterakan semua orang dan menegakkan keadilan[46]. Dengan itu Gereja berperan untuk mencegah kecenderungan menyalahgunakan kuasa atau monopoli kuasa oleh para penguasa atau pemerintah, baik kuasa politik, ekonomi, atau kuasa yang lainnya[47]. Gereja harus menyuarakan pemikiran dan keyakinannya[48].
Di samping itu dari pihak gereja diharapkan adanya pendampingan pastoral yang terus menerus bagi setiap warganya, yang terlibat di dalam politik praktis. Mereka tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Gereja tidak boleh hanya mencela warganya yang terlibat politik, tetapi tidak pernah memahami secara persis apa yang diperjuangkan warganya. Dengan demikian, gereja benar-benar secara bertanggung jawab melibatkan diri dalam persoalan-persoalan menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan. Di dalam melakukan itu, gereja tidak boleh mengidentikkan diri dengan partai-partai politik, termasuk partai politik yang bernapaskan Kristen. Gereja adalah sebuah institusi yang berada di atas semua partai politik. Hanya dengan demikianlah gereja mempunyai kekuatan moral[49].
Ini memperlihatkan bahwa pendampingan pastoral dan pendidikan politik bagi warga gereja adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh gereja. Gereja bertanggungjawab mengupayakan peningkatan kualitas dan kesadaran warganya mengenai politik dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya melalui kegiatan pembinaan dan kaderisaasi. Dengan mengajarkan dan memberikan dasar-dasar dan prinsip-prinsip iman Kristen untuk memahami dan menyikapi berbagai persoalan-persoalan konkret, maka gereja sebagai institusi dapat memperlengapi warganya untuk berperan dalam politik secara positif, kreatif, kritis dan realistis agar politik menjadi politik yang baik bagi semua orang.
Dengan melakukan pendampingan yang sungguh-sungguh, pembentukan partai politik Kristen tidak menjadi keharusan dalam mewujudkan kebenaran dalam politik  karena itu cenderung kontroversial di antara orang Kristen. Yang perlu adalah untuk mewujudkan makna politik Kristen dengan membentuk budaya politik Kristen, yang menekankan perubahan di segala bentuk menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan bermoral, melalui pendidikan politik jemaat[50]. Gereja juga dapat memikirkan gerakan politik alternatif yang di satu pihak mampu mewujudkan cita-cita politik Kristen dan di lain pihak tidak membawa dampak negatif bagi umat Kristen. Gerakan politik alternatif ini bukanlah parpol Kristen tetapi lebih bermakna sebagai masyarakat sipil, civil society, yang inklusif yang tidak hanya harus mempunyai sifat counter balance (melakukan kritik yang bersifat rational discourse) terhadap negara tetapi juga nilai-nilai yang bersifat universal seperti: nilai demokrasi; nilai penghormatan terhadap HAM (termasuk diskriminasi); nilai pelestarian lingkungan; nilai keadilan; nilai kesejahteraan; nilai pasar bebas (sampai derajad tertentu)[51].
Mempertahankan tata perpolitikan yang berperikeadilan menjadi tugas semua orang yang hidup di dalamnya. Demikian juga halnya dengan gereja. Namun perlu diingat bahwa politik yang diinspirasi oleh ajaran kekristenan bukan ditujukan untuk membela atau menarik orang ke dalam agama Kristen, meskipun kita berharap untuk bisa mendorong ke arah itu. Tindakan politik kristiani tidak ditujukan untuk menunjukkan kesalahan-kesalahan dari orang-orang yang bukan Kristen di dunia perpolitikan, juga bukan untuk menunjukkan superioritas atau keunggulan kekristenan di dalam percaturan politik, meskipun bisa jadi, akan mendorong hal seperti itu juga. Tindakan politik kristiani sama sekali tidak bercita-cita seperti itu. Tindakan tersebut akan secara wajar mengalir pengakuan bahwa kita bersama dengan semua umat manusia bertanggungjawab atas pengelolaan dan pengembangan kehidupan semua ciptaan Tuhan. Kegiatan politik adalah sebagian dari tugas kita yang kompleks di dalam seluruh ruang lingkup karya cipta Tuhan; dan berwujud kerelaan memikul tanggung jawab untuk membangun hubungan-hubungan yang berperikeadilan di antara segenap tanggung jawab lain di dalam dunia, membela orang miskin, yang kekurangan dan yang tertindas, serta memberi imbalan kepada yang baik maupun yang jahat[52].
Tuntutan dasariah yang tidak kalah mendesaknya ialah menjadikan politik sebagai sakramen penyelamatan. Mungkin saatnya agama (gereja) mensekularisasikan dirinya sendiri, berdoa dengan mata terbuka supaya melihat apa yang tengah terjadi dalam masyarakat, menangkap tanda-tanda zaman supaya akhirnya bersama seluruh alam ciptaan dan sarwa makhluk agama memuji, bersyukur kepada serta menyembah Allah. Terlibat dan peduli pada dunia menjadi legitimasi agama dalam mempertegas suara kenabiannya. Pasti tidak cukup hanya bersuara, sebab suara akan segera dilupakan dan kabur bersama angin. Akan tetapi, menjadi firman, menjadi martir yang membela itulah panggilan mulia agama (gereja)[53]. Oleh karena itu kesaksian kualitatif itulah yang terutama dilaksanakan gereja, yaitu kesaksian mengenai pembaruan Kristus yang mengubah kualitas kehidupan, di mana kemanusiaan yang baru berdasarkan kebenaran, keadilan dan kasih Tuhan dinyatakan, sedang kemanusiaan yang lama, yang dikuasai dosa ditinggalkan. Kesaksian kualitatif merupakan realisasi dari “garam” yang melawan dan meniadakan kebusukan, atau “terang” yang melawan dan meniadakan kegelapan (bnd. Mat 5:13-16)[54].
Tetapi perlu waspadai bahwa gereja dapat dan akan berhadapan dengan berbagai persoalan, kesulitan, tantangan dan bahkan ancaman dalam melaksanakan misinya itu. Untuk menghadapi dan mengatasi semua ini, semua karunia yang dimiliki gereja, termasuk kemampuan dan kekuasaan yang ada padanya perlu digunakan sebaik-baiknya. Tetapi gereja tidak boleh menjadi “serupa dengan dunia” (Rm 12:2). Hakikat dan misi gereja menuntutnya untuk tetap memperhatikan cara-cara yang sesuai dengan hakikat dan misi tersebut. Cara gereja melawan dan memerangi kesalahan, ketidakadilan, dan ketidakbenaran jangan meninggalkan prinsip kasih menyelamatkan dengan perlengkapan “senjata-senjata” iman, Firman, dan doa (Ef 6:10-20)[55].
Untuk itu menurut Saut Sirait[56] dalam menyatakan kebenaran Firman Tuhan melalui sikap politik, gereja-gereja paling tidak harus memiliki prinsip dan sikap di dalam dirinya, yakni:
-          Prinsip dan sikap pembebas, berhubung Yahweh adalah pembebas dari penindasan dan perbudakan. Hal serupa juga dilakukan Yesus yang melaksanakan pembebasan terhadap manusia yang telah jatuh ke dalam dosa.
-          Menjadi alternatif, seperti yang diperlihatkan gereja mula-mula dan Israel, yang dibentuk sebagai komunitas alternatif. Solidaritas horizontal menjadi ciri utama, yang mampu mempersatukan dan sekaligus memampukan orang-orang lemah dan terbuang membebaskan dirinya secara politis.
-          Posisi yang bepihak kepada kaum lemah dan tidak berdaya. Allah Israel adalah Allah yang dalam konflik-konflik sosial senantiasa menempatkan diri-Nya di pihak yang tersingkir secara sosial, ekonomis dan politis. Hal itu dengan tegas diperlihatkan Yahweh melalui pengalaman Israel dan ditunjukkan Yesus secara mencolok dalam pelayanan dan pengajaran-Nya.
-          Memiliki sikap kritis dalam hubungannya dengan negara sebagaimana ciri pre-state Israel dan ketegasan Yesus terhadap hak raja dan hak Tuhan yang tidak disetarakan dan disatukan. Kontrol tetap kekuasaaan tidak hanya bersifat politis, tetapi merupakan tugas gereja yang bermakna teologis.
-          Sikap dan pemahaman bahwa ketertindasan, pemiskinan, ketidakadilan, pelangaran hak azasi manusia bukan persoalan sosial, ekonomis dan politis semata, melainkan persoalan teologis.
-          Pemahaman bahwa gereja adalah untuk dunia. Yahweh Israel bukan hanya untuk Israel, tetapi untuk seluruh dunia. Tindakan penyelamatan Yahweh tidak tertuju bagi Israel semata, tetapi seluruh bangsa. Sebagaimana Israel berfungsi sebagai pengantara, maka gereja-gereja merupakan pengantara tindak penyelamatan Yahweh.
Dari apa yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa gereja (orang Kristen) dipanggil untuk menyatakan sikapnya dalam kenyataan politis di mana gereja berada sebagaimana yang Yesus telah tunjukkan, yaitu untuk menyatakan dan mewujudkan keselamatan yang dari Allah untuk dunia ini.

VI.             Kesimpulan
1.      Tugas misi tidak terlepas dari kehidupan gereja karena misi menjadi indikasi gereja yang hidup. Tugas itu harus dilaksanakan oleh gereja sepanjang masa dan dalam seluruh aspek kehidupan sebagaimana Tuhan berkarya sepanjang masa dan dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
2.      Misi gereja dalam politik berdasar pada kenyataan bahwa gereja berada dan diutus ke dalam dunia ini dan terhubung dengan segala aspek kehidupan yang berlangsung di dalamnya termasuk politik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu bangsa dan negara yang menjadi bagian dari dunia itu.
3.      Sebagaimana Kristus diutus untuk keselamatan dunia ini demikian juga gereja diutus untuk menyatakan keadilan dan kebenaran untuk perwujudan keselamatan itu. Dengan demikian ketidakterlibatan gereja di dalam politik sama artinya dengan pembiaran atau menutup mata terhadap tindakan-tindakan yang menindas dan menyengsarakan yang dapat terjadi oleh praktek politik yang tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran.
4.      Misi gereja dalam politik tidak bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Misi gereja dalam politik adalah usaha dan upaya agar politik dapat melahirkan kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang menciptakan keadilan dan kebenaran untuk kebaikan hidup manusia.
5.      Gereja melakukan misi dalam politik tidak harus membentuk partai politik tetapi  terutama dengan memberi pendampingan dan pembekalan kepada warga jemaat yang terlibat dalam politik praktis demikian juga dengan menyuarakan suara-suara kenabian dalam menentang keputusan politik serta praktek dan tindakan yang tidak mencerminkan dan mewujudkan keadilan dan kebenaran bagi kehidupan masyarakat.
6.      Misi gereja dalam politik bukan terutama untuk menarik orang-orang terlibat di dalamnya ke dalam agama Kristen tetapi sebagai usaha agar nilai-nilai kebenaran dan keadilan menjadi budaya dalam praktek politik yang berlangsung dalam suatu negara.




DAFTAR PUSTKA
1.      Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto: Gereja di dalam Dunia, Biro LITKOM PGI – BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
2.      Arie de Kuiper, Missiologia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996.
3.      Clifford Green (peny.), Karl Barth: Teolog Kemerdekaan, Kumpulan Cuplikan Karya Karl Barth, (terj.), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1998.
4.      Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar, 2007.
5.      David F. Hinson, Old Testament Introduction 3: Theology of the Old Testament, SPCK, London, 1982.
6.      David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999.
7.      Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, 1: Allah, Manusia, Kristus, BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1995.
8.      Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria, Yogyakarta, Lamalera, 2008.
9.      Einar M. Sitompul (ed.), Teologi Politik: Agama-Agama dan Kekuasaan, Balitbang PGI, Jakarta, 2004.
10.  G. Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. XII, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/Cambridge, UK, 2003.
11.  G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, Harper & Row Publishers, New York and Evanston, 1962.
12.  Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1990.
13.  J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, A – L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1994.
14.  J.H. Rapar, Filsafat Politik Machiavelli; Seri Filsafat Politik No. 4, Jakarta, Rajawali Press, 1991.
15.  J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2008.
16.  J. Soedjati Djiwandono, Gereja Dan Politik; Dari Orde Baru ke Reformasi, Yogyakarta, Kanisius, 1999.
17.  J. Verkuyl, Etika Politika: Ras, Bangsa, Gereja, Negara, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1958.
18.  -------------, Aku Percaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001.
19.  Lesslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010.
20.  Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.),  Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA, Jakarta, 2004.
21.  Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, Fortress Press, Philadelphia, 1966.
22.  Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), Perspektif dan Peran Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru; Visi, Strategi dan Program Aksi Menyukseskan Reformasi, STT Jakarta, 2004.
23.  Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2006.
24.  Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia; Pemikiran Teologis tentang Pergumulan Gereja dalam Masyarakat Indonesia Yang Majemuk, BPK Gunung Mulia, Jakarta – Satya Wacana University Press, Salatiga, 2004.
25.  W.J. Kooiman, By Faith Alone; The Life of Martin Luther, Philosophical Library, New York, 1955.
26.  http://id.wikipedia.org./wiki/Politik…


[1] Bnd. J. Verkuyl, Aku Percaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2001: hlm.102-103. Lih. Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar, 2007: hlm. 384-385.
[2] Arie de Kuiper, Missiologia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996: hlm. 9.
[3] Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia dan Masyarakat Indonesia Masa Kini (Acuan dan Prinsip Pelaksanaannya)” dalam Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), Perspektif dan Peran Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru; Visi, Strategi dan Program Aksi Menyukseskan Reformasi, STT Jakarta, 2004: hlm. 35-36.
[4] Lih. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999: hlm. 1.
[5] Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia …” dalam Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), op. cit.,: hlm. 35-36.
[6] Lih. Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia …“ dalam Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), op. cit., hlm. 36-40.
[7] Lih. Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia … ” hlm. 39.
[8] Lesslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010: hlm. 181-182.
[9] Lesslie Newbigin, hlm. 182.
[10] Lesslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk, hlm. 190-191.
[11] Lih. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah, hlm. 618.
[12] Lih. Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia dan … ” dalam Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), op. cit., hlm. 41.
[13] J. Verkuyl, Etika Politika: Ras, Bangsa, Gereja, Negara, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1958, hlm. 71.
[14] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia; Pemikiran Teologis tentang Pergumulan Gereja dalam Masyarakat Indonesia Yang Majemuk, BPK Gunung Mulia, Jakarta – Satya Wacana University Press, Salatiga, 2004: hlm. 168.
[15] P.D. Latuihamallo, “Panggilan Orang Kristen dalam Dunia Politik” dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.),  Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA, Jakarta, 2004: hlm. 41.
[16] Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan Memoria, Yogyakarta, Lamalera, 2008, hlm. 2.
[17] http://id.wikipedia.org./wiki/Politik…
[18] J. Soedjati Djiwandono, Gereja Dan Politik; Dari Orde Baru ke Reformasi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, hlm. 48, 49.
[19] J.B. Payne, dkk., “Adil, Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, A – L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1994: hlm. 11-12. Bnd. B. Johnson, “…hqdc, tsedaqa…”, dalam G. Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological Dictionary of the Old Testament, Vol. XII, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan/Cambridge, UK, 2003: hlm. 243.
[20] J.B. Payne, dkk., “Adil, Keadilan dan Kebenaran” hlm. 12.
[21] K. Kertelge, “dikaiosunh”, dalam Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1990: hlm. 326.
[22] J.B. Payne, dkk., “Adil, Keadilan dan Kebenaran” hlm. 12.
[23] H. Hubner, “alhqeia”, dalam Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1990: hlm. 58.
[24] Lih. W.J. Kooiman, By Faith Alone; The Life of Martin Luther, Philosophical Library, New York, 1955:  hlm. 39-41.
[25] Lih. Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, Fortress Press, Philadelphia, 1966: hlm. 224-229.
[26] Lih. G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, Harper & Row Publishers, New York and Evanston, 1962: hlm. 370.
[27] G. von Rad, hlm. 374-375.
[28] David F. Hinson, Old Testament Introduction 3: Theology of the Old Testament, SPCK, London, 1982: hlm. 31.
[29] Lih. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, 1: Allah, Manusia, Kristus, BPK Gunung Mulia, Jakarta: 1995: hlm. 78-81.
[30] Bnd. Andreas A. Yewangoe, “Pendeta dan Politik” dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.),  Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA, Jakarta, 2004: hlm. 20.
[31] J.H. Rapar, Filsafat Politik Machiavelli; Seri Filsafat Politik No. 4, Jakarta, Rajawali Press, 1991, hlm. 106.
[32] Clifford Green (peny.), Karl Barth: Teolog Kemerdekaan, Kumpulan Cuplikan Karya Karl Barth, (terj.), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1998, hlm. 336, 337.
[33] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia …, hlm. 176.
[34] Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm. 100.
[35] Lih. J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2008, hlm. 101-02. Selain daripada hal-hal ini orang yang menduga, bahwa Pilatus yang mungkin merasa takut, bahwa Yesus mau berusaha untuk mendirikan lagi kerajaan Israel. Semuanya ini – menurut banyak ahli theologia – yang rupanya telah menyebabkan Yesus dituduh dan dijatuhi hukuman mati.
[36] Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm. 4
[37] Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm.4. Contohnya kalau seorang Paus Yohanes Paulus II (almarhum) mengadakan kunjungan yang semata-mata ‘murni’ pastoral ke suatu negara yang totaliter dan korup, maka kedatangan pemimpin keagamaan yang kharismatis itu berpengaruh pada pelbagai kebijakan politis. Kunjungan itu dapat dipolitisasi sebagai bentuk afirmasi terhadap sistim kekuasaan yang berlaku di wilayah itu. Akan tetapi juga tidak kurang interpretasi menyatakan, bahwa visitasi pastoral itu memotivasi terjadinya pelbagai perubahan ke arah yang lebih baik, penataan kembali sejumlah kebijakan macet, dan kepedulian yang signifikan dari pihak pemerintah terhadap golongan dan kaum pinggiran dan yang dipinggirkan.
[38] Paul Marshall, “Tindankan-Tindakan Kekristenan di dalam Wilayah Kekuasaaan Tuhan”, dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.),  Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA, Jakarta, 2004: hlm. 184.
[39] Bnd. Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm. 99-100.
[40] Eka Darmaputera, “Teologi Politik”, dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.),  Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA, Jakarta, 2004: hlm. 9.
[41] Eka Darmaputera, “Teologi Politik”, hlm. 15.
[42] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia …, hlm. 177.
[43] J.H. Rapar, Filsafat Politik Machiavelli …, hlm. 97, 98.
[44] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, hlm. 266.
[45] Lih. Albertus Patty, “Kristen dan Situasi Politik Indonesia Kontemporer” dalam Einar M. Sitompul (ed.), Teologi Politik: Agama-Agama dan Kekuasaan, Balitbang PGI, Jakarta, 2004: hlm. 119-122.
[46] Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto: Gereja di dalam Dunia, Biro LITKOM PGI – BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009: hlm. 185.
[47] P.D. Latuihamallo, “Panggilan Orang Kristen dalam Dunia Politik” dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.),  Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA, Jakarta, 2004: hlm. 42.
[48] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia …, hlm. 154.
[49] Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto: Gereja di dalam Dunia, hlm. 187-188.
[50] Kutut Suwondo, “Gerakan-Gerakan Politik Alternatif di Indonesia”, dalam Einar M. Sitompul (ed.), Teologi Politik: Agama-Agama dan Kekuasaan, Balitbang PGI, Jakarta, 2004: hlm. 106-108.
[51] Kutut Suwondo, “Gerakan-Gerakan Politik Alternatif di Indonesia”, hlm. 112-114.
[52] Paul Marshall, “Tindakan-Tindakan Kekristenan di dalam Wilayah Kekuasaaan Tuhan”, dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.),  Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA, Jakarta, 2004: hlm. 186-187.
[53] Lih. Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm. 226-228.
[54] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia …, hlm. 58.
[55] Lih. Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia dan … ” dalam Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), op. cit., hlm. 41.
[56] Saut Sirait, Politik Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2006: hlm. 246, 247.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar