MISI KEBENARAN DALAM POLITIK
(Pdt. Darman
H. Samosir, STh)
I.
Pendahuluan
Gereja sebagai Tubuh Kristus
terpanggil untuk memberlakukan seluruh hidupnya sebagai suatu kesaksian (bnd. Kis
2:32; 2 Tim 1:8). Oleh karena itu pekerjaan misi tidak terlepas dari kehidupan
gereja. Itu menjadi indikasi gereja yang hidup. Hidup bangunnya gereja dapat
digambarkan di dalam pekerjaan misi yang diembannya dari Sang Kepala Gereja
(Mat 28:19-20; Mrk 16:15-16). Salah satu muatan misi itu adalah memberitakan
dan menyatakan kebenaran Allah di tengah dunia ini. Ini menjadi tugas dan
tanggungjawab gereja sepanjang masa di seluruh aspek kehiduan.
Akan
tetapi banyak orang mempertanyakan apakah masih berguna untuk memberitahukan
Injil; apakah masih perlu untuk memberitakan kasih Allah sekuat tenaga; apakah
tidak lebih baik kalau kita berdiam diri saja dan menunggu sampai Tuhan
menyatakan keputusan-Nya kepada manusia jika keselamatan kita bergantung
sepenuhnya kepada rencana Tuhan atau pemilihan oleh-Nya? Jika diperhadapakan
dengan fakta bahwa salah satu pilar gereja dan sekaligus menjadi indikasi
gereja yang hidup adalah gereja yang bersaksi, anggapan di atas adalah salah
paham yang besar. Pemilihan oleh Tuhan adalah pemilihan untuk mengabdi kepada
sesama manusia dan kepada dunia di sekitar kita. Setiap orang yang percaya
kepada Yesus Kristus terpanggil untuk memberlakukan seluruh kehidupannya
sebagai suatu kesaksian tentang Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat manusia
(Kis 2:32). Oleh karena itu, gereja tidak cukup hanya bersekutu dan melayani,
tetapi juga harus bersaksi dan memberitakan Injil Kristus kepada semua bangsa[1].
Sebagaimana
ternyata bahwa kesaksian gereja adalah untuk semua bangsa bahkan seluruh dunia, itu berarti kesaksian mencakup seluruh
aspek kehidupan. Jika politik adalah
bagian dari kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat suatu bangsa dan
negara, maka bidang politik adalah juga wilayah di mana misi
perlu bekerja. Tetapi jika di perhadapkan dengan kenyataan bahwa banyak
masyarakat bahkan gereja (orang
Kristen) yang “alergi” terhadap politik karena politik itu cenderung dianggap
“negatip” dan “kotor”, timbul pertanyaan: apakah misi itu perlu menyentuh
sampai kepada ranah politik? Jika termasuk bagian dari misi, bagaimanakah gereja
menyatakan kebenaran dalam politik? Inilah yang akan digali
dalam tulisan ini.
II.
Pemahaman
tentang Misi
Istilah ‘misi’ berasal
dari bahasa Latin missio, artinya
pengutusan[2]
atau amanat[3].
Istilah ini kemudian dapat berarti: pengiriman missionaries ke sebuah daerah
tertentu; kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh missionaris-missionaris
tersebut; wilayah geografis di mana para missionaris itu bekerja; lembaga yang
mengutus para missionaris; dunia non-Kristen atau “lapangan misi”; pusat yang
daripadanya para missionaris itu bekerja di “lapangan misi”; sebuah jemaat
setempat tanpa pendeta yang menetap di situ dan masih tergantung pada dukungan
dari sebuah jemaat yang lebih tua dan mapan; serangkaian pelayanan yang khusus
dimaksudkan untuk memperdalam atau menyebarkan iman Kristen, biasanya di sebuah
lingkungan yang nominal Kristen. Pengertian selanjutnya adalah: penyebaran
iman; perluasan pemerintahan Allah; pertobatan orang-orang kafir; dan pendirian
jemaat-jemaat baru[4].
Dalam Markus 3:13-15
dinyatakan bahwa Tuhan Yesus memanggil dan menetapkan 12 orang yang
dikehendaki-Nya “untuk menyertai Dia dan untuk diutus-Nya memberitakan Injil”.
Amanat itu dikumandangkan lagi oleh Tuhan sesudah kebangkitan-Nya dari kematian
(Mat 28:18-20; Kis 1:18). Selanjutnya Alkitab menyatakan bahwa amanat tersebut
juga diberikan kepada murid-murid yang lain (Luk 10:1-12). Sedangkan dalam
Yohanes 17:18,21, dalam doa-Nya, Tuhan Yesus
berkata, “Sama seperti Engkau
telah mengutus Aku ke dalam dunia, demikian pula Aku telah mengutus mereka ke
dalam dunia … agar dunia percaya bahwa Engkaulah yang telah mengutus Aku”.
Dan menurut 1 Petrus 2: 9 seluruh umat Tuhan juga menerima tugas atau amanat
untuk “memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar bagi Dia”. Dengan demikian
misi gereja pada hakikatnya adalah perpanjangan misi Kristus sendiri yaitu
untuk membebaskan dan menyelamatkan umat manusia dari belenggu dosa dan
hukumannya, serta pembinaan satu kehidupan yang baru, sesuai dengan Firman dan
hukum-hukum Allah[5].
Untuk dapat memahami arti
misi Kristiani, menurut Sutarno, kita harus bertolak dari pemahaman mengenai
hakikat keberadaan gereja sebagaimana dinyatakan dalam Alkitab. Sebab misi
gereja tidak dapat dilepaskan dari hakikat keberadaannya. Hakikat keberadaan
gereja itu adalah: Gereja sebagai Tubuh Kristus (1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-6; Ef
1:23; 4:11-16); Gereja sebagai Umat/Bangsa Pilihan Allah (1 Pet 2:9-10); Gereja
sebagai Bangunan (1 Kor 3:10-17); Gereja sebagai “Gladiator Rohani”. Dengan
memahami hakikat keberadaan gereja ini, kita akan dapat memahami apa yang harus
dilakukan oleh gereja sebagai tugas misinya, apa tujuan dari misi tersebut,
serta cara-cara yang bagaimana yang boleh dilakukan[6].
Selanjutnya menurut
Sutarno bahwa dari Matius 5:13-16 kita memahami bahwa hakikat dan tugas misi
gereja sebagai “garam” dan “terang” serta “kota di atas gunung”. Ini memberi
arti bahwa sebagai garam, terang, dan kota di atas gunung, gereja dalam
keberadaan dan kehidupannya harus mampu memancarkan daya dan pengaruh yang
positip terhadap lingkungannya, yaitu daya dan pengaruh karya penyelamatan dan
pembaruan yang telah dikerjakan Kristus. Ini sama artinya dengan melaksanakan
misi yang telah diamanatkan oleh Allah[7].
Menurut Newbigin misi
Kristen menjadi petunjuk bagi sejarah dunia. Dengan memahami Injil sebagai
petunjuk bagi sejarah, bagi sejarah universal dan dengan demikian bagi sejarah
dari setiap orang maka dapat dikatakan bahwa misi Kristen kepada dunia adalah
petunjuk bagi sejarah dalam arti ganda, yang dapat dicirikan sebagai
memproklamasikan dan menggerakkan. Pada satu pihak, dengan memproklamasikan
Kristus, misi Kristen kepada dunia menawarkan kepada semua orang kemungkinan
untuk memahami apa yang sedang dilakukan Allah di dalam sejarah. Pada pihak
lain, mendesak peristiwa-peristiwa ke arah tujuan akhirnya yang benar[8].
Dengan demikian misi Gereja bukanlah hanya suatu penafsiran tentang sejarah
tetapi kekuatan yang membuat sejarah. Bahkan melalui misi Gereja, Allah membawa
sejarah ke tujuannya, dan tujuan sejarah dapat dimengerti. Misi itu tidak hanya
bersifat menyatakan atau mengumumkan; namun dia juga bersifat melakukan atau
melaksanakan[9].
Namun menurut Newbigin
ada dua konsep yang keliru tentang misi sekarang ini yang memecah persekutuan
Kristen, yaitu: Pada satu pihak ada orang-orang yang menempatkan penekanan yang
eksklusif atas pemenangan individu-individu kepada pertobatan, baptisan dan
keanggotaan gereja; pertumbuhan jumlah dalam Gereja menjadi sasaran sentral
dari misi. Tindakan untuk keadilan dan perdamaian di dalam dunia adalah masalah
sekunder. Injil adalah mengenai perubahan manusia, tidak menyangkut
perubahan-perubahan struktur. Pemberitaan Injil tentang keselamatan dari dosa
dan penawaran kehidupan kekal adalah usaha yang paling utama dari Gereja. Pada
pihak lain, ada orang-orang yang mencemoohkan itu sebagai tidak relevan atau
keliru. Injil, menurut mereka adalah mengenai kerajaan Allah, pemerintahan
Allah atas semua bangsa dan atas segala sesuatu. Inti pokok pengajaran Yesus
adalah doa: “KerajaanMu datanglah; kehendakMu jadilah seperti di sorga demikian
juga di atas bumi. Tanggung jawab yang sentral dari Gereja ditunjukkan oleh doa
tersebut. Itu berarti berusaha untuk melakukan kehendak Allah akan kebenaran
dan perdamaian dalam dunia ini. Suatu persekutuan Kristen yang menjadikan
pembangunan dirinya sendiri sebagai tugasnya yang paling utama dapat berarti
bertindak melawan kehendak Allah[10].
Akan tetapi pada
kenyataannya orang percaya menerima dua mandat dari Yesus Kristus. Yang pertama
mengacu pada pengutusan untuk memberitakan kabar baik keselamatan melalui Yesus
Kristus; yang kedua memanggil orang Kristen untuk ikut serta secara
bertanggungjawab dalam masyarakat manusia, termasuk berusaha demi kesejahteraan
manusia dan keadilan[11].
Bersaksi atau memberitakan tentang kejuruselamatan Yesus berarti, pada satu
sisi, memberitakan Injil atau Kabar Kesukaan mengenai kasih Tuhan yang
menyelamatkan manusia, melalui dan oleh Kristus, serta pada sisi yang lain,
mewujudkan kemanusiaan yang baru, melalui suatu kehidupan berdasarkan moralitas
dan spiritualitas yang baru, oleh dan dalam Kristus, di mana syalom Tuhan
berdasarkan kebenaran, keadilan dan kasih-Nya dinyatakan, sebagai tanda atau
bukti dari terwujudnya dunia di mana ia hidup dan berada[12].
Dalam hal inilah kita dapat memahami misi itu sebagai tugas gereja dan orang
percaya untuk menyatakan dan mewujudkan terang kebenaran Injil di seluruh segi
kehidupan manusia sebagai perwujudan keselamatan yang dinyatakan oleh Allah di
dalam Kristus untuk dunia ini.
III.
Pemahaman
tentang Politik
Menurut
J. Verkuyl, kata politik ada hubungannya dengan berbagai kata Yunani.
Pertama-tama dengan kata polis. Di
dalam bahasa Yunani kata polis berarti benteng, lalu berarti kota, kemudian
berarti negara dan akhirnya berarti suatu bentuk negara tertentu, yakni
demokrasi. Kata politik ada juga hubungannya dengan kata Yunani, politeia, yang bermacam-macam artinya;
politeia dapat berarti penduduk atau warga negara, hak warga negara,
kewarganegaraan, tetapi juga tata negara, bentuk pemerintahan. Oleh Plato kata
itu telah dicap sebagai suatu terminus
technicus (istilah) dengan tulisannya “Politeia”, yang menguraikan tentang
prinsip-prinsip atau dasar negara, bentuk negara dan tindakan-tindakan
kenegaraan. Selanjutnya di dalam sejarah dalam arti itulah kata politik
diartikan[13].
Pengertian
politik menurut Sutarno adalah pemikiran dan/atau perbuatan yang bersangkut
paut dengan persoalan menjalankan dan mengatur kehidupan bersama sebagai
masyarakat dan bangsa, melalui negara dan pemerintah sebagai alatnya yang
utama. Sejalan dengan pengertian itu maka di dalam politik terkandung dua aspek
utama, yaitu aspek idealisme di mana cita-cita dan keinginan mengenai kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dikehendaki itu dirumuskan; dan
aspek kekuasaan yang dengannya idealisme politik yang diinginkan itu diwujudkan[14].
Sementara
menurut P.D. Latuihamallo, politik adalah cara bagaimana negara, masyarakat
atau persekutuan hidup dapat ditata sehingga orang dapat hidup damai dan berkembang[15].
Sejalan dengan itu Eddy Kristiyanto mengatakan bahwa pada prinsipnya politik
merupakan seni memanage (the art of managing), seni mengurus atau
merawat negara dan pemerintahan dalam kaitannya dengan tanggungjawab untuk
melayani rakyat. Di sini politik menyiratkan kebijakan terorganisasi yang
diperlukan untuk mencapai tujuan hidup bersama, yakni bonum commune (kebaikan bersama) yang adil dan merata. Ini semua
menunjukkan politik mestinya dijunjung tinggi sedemikian rupa sehingga
menampakkan apa yang mau dicapai dengannya, juga jelas bagi siapa
diperuntukkannya, sekaligus tanpa tolak ukur untuk menilai capaian politik.
Begitu pentingnya fungsi dan peranan politik dalam hidup berkomunitas,
sampai-sampai siapa pun yang mengkehendaki keselamatan maka berpolitik
merupakan keniscayaan. Dengan meminjam istilah dalam perspektif teologi,
Kristiyanto mengatakan: “politik adalah
tanda dan sarana penyelamatan”[16].
Masih
banyak lagi pengertian-pengertian tentang politik seperti yang dalam kamus
wikipedia[17]:
-
Politik adalah proses pembentukan dan
pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan
keputusan, khususnya dalam negara. Pengertian ini merupakan upaya penggabungan
antara berbagai defenisi yang berbeda mengenai hakikat politik dalam ilmu
politik.
-
Politik adalah seni dan ilmu untuk
meraih kekuasaan secara konstitusinal maupun non konstitusional.
Di samping itu politik
juga dapat ditilik dari sudut pandang berbeda, antara lain:
-
Politik adalah usaha yang ditempuh warga
negara untuk mewujudkan kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles).
-
Politik adalah hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan pemerintahan dan negara.
-
Politik merupakan kegiatan yang
diarahkan untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan di masyarakat.
-
Politik adalah segala sesuatu tentang
proses dan perumusan dan pelaksanaan kebijakan publik.
Sementara
yang dimaksud dengan berpolitik adalah ikut serta atau berpartisipai dalam
kehidupan politik. Dalam negara demokrasi, kehidupan politik menyangkut hidup
dan kesejahteraan semua warga negara. Sebab itu, pada dasarnya berpolitik
menjadi hak dan tanggung jawab semua warga negara. Partisipasi dalam kehidupan
politik dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk. Orang dapat berpolitik
“praktis”, yaitu ikut serta dalam usaha memperoleh kekuasaan politik. Hal itu
dapat dilakukan baik bagi dirinya sendiri sebagai perseorangan atau atas nama
partainya, atau sekurang-kurangnya membantu orang lain atau partai yang
didukungnya memperoleh kekuasaan sesuai dengan aturan main yang berlaku dalam
sistim politik yang ada. Politik praktis itu dapat berlanjut dalam
lembaga-lembaga negara dan dapat juga berlangsung di luar lembaga-lembaga negara, terutama manakala lembaga-lembaga
itu dipersepsikan sebagai tidak sewajarnya atau tidak sepenuhnya menyalurkan
aspirasi yang hidup dalam masyarakat. Mereka yang merasakan aspirasinya tidak
tersalurkan tetap berhak untuk menyatakan atau mengungkapkannya. Mereka dapat
berpolitik praktis di luar lembaga negara resmi, misalnya melalui aksi unjuk
rasa secara damai.[18]
Berdasarkan
apa yang telah diuraikan di atas dapat dikatakan bahwa pada dasarnya politik
itu bernilai positip. Politik menjadi negatip dan kotor ketika di tangan
orang-orang menyalahgunakan dan memakainya untuk kepentingan pribadi atau
kelompoknya; yang memakainya hanya untuk memperoleh kekuasaan saja.
IV.
Pemahaman
tentang Kebenaran
4.1.
Terminologi
Alkitabiah
Di dalam Perjanjian Lama, kata yang
digunakan untuk menerjemahkan kebenaran adalah tsedaqa hqdc.. Kata ini mempunyai aneka pengertian
baik arti secara harafiah maupun rohani. Misalnya, hidup Yakub yang memenuhi
syarat-syarat perjanjiannya untuk menggembalakan domba Laban disebut tsedaqa (Kej 30:33, kejujuranku). Musa
yang membicarakan batu-batu timbangan yang betul (Im 19:36) atau utuh dan tepat
(Ul 25:15); tuntutan supaya para hakim Israel menghakimi dengan pengadilan yang
adil (Ul 16:18,20); kehendak Allah dan tindakan-tindakan yang diakibatkannya
(Ul 32:4; Zef 3:5; Mzm 89:14); menggambarkan pemeliharaan Allah akan hidup
manusia dan binatang (Mzm 36:7); menunjukkan perkataan Allah yang selalu benar
dan memberitakan apa yang lurus (Ye 45:19). Tsedaqa
kemudian menjabarkan ukuran susila yang dipakai Allah untuk mengukur
tindak-tanduk manusia, secara khusus dibebankan kepada raja-raja (2 Sam 8:15;
Yer 22:15b), tapi setiap orang benar juga diharapkan untuk melakukan tsedaqa (Mzm 119:121; Ams 1:3).
Berhubungan dengan pemerintahan ilahi, keadilan dan kebenaran menunjuk
khususnya pada hukuman (bnd. Kel 9:27; Hab 1:13; Ul 32:22). Dipakai untuk
menunjukkan tindakan-tindakan Allah bagi orang-orang yang dianggap layak
menerimanya (Hak 5:1); dihubungkan dengan penebusan (bnd Mzm 31:1; 103:17;
143:1; Yes 45:21); sebagai pemberian Allah kepada mereka yang percaya (Hab 2:4;
Yes 45:24,25; 54:17; Yer 31:23); mempunyai arti ‘kebaikan’ terutama berkaitan
dengan sikap umat yang telah menerima kasih karunia (Yes 1:17; Yer 22:16); menjadi
suatu istilah yang berarti sedekah, memberi uang kepada orang miskin (Dan 4:27;
Mzm 112:9). Dalam pengunaannya tsedaqa
sering dihubungkan dengan misypat.
Kedua istilah itu selalu digunakan bersamaan dan sepertinya mempunyai arti yang
sinonim, yaitu keadilan dan kebenaran[19].
Di
dalam Perjanjian Baru, kata yang diterjemahkan dengan kebenaran adalah dikaiosune. Kata ini juga dapat berarti ‘keadilan’
(2 Kor 6:7; 1 Tim 6:11; 2 Tim 2:22; Ibr 1:9; 2 Ptr 1:1); ‘kehendak Allah’ (Mat
3:5); ‘hidup keagamaan’ (Mat 5:20); ‘pembenaran’ (2 Kor 3:9); ‘perbuatan yang
baik’ (Tit 3:5). Dikaiosune dapat
berarti kebenaran karena menaati hukum Taurat dan kebenaran yang merupakan
pemberian dari Tuhan[20].
Bagi Paulus, dikaiosune berada pada
hubungan yang dekat kepada inti peristiwa keselamatan. Dalam persesuaian kepada
tradisi Yahudi dan PL, Paulus melihat di dalam kebenaran itu bukan hanya suatu
sifat etis Allah atau manusia, malah, dengan menyingung kepada manusia, kata
itu berarti suatu karakteristik yang asasi yang mengijinkan seseorang berada pada hubungan dengan Allah dan manusia[21].
Kata selanjutnya di dalam Perjanjian Baru yang berkaitan dengan kebenaran
adalah aletheia, yang menunjuk kepada
kebenaran secara budi. Dalam Perjanjian Baru, kata ini banyak dipengaruhi oleh
kata Ibarani emet[22].
Kata ini diartikan sebagai truth. Nuansa pengertian aletheia dengan bentuknya yang lain
adalah benar dalam pengertian dapat dipercayai, tetap, nyata, asli dan
setia, mengatakan yang benar (Gal
4:16); sungguh-sungguh, tulus dalam
hal kasih (Ep 4:15)[23].
4.2.
Pandangan
Para Ahli
a.
Martin
Luther
Bagi Luther kebenaran berpusat pada Kristus. Dengan
itulah orang percaya diberi rahmat oleh Allah. Menurut Luther kebenaran itu
ditujukan kepada orang percaya, sebagai ungkapan yang mendalam dari anugerah
Allah[24].
Pandangan Luther tentang Kebenaran terkait dengan Doktrin Pembenaran. Doktrin
pembenaran sejalan dengan doktrin tentang Yesus Kristus. Doktrin Yesus Kristus
adalah esensi dari seluruh pengetahuan Kristen; yang adalah unsur yang
menentukan dari Kekristenan yang membedakannya dari seluruh agama lainnya. Di
dalamnya “terletak seluruh hikmat, keselamatan, dan berkat”. Seluruh orang Kristen pasti bergantung pada
doktrin ini. Doktrin pembenaran tidak lain adalah iman di dalam Kritus.
Pembenaran bergantung pada iman kepada Kristus, didasari dan dibentuk hanya
oleh iman kepada Kristus (bnd. Rm 4:1 dyb). Luther memahami pembenaran sebagai
tindakan Allah dalam menghargai, menghubungkan, mengakui dengan adil, yaitu
sebagai tindakan dengan mana Allah menilai seseorang dalam hubungan kepada-Nya.
Hal ini terjadi karena Allah melihat manusia itu satu dengan Kristus. Oleh
karena itu kebenaran yang diwariskan kepada orang berdosa bukanlah hasil dari
dirinya sendiri tetapi milik Yesus Kristus. Luther dapat sekaligus mengatakan
bahwa “kebenaran kita adalah kebenaran Kristus dan bahwa kebenaran kita
terkandung dalam kemurahan hati Allah”[25].
b. G. von Rad
Pandangan
von Rad tentang kebenaran dapat dilihat dari pembahasan tentang tsedaqa. Menurut von Rad, tsedaqa adalah standar bukan hanya
tentang hubungan manusia dengan Allah, tetapi juga tentang hubungan manusia
dengan sesamanya, bahkan menjangkau hal-hal yang paling kecil, bahkan juga
menjadi standar mengenai hubungan manusia dengan binatang-binatang dan lingkungan
alamiahnya. Oleh karena itu von Rad mengatakan, “Tsedaqa dapat digambarkan sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan,
sehingga atasnya seluruh kehidupan berjalan ketika kebenaran itu dilaksanakan
selayaknya”[26]
Menurut
von Rad bukti kebenaran Yahweh diungkapkan dalam hukum atau perintah-Nya.
Yahweh mengambil bagian dalam umat-Nya dan memberi bukti-bukti yang tegas
tentang kebenaran-Nya; tetapi Ia juga mengeluarkan aturan-aturan hidup di mana
hanya itu yang membuat manusia itu dapat hidup bersama-sama. Perintah-perintahnya
bukan beberapa hukum yang sungguh-sungguh mutlak, tetapi hadiah yang murah hati
yang menolong hidup secara tertib. Yahweh berada di tengah-tengah mereka
sebagai tsedaqa. (bnd. Zef 3:5).
Untuk semuanya itu, perintah-perintah dan aturan-aturan hidup persekutuan
adalah hanya satu bagian dari tsadiq
yang agung yang terus menerus Yahweh wariskan kepada Israel. Tindakan-tindakan
besar dalam sejarah dapat dipahami sebagai tindakan-tindakan yang menunjukkan
keadilan Yahweh. Tetapi tsadiq Yahweh
adalah sesuatu yang aktif tidak hanya dalam ruang lingkup sejarah, tetapi juga
bekerja di tempat-tempat yang dapat kita sebut “the realm of nature” (seluruh
alam kehidupan; bnd. Joel 2:23f). Selanjutnya dalam pandangan von Rad, raja dan
kerajaan menjadi titik fokus mengenai kebenaran di dalam Perjanjian Lama. Karena
sebagai pemimpin bangsa, raja dianggap sebagai penjamin dan pelindung dari
segala sesuatu di negeri yang menciptakan kesetiaan di dalam hubungan
persekutuan. Tetapi pada jabatan ini meskipun raja hanya sebagai mediator dan
wali, raja bergantung pada fakta bahwa keadilan dan kebenaran diberikan
kepadanya oleh Allah (Mzm 72:1)[27].
c. David F. Hinson
Bagi
Hinson kebenaran Allah menjadi bagian yang mempengaruhi sejarah karena atas
dasar kebenaran, TUHAN akan menghentikan kejahatan, dan akan mendirikan
kebenaran pada hari-Nya. Pada waktu itu akan ada kedamaian dan keadilan di bumi
(Yes 65:21; Mi 4:4). Mereka yang menolak jalan TUHAN tidak akan pernah dapat
mengganggu kehidupan masyarakat, dan membawa penderitaan dan ketidakadilan.
Mereka akan menghadap pengadilan (Zef 1:15), ketika orang benar akan menerima
perintah baru di bawah pemerintahan Allah (Yoel 2:32). Seluruh tindakan Allah
di tengah-tengah manusia pada akhirnya membawa pada satu waktu di mana semua
orang akan melayani TUHAN (Yes 65:17)[28].
d. Donald Guthrie
Menurut
Guthrie kebenaran Allah adalah dasar bagi seluruh rencana penyelamatan. Dalam
PL, “kebenaran Allah” tidak hanya berarti bahwa Allah selalu bertindak dengan
cara yang benar secara moral. Tetapi “kebenaran Allah” ini juga mencakup
kenyataan bahwa Allah berindak dmei kepentingan umatNya pada waktu mereka
ditindas secara tidak adil. Dalam PB, Paulus tidak mempertanyakan apakah Allah
itu benar. Yang terutama baginya adalah penegasan bahwa kebenaran Allah telah
dinyatakan (Rm 1:17; 3:21-22). Sementara di dalam Injil Matius, sebagaimana
yang dicatat Guthrie dari Schrenk, istilah “kebenaran” mempunyai arti
‘persesuaian dengan kehendak Allah’. Oleh karena itu, jika apa yang dilakukan
sesuai dengan kehendak Allah adalah kebenaran, maka kehendak itu sendiri harus
bersifat kebenaran juga. Selanjutnya menurut Guthrie suatu segi yang penting
dari kebenaran dan keadilan adalah murka-Nya. Murka Allah bukanlah suatu luapan
kemarahan yang sama seperti kemarahan manusia, yaitu suatu luapan nafsu yang
tak terkendali, tetapi merupakan penolakan dari kekudusan yang mutlak terhadap
semua yang tidak kudus. Berdasarkan Roma 5:9, ‘murka Allah’ adalah suatu
ungkapan penolakan terhadap semua yang berdosa[29].
4.3.
Kebenaran
dalam praktek Politik
Dalam praktek politik ungkapan “Tidak
ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik” diamini begitu saja, seolah-olah
menjadi “gaya hidup” dalam politik, bahkan credo seorang politisi. Hal ini
tidak dapat dipungkiri bahkan menjadi suatu kebenaran di dalam praktek politik
sejauh politik dipahami sebagai pergulatan untuk memperoleh kekuasaaan, di mana
segala sesuatu bisa dipertaruhkan[30].
Politik dalam prakteknya cenderung
menekankan ‘kecerdikan’ untuk memanfaatkan segala kemampuan untuk kekuasaan
dengan dalil mempertahankan kepentingan negara. Ini ditunjukkan oleh pandangan Machiavelli.
Menurut Machiavelli, ketrampilan dan kecerdikan mengunakan kekuasaan bertujuan
untuk mempertahankan seluruh kepentingan negara. Dan segala tindakan dan
perbuatan yang dilakukan demi kepentingan negara haruslah dibebaskan dari
segala pertimbangan dan kepentingan lainnya. Tegasnya, penggunaan kekuasaan
politik harus diseterilkan dari nilai-nilai etis, religius dan kultural.
Machiavelli berpendapat bahwa kekuasaan politik harus benar-benar dipisahkan
dari etika, religi dan kultur. Bagi Machiavelli, sang penguasa harus bertekad
hanya menganut sistem nilai politik yang semata-mata tertuju bagi kepentingan
negara, sedangkan sistem nilai-sistem nilai lainnya haruslah diabaikan.
Machiavelli membangun suatu teori politik yang dikenal dengan istilah
“kepentingan negara” (reason of state
atau staatsraison). Dalam teori
“kepentingan negara” Machiavelli, seluruh tindakan dan perbuatan yang bersifat
kriminal, amoral, licik, jahat dan kejam yang dilakukan para penguasa, dapat
dibenarkan[31].
Ini menunjukkan bahwa pada prakteknya,
kebenaran dalam politik tidak mencerminkan kebenaran seperti yang diungkapkan
di dalam Alkitab. Karena politik dalam prakteknya cenderung untuk memperoleh
dan mempertahankan kekuasaan maka muncul pemahaman bahwa kebenaran dalam praktek
politik adalah kemampuan atau keberhasilan memanfaatkan segala sesuatu untuk
mencapai tujuan dan mempertahankan kekuasaan tanpa mempertimbangkan tuntutan
ajaran agama maupun kaidah-kaidah moral dan etis.
V.
Misi
Kebenaran dalam Politik
5.1.
Landasan
teologis berpolitik
Keterlibatan gereja dalam politik pada
dasarnya tidak terlepas dari fakta bahwa gereja ada di dalam dunia dan
terhubung dengan segala persoalan yang terjadi di sekitarnya seperti ekonomi,
sosial, budaya dan politik dan yang lainnya. Dalam hal ini gereja tentu tidak
dapat menutup diri atas segala persoalan-persoalan itu karena gereja juga ada
untuk dunia ini. Sejalan dengan itu warga gereja adalah juga warga negara.
Sebagai warga negara, warga gereja langsung atau tidak langsung tentu ikut
terlibat di dalam segala proses berjalannya suatu negara, di mana politik
adalah satu unsur utama di dalam proses keberlangsungan negara itu. Dengan
demikian warga gereja tidak terlepas dari politik di mana dia berada sebagai
warga negara suatu bangsa.
Kesadaran
akan hal itu terlihat di dalam Dalil kelima Deklarasi Barmen (1943). Dalil
kelima Deklarasi Barmen (1943) memperlihatkan gereja atau orang Kristen tidak
terlepas dari persoalan politik di mana dia berada. Dalam dalil itu dikatakan
bahwa Umat Kristen berada “di dunia yang belum diselamatkan”. Oleh karena itu di
antara berbagai persoalan yang membebankan negara, tiada satu pun yang tidak
kena mengena dengan gereja. Masyarakat warga negara senantiasa hidup sebagai
Politeia (dari “polis”/negeri) yang mengenal badan pimpinan dan jabatan-jabatan
tertentu, bentuk persekutuan dan pembagian kerja yang lazim. Dan sekalipun umat
Kristen tidak meliputi semua orang, tetapi hanya mereka yang berpengakuan
Kristen, gereja hadir sebagai “terang dunia”, biarpun jumlah anggotanya banyak
atau sedikit, ia bertujuan untuk semua orang.
Di hadapan semua orang ia memberikan kesaksian tentang Yesus: Injil yang
diberitakannya itu menyapa sekalian orang. Maksud dari kehadirannya ialah
melayani seluruh umat manusia. Dalam 1 Timoteus 2:1-7, dikatakan bahwa Allah
berkenan bila orang-orang Kristen itu hidup tenang dan tentram dalam segala
kesalehan dan kehormatan, serta menghendaki agar semua orang diselamatkan dan
memperoleh pengetahuan akan kebenaran; itu sebabnya ia berpesan pada kaum
Kristen agar mereka berdoa untuk semua orang, khususnya untuk raja-raja, yaitu
mereka yang di dalam lingkungan negara memegang jabatan-jabatan yang penuh
dengan tanggung jawab. Dalam arti ini umat Kristen tidak lepas dari kegiatan
politik, tetapi hidup secara politis. Dari situ boleh dan wajib kita
menerangkan bahwa eksistensi umat Kristen secara hakiki bersifat politis[32].
Menjadi
Kristen berarti menjadi pengikut-pengikut Kristus yang harus memberitakan
(bersaksi) dan setia kepada ajaran-ajaran-Nya. Pada sisi lain, karena umat
Kristen juga menjadi bagian integral dari masyarakat/bangsa di mana berada,
maka umat Kristen juga untuk ikut bertanggungjawab terhadap kehidupan bersama
seluruh masyarakat/bangsanya. Dengan kata lain, umat Kristen itu memiliki suatu
kewarganegaraan rangkap: warga negara Kerajaan Allah dan dunia. Karenanya, ia
juga mengemban tanggung jawab rangkap (bnd. Yoh 17:15-19; 1 Ptr 2:9; Kol 1:13).
Kesaksian dan pelayanan Kristen di bidang politik harus kita pahami dan
laksanakan dengan memperhatikan sifat rangkap yang menjadi hakikat keberadaan
umat Kristen tersebut, serta konsekuensi-konsekuensinya[33].
Bagaimanapun juga untuk mengetahui
landasan teologis dalam berpolitik harus dilihat dari apa yang disampaikan oleh
Injil tentang karya Allah bagi dunia ini dan apa yang diperlihatkan oleh Yesus
di dalam hidup dan pelayanan-Nya. Eddy Kristiyanto misalnya dengan tegas
mengatakan bahwa semua agamawan sadar, bahwa Allah itu politis. Menurutnya jika
orang mengeluarkan dari kitab-kitab suci agama kandungan dan makna politis,
maka akan ditemukan bahwa “begitu banyak lobang” dalam kitab suci. Kandungan
dan makna politis di sini adalah sikap Diri Allah yang berada di samping,
mendampingi, menyertai. Mengingat Allah itu politis di hadapan kenyataan
ciptaan-Nya. Maka segenap ciptaan (terutama manusia, yang adalah citra Allah
sendiri), tidak ada pilihan lain. Manusia perlu bersikap politis. Tegasnya,
bersikap politis merupakan sakramen, yakni tanda dan sarana yang mengantar pada
pembebasan dan penyelamatan[34].
Demikian juga hidup dan pelayanan Yesus
pada dasarnya tidak terlepas dari persoalan politis zaman itu. Di anatarnya dapat
dilihat dari hukuman yang dituduhkan kepada Yesus. Menurut J.L.Ch. Abineno
hukuman yang dijatuhkan atas Yesus adalah hukuman Romawi yang didasarkan atas
tuduhan pemimpin-pemimpin Yahudi juga tulisan di bagian atas dari salib-Nya –
“Yesus orang Nazaret, raja orang Yahudi” (Yoh 19:19) – memberi kesan, bahwa
tuduhan-tuduhan pemimpin-pemimpin Yahudi itu adalah pertama-tama tuduhan yang bersifat politis. Kemudian dari
penulis-penulis Injil dapat ditarik beberapa kesimpulan mengapa Yesus dijatuhi
hukuman mati: Pertama, dari mulanya
pengajaran Yesus bukan saja banyak mendapat perhatian, tetapi Ia juga banyak
menimbulkan perlawanan dari orang-orang yang tidak menyukai-Nya. Kedua, pemberitaan-Nya tentang keadilan,
yaitu keadilan yang harus “melebihi keadilan para ahli Taurat dan orang-orang
Farisi”, sikap kritis-Nya terhadap peraturan-peraturan Torah, yang harus
ditaati oleh tiap-tiap orang Yahudi, dan pergaulan-Nya dengan “orang-orang
berdosa dan pemungut-pemungut cukai”, menyebabkan-Nya dimusuhi oleh
pemimpin-pemimpin agama. Ketiga, penampilan-Nya
– yang mula-mula mungkin banyak memberikan harapan kepada tokoh-tokoh politik
yang revolusioner – sangat mengecewakan mereka dan menjauhkan mereka dari Dia. Keempat, pemberitaan-Nya tentang
Kerajaan Allah, yang di dalam diri, perkataan dan perbuatan-Nya telah mendobrak
masuk ke dalam dunia, membuat golongan aristokratis marah dan mencurigai-Nya[35].
Ini menunjukkan bahwa kehidupan Yesus tidak terlepas dari situasi poltik pada
zamannya. Walapun Yesus tidak terlibat secara praktis dalam persoalan politik
saat itu tetapi sikap, pengajaran, dan pelayanan-Nya mempengaruhi kondisi
politik zaman itu. Kehidupan dan pelayanan Yesus ini menjadi teladan bagi
gereja dalam menyatakan sikap politisnya di tengah-tengah dunia yang sarat
dengan berbagai persoalan hidup.
Berkaitan
dengan itu, Kristiyanto memahami bahwa keterlibatan awam dalam dunia politik
merupakan pemenuhan panggilan untuk peduli pada persoalan dan cita-cita hidup
bermasyarakat dan berbangsa. Bagi orang Kristen, terlibat dalam dunia politik
merupakan rahmat istimewa, mengingat misteri ‘inkarnasi’ sendiri langsung
berkaitan dengan hal tersebut. Ia mengatakan, ”Bukankah suatu pencerahan bagi
kegelapan dunia ini ketika Allah menjadi manusia, Ia rela menjadi salah seorang
anggota masyarakat warga? Kekotoran dan kehirukpikukan dunia ini tidak
menjadikan-Nya miris dan apatis, tetapi justru sebaliknya”. Maka secara teologis
keterlibatan para anggota Gereja dalam dunia politik mendapat dasar kokoh kuat
pada misteri inkarnasi (bnd. Yoh 1:14)[36].
Selanjutnya menurut Kristiyanto sejujurnya para hierarki pun terlibat dalam
politik. Akan tetapi istilah politik ini perlu dipahami bukan dalam artian
sempit (stricto sensu), melainkan
dalam arti luas (largo sensu), yakni
arti utama dan sesungguhnya dari politik. Hierarki memang tidak berpolitik
praktis, dan tetap memegang teguh ketetapan dan ajaran Gereja tentang politik,
namun sikap, ajaran, dan karya para hierarki Gereja sudah sangat sering
berdampak pada politik praktis[37].
Pada
kenyataannya, orang-orang Kristen memang bertanggungjawab atas
tindakan-tindakan politis yang terjadi. Ini berarti bahwa kita tidak bisa
menjadi apolitis atau tidak terlibat secara politik, karena kita hidup di dalam
dunia ciptaan Tuhan, maka kita ikut terlibat. Kalau kita mencoba bersikap pasif
atau meremehkan apa yang sedang terjadi di sekitar kita, maka kita hanya dapat
mengatakan bahwa kita menerima keadaan sebagaimana adanya sebagai keadaan yang
memang dikehendaki oleh Tuhan. Bersikap pasif dalam politik berarti sama dengan
sikap politik untuk menerima situasi yang berlangsung sebagaimana adanya.
Dengan adanya dosa dan penderitaan dunia, sikap politik yang demikian hanya
bisa dipandang sebagai suatu yang subkristiani,
suatu pengingkaran dari apa yang
Tuhan dan sesama harapkan untuk kita lakukan. Untuk menjadi orang Kristen yang
sejati, kita harus berani memikul tanggung jawab, bertindak, mendorong, dan
mendesak pemerintah untuk melaksanakan hukum Tuhan[38].
Perlu
ditekankan dua pokok yang berkaitan dengan tanggungjawab khusus orang beragama.
Kedua pokok itu, yang satu mengenai titik tolak tanggungjawab dan yang lain
tidak langsung, yakni bentuk-bentuk kritik sosial tangungjawab. Tanpa
tanggungjawab sosial dan politis itu, kita dan agama kita terancam menjadi
agama borjuis, bukan mesianis. Sebab di sini yang dijadikan fokus bukan lagi
berpikir tentang Yang-Ilahi, melainkan nilai-nilai luhur ajaran agama demi
kehidupan yang lebih baik. Kegiatan keterlibatan manusia beragama sama sekali
bukanlah kiprah “intelektual” yang borjuis. Keterlibatan itu seyogyanya
bertumpu pada kenangan akan Dia yang
peduli pada dunia, yang dicintainya secara total, berikut segenap
keprihatinannya seperti penderitaan manusia dan segenap ciptaan-Nya. Maka jika gereja
tetap adem ayam dan tenang-tenang saja di hadapan
praktik-praktik ketidakadilan, kekerasan, diskriminasi, kemiskinan, dan proses
pembusukan masyarakat berarti agama (gereja) sedang menggali kubur untuk
dirinya sendiri dan sama sekali tidak relevan untuk kehidupan[39].
Oleh karena itu benarlah apa yang
dikatakan oleh Eka Darmaputera. Menurutnya orang Kristen harus melibatkan diri
dalam politik adalah karena tidak ada pilihan lain. Memilih untuk bersikap
tidak mau tahu soal politik (=apolitis) pun adalah pilihan politis.
Keterlibatan politik bukan hanya merupakan sebuah keharusan praktis, melainkan
juga sebuah keharusan teologis, sebuah wujud dari ketaatan iman[40].
Persoalan partisipasi politik terkandung dalam pemahaman mengenai Injil. Injil
bukan hanya keselamatan jiwa, tapi juga Injil kebenaran dan keadilan.
Partisipasi politik dalam arti perjuangan untuk kebenaran dan keadilan adalah
panggilan misioner gereja dan orang Kristen[41].
Di
bawah ini beberapa dasar teologis alkitabiah keterlibatan orang Kristen dalam
politik dapat dilihat dari apa yang diuraikan oleh Sutarno[42]:
-
Sebagai pengikut Kristus kita mengemban
amanat untuk memberitakan/bersaksi tentang Kristus dan karya penyelamatan-Nya
(bnd. 1 Ptr 2:9; Mat 28:18-20; Kis 1:8).
-
Penyelamatan Kristus meliputi kehidupan
manusia seutuhnya: menyangkut aspek kehidupan rohaniah dan jasmaniah, dan
mencakup semua bidang kehidupan (bnd. Luk 4:18,19; 7: 20-22). Kesaksian itu
dilaksanakan baik dengan perkataan maupun perbuatan-perbuatan n yata (bn. Mat
4:23; 10:7,8). Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan upaya untuk “mendirikan
tanda-tanda” dari penyelamatan Kristus secara visual dan dapat dirasakan secara
nyata.
-
Alkitab mengajarkan kepada kita tentang
kuasa dosa yang masih terus mengancam dan meracuni kehidupan manusia, dan bahwa
tidak ada seorang mansuia pun yang bebas dari ancaman dan pencemaran dari kuasa
dosa tersebut (Rm 3:9-18) sehingga memerlukan teguran dan pertobatan. Kita
terpanggil untuk ikut bertanggung jawab di dalam mengendalikan politik.
-
Injil keselamatan berarti pula injil
pembebasan dan pembaruan hidup secara total (2 Kor 5:17) yang tertuang di dalam
ajaran mengenai Kerajaan Allah di mana syalom Tuhan (yaitu kebenaran, keadilan,
kesejahteraan, dan kasih-Nya) terwujud bagi semua orang. Politik merupakan
sarana untuk mendekatkan kehidupan ini kepada janji dan tuntutan syalom itu.
Keterlibatan dalam politik adalah pengutusan.
Menyatakan karya penyelamatan Kristus dalam politik menjadi tujuan. Hadirnya
suatu tatanan kehidupan yang memungkinkan setiap insan dapat hidup dalam kebenaran,
keadilan, dan syalom menjadi ciri politik yang berlandaskan terang Firman dan
yang diamanatkan kepada gereja.
5.2.
Misi
dalam Politik: Perwujudan Kebenaran dan Keadilan
Jika
diperhadapkan pada kenyataan dapat dikatakan bahwa terdapat kontras antara
sikap dan praktek politik yang terjadi dengan apa yang amanatkan Kristus kepada
gereja. Pada dasarnya praktek sikap dan politik dalam suatu negara menganut dan
menerapkan politik machiavelian. Bagi Machiavelli sebagaimana yang dituliskan
oleh J.H. Rapar, nilai politis agama yang paling utama ialah bahwa agama itu
dapat membangun dan membentuk sikap manusia menjadi tulus, taat, setia, patuh
dan bersatu. Dan pada kenyataannya agama dapat menjadi alat bantu bagi
penguasa, karena agama itu memiliki kekuatan yang sanggup membuat manusia
menjadi taat secara tulus, setia, patuh dan bersatu. Oleh sebab itu, apabila
penguasa dapat memanfaatkan agama dengan sebaik-baiknya maka ia akan mudah
memperoleh hal-hal penting dari rakyatnya. Machiavelli mengatakan, ”Sebab itu,
para pemerintah republik atau para penguasa kerajaan harus berupaya
mempertahankan dan memelihara prinsip-prinsip agama mereka. Apabila mereka
telah melakukan hal ini, maka mereka akan menemukan bahwa adalah suatu hal yang
mudah untuk menjaga negara taat secara tulus, patuh dan bersatu”. Dengan
demikian menurut J.H. Rapar, jelas terlihat bahwa Machiavelli menempatkan agama
hanya sebagai salah satu faktor dalam masyarakat yang merupakan salah satu
kekuatan yang perlu digunakan oleh para penguasa untuk memperkuat negara atau
untuk melayani kepentingan negara. Jadi, agama memiliki tempat yang istimewa di
dalam sesuatu negara, bukan berdasarkan kebenaran agama itu, melainkan karena
nilai-nilai politis yang dimilikinya[43].
Tentu peran politik Kristen tidak seperti praktek politik yang menganut paham
machiavelianisme.
Kontradiksi
peran politik Kristen dengan politik yang menganut paham machiavelianisme dapat
dilihat dari pemahaman trilogi tugas panggilan gereja. Melalui trilogi tugas
panggilan tersebut, gereja dipahami sebagai pewaris misi mesianis Kristus.
Gereja dipahami sebagai prolongatus
Christi – perpanjangan tangan Kristus. Hakekat dan kehadiran gereja tidak
boleh dipahami hanya dalam urusan ritual peribadatan saja. Gereja sebagai
pengemban tugas panggilan yang rajani, nabi dan imami harus turut serta
menangani masalah-masalah kehidupan yang konkret, yang merupakan pergumulan
nyata manusia itu sendiri (bnd. Luk 4:18-19; dan Mat 25:35-37). Dalam kehidupan
gereja modern sekarang ini, tritugas panggilan gereja itu dijabarkan di dalam
makna bersekutu di dalam ibadah, melayani sebagai tindakan solidaritas dan
keberpihakan kepada kaum tertindas dan bersaksi tentang iman melalui tindakan
dan perbuatan nyata. Dalam hal ini, gereja mempunyai tugas nabiah dan fungsi
sosial kontrol, dengan penyampaian pesan-pesan bahkan kritik profetis kepada
negara. Tugas tersebut dilakukan dengan tujuan mensejahterakan umat manusia di
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebab kesejahteraan umat adalah
kesejahteraan bangsa, yang hanya mungkin terjadi apabila di dalam negara
berlaku keadilan, hukum ditegakkan dan hak azasi manusia dihargai dengan semestinya
(Yer 29:7; Am 5:24; bdn. Hab 1:2-4)[44].
Tidak
dapat dipungkiri bahwa praktek-praktek politik yang menganut paham
machievalianisme tentu berlangsung dalam pelaksanaan proses pemerintahan suatu negara.
Untuk itulah gereja harus menyikapi hal itu dengan senantiasa melaksanakan
tritugas panggilannya untuk mewujudkan misi kebenaran dan keadilan dalam
kehidupan masyarakat. Dalam menyatakan misi kebenaran dalam politik gereja
dapat bertindak dalam kapasitas sebagai institusi atau melalui warga jemaatnya.
Pandangan
Albertus Patty dapat menjadi pertimbangan bagi gereja sebagai institusi dalam
menyatakan misi kebenaran dalam politik. Patty memandang bahwa gereja terpanggil untuk mendorong semua
komponen bangsa agar mampu berpartisipasi menjadi aktor utama dalam proses
politik yang dijiwai oleh nilai-nilai demokrasi. Dalam hal ini ada empat peran
yang perlu digeluti oleh gereja yaitu: Pertama,
berperan dalam memberikan pendidikan politik bagi rakyat. Pendidikan politik
berguna agar rakyat mampu berpartisipasi secara aktif dalam proses politik
dengan bersikap kritis baik terhadap pemerintah, terhadap sikap keberagamaan
maupun terhadap persoalan-persoalan yang terjadi dalam masyarakat, memiliki
kemampuan untuk melakukan transformasi terhadap negara dan terhadap berbagai
kondisi sosial yang membelenggu dan menderitakan rakyat. Kedua, mempersiapkan pemimpin politik masa depan yang memiliki
intelektualitas tinggi, berwawasan luas, memiliki integritas dan spiritualitas
yang tangguh. Pemimpin yang demikian diharapkan dapat merubah kultur konflik
dan kekerasan menjadi kultur persaudaraan. Ketiga,
meletakkan landasan etik dalam kehidupan sosial dan dalam kehidupan berpolitik
bangsa. Landasan etik dalam kehidupan sosial mengatur relasi horizontal yang
mengakui kemajemukan bangsa sehingga tidak hanya sibuk menuntut hak-hak sendiri
tetapi juga peduli dengan hak-hak dan eksistensi dari kelompok lain. Keempat, berperan dalam tataran
spiritual yaitu kemampuan mentransenden diri yang mendorong “korban-korban”
dapat saling bekerja dan saling menyembuhkan[45].
Gereja dan warga jemaat, secara khusus
di Indosnesia, pada dasarnya tidak sulit lagi untuk mengambil sikap terhadap
kondisi sosial politik di sekitarnya. PGI dalam dokumen Pokok-pokok Tugas
Panggilan Bersama (PTPB) merumuskan: “Gereja mempunyai tanggung jawab politik
dalam arti turut serta aktif di dalam mengupayakan kehidupan berbangsa,
bernegara, dan bermasyarakat berdasarkan Pancasila dan UUD Negara Republik
Indonesia dengan memperjuangkan keseimbangan antara kekuasaan (power), keadilan (jutice), dan kasih (love).
Orang Kristen terpanggil untuk membangun kesejahteraan di mana mereka berada
karena kesejahteraan mereka adalah kesejahteraan kita, menjadi kesejahteraan
bersama (Yer 29:7)”. Suara kenabian
gereja diberi peluang untuk diperdengarkan apabila negara dan
pejabat-pejabatnya menyimpang dari tujuan, yaitu menyejahterakan semua orang
dan menegakkan keadilan[46].
Dengan itu Gereja berperan untuk mencegah kecenderungan menyalahgunakan kuasa
atau monopoli kuasa oleh para penguasa atau pemerintah, baik kuasa politik,
ekonomi, atau kuasa yang lainnya[47].
Gereja harus menyuarakan pemikiran dan keyakinannya[48].
Di
samping itu dari pihak gereja diharapkan adanya pendampingan pastoral yang
terus menerus bagi setiap warganya, yang terlibat di dalam politik praktis.
Mereka tidak boleh dibiarkan berjalan sendiri. Gereja tidak boleh hanya mencela
warganya yang terlibat politik, tetapi tidak pernah memahami secara persis apa
yang diperjuangkan warganya. Dengan demikian, gereja benar-benar secara
bertanggung jawab melibatkan diri dalam persoalan-persoalan menegakkan keadilan
dan mewujudkan kesejahteraan. Di dalam melakukan itu, gereja tidak boleh
mengidentikkan diri dengan partai-partai politik, termasuk partai politik yang
bernapaskan Kristen. Gereja adalah sebuah institusi yang berada di atas semua
partai politik. Hanya dengan demikianlah gereja mempunyai kekuatan moral[49].
Ini
memperlihatkan bahwa pendampingan pastoral dan pendidikan politik bagi warga
gereja adalah hal yang sangat penting untuk dilaksanakan oleh gereja. Gereja
bertanggungjawab mengupayakan peningkatan kualitas dan kesadaran warganya
mengenai politik dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya melalui kegiatan
pembinaan dan kaderisaasi. Dengan mengajarkan dan memberikan dasar-dasar dan
prinsip-prinsip iman Kristen untuk memahami dan menyikapi berbagai
persoalan-persoalan konkret, maka gereja sebagai institusi dapat memperlengapi warganya
untuk berperan dalam politik secara positif, kreatif, kritis dan realistis agar
politik menjadi politik yang baik bagi semua orang.
Dengan
melakukan pendampingan yang sungguh-sungguh, pembentukan partai politik Kristen
tidak menjadi keharusan dalam mewujudkan kebenaran dalam politik karena itu cenderung kontroversial di antara
orang Kristen. Yang perlu adalah untuk mewujudkan makna politik Kristen dengan
membentuk budaya politik Kristen, yang menekankan perubahan di segala bentuk
menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis dan bermoral, melalui
pendidikan politik jemaat[50].
Gereja juga dapat memikirkan gerakan politik alternatif yang di satu pihak
mampu mewujudkan cita-cita politik Kristen dan di lain pihak tidak membawa
dampak negatif bagi umat Kristen. Gerakan politik alternatif ini bukanlah
parpol Kristen tetapi lebih bermakna sebagai masyarakat sipil, civil society, yang inklusif yang tidak
hanya harus mempunyai sifat counter
balance (melakukan kritik yang bersifat rational
discourse) terhadap negara tetapi juga nilai-nilai yang bersifat universal
seperti: nilai demokrasi; nilai penghormatan terhadap HAM (termasuk
diskriminasi); nilai pelestarian lingkungan; nilai keadilan; nilai
kesejahteraan; nilai pasar bebas (sampai derajad tertentu)[51].
Mempertahankan tata perpolitikan yang
berperikeadilan menjadi tugas semua orang yang hidup di dalamnya. Demikian juga
halnya dengan gereja. Namun perlu diingat bahwa politik yang diinspirasi oleh
ajaran kekristenan bukan ditujukan untuk membela atau menarik orang ke dalam
agama Kristen, meskipun kita berharap untuk bisa mendorong ke arah itu.
Tindakan politik kristiani tidak ditujukan untuk menunjukkan
kesalahan-kesalahan dari orang-orang yang bukan Kristen di dunia perpolitikan,
juga bukan untuk menunjukkan superioritas atau keunggulan kekristenan di dalam
percaturan politik, meskipun bisa jadi, akan mendorong hal seperti itu juga.
Tindakan politik kristiani sama sekali tidak bercita-cita seperti itu. Tindakan
tersebut akan secara wajar mengalir pengakuan bahwa kita bersama dengan semua
umat manusia bertanggungjawab atas pengelolaan dan pengembangan kehidupan semua
ciptaan Tuhan. Kegiatan politik adalah sebagian dari tugas kita yang kompleks
di dalam seluruh ruang lingkup karya cipta Tuhan; dan berwujud kerelaan memikul
tanggung jawab untuk membangun hubungan-hubungan yang berperikeadilan di antara
segenap tanggung jawab lain di dalam dunia, membela orang miskin, yang
kekurangan dan yang tertindas, serta memberi imbalan kepada yang baik maupun
yang jahat[52].
Tuntutan
dasariah yang tidak kalah mendesaknya ialah menjadikan politik sebagai sakramen penyelamatan. Mungkin saatnya agama (gereja)
mensekularisasikan dirinya sendiri, berdoa dengan mata terbuka supaya melihat
apa yang tengah terjadi dalam masyarakat, menangkap tanda-tanda zaman supaya
akhirnya bersama seluruh alam ciptaan dan sarwa makhluk agama memuji, bersyukur
kepada serta menyembah Allah. Terlibat dan peduli pada dunia menjadi legitimasi
agama dalam mempertegas suara kenabiannya. Pasti tidak cukup hanya bersuara,
sebab suara akan segera dilupakan dan kabur bersama angin. Akan tetapi, menjadi
firman, menjadi martir yang membela
itulah panggilan mulia agama (gereja)[53].
Oleh karena itu kesaksian kualitatif itulah yang terutama dilaksanakan gereja, yaitu
kesaksian mengenai pembaruan Kristus yang mengubah kualitas kehidupan, di mana
kemanusiaan yang baru berdasarkan kebenaran, keadilan dan kasih Tuhan
dinyatakan, sedang kemanusiaan yang lama, yang dikuasai dosa ditinggalkan.
Kesaksian kualitatif merupakan realisasi dari “garam” yang melawan dan
meniadakan kebusukan, atau “terang” yang melawan dan meniadakan kegelapan (bnd.
Mat 5:13-16)[54].
Tetapi perlu waspadai bahwa gereja dapat
dan akan berhadapan dengan berbagai persoalan, kesulitan, tantangan dan bahkan
ancaman dalam melaksanakan misinya itu. Untuk menghadapi dan mengatasi semua
ini, semua karunia yang dimiliki gereja, termasuk kemampuan dan kekuasaan yang
ada padanya perlu digunakan sebaik-baiknya. Tetapi gereja tidak boleh menjadi
“serupa dengan dunia” (Rm 12:2). Hakikat dan misi gereja menuntutnya untuk
tetap memperhatikan cara-cara yang sesuai dengan hakikat dan misi tersebut.
Cara gereja melawan dan memerangi kesalahan, ketidakadilan, dan ketidakbenaran
jangan meninggalkan prinsip kasih menyelamatkan dengan perlengkapan
“senjata-senjata” iman, Firman, dan doa (Ef 6:10-20)[55].
Untuk
itu menurut Saut Sirait[56]
dalam menyatakan kebenaran Firman Tuhan melalui sikap politik, gereja-gereja
paling tidak harus memiliki prinsip dan sikap di dalam dirinya, yakni:
-
Prinsip dan sikap pembebas, berhubung
Yahweh adalah pembebas dari penindasan dan perbudakan. Hal serupa juga
dilakukan Yesus yang melaksanakan pembebasan terhadap manusia yang telah jatuh
ke dalam dosa.
-
Menjadi alternatif, seperti yang
diperlihatkan gereja mula-mula dan Israel, yang dibentuk sebagai komunitas
alternatif. Solidaritas horizontal menjadi ciri utama, yang mampu mempersatukan
dan sekaligus memampukan orang-orang lemah dan terbuang membebaskan dirinya
secara politis.
-
Posisi yang bepihak kepada kaum lemah
dan tidak berdaya. Allah Israel adalah Allah yang dalam konflik-konflik sosial
senantiasa menempatkan diri-Nya di pihak yang tersingkir secara sosial,
ekonomis dan politis. Hal itu dengan tegas diperlihatkan Yahweh melalui
pengalaman Israel dan ditunjukkan Yesus secara mencolok dalam pelayanan dan
pengajaran-Nya.
-
Memiliki sikap kritis dalam hubungannya
dengan negara sebagaimana ciri pre-state
Israel dan ketegasan Yesus terhadap hak raja dan hak Tuhan yang tidak
disetarakan dan disatukan. Kontrol tetap kekuasaaan tidak hanya bersifat
politis, tetapi merupakan tugas gereja yang bermakna teologis.
-
Sikap dan pemahaman bahwa ketertindasan,
pemiskinan, ketidakadilan, pelangaran hak azasi manusia bukan persoalan sosial,
ekonomis dan politis semata, melainkan persoalan teologis.
-
Pemahaman bahwa gereja adalah untuk
dunia. Yahweh Israel bukan hanya untuk Israel, tetapi untuk seluruh dunia.
Tindakan penyelamatan Yahweh tidak tertuju bagi Israel semata, tetapi seluruh
bangsa. Sebagaimana Israel berfungsi sebagai pengantara, maka gereja-gereja
merupakan pengantara tindak penyelamatan Yahweh.
Dari
apa yang telah diuraikan di atas, dapat dikatakan bahwa gereja (orang Kristen)
dipanggil untuk menyatakan sikapnya dalam kenyataan politis di mana gereja
berada sebagaimana yang Yesus telah tunjukkan, yaitu untuk menyatakan dan
mewujudkan keselamatan yang dari Allah untuk dunia ini.
VI.
Kesimpulan
1. Tugas
misi tidak terlepas dari kehidupan gereja karena misi menjadi indikasi gereja
yang hidup. Tugas itu harus dilaksanakan oleh gereja sepanjang masa dan dalam
seluruh aspek kehidupan sebagaimana Tuhan berkarya sepanjang masa dan dalam
seluruh aspek kehidupan manusia.
2. Misi
gereja dalam politik berdasar pada kenyataan bahwa gereja berada dan diutus ke
dalam dunia ini dan terhubung dengan segala aspek kehidupan yang berlangsung di
dalamnya termasuk politik sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari suatu
bangsa dan negara yang menjadi bagian dari dunia itu.
3. Sebagaimana
Kristus diutus untuk keselamatan dunia ini demikian juga gereja diutus untuk
menyatakan keadilan dan kebenaran untuk perwujudan keselamatan itu. Dengan
demikian ketidakterlibatan gereja di dalam politik sama artinya dengan
pembiaran atau menutup mata terhadap tindakan-tindakan yang menindas dan
menyengsarakan yang dapat terjadi oleh praktek politik yang tidak mencerminkan
keadilan dan kebenaran.
4. Misi
gereja dalam politik tidak bertujuan untuk memperoleh dan mempertahankan
kekuasaan. Misi gereja dalam politik adalah usaha dan upaya agar politik dapat
melahirkan kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang menciptakan keadilan
dan kebenaran untuk kebaikan hidup manusia.
5. Gereja
melakukan misi dalam politik tidak harus membentuk partai politik tetapi terutama dengan memberi pendampingan dan
pembekalan kepada warga jemaat yang terlibat dalam politik praktis demikian juga
dengan menyuarakan suara-suara kenabian dalam menentang keputusan politik serta
praktek dan tindakan yang tidak mencerminkan dan mewujudkan keadilan dan
kebenaran bagi kehidupan masyarakat.
6. Misi
gereja dalam politik bukan terutama untuk menarik orang-orang terlibat di dalamnya
ke dalam agama Kristen tetapi sebagai usaha agar nilai-nilai kebenaran dan
keadilan menjadi budaya dalam praktek politik yang berlangsung dalam suatu
negara.
DAFTAR
PUSTKA
1.
Andreas
A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto: Gereja di
dalam Dunia, Biro LITKOM PGI – BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009.
2.
Arie
de Kuiper, Missiologia, BPK Gunung
Mulia, Jakarta, 1996.
3.
Clifford
Green (peny.), Karl Barth: Teolog
Kemerdekaan, Kumpulan Cuplikan Karya Karl Barth, (terj.), Jakarta, BPK
Gunung Mulia, 1998.
4.
Darwin
Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA,
Pematangsiantar, 2007.
5.
David
F. Hinson, Old Testament Introduction 3:
Theology of the Old Testament, SPCK, London, 1982.
6.
David
J. Bosch, Transformasi Misi Kristen;
Sejarah Teologi Misi Yang Mengubah dan Berubah, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
1999.
7.
Donald
Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, 1:
Allah, Manusia, Kristus, BPK Gunung
Mulia, Jakarta: 1995.
8.
Eddy
Kristiyanto, Sakramen Politik:
Mempertanggungjawabkan Memoria, Yogyakarta, Lamalera, 2008.
9.
Einar
M. Sitompul (ed.), Teologi Politik:
Agama-Agama dan Kekuasaan, Balitbang PGI, Jakarta, 2004.
10. G. Johannes
Botterweck, dkk, (ed), Theological
Dictionary of the Old Testament, Vol.
XII, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids,
Michigan/Cambridge, UK, 2003.
11. G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, Harper
& Row Publishers, New York and Evanston, 1962.
12. Horst Balz and
Gerhard Schneider, Exegetical Dictionary
of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand
Rapids, Michigan, 1990.
13. J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, A –
L, Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1994.
14. J.H. Rapar, Filsafat Politik Machiavelli; Seri Filsafat
Politik No. 4, Jakarta, Rajawali Press, 1991.
15. J.L.Ch. Abineno,
Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen,
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2008.
16. J. Soedjati
Djiwandono, Gereja Dan Politik; Dari
Orde Baru ke Reformasi, Yogyakarta, Kanisius, 1999.
17. J. Verkuyl, Etika Politika: Ras, Bangsa, Gereja, Negara,
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1958.
18. -------------, Aku Percaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
2001.
19. Lesslie
Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk,
BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2010.
20. Mianto Nugroho
Agung dkk., (ed.), Yesus & Politik; Sebuah
Bunga Rampai, Komunitas NISITA, Jakarta, 2004.
21. Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, Fortress
Press, Philadelphia, 1966.
22. Robert P.
Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), Perspektif
dan Peran Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru; Visi, Strategi dan Program
Aksi Menyukseskan Reformasi, STT Jakarta, 2004.
23. Saut Sirait, Politik Kristen di
Indonesia: Suatu Tinjauan Etis, Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2006.
24. Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia;
Pemikiran Teologis tentang Pergumulan Gereja dalam Masyarakat Indonesia Yang
Majemuk, BPK Gunung Mulia, Jakarta – Satya Wacana University Press,
Salatiga, 2004.
25. W.J. Kooiman, By Faith Alone; The Life of Martin Luther,
Philosophical Library, New York, 1955.
26. http://id.wikipedia.org./wiki/Politik…
[1] Bnd. J. Verkuyl, Aku Percaya, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
2001: hlm.102-103. Lih. Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, L-SAPA, Pematangsiantar, 2007: hlm.
384-385.
[2] Arie de Kuiper, Missiologia, BPK Gunung Mulia, Jakarta,
1996: hlm. 9.
[3] Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia dan Masyarakat Indonesia Masa Kini
(Acuan dan Prinsip Pelaksanaannya)” dalam Robert P. Borrong dan Jansen H.
Sinamo (peny.), Perspektif dan Peran
Umat Kristiani Mewujudkan Indonesia Baru; Visi, Strategi dan Program Aksi
Menyukseskan Reformasi, STT Jakarta, 2004: hlm. 35-36.
[4] Lih. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi
Misi Yang Mengubah dan Berubah, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1999: hlm. 1.
[5] Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia …” dalam Robert P. Borrong dan
Jansen H. Sinamo (peny.), op. cit.,:
hlm. 35-36.
[6] Lih. Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia …“ dalam
Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), op. cit., hlm. 36-40.
[7] Lih. Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia … ”
hlm. 39.
[8] Lesslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk, BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 2010: hlm. 181-182.
[9] Lesslie Newbigin, hlm. 182.
[10] Lesslie Newbigin, Injil dalam Masyarakat Majemuk, hlm.
190-191.
[11] Lih. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen; Sejarah Teologi
Misi Yang Mengubah dan Berubah, hlm. 618.
[12] Lih. Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia dan … ”
dalam Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), op. cit., hlm. 41.
[13] J. Verkuyl, Etika Politika: Ras, Bangsa, Gereja, Negara, Jakarta, BPK Gunung
Mulia, 1958, hlm. 71.
[14] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia; Pemikiran Teologis tentang
Pergumulan Gereja dalam Masyarakat Indonesia Yang Majemuk, BPK Gunung
Mulia, Jakarta – Satya Wacana University Press, Salatiga, 2004: hlm. 168.
[15] P.D. Latuihamallo, “Panggilan Orang Kristen dalam Dunia Politik”
dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.), Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA,
Jakarta, 2004: hlm. 41.
[16] Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik: Mempertanggungjawabkan
Memoria, Yogyakarta, Lamalera, 2008, hlm. 2.
[17]
http://id.wikipedia.org./wiki/Politik…
[18] J. Soedjati Djiwandono, Gereja Dan Politik; Dari Orde Baru ke
Reformasi, Yogyakarta, Kanisius, 1999, hlm. 48, 49.
[19] J.B. Payne, dkk., “Adil,
Keadilan dan Kebenaran” dalam J.D. Douglas, Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid 1, A – L, Yayasan Komunikasi
Bina Kasih/OMF, Jakarta, 1994: hlm. 11-12. Bnd. B. Johnson, “…hqdc, tsedaqa…”, dalam G.
Johannes Botterweck, dkk, (ed), Theological
Dictionary of the Old Testament, Vol.
XII, William B. Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids,
Michigan/Cambridge, UK, 2003: hlm. 243.
[20] J.B. Payne, dkk., “Adil,
Keadilan dan Kebenaran” hlm. 12.
[21] K. Kertelge, “dikaiosunh”,
dalam Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical
Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing
Company, Grand Rapids, Michigan, 1990: hlm. 326.
[22] J.B. Payne, dkk., “Adil, Keadilan dan Kebenaran” hlm. 12.
[23] H. Hubner, “alhqeia”,
dalam Horst Balz and Gerhard Schneider, Exegetical
Dictionary of the New Testament, Vol. I, William B. Eerdmans Publishing
Company, Grand Rapids, Michigan, 1990: hlm. 58.
[24] Lih. W.J. Kooiman, By Faith Alone; The Life of Martin Luther,
Philosophical Library, New York, 1955:
hlm. 39-41.
[25] Lih. Paul Althaus, The Theology of Martin Luther, Fortress
Press, Philadelphia, 1966: hlm. 224-229.
[26] Lih. G. von Rad, Old Testament Theology, Vol. I, Harper
& Row Publishers, New York and Evanston, 1962: hlm. 370.
[27] G. von Rad, hlm. 374-375.
[28] David F. Hinson, Old Testament Introduction 3: Theology of
the Old Testament, SPCK, London, 1982: hlm. 31.
[29] Lih. Donald Guthrie, Teologi Perjanjian Baru, 1: Allah, Manusia, Kristus, BPK Gunung
Mulia, Jakarta: 1995: hlm. 78-81.
[30] Bnd. Andreas A. Yewangoe, “Pendeta dan Politik” dalam Mianto
Nugroho Agung dkk., (ed.), Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA,
Jakarta, 2004: hlm. 20.
[31] J.H. Rapar, Filsafat Politik Machiavelli; Seri Filsafat Politik No. 4, Jakarta,
Rajawali Press, 1991, hlm. 106.
[32] Clifford Green (peny.), Karl Barth: Teolog Kemerdekaan, Kumpulan
Cuplikan Karya Karl Barth, (terj.), Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1998, hlm.
336, 337.
[33] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia …, hlm. 176.
[34] Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm. 100.
[35] Lih. J.L.Ch. Abineno, Pokok-Pokok Penting Dari Iman Kristen,
Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2008, hlm. 101-02. Selain daripada hal-hal ini orang
yang menduga, bahwa Pilatus yang mungkin merasa takut, bahwa Yesus mau berusaha
untuk mendirikan lagi kerajaan Israel. Semuanya ini – menurut banyak ahli
theologia – yang rupanya telah menyebabkan Yesus dituduh dan dijatuhi hukuman
mati.
[36] Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm. 4
[37] Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm.4. Contohnya
kalau seorang Paus Yohanes Paulus II (almarhum) mengadakan kunjungan yang
semata-mata ‘murni’ pastoral ke suatu negara yang totaliter dan korup, maka
kedatangan pemimpin keagamaan yang kharismatis itu berpengaruh pada pelbagai
kebijakan politis. Kunjungan itu dapat dipolitisasi sebagai bentuk afirmasi
terhadap sistim kekuasaan yang berlaku di wilayah itu. Akan tetapi juga tidak
kurang interpretasi menyatakan, bahwa visitasi pastoral itu memotivasi
terjadinya pelbagai perubahan ke arah yang lebih baik, penataan kembali
sejumlah kebijakan macet, dan kepedulian yang signifikan dari pihak pemerintah
terhadap golongan dan kaum pinggiran dan yang dipinggirkan.
[38] Paul Marshall, “Tindankan-Tindakan Kekristenan di dalam
Wilayah Kekuasaaan Tuhan”, dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.), Yesus
& Politik; Sebuah Bunga Rampai,
Komunitas NISITA, Jakarta, 2004: hlm. 184.
[39] Bnd. Eddy Kristiyanto, Sakramen Politik, hlm. 99-100.
[40] Eka Darmaputera, “Teologi Politik”, dalam Mianto Nugroho
Agung dkk., (ed.), Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA,
Jakarta, 2004: hlm. 9.
[41] Eka Darmaputera, “Teologi Politik”, hlm. 15.
[42] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia …, hlm. 177.
[43] J.H. Rapar, Filsafat Politik Machiavelli …, hlm. 97, 98.
[44] Darwin Lumbantobing, Teologi di Pasar Bebas, hlm. 266.
[45] Lih. Albertus Patty, “Kristen dan Situasi Politik Indonesia
Kontemporer” dalam Einar M. Sitompul (ed.), Teologi Politik: Agama-Agama dan Kekuasaan, Balitbang PGI, Jakarta,
2004: hlm. 119-122.
[46] Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto: Gereja di dalam Dunia,
Biro LITKOM PGI – BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2009: hlm. 185.
[47] P.D. Latuihamallo, “Panggilan Orang Kristen dalam Dunia Politik”
dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.), Yesus & Politik; Sebuah Bunga Rampai, Komunitas NISITA,
Jakarta, 2004: hlm. 42.
[48] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia …, hlm. 154.
[49] Andreas A. Yewangoe, Tidak Ada Ghetto: Gereja di dalam Dunia,
hlm. 187-188.
[50] Kutut Suwondo, “Gerakan-Gerakan Politik Alternatif di
Indonesia”, dalam Einar M. Sitompul (ed.), Teologi Politik: Agama-Agama dan Kekuasaan, Balitbang PGI, Jakarta,
2004: hlm. 106-108.
[51] Kutut Suwondo, “Gerakan-Gerakan Politik Alternatif di
Indonesia”, hlm. 112-114.
[52] Paul Marshall, “Tindakan-Tindakan Kekristenan di dalam
Wilayah Kekuasaaan Tuhan”, dalam Mianto Nugroho Agung dkk., (ed.), Yesus
& Politik; Sebuah Bunga Rampai,
Komunitas NISITA, Jakarta, 2004: hlm. 186-187.
[54] Sutarno, Di Dalam Dunia, Tetapi Tidak Dari Dunia …, hlm. 58.
[55] Lih. Sutarno, “Misi Kristiani dalam Konteks Dunia dan … ”
dalam Robert P. Borrong dan Jansen H. Sinamo (peny.), op. cit., hlm. 41.
[56] Saut Sirait, Politik
Kristen di Indonesia: Suatu Tinjauan Etis, BPK Gunung Mulia,
Jakarta, 2006: hlm.
246, 247.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar